BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Burnout Pada suatu industri dan organisasi memiliki banyak karyawan yang pernah mengalami
kejenuhan dalam bekerja, atau dapat dikatakan dengan burnout dan kemudian beberapa faktor yang dapat menyebabkan burnout itu terjadi. Berbagai bentuk masalah dan kekhawatiran yang selalu dihadapi kepada karyawan. Beban kerja yang dialami oleh karyawan merupakan kejenuhan dalam menghadapi pekerjaan. Beban kerja yang terjadi dapat meliputi tanggung jawab yang harus diselesaikan pada karyawan, membedakan pekerjaan yang rutin dengan yang tidak rutin, serta jam kerja yang melebihi kapasitas. Menurut Crosby (2012) burnout bisa terjadi akibat kurangnya penghargaan positif atas kerja yang selama ini dikerjakan. Burnout di suatu perusahaan bisa diukur dari banyaknya pengunduran diri karyawan di perusahaan. Serta berkurangnya rasa percaya diri pada karyawan. Banyaknya persaingan pada karyawaan lain juga dapat menyebabkan burnout terjadi. Kejenuhan (burnout) yang di alami oleh kebanyakan karyawan di perusahaan memiliki kecenderungan dan ciri-ciri diantaranya ialah sakit fisik dicirikan seperti sakit kepala, demam, dan sakit punggung. Kemudian mengalami kelehan emosi dicirikan seperti rasa bosan, mudah tersinggung, sinisme, suka marah, gelisah, putus asa, sedih, tertekan, dan tidak berdaya. Selain kelelahan pada emosi, kejenuhan juga memiliki kecenderungan kelelahan mental yang dicirikan pada sikap tidak peduli pada lingkungan, sikap negatif terhadap orang lain, konsep diri yang rendah, putus asa dengan jalan hidup, dan merasa tidak berharga Menurut Pines & Aronson (1989).
2.1.1 Definisi Burnout Burnout di Indonesia menjadi kendala bagi karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Menurut Maslach (2008) kejenuhan kerja (Burnout) ini cenderung dirasakan pada karyawan dengan lama kerja, karena semakin lama karyawan bekerja ia akan semakin terbiasa dengan pekerjaannya, sedangkan untuk karyawan yang baru memulai menguasai pekerjaannya dan mulai belajar menguasai pekerjaan secara tidak langsung dapat menjadi beban dan stres pada pegawai baru yang pada akhirnya dapat menyebabkan kejenuhan dalam bekerja. Kejenuhan kerja (burnout) dipengaruhi oleh beban kerja dan stres kerja yang paling umum. Menurut
Muslihudin (2009) kejenuhan kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kekurangan kontrol, ekspektasi kerja yang tidak jelas, dinamika ruang kerja yang disfungsional, ketidaksesuaian dalam nilai, pekerjaan yang tidak disukai, dan aktivitas ekstrem. Burnout didefinisikan sebagai kondisi dimana individu mengalami kelelahan fisik, sinisme (depersonalization), kelelahan mental, berkurangnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah (reduced personal accomplishment) dan kelelahan emosional (emotional exhausted) yang terjadi karena stres diderita dalam jangka waktu yang cukup lama di dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosional yang tinggi, burnout juga bukan merupakan sebuah penyakit melainkan hasil dari sebuah reaksi sebagai akibat dari harapan dan tujuan yang tidak realistic dengan perubahan (situasi) yang ada (Leatz & Stolar dalam Rosyid & Farhati, 1996 ; Maslach, Schaufeli&Leiter, 2001). Dari sekian banyaknya definisi yang diungkapkan oleh para ahli menunjukan bahwa burnout merupakan kondisi lama kerja dan ketidaknyamanan pekerja pada lingkungan pekerjaan, berawal dari padatnya jam kerja dan ketidakhadiran yang akan dilakukan beberapa karyawan, setelah mengetahui bahwa pekerjaannya membuat dirinya tidak merasakan kenyamanan dalam menghadapi pekerjaan maka terjadi burnout .
2.1.2 Dimensi Burnout Berikut akan dijelaskan dengan terperinci tiga dimensi burnout menurut Maslach & Jackson (2001) : A. Kelelahan emosional terjadi ketika individu merasa terkuras secara emosional karena banyaknya tuntutan pekerjaan. Pada dimensi ini, akan muncul perasaan frustasi, putus asa, sedih, tidak berdaya, tertekan, apatis terhadap pekerjaan dan merasa terbelenggu oleh tugas-tugas dalam pekerjaan sehingga seseorang merasa tidak mampu memberikan pelayanan secara psikologis. Selain itu mereka mudah tersinggung dan mudah marah tanpa alasan yang jelas (Maslach dalam Sutjipto, 2001 ). B. Depersonalisasi. menurut Maslach (dalam Sutjipto, 2001) merupakan perkembangan dari dimensi kelelahan emosional. Depersonalisasi adalah coping (proses mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan individu) yang dilakukan individu untuk mengatasi kelelahan emosional. Perilaku tersebut adalah suatu upaya untuk melindungi diri dari tuntutan emosional yang berlebihan dengan memperlakukan siswa sebagai objek. Gambaran dari depersonalisasi adalah adanya sikap negatif, kasar, menjaga jarak dengan penerima layanan,
menjauhnya seseorang dari lingkungan sosial, dan cenderung tidak peduli terhadap lingkungan serta orangorang di sekitarnya. Sikap lainnya yang muncul adalah kehilangan idealisme, mengurangi kontak dengan klien, berhubungan seperlunya saja, berpendapat negatifdan bersikap sinis terhadap klien. Secara konkret seseorang yang sedang depersonalisasi cenderung meremehkan, memperolok, tidak peduli dengan orang lain yang dilayani dan bersikap kasar.
C. Reduced Personal Accomplishment. Adapun reduced personal accomplisment ditandai dengan adanya perasaan tidak puas terhadapdiri sendiri, pekerjaan, dan bahkan kehidupan, serta merasa bahwa ia belumpernah melakukan sesuatu yang bermanfaat (Pines dan Aronson dalam Sutjipto,2001). Hal ini mengacu pada penilaian yang rendah terhadap kompetensi diri dan pencapaiankeberhasilan diri dalam pekerjaan. Maslach (dalam Sutjipto, 2001) menyatakan reducedpersonal accomplishment disebabkan oleh perasaan bersalah telah melakukan klien secara negatif. Seseorang merasa bahwa dirinya telah berubah menjadi orang yang berkualitas buruk terhadap klien, misalnya tidak memperhatikan kebutuhan mereka. Padahal seorang pemberi layanan dituntut untuk selalu memiliki perilaku yang positif,misalnya penyabar, penuh perhatian, hangat, humoris, dan yang paling penting adalah mempunyai rasa empati.
Kondisi burnout akan memicu timbulnya perilaku negative berupa kebosananan, ketidaksenangan, sinisme, ketidakcukupan, kegagalan, kerja berlebihan, kekasaran dan melarikan diri sebagai akibat dari bertumpuknya permasalahan – permasalahan yang terjadi ditempat kerja yang diakibatkan oleh stres kerja dalam jangka panjang. 2.1.3 Kecenderungan & Ciri-ciri Burnout Burnout merupakan keadaan individu mengalami kelelahan fisik, mental dan emosional yang terjadi, karena stres yang dialami dalam jangka waktu yang cukup lama dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosional yang cukup tinggi. Efek yang timbul akibat burnout adalah menurunnya motivasi terhadap kerja, sinisme, timbulnya sikap negatif, frustasi, timbul perasaan ditolak oleh lingkungan, gagal dan self esteemrendah (Mc Ghee dalam Irawati, 2002). Burnout terjadi akibat berubahnya kondisi psikologis pemberi layanan seperti perawat akibat reaksi kerja yang tidak menguntungkan. Wujud dari perubahan tersebut berupa kelelahan fisik (physical exhaution), kelelahan emosional dan kelelahan mental (mental
exhaution). Hal ini karena seseorang bekerja di dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosional (Sujipto, 2001). Santrock (2002) mendefinisikan burnout sebagaisuatu perasaan putus asa dan tidak berdayayang diakibatkan oleh stress berlarut-larut yang berkaitan dengan kerja. Schaufeli dkk. (dalam Cozen Payne, 1999) menjabarkan burnout sebagai suatu bentuk stress kerja yang spesifik pada orang-orang yang bekerja dalam bidang pelayanan sosial, sebagai hasil dari tuntutan emosional dalam hubungan antara pekerja dengan orang-orang yang harus dilayani. Berdasarkan beberapa definisi diatas, peneliti menyimpulkan bahwa burnout adalah suatu reaksi penarikan diri secara psikologis dari pekerjaan dimana seorang pekerja menjadi tidak menjalankan tugasnya dengan baik, sebagai akibat dari tuntutan emosional atau stress kerja yang dialaminya. Menurut Pines & Aronson (1989) ciri-ciriumum burnout, yaitu: 1) Sakit fisik dicirikan seperti sakit kepala,demam, sakit punggung, tegang pada otot leher dan bahu, sering flu, susahtidur, rasa letih yang kronis. 2) Kelehan emosi dicirikan seperti rasa bosan, mudah tersinggung, sinisme, suka marah,gelisah, putus asa, sedih, tertekan, dan tidakberdaya. 3) Kelelahan mental dicirikan seperti acuh takacuh pada lingkungan, sikap negative terhadap orang lain, konsep diri yang rendah, putus asa dengan jalan hidup, dan merasa tidak berharga.
2.2
Job satisfaction Job satisfaction atau kepuasan kerja merupakan perasaan seseorang terhadap
pekerjaannya. Menurut Tiffin (dalam Anoraga, 2001) menjelaskan tentang definisi kepuasan kerja ( job satisfaction ) sebagai suatu hal yang berhubungan dengan sikap dari karyawan terhadap pekerjaan itu sendiri. Seseorang yang mengalami kepuasan kerja akan mendapatkan nilai positive atau nilai plus dari pihak pimpinan. Kepuasan kerja adalah suasana psikologis tentang perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap pekerjaan mereka (Davis, Keith, 1985).Sementara itu Porter dan Lawler dalam Bavendam, J. (2000) menjelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan bangunan undimensional, dimana seseorang memiliki kepuasan umum atau ketidakpuasan dengan pekerjaannya. Vroom sebagaimana dikutip oleh Ahmad, M.A. Roshidi (1999) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai satu acuan dari orientasi yang efektif seseorang pegawai terhadap peranan mereka pada jabatan yang dipegangnya saat ini. Sikap yang positif terhadap pekerjaan secara konsepsi dapat dinyatakan sebagai kepuasan kerja dan sikap negatif terhadap pekerjaan sama dengan ketidakpuasan. Weiss, Dawis, England dan Lofquist (1967) menjelaskan kepuasan kerja sebagai melakukan perbandingan yang dilakukan oleh karyawan untuk mencapai serta memelihara
kesesuaian antara diri dan lingkungan mereka. Definisi ini telah mendapat dukungan dari Smith dan Kendall (1963) yang menjelaskan bahwa kepuasan kerja sebagai perasaan seseorang pegawai mengenai pekerjaannya. Secara sederhana,job satisfaction dapat diartikan sebagai apa yang membuat orang-orang menginginkan dan menyenangi pekerjaan. Apa yang membuat mereka bahagia dalam pekerjaannya atau keluar dari pekerjaanya. Menurut Robin dalam Siahaan, E. E. Edison (2002) menyebutkan sumber kepuasan kerja terdiri atas pekerjaan yang menantang, imbalan yang sesuai, kondisi/ lingkungan kerja yang mendukung, dan rekan kerja yang mendukung. Smith, Kendal dan Hulin dalam Bavendam, J. (2000) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja bersifat multidimensi dimana seseorang merasa lebih atau kurang puas dengan pekerjaannya, supervisornya, tempat kerjanya dan sebagainya. Porter dan Lawler seperti juga dikutip oleh Bavendam, J. (2000) telah membuat diagram kepuasan kerja yang menggambarkan kepuasan kerja sebagai respon emosional orang-orang atas kondisi pekerjaannya. Kepuasan kerja bersifat multidimensional maka kepuasan kerja dapat mewakili sikap secara menyeluruh (kepuasan umum) maupun mengacu pada bagian pekerjaan seseorang. Artinya jika secara umum mencerminkan kepuasannya sangat tinggi tetapi dapat saja seseorang akan merasa tidak puas dengan salah satu atau beberapa aspek saja misalnya jadwal liburan (Davis, Keith. 1985).
2.2.1 Definisi Job satisfaction Job satisfaction atau kepuasan kerja adalah sikap yang timbul berdasarkan penilaian terhadap situasi kerja menurut Jewell L.N & Marc Siegall (1998). Sedangkan menurut Wexley dan Yulk ( 1977 ) dalam bukunya yang berjudul Organisational behaviour And Personnel Psychology halaman 99 yang dikutip oleh Moch. As’ad ( 2004 : 105 ), ada dasarnya teori –teori tentang kepuasan kerja yang lazim dikenal ada tiga macam yaitu : a. Discrepancy theory yang dipelopori oleh Porter menjelaskan bahwa kepuasan kerja seseorang diukur dengan menghitung selisih apa yang seharusnya diinginkan dengan kenyataan yang dirasakan. Kemudian Locke dalam moch. As’ad (2004 : 105) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung pada perbedaan antara apa yang diinginkan dengan apa yang menurut persepsinya telah diperoleh melalui pekerjaannya. Orang akan puas apabila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang diinginkan maka orang akan menjadi lebih puas lagi walaupun terdapat
“discrepancy”, tetapi merupakan discrepancy positif. Sebaliknya, semakin jauh dari kenyataan yang dirasakan itu dibawah standarminimum sehingga menjadi negatif discrepancy, maka makin besar pulaketidakpuasan terhadap pekerjaannya. b. Equity theory dikembangkan oleh Adams (1963). Adapun pendahulu dari teori ini adalah Zaleznik (1958) dikutip dari Locke (1969). Dalam equity theory, kepuasan kerja seseorang tergantung apakah ia merasakan keadilan atau tidak atas situasi. Perasaan keadilan atau ketidakadilan atas suatu situasi diperoleh dengan membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain. Menurut teori ini, elemen – elemen dari equity ada tiga yaitu : input, out comes, comparation person (Wexley dan Yulk, 1977) dalam bukunya Moch. As’ad (2004 : 105 ). Yang dimaksud dengan input adalah sesuatu yang berharga yang dirasakan pegawai/ karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman kerja, dan kecakapan. Out comesadalah sesuatu yang berharga yang dirasakan pegawai/ karyawan sebagai hasildari pekerjaannya, seperti gaji, status, symbol, dan penghargaan. Comparation person adalah dengan membandingkan input, out comes terhadap orang lain. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan bisa menimbulkan kepuasan, tetapi bisa pula tidak. Akan tetapi bila perbandingan itu tidak seimbangdan merugikan, akan menimbulkan ketidakpuasan. ( Moch. As’ad 2004 : 105 ). Kelemahan dari teori ini adalah kenyataan bahwa kepuasan kerja seseorang juga ditentukan oleh individual differences (misalnya pada waktu orang melamar kerja apabila ditanya tentang besarnya upah/ gaji yang diinginkan). Selain itu, tidak liniernya hubungan antara besarnya kompensasi dengan tingkat kepuasan lebih banyak bertentangan dengan kenyataan (Locke,1969) yang dikutip oleh Moch.As’ad (2004 : 105 ). c. Two factor theory, kepuasan kerja itu merupakan dua hal yang berbeda, artinya kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu tidak merupakan suatu variable continur (berulang). Herzberg dalam bukunya Moch. As’ad (2004:105) membagi situasi yang mempengaruhi perasaan seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok yaitu kelompok satisfiers atau motivator yang terdiri dari prestasi pengakuan, tanggung jawab. Dan yang kedua yaitu kelompok sebagai sumber ketidakpuasan atau dissatisfiers yang terdiri dari prosedur kerja, upah atau gaji, hubungan antar karyawan/ pegawai.
Menurut Kinicki (2005), kepuasan kerja berhubungan dengan variabel-variabel. Pertama, Motivasi memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kepuasan kerja. Manajer harus mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka dalam mempengaruhi kepuasan karyawan dan meningkatkan motivasi karyawan melalui berbagai usaha meningkatkan kepuasan kerja. Kedua, Berhentinya karyawan (Turnover) Berhentinya karyawan penting untuk mendapat perhatian para manajer karena mengganggu kelangsungan organisasi dan juga sangat menghabiskan biaya. Perputaran karyawan dapat dikurangi dengan meningkatkan kepuasan kerja. Ketiga, Ketidakhadiran (Absences) Karyawan yang kurang puas cenderung tingkat ketidakhadirannya tinggi. Mereka sering tidak badir kerja dengan alasan yang kurang logis. Kemudian definisi kepuasan kerja Menurut Sutrisno (2012), kepuasan kerja karyawan merupakan masalah penting yang diperhatikan dalam hubungannya dengan produktivitas kerja karyawan dan ketidakpuasan sering dikaitkan dengan tingkat tuntutan dan keluhan pekerjaan yang tinggi. Pekerja dengan tingkat ketidakpuasan yang tinggi lebih mungkin untuk melakukan sabotase. Robbins & Judge (2011) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan positif pada suatu pekerjaan, yang merupakan dampak atau hasil evaluasi dari berbagai aspek pekerjaan tersebut. Kepuasan kerja merupakan penilaian dan sikap seseorang atau karyawan terhadap pekerjaannya dan berhubungan dengan lingkungan kerja, jenis pekerjaan, hubungan antar teman kerja, dan hubungan sosial di tempat kerja. Secara sederhana kepuasan kerja atau job satisfaction dapat disimpulkan sebagai apa yang membuat seseorang menyenangi pekerjaan yang dilakukan karena mereka merasa senang dalam melakukan pekerjaannya.
2.2.2 Faktor-faktor Job satisfaction Menurut pendapat Gilmer (1966) dalam bukunya Moch. As’ad (2004 : 114 ) tentang faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai berikut: a.
Kesempatan untuk maju, dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh kesempatan peningkatan pengalaman dan kemampuan kerja selama bekerja.
b. Keamanan kerja, faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengarugi perasaan kerja karyawan selama bekerja. c. Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang yang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya.
d. Manajemen kerja yang baik adalah yang memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil, sehingga karyawan dapat bekerja dengan nyaman. e. Kondisi kerja, dalam hal ini adalah tempat kerja, ventilasi, penyinaran, kantin, dan tempat parkir. f. Komunikasi yang lancar antara karyawan dengan pimpinan banyak dipakai untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak pimpinan untuk mau mendengar, memahami danmengakui pendapat atau prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbukan kepuasan kerja. g. Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.
Menurut pendapat Moh. As’ad (2004:115), faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja antara lain : a. Faktor psikologis, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan pegawai yang meliputi minat, ketentraman kerja, sikap terhadap kerja, perasaan kerja. b. Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik pegawai, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktukerja, perlengkapan kerja, sirkulasi udara, kesehatan pegawai. c. Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan pegawai, yang meliputi sistem penggajian, jaminan sosial,besarnya tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan lain-lain. d. Faktor Sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi social baik antara sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karywan yang berbeda jenis pekerjaannya.
2.3
Kerangka Berpikir Berdasarkan data tabel turnover, ketidakhadiran dan workload, serta hasil wawancara
dengan beberapa karyawan menunjukan bahwa terindikasikan adanya kejenuhan kerja dan gejala workload yang terjadi pada karyawan. Gejala workload dengan beberapa contoh misalnya setiap hari rasanya seperti hari paling sial sedunia, memikirkan pekerjaan rasanya seperti membuang-buang energi saja, rasanya sangat letih sepanjang hari, semua pekerjaan rasanya seperti berlebihan, rasanya tidak pernah ada yang menghargai pekerjaan yang dilakukan. Serta mengakibatkan seorang karyawan menurunnya tingkat job satisfaction / kepuasan kerja. Apabila terjadi menurunnya tingkat kepuasan kerja pada karyawan maka
banyak karyawan yang memilih untuk tidak hadir kerja atau bahkan memilih resign dari perusahaan. Burnout / kejenuhan kerja merupakan kondisi dimana seorang karyawan mengalami gangguan psikologis maupun fisik dalam menghadapi suatu permasalahan atau pekerjaan yang berakibat merusak kinerja karyawan. Apabila burnout tersebut tidak dapat tertangani maka akan berakibat pada rendahnya tingkat Job satisfaction. Saat ini, burnout sedang banyak dialami oleh kalangan karyawan di dalam perusahaan. Burnout juga memiliki beberapa dimensi menurut Maslach & Jackson (2001), yaitu kelelahan secara emosional yang terjadi ketika individu merasa terkuras secara emosional karena banyaknya tuntutan pekerjaan. Pada dimensi ini, akan muncul perasaan frustasi, putus asa, sedih, tidak berdaya, tertekan, apatis terhadap pekerjaan dan merasa terbelenggu oleh tugas-tugas dalam pekerjaan sehingga seseorang merasa tidak mampu memberikan pelayanan secara psikologis. Selain itu mereka mudah tersinggung dan mudah marah tanpa alasan yang jelas. Pada beberapa peristiwa yang ditemui oleh penulis, dimana pada saat itu penulis pernah melakukan praktik magang, penulis menemukan bahwa ada hal- hal yang mengindikasikan terjadinya kejenuhan pada karyawan di dalam perusahaan. Hal tersebut dapat dibuktikan dari keluhan yang diberikan dari beberapa karyawan di perusahaan. Misalnya, tugas menumpuk dan jam kerja yang terlalu overload, jam kerja yang tidak sesuai dengan jadwal pada beberapa bagian contoh seharusnya 8 jam kerja tetapi harus 10-12jam kerja, peraturan yang tidak sesuaidan tidak diketahui oleh karyawan, serta kurangnya reward yang diberikan pada pimpinan kepada karyawan. Sehingga karyawan memiliki gejala workload. Dari definisi - definisi yang ada dapat di simpulkan burnout merupakan suatu perilaku yang ditunjukan pada karyawan yang disebabkan oleh workload yang dialami pada karyawan. Kejenuhan dialami oleh karyawaan yang tidak mendapatkan reward dari pimpinan selama jangka waktu yang lama. Selain itu kebosanan dan kecenderungan untuk menarik diri dari pekerjaan karena banyaknya tuntutan pekerjaan yang diberikan oleh pimpinan. Mereka memiliki kecenderungan untuk menunda atau mengulur waktu supaya dapat menghindari suatu pekerjaan yang menjadi kewajiban mereka. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui lebih dalam apakah ada hubungan antara burnout dengan job satisfaction pada karyawan PT. Danapati Abinaya Investama JAK-TV di Jakarta.
Dalam kerangka berfikir dapat dilihat pada bagan berikut:
‘WORKLOAD’
BURNOUT
JOB SATISFACTION
Gambar 1.1 Kerangka Berfikir Sumber: diolah oleh peneliti (2015)
2.4
Hipotesis Berdasarkan pertanyaan dan asumsi peneliti, hipotesis dalam penelitian ini adalah : H0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara burnout dengan job satisfaction pada karyawan PT. Danapati Abinaya Investama JAK-TV Ha : Ada hubungan yang signifikan antara burnout dengan job satisfaction pada karyawan PT. Danapati Abinaya Investama JAK-TV.