BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Ordo primata terdiri atas tiga subordo, yaitu prosimii, tarsiidea, dan anthropoidea. Orangutan termasuk ke dalam subordo anthropoidea dengan superfamili hominoidea dan famili pongidae (ape) (Napier dan Napier 1985). Di Indonesia terdapat dua subspesies orangutan (Pongo pygmaeus), yaitu orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelli) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) (Supriatna dan Wahyono 2000, Simons 2007). Penamaan orangutan diambil dari bahasa Indonesia atau bahasa Melayu, yaitu dari kata manusia (orang) dan hutan (utan) yang berarti “manusia hutan” (Galdikas 1981). Orangutan ini dibedakan menjadi dua subspesies berdasarkan daerah penyebarannya (Gambar 1) dan perbedaan genetik yang cukup jelas (Fischer et al. 2006). Perbedaan daerah penyebaran ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan morfologi tubuh orangutan karena dipengaruhi oleh pola adaptasi dan tingkah laku yang disesuaikan dengan tempat hewan ini berada (Zhi et al. 1996). Misalnya, perbedaan makanan yang dikonsumsi dapat mempengaruhi struktur dan kecepatan pertumbuhan gigi. Akibatnya struktur anatomi tengkorak hewan ini juga berubah (Walker 1987).
Gambar 1 Peta penyebaran orangutan Kalimantan (P.p. pygmaeus) di pulau Kalimantan dan orangutan Sumatera (P.p. abelli) di pulau Sumatera yang ditandai dengan daerah yang diarsir hitam (Sumber: Delgado dan Shaick 2000)
5
Klasifikasi orangutan (Napier dan Napier 1985; Supriatna dan Wahyono 2000): Class
: Mammalia
Ordo
: Primata
Subordo
: Anthropoidea
Family
: Pongidae
Genus
: Pongo
Spesies
: Pongo pygmaeus
Subspesies
: Pongo pygmaeus pygmaeus (orangutan Kalimantan) : Pongo pygmaeus abelii (orangutan Sumatera)
2.2 Biologi Orangutan Orangutan adalah salah satu kera besar dari famili pongidae (Napier dan Napier 1985; Kleiman 2010). Hewan ini memiliki ukuran tubuh yang besar, tidak mempunyai ekor, tangan lebih panjang dari kaki, dan kepala yang relatif besar. Tingginya dapat mencapai 1.4 m (kira-kira 2/3 kali tinggi gorilla) dengan berat badan antara 30-90 kg (Maryanto et al. 2008). Jika dilihat dari ciri morfologi tubuh, dua subspesies orangutan ini dapat dibedakan dari rambutnya (Maple 1980). Orangutan Sumatera memiliki rambut yang lebih halus dan berwarna coklat kekuningan, sedangkan orangutan Kalimantan memiliki rambut yang lebih kasar dan berwarna coklat tua sampai kehitaman (Supriatna dan Wahyono 2000). A
B
Gambar 2 Orangutan Kalimantan (P.p. pygmaeus) yang sedang berjalan secara bipedal (A) dan sedang bergerak di atas pohon menggunakan keempat alat geraknya (B) (Sumber: Rowe 1996).
6
Orangutan memiliki kaki dengan susunan jari yang mirip dengan kaki manusia, yaitu plantigradi (bentuk digit dan metatarsal yang rata dengan tanah) (Simons 2007). Tetapi, orangutan dan manusia memiliki kebiasaan berjalan yang berbeda. Orangutan dengan cara quadrupedal (menggunakan keempat anggota geraknya
sebagai
alat
lokomosi)
sedangkan
manusia
dengan
bipedal
(menggunakan dua alat gerak sebagai alat lokomosi). Orangutan juga memiliki kemampuan berjalan dengan bipedal seperti pada manusia, tetapi jarang dilakukan (Maple 1980; Platt dan Ghazanfar 2010). Disamping itu, kaki orangutan juga memiliki kemampuan seperti tangan, yaitu dapat memegang atau merenggut sesuatu. Kemampuan ini sangat mendukung hewan ini untuk dapat berpegangan dengan erat ketika berayun atau memanjat pohon dan berpindah ke dahan yang lain (Simons 2007) (Gambar 2). Orangutan jantan memiliki sexual dimorfism yang tampak mencolok dari ukuran tubuhnya (Galdikas 1984). Ukuran tubuh orangutan jantan dewasa bisa mencapai dua kali ukuran tubuh betina dewasa (Bennet et al. 1995). Selain itu, juga dapat terlihat dari bentuk kepalanya. Kepala orangutan jantan dewasa terlihat lebih besar dibandingkan dengan betina dewasa. Hal ini karena orangutan jantan dewasa memiliki bantalan pipi (cheek pad) yang besar dan kantong leher menyerupai balon sehingga ukuran kepalanya tampak semakin besar (Galdikas 1984) (Gambar 3). Ciri lain juga ditemukan pada gigi orangutan, yaitu gigi taring jantan dewasa terlihat lebih besar dan kuat dibandingkan pada betina dewasa (Maple 1980). Rata-rata lama hidup orangutan adalah 40 tahun dengan tingkatan umur, yaitu bayi (infant) 0-4 tahun, anak (juvenile) 4-7 tahun, remaja (adolescent) 7-15 tahun, dewasa (adult) 15-35, dan tua (old) lebih dari 35 tahun. Orangutan akan mencapai masa pubertas pada umur 7 tahun, kematangan seksual pada umur 6-8 tahun dan melahirkan pertama kali pada umur 12 tahun. Dengan jumlah anak yang dilahirkan biasanya adalah satu atau dua ekor. Disamping itu, bantalan pipi dan kantung suara pada orangutan jantan akan mulai berkembang pada tahun 12-14 tahun (Bennet et al. 1995; Goodal 1996).
7
A
B
Gambar 3 Komparasi wajah orangutan Kalimantan jantan (A) dan Betina (B) dewasa. Bantalan pipi dan kantong suara terlihat sangat berkembang pada orangutan Kalimantan jantan dewasa (Sumber: Simons 2007; Anonim 2011). 2.3 Habitat dan Tingkah Laku Orangutan sesuai dengan namanya, memiliki habitat di hutan. Hewan ini sering mendiami daerah banjir, rawa gambut, tanah aluvial di sepanjang sungai, dan sedikit di dataran tinggi. Umumnya daerah yang didiami oleh hewan ini memiliki ketinggian di bawah 1000 m dpl dan lebih banyak dijumpai di sekitar 500 m dpl. Namun, di Sabah Malaysia, hewan ini hidup di ketinggian 700-1300 m dpl. Daerah jelajah orangutan jantan 1-6 km2 dan betina 0,5-6 km2. Dalam satu hari hewan ini dapat berjalan lebih dari 1300 m (Supriatna dan Wahyono 2000). Orangutan adalah hewan diurnal, yang aktif pada siang hari dan juga merupakan hewan arboreal, yang biasanya menghabiskan waktunya di atas pohon (Goodal 1996; Platt dan Ghazanfar 2010). Hal ini dibuktikan dengan aktivitas keseharian yang biasa dilakukannya, yaitu berpindah di atas pohon dan hanya sesekali di permukaan tanah (teresterial), beristirahat atau tidur dengan bersandar dan duduk pada sebuah cabang, serta makan dan membuat sarang juga dilakukan di atas pohon (Galdikas 1984). Orangutan termasuk ke dalam golongan hewan omnivora yang cenderung frugivora (Maple 1980). Makanannya berupa buah, daun muda dan serangga. Hewan ini biasanya mengkonsumsi berbagai makanan yang bersumber dari pepohonan (Supriatna dan Wahyono 2000). Kira-kira 60% makanannya adalah
8
buah-buahan, selebihnya adalah berupa daun muda, tunas pohon, kulit kayu, serangga, telur, anak burung, dan tupai. Diperkirakan terdapat lebih dari 400 jenis tumbuhan yang menjadi sumber makanan hewan ini (Galdikas 1984; Goodal 1996). Orangutan merupakan hewan yang memiliki kebiasaan hidup soliter (Rodman 1973). Hal ini ditandai dengan sebagian besar masa hidupnya adalah sendiri. Satuan dasar populasi hewan ini terdiri atas, satu sampai dua anak yang belum mandiri, atau hewan muda dalam masa peralihan (pradewasa) yang hidup dalam kesatuan dengan induk yang melahirkannya, atau jantan dan betina dewasa yang hidup soliter. Satu-satunya kelompok sosial orangutan yang berlangsung lama adalah seekor induk dan anak sampai mandiri (Galdikas 1984). Dalam melakukan interaksi atau berkomunikasi, orangutan memiliki kemampuan dalam mengekpresikan wajahnya seperti primata lainnya. Ekspresi wajah pada orangutan biasanya berupa memperluas daerah bibir ke depan (funnel face), memperlihatkan gigi (bare teeth), menyeringai, menguap, dan merayu atau bercanda (playface) (Maple 1980). Tetapi kebiasaan mengekpresikan wajah ini lebih sedikit dibandingkan primata lainnya karena orangutan merupakan primata yang hidup soliter. Bentuk komunikasi lain yang sering dilakukan oleh orangutan adalah melakukan seruan panjang (long call). Seruan ini biasanya sangat keras dan berlangsung lama kira-kira satu sampai dua menit, sehingga dapat terdengar dari jarak sejauh 2 km. Seruan ini biasanya dilakukan oleh orangutan jantan untuk menandai
daerah
kekuasannya.
Orangutan
betina
kadang-kadang
juga
mengeluarkan seruan yang mirip dengan seruan ini yang dilakukan ketika berinteraksi dengan anak yang sedang disapih (Galdikas 1984).
2.4 Komparasi Tengkorak Tengkorak merupakan bagian yang paling kompleks dari kerangka tubuh (Deblase dan Martin 1974). Bentuknya yang kompleks ini juga memiliki fungsi yang sangat kompleks, yaitu sebagai pelindung otak dan beberapa alat indera yang penting di daerah kepala (Warwick dan William 1973). Otak terdapat di dalam cavum cranii, alat pendengaran dan keseimbangan di dalam pars petrosa dari os temporale, alat penglihatan terdapat di kotak mata (orbita), alat penciuman di
9
dalam rongga hidung (cavum nasi), alat pengecapan atau lidah terdapat di rongga mulut (cavum oris) dan tempat permulaan dari saluran makanan serta saluran pernapasan yang terdapat di kaudal rongga mulut dan hidung (Frandson dan Whitten 1981). Selain itu, tengkorak juga memiliki fungsi khusus lainnya, seperti tempat memroses makanan (mengunyah atau mastikasi) dan tempat pembersitan otot untuk ekspresi wajah (Warwick dan Williams 1973). Tengkorak merupakan bagian tubuh yang sangat penting dalam identifikasi dan klasfikasi ordo primata (Notosusanto 2008). Selain itu, juga digunakan dalam menentukan taksonomi dan indikator perkembangan evolusi manusia. Tengkorak memiliki banyak variasi, baik dari segi bentuk maupun ukuran, dan keberadaan suatu bagian tengkorak pada suatu spesies. Variasi ini terjadi karena beberapa faktor, misalnya faktor makanan, alat indera, pola adaptasi, dan tingkah laku (Willey dan Mantagna 1963). Tulang-tulang penyusun tengkorak umumnya dihubungkan oleh sutura (Shier et al. 2001). Hubungan tulang ini bersifat kaku atau tidak dapat bergerak (Colville dan Bassert 2002). Beberapa macam tipe sutura, yaitu sutura serrata, sutura squamosa, sutura foliata, sutura harmonia, dan sutura coronal (Tortora dan Derrickson 2009). Selain itu, ditemukan juga hubungan persendian, yaitu antara tulang rahang atas dengan rahang bawah (os mandibula). Hubungan antar tulang ini dapat bergerak bebas dan tidak bersifat kaku (Collville dan Bassert 2002). Tengkorak merupakan tulang yang kompleks dan dapat dibagi menjadi dua bagian berdasarkan daerahnya, yaitu pars neurocranii (tulang-tulang yang turut membentuk cavum cranii) dan pars splanchnocranii (tulang wajah) (Shier et al. 2001). Tengkorak manusia memiliki perkembangan yang cukup besar pada bagian neurocranii. Perkembangan ini menggambarkan bahwa manusia memiliki volume otak yang besar. Berbeda dengan papio dan simpanse, bagian tengkorak yang memiliki perkembangan yang cukup besar adalah pars splanchnocranii. Pada primata ini, gigi dan rahangnya terlihat lebih berkembang sehingga mulut terlihat lebih besar dan panjang (Krieger 1982). Begitu juga dengan hewan piara terutama sekali pada herbivora (kuda, pemamah biak) dan babi, pars splanchnocranii juga lebih berkembang (Getty 1975; Frandson dan Whitten 1981). Dengan lebih
10
berkembang bagian tengkorak ini, maka didapat banyak tempat pertautan otot-otot pengunyah dan untuk penempatan gigi (Walker 1987).
2.4.1 Pars neurocranii Pars neurocranii adalah tulang-tulang yang turut membentuk cavum cranii (Leeson dan Leeson 1989). Bagian ini terdiri atas beberapa tulang, yaitu os occipitale, os interparietale, os parietale, os temporale, os frontale, os sphenoidale dan os ethmoidale (Tortora dan Derrickson 2009). Os occipitale Os occipitale adalah tulang yang membentuk bagian kaudal dan dasar tengkorak. Pada sapi, bagian kaudal tengkorak tidak hanya dibentuk oleh os occipitale tetapi juga dibentuk oleh os parietale, os frontale, os interparietale, dan os temporale (May 1955). Pada bagian dorsal dinding kaudal tengkorak disilang secara transversal oleh suatu peninggian tulang atau rigi yang disebut dengan crista nuchae. Rigi ini merupakan suatu peninggian garis yang memisahkan os parietale dengan os occipitale (Simons 2007). Berbeda pada manusia, yang memisahkan os occipitale dengan os parietale bukan berupa rigi atau peninggian tulang tetapi hanya berupa garis, yang disebut dengan sutura lambdoidea (Shier et al. 2001). Di bagian ventral dari crista nuchae terdapat suatu peninggian tulang yang disebut dengan protuberantia occipitalis externa. Peninggian ini berfungsi sebagai tempat bertautnya ligamentum nuchae yang dapat mendukung tegaknya kepala (Tortora dan Derrickson 2009). Os interparietale Os interparietale merupakan tulang kecil diantara os parietale dan squama occipitalis. Tulang ini jelas terlihat pada hewan muda, sedangkan pada hewan tua tulang ini bergabung menjadi satu tulang yang tidak dapat dibedakan (Colville dan Bassert 2002). Tulang ini tidak terdapat pada tengkorak manusia (Tortora dan Derrickson 2009). Pada bagian tengah os interparietale ini berjalan suatu rigi yang disebut dengan crista sagittalis externa (crista parietalis externa). Rigi ini tidak ditemukan pada sapi, domba dan babi (Deblase dan Martin 1974). Pada
11
anjing yang berkepala panjang, rigi ini terlihat sempit dan tinggi sedangkan anjing yang berkepala pendek rigi ini terlihat tebal dan lebar (Colville dan Bassert 2002). Os parietale Os parietale adalah sepasang tulang yang sebagian besar menempati daerah dorsolateral tengkorak kecuali pada sapi dan babi, tulang ini menempati dinding kaudal tengkorak (May 1955). Tulang ini berukuran besar terutama pada kucing, anjing dan manusia, tetapi relatif berukuran kecil pada kuda dan sapi (Conville dan Bassert 2002). Pada manusia, sepasang tulang ini dipisahkan oleh sutura sagittalis (Tortora dan Derrickson 2009). Os temporale Os temporale adalah tulang yang membentuk dinding lateral dari tengkorak dan berlokasi di bagian ventral os parietale. Tulang ini terdiri atas tiga bagian, yaitu pars petrosa, pars squamosa, dan pars tympanica. Pars petrosa dari os temporale adalah bagian tulang yang berada di bagian interna tengkorak, yang berada di antara os occipitale dan os parietale. Sebagian besar dari bagian ini terdapat di cavum cranii (ruang otak). Pars squamosa adalah bagian os temporale yang merupakan bidang luar (facies temporalis) yang berbentuk konveks dan turut membentuk fossa temporalis. Kemudian pars tympanica adalah bagian os temporale yang turut membentuk struktur telinga (Palastanga et al. 2002). Os frontale Os frontale adalah tulang yang membentuk bagian kening (dorsokranial tengkorak) (Warwick dan Williams 1973). Manusia memiliki satu os frontale (Tortora dan Derrickson 2009), tetapi kuda, sapi dan beberapa hewan piara memiliki sepasang os frontale (Walker 1987). Pada sapi, tulang ini sangat luas dan membentuk dinding dorsal, posterior, dan lateral dari tengkorak. Pertemuan antara os frontale dengan os parietale pada hewan ini dinamakan eminentia (torus) frontale dan di sebelah lateral dari torus ini terdapat processus cornualis (May 1955; Frandson 1992). Berbeda dengan sapi, os frontale pada kuda terletak di batas antara bagian wajah dan tengkorak, serta tidak memiliki processus cornualis. Disamping itu, os frontale pada ruminansia di bagian kaudal orbita membentuk penjuluran yang mengarah ke ventral, disebut dengan processus
12
zygomaticus dari os frontale. Penjuluran ini kemudian berhubungan dengan processus frontalis dari os zygomaticus (Getty 1975). Os frontale yang berbatasan dengan orbita disebut dengan daerah supraorbitalis (Warwick dan Williams 1973). Daerah ini pada beberapa primata mengalami suatu peninggian yang disebut dengan torus supraorbitale (Notosusanto 1986). Peninggian ini merupakan bagian yang cukup menonjol dan menjadi suatu bagian yang dipertimbangkan dalam menentukan filogeni primata. Keberadaan peninggian ini berhubungan dengan daerah neurocranium, orbita, dan wajah. Peninggian ini umumnya dimiliki oleh papio dan simpanse, sedangkan pada orangutan dan manusia peninggian ini kurang berkembang dan bahkan tidak ada (Shea 1986). Pada daerah ini terdapat suatu lubang yang disebut dengan foramen supraorbitalis yang berfungsi sebagai tempat lewatnya jaringan saraf dan pembuluh darah yang senama. Lubang ini terdapat pada tengkorak manusia, tetapi tidak terdapat pada tengkorak papio dan simpanse, sehingga diperkirakan manusia memiliki tingkat sensitifitas terhadap rangsangan yang lebih besar pada daerah orbita dibandingkan dua primata ini (Krieger 1982). Os sphenoidale Os sphenoidale adalah tulang yang berlokasi di bagian ventral kranium dan rostral os occipitale. Tulang ini terdiri atas corpus, dua pasang ala, dan sepasang processus pterygoideus (Getty 1975). Pada tulang ini terdapat fossa pituitari, tempat terdapatnya glandula pituitari yang merupakan kelenjar endokrin yang sangat penting. Jika tulang ini dipisahkan dari tulang kepala, tulang ini akan berbentuk kelelawar dengan sayap dan kaki yang panjang (Colville dan Bassert 2002). Os ethmoidale Os ethmoidale adalah tulang yang berlokasi di rostral os sphenoidale. Tulang ini terdiri atas, lamina cribrosa, lamina perpendicularis, dan labirynthus ethmoidalis. Tulang ini memiliki cribriform-cribriform (rongga-rongga) yang dilalui oleh banyak cabang saraf-saraf olfaktorius yang berasal dari bagian atas rongga hidung yang menuju ke otak dan berperan dalam membewa rangsangan pembauan. Lamina cribrosa adalah sekat antara cavum nasi dan cavum cranii,
13
lamina perpendicularis adalah sekat median yang tegak lurus dan menjadi bagian posterior dari septum nasi, dan labirynthus ethmoidalis adalah bagian os ethmoidale yang memiliki banyak keeping-keping tulang halus yang membentuk lingkaran-lingkaran dan terletak di anterior Lamina cribrosa (Colville dan Bassert 2002).
2.4.2 Pars splanchnocranii Pars splanchnocranii tulang-tulang yang membentuk daerah wajah. Bagian tulang ini meliputi regio orbitalis, nasalis, dan oralis dan disusun oleh beberapa tulang, yaitu os incisivum, os nasale, os maxilla, os lacrimale, os zygomaticum, os mandibula, os palatinum, os pterygoideum, dan os vomer (Frandson dan Whitten 1981). Os incisivum (os praemaxilla) Os incisivum adalah tulang yang terdapat di rostral tengkorak dan pada tulang ini tertanam dentes incisivi yang dimiliki oleh semua hewan domestik kecuali ruminansia, seperti sapi, kambing dan domba. Walaupun ruminansia ini tidak memiliki dentes incisivi pada rahang atas, os incisivus pada hewan ini memiliki dental pad yang keras (May 1955). Tulang ini masih terdapat pada primata, tetapi pada manusia os incisivum telah bergabung dengan os maxilla pada awal kehidupan sebelum lahir (Krieger 1982). Di kaudal dari dentes incisivi, pada beberapa hewan terdapat dua buah lubang yang berhubungan dengan cavum nasi, yaitu canalis interincisivus (Kent dan Carr 2001). Saluran ini merupakan tempat lewatnya udara pernapasan menuju ductus nasopalatinus tempat terdapatnya organum vomeronasale (organon jacobson). Organ ini sangat berkembang pada ular dan bangsa lizard. Anjing, kucing dan hewan piraan lain juga memiliki organ ini sebagai alat penciuman tambahan (Walker 1987; Kent dan Carr 2001). Pada bangsa burung, manusia dan beberapa primata organ ini kurang berkembang bahkan mengalami rudimenter, sehingga spesies ini tidak memiliki canalis interincisivus ini (Napier dan Napier 1985; Kent dan Carr 2001).
14
Os nasale Os nasale adalah tulang hidung yang terdapat di bagian dorsal dari rongga hidung. Tulang ini berbentuk jembatan yang terdiri atas dua bagian kiri dan kanan yang dihubungkan oleh suatu garis tengah yang disebut dengan sutura internasalis. Pada simpanse dan papio, hubungan antara tulang ini segera bersatu setelah lahir. Berbeda pada manusia, tulang tidak bersatu setelah lahir dan menjadi dua bagian tulang yang terpisah (Krieger 1982). Tulang ini memiliki beberapa variasi ukuran dan bentuk, tergantung spesies dan ras hewan. Pada papio dan simpanse tulang ini terlihat lebih pendek dan tipis jika dibandingkan pada manusia, sehingga lubang hidung dua primata ini terlihat lebih luas (Krieger 1982). Binatang dengan wajah yang panjang (dolichocephalic) seperti kuda, anjing ras borzoi dan whippet, os nasale-nya terlihat lebih panjang, sedangkan hewan yang wajahnya pendek (brachicephalic) seperti kucing dan ras anjing buldog, os nasale-nya terlihat lebih pendek dan triangular (Colville dan Bassert 2002). Os maxilla Os maxilla adalah tulang yang membentuk rahang dan langit-langit keras (hard palate). Pada tulang ini tertanam gigi rahang atas kecuali dentes incisivi yang tertanam pada os incisivum (Colville dan Bassert 2002). Pada kuda, di bagian kaudal tulang ini terdapat suatu rigi yang dikenal dengan crista facialis (Getty 1975). Di bagian dorsoanterior rigi ini terdapat suatu lubang yang penting, yaitu foramen infraorbitalis, sebagai tempat keluarnya n. infraorbitalis yang berfungsi untuk menginervasi daerah muka (Shier et al 2001; Tortora dan Derrickson 2009). Pada papio jumlah lubang ini bervariasi, dari tiga sampai sepuluh lubang. Pada simpanse dan manusia, lubang ini jumlahnya tidak sebanyak yang terdapat pada papio. Hal ini diduga pada daerah wajah, papio memiliki tingkat sensitifitas terhadap rangsangan yang lebih besar dibandingkan pada manusia dan simpanse. Pada tengkorak manusia, os maxilla membentuk penjuluran ke arah sutura zigomaticomaxillaris, dengan nama penjulurannya disebut dengan processus zygomaticus dari os maxilla (Warwick dan Williams 1973). Disamping itu, papio memiliki ciri yang mencolok pada os maxilla.
15
Ukuran os maxilla pada hewan ini besar dan memiliki permukaan yang rata. Dinding lateral dari os maxilla mengalami suatu lekukan yang dalam sehingga membentuk fossa maxilla. Lekukan ini berfungsi sebagai tempat perlekatan beberapa otot ekspresi wajah yang diduga cukup berkembang pada hewan ini (Krieger 1982). Os lacrimale Os lacrimale adalah tulang kecil dan tipis yang membentuk bagian medial orbita dan terletak di antara os ethmoidale dan os maxilla. Pada tulang ini terdapat suatu ruangan yang disebut dengan saccus lacrimalis (suatu kantong yang menghasilkan air mata) (Shier et al. 2001). Os zygomaticum Os zygomaticum disebut juga dengan os malare (Colville dan Bassert 2002). Tulang ini berbentuk segitiga tidak beraturan yang terletak diantara os lacrimale (dorsal) dan os maxilla (ventral dan anterior). Pada bagian lateral tengkorak tulang ini membentuk penjuluran ke arah kaudal, yaitu processus temporalis dari os zygomaticum. Penjuluran ini berhubungan dengan processus zygomaticus dari os temporale sehingga membentuk arcus zygomaticus (Shier et al. 2001). Pada kuda, terdapat processus zygomaticus dari os frontale yang berjalan ke arah dorsal yang juga turut membentuk arcus zygomaticus. Pada ruminansia, os zygomaticus juga memiliki penjuluran yang berjalan ke arah dorsal, yaitu processus frontalis. Penjuluran ini pada lateral orbita bertemu dengan processus zygomaticus dari os frontale. Jadi pada ruminansia os frontale tidak ikut membentuk arcus zygomaticus. Lengkungan ini hanya dibentuk oleh processus temporalis dari os zygomaticum dan processus zygomaticus dari os temporale (Getty 1975). Os mandibula Os mandibula adalah tulang yang membentuk rahang bawah dan merupakan tulang terbesar yang membentuk daerah wajah (Conville dan Bassert 2002). Tulang ini terdiri atas korpus dan rami. Corpus mandibulae adalah badan anterior os mandibula yang tebal dan mengandung gigi-gigi seri sedangkan rami mandibulae adalah cabang dari os mandibula yang berbentuk horizontal. Rami mandibulae terdiri atas processus condylaris dari os mandibula dan processus
16
coronoideus. Processus condylaris dari os mandibula ini berhubungan dengan fossa mandibularis dari os temporale (Shier et al. 2001; Tortora dan Derrickson 2009).
Hubungan
antara
dua
tulang
ini
disebut
dengan
articulatio
temporomandibularis yang dapat bergerak bebas (Sherwood et al. 2002). Os palatinum Os palatinum adalah tulang yang terletak di sebelah lateral choanae (pintu hidung belakang) dan di sebelah posterior os maxilla (Tortora dan Derrickson 2009). Tulang ini pada bagian posterior os maxilla membentuk bagian dari langitlangit keras yang disebut dengan palatum durum. Tulang ini memiliki dua bagian, yaitu pars horizontalis dan pars perpendicularis. Pars horizontalis membentuk bagian posterior dari palatum durum dan lantai dari rongga hidung, sedangkan pars perpendicularis membentuk dinding lateral dari rongga hidung (Shier et al. 2001). Os pterygoideum Tulang yang memiliki bidang kecil, panjang, dan terletak di sebelah medial os palatinum dan processus pterygoideus dari os sphenoidale. Di bagian anterior tulang ini terdapat suatu penjuluran tulang yang berbentuk kait ke arah ventral, yang disebut dengan hamulus pterygoideus (Palastanga 2002). Os vomer Os vomer merupakan tulang tunggal yang terlihat tipis yang turut membentuk bagian ventral septum nasii (Colville dan Bassert 2002). Tulang ini terdapat di dalam cavum nasii yang memanjang dari ujung anterior corpus sphenoidale sampai processus palatinus dari os incisivum. Bagian posterior tulang ini akan berhubungan dengan lamina perpendicularis dari os ethmoidale dan bersama-sama membentuk septum nasalis (Shier et al. 2001).