BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pap Smear 2.1.1. Definisi Pap Smear Tes Pap Smear adalah pemeriksaan sitologi dari serviks dan porsio untuk melihat adanya perubahan atau keganasan pada epitel serviks atau porsio (displasia) sebagai tanda awal keganasan serviks atau prakanker (Rasjidi, Irwanto, Sulistyanto, 2008). Pap Smear merupakan suatu metode pemeriksaan sel-sel yang diambil dari leher rahim dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Pap Smear merupakan tes yang aman dan murah dan telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang terjadi pada sel-sel leher rahim (Diananda, 2009). Pemeriksaan ini mudah dikerjakan, cepat, dan tidak sakit, serta bisa dilakukan setiap saat, kecuali pada saat haid (Dalimartha, 2004). Pap Smear pertama kali diperkenalkan tahun 1928 oleh Dr. George Papanicolou dan Dr. Aurel Babel, namun mulai populer sejak tahun 1943 (Purwoto & Nuranna, 2002).
2.1.2. Manfaat Pap Smear Pemeriksaan Pap Smear berguna sebagai pemeriksaan penyaring (skrining) dan pelacak adanya perubahan sel ke arah keganasan secara dini sehingga kelainan prakanker dapat terdeteksi serta pengobatannya menjadi lebih murah dan mudah (Dalimartha, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Pap Smear mampu mendeteksi lesi prekursor pada stadium awal sehingga lesi dapat ditemukan saat terapi masih mungkin bersifat kuratif (Crum, Lester, & Cotran, 2007). Manfaat Pap Smear secara rinci dapat dijabarkan sebagai berikut (Manuaba, 2005): a.
Diagnosis dini keganasan Pap Smear berguna dalam mendeteksi dini kanker serviks, kanker korpus endometrium, keganasan tuba fallopi, dan mungkin keganasan ovarium.
b.
Perawatan ikutan dari keganasan Pap Smear berguna sebagai perawatan ikutan setelah operasi dan setelah mendapat kemoterapi dan radiasai.
c.
Interpretasi hormonal wanita Pap Smear bertujuan untuk mengikuti siklus menstruasi dengan ovulasi atau tanpa
ovulasi,
menentukan
maturitas
kehamilan,
dan
menentukan
kemungkunan keguguran pada hamil muda. d.
Menentukan proses peradangan Pap Smear berguna untuk menentukan proses peradangan pada berbagai infeksi bakteri dan jamur.
2.1.3. Petunjuk Pemeriksaan Pap Smear American Cancer Society (2009) merekomendasikan semua wanita sebaiknya memulai skrining 3 tahun setelah pertama kali aktif secara seksual. Pap Smear dilakukan setiap tahun. Wanita yang berusia 30 tahun atau lebih dengan hasil tes Pap Smear normal sebanyak tiga kali, melakukan tes kembali setiap 2-3 tahun, kecuali wanita dengan risiko tinggi harus melakukan tes setiap tahun.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu wanita yang telah mendapat histerektomi total tidak dianjurkan melakukan tes Pap Smear lagi. Namun pada wanita yang telah menjalani histerektomi tanpa pengangkatan serviks tetap perlu melakukan tes Pap atau skrining lainnya sesuai rekomendasi di atas. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (1989) dalam Feig (2001), merekomendasikan setiap wanita menjalani Pap Smear setelah usia 18 yahun atau setelah aktif secara seksual. Bila tiga hasil Pap Smear dan satu pemeriksaan fisik pelvik normal, interval skrining dapat diperpanjang, kecuali pada wanita yang memiliki partner seksual lebih dari satu. Pap Smear tidak dilakukan pada saat menstruasi. Waktu yang paling tepat melakukan Pap Smear adalah 10-20 hari setelah hari pertama haid terakhir. Pada pasien yang menderita peradangan berat pemeriksaan ditunda sampai pengobatan tuntas. Dua hari sebelum dilakukan tes, pasien dilarang mencuci atau menggunakan pengobatan melalui vagina. Hal ini dikarenakan obat tersebut dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan. Wanita tersebut juga dilarang melakukan hubungan seksual selama 1-2 hari sebelum pemeriksaan Pap Smear (Bhambhani, 1996).
2.1.4. Prosedur Pemeriksaan Pap Smear Menurut Soepardiman (2002), Manuaba (2005), dan Rasjidi (2008), prosedur pemeriksaan Pap Smear adalah: 1.
Persiapan alat-alat yang akan digunakan, meliputi spekulum bivalve (cocor bebek), spatula Ayre, kaca objek yang telah diberi label atau tanda, dan alkohol 95%.
2.
Pasien berbaring dengan posisi litotomi.
3.
Pasang spekulum sehingga tampak jelas vagina bagian atas, forniks posterior, serviks uterus, dan kanalis servikalis.
Universitas Sumatera Utara
4.
Periksa serviks apakah normal atau tidak.
5.
Spatula dengan ujung pendek dimasukkan ke dalam endoserviks, dimulai dari arah jam 12 dan diputar 360˚ searah jarum jam.
6.
Sediaan yang telah didapat, dioleskan di atas kaca objek pada sisi yang telah diberi tanda dengan membentuk sudut 45˚ satu kali usapan.
7.
Celupkan kaca objek ke dalam larutan alkohol 95% selama 10 menit.
8.
Kemudian sediaan dimasukkan ke dalam wadah transpor dan dikirim ke ahli patologi anatomi.
2.1.5. Interpretasi Hasil Pap Smear Terdapat banyak sistem dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan Pap Smear, sistem Papanicolaou, sistem Cervical Intraepithelial Neoplasma (CIN), dan sistem Bethesda. Klasifikasi Papanicolaou membagi hasil pemeriksaan menjadi 5 kelas (Saviano, 1993), yaitu: a.
Kelas I
: tidak ada sel abnormal.
b.
Kelas II
: terdapat gambaran sitologi atipik, namun tidak ada indikasi adanya keganasan.
c.
Kelas III : gambaran sitologi yang dicurigai keganasan, displasia ringan sampai sedang.
d.
Kelas IV : gambaran sitologi dijumpai displasia berat.
e.
Kelas V : keganasan.
Universitas Sumatera Utara
Sistem CIN pertama kali dipublikasikan oleh Richart RM tahun 1973 di Amerika Serikat (Tierner & Whooley, 2002). Pada sistem ini, pengelompokan hasil uji Pap Semar terdiri dari (Feig, 2001): a.
CIN I merupakan displasia ringan dimana ditemukan sel neoplasma pada kurang dari sepertiga lapisan epitelium.
b.
CIN II merupakan displasia sedang dimana melibatkan dua pertiga epitelium.
c.
CIN III merupakan displasia berat atau karsinoma in situ yang dimana telah melibatkan sampai ke basement membrane dari epitelium.
Klasifikasi Bethesda pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988. Setelah melalui beberapa kali pembaharuan, maka saat ini digunakan klasifikasi Bethesda 2001. Klasifikasi Bethesda 2001 adalah sebagai berikut (Marquardt, 2002): 1.
2.
Sel skuamosa a.
Atypical Squamous Cells Undetermined Significance (ASC-US)
b.
Low Grade Squamous Intraepithelial Lesion (LSIL)
c.
High Grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL)
d.
Squamous Cells Carcinoma
Sel glandular a.
Atypical Endocervical Cells
b.
Atypical Endometrial Cells
c.
Atypical Glandular Cells
d.
Adenokarsinoma Endoservikal In situ
e.
Adenokarsinoma Endoserviks
Universitas Sumatera Utara
f.
Adenokarsinoma Endometrium
g.
Adenokarsinoma Ekstrauterin
h.
Adenokarsinoma yang tidak dapat ditentukan asalnya (NOS)
2.1. Kanker Serviks 2.2.1. Definisi Kanker Kanker berasal dari kata Latin untuk kepiting — tumor melekat erat ke semua permukaan yang dipijaknya, seperti kepiting (Kumar, Cotran, & Robbin, 2007). Kanker adalah istilah umum yang dipakai untuk menunjukkan neoplasma ganas. Neoplasma secara harfiah berarti pertumbuhan baru, yaitu massa abnormal dari sel-sel yang mengalami proliferasi. Sel-sel neoplasma berasal dari sel-sel normal, namun selama mengalami perubahan neoplastik mereka memperoleh derajat otonomi tertentu yaitu tumbuh dengan kecepatan yang tidak terkoordinasi dengan kebutuhan hospes dan fungsi yang sangat tidak bergantung pada pengawasan homeostasis sebagian besar sel tubuh lainnya (Wilson, 2005).
2.2.2. Definisi Kanker Serviks Kanker serviks adalah kanker yang terjadi pada serviks uterus, yaitu suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara uterus dengan vagina (Diananda, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Etiologi Kanker Serviks Penyebab langsung dari kanker serviks belum diketahui (Mardjikoen, 2007). Namun HPV (Human papilomavirus) dapat ditemukan pada 85-90% lesi pra-kanker dan neoplasma invasif (Crum, Lester, & Cotran, 2007). Menurut Crum, Lester, & Cotran (2007), HPV yang menginfeksi serviks uterus terdiri dari dua kategori, yaitu tipe risiko rendah (6, 11, 42, dan 44) dan tipe risiko tinggi (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 52, 56, 58, dan 59). HPV tipe risiko tinggi ditemukan pada 50-80% kasus SIL dan 90% kanker invasif. Sedangkan HPV tipe risiko rendah ditemukan pada Low-Grade SIL (Garcia, 2009). Tipe virus risiko tinggi menghasilkan protein yang dikenal dengan protein E6 dan E7 yang mampu berikatan dan menonaktifkan protein p53 dan pRb epitel serviks. P53 dan pRb adalah protein penekan tumor yang berperan menghambat kelangsungan siklus sel. Degan tidak aktifnya p53 dan pRb, sel yang telah bermutasi akibat infeksi HPV dapat meneruskan siklus sel tanpa harus memperbaiki kelainan DNA-nya (Edianto, 2006). Penyebaran virus ini terutama secara kontak langsung melalui hubungan seksual (Edianto, 2006).
2.2.3. Faktor Risiko Kanker Serviks Meskipun banyak wanita mengandung HPV, hanya sebagian yang menderita kanker serviks. Ini mengisyaratkan bahwa faktor lain berperan pada risiko kanker. Faktor risiko penting terjadinya kanker invasif pada serviks adalah usia dini saat mulai berhubungan kelamin (di bawah usia 16 tahun), memiliki banyak pasangan seksual, pasangan seksual memiliki riwayat banyak memiliki pasangan seksual, merokok, imunodefisiensi eksogen atau endogen, dan infeksi persisten oleh HPV risiko tinggi (Crum, Lester, & Cotran, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Insidensi karsinoma in situ meningkat sekitar lima kali lipat pada perempuan yang terinfeksi oleh virus imunodefisensi manusia jika dibandingkan dengan kontrol (Crum, Lester, & Cotran, 2007). Wanita perokok memiliki risiko dua kali lipat terhadap kanker serviks dibandingkan dengan wanita bukan perokok (Dalimartha, 2004). Bahan karsinogenik spesifik dari tembakau seperti nikotin dijumpai dalam lendir serviks wanita perokok. Bahan ini dapat merusak DNA sel epitel skuamosa dan bersama dengan infeksi HPV mencetuskan transformasi malignansi (Edianto, 2006). Kanker serviks jarang ditemukan pada perawan dan pada wanita yang pasangan seksualnya telah disirkumsisi. Insideni kanker serviks lebih tinggi pada mereka yang menikah daripada yang tidak menikah dan pada wanita dengan tingkat sosial ekonomi rendah. Selain itu insidensinya juga meningkat dengan tingginya paritas, apa lagi bila jarak persalinan terlampau dekat (Mardjikoen, 2007). Resiko noninvasif dan invasif kanker serviks telah menunjukkan hubungan dengan pemakaian kontrasepsi oral. Namun, penemuan ini hasilnya tidak selalu konsisten dan tidak semua studi dapat membenarkan perkiraan risiko ini. Beberapa studi yang lebih lanjut memerlukan konfirmasi atau menyangkal observasi mengenai kontrasepsi oral ini (Rasjidi, Irwanto, & Wicaksono, 2008). Ada beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa defisiensi asam folat dapat meningkatkan risiko terjadinya displasia ringan dan sedang, serta mungkin juga meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks pada wanita yang makanannya rendah beta karoten dan retinol (Diananda, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.2.4. Perkembangan Kanker Serviks Kanker serviks timbul di batas antara epitel yang melapisi ektoserviks (porsio) dan endoserviks kanalis serviks yang disebut sebagai squamo-columnar junction (Mardjikoen, 2005). Daerah ini disebut juga zona transformasi (Putra & Moegni, 2006). Serviks yang normal, secara alami mengalami proses metaplasia (erosi) akibat saling mendesaknya kedua jenis epitel yang melapisi (Mardjikoen, 2005). Pemahaman tentang metaplasia skuamosa merupakan kunci pemahaman konsep dari zona transformasi dan karsinogenesis serviks (Putra & Moegni, 2006). Dengan masuknya mutagen, porsio yang erosif dapat berubah menjadi patologis (displastik) menjadi tingkatan CIN I, CIN II, dan CIN II, dan karsinoma in situ untuk kemudian akhirnya menjadi karsinoma invasif (Mardjikoen, 2005). Periode laten dari CIN I sampai dengan karsinoma in situ tergantung daya tahan tubuh penderita. Umumnya fase pra-invasif berkisar antara 3-20 tahun (Mardjikoen, 2005). Karsinoma serviks tersering adalah karsinoma sel skuamosa (75%), diikuti oleh adenokarsinoma dan karsinoma adenoskuamosa (20%), serta karsinoma neuroendokrin sel kecil (kurang dari 5%).
2.2.5. Gejala dan Tanda Klinis Kanker Serviks Menurut Feig (2001), simptom kanker serviks menjadi jelas terlihat saat lesi servikal berada pada ukuran sedang, yaitu seperti cauliflower. Simptom kanker serviks terdiri dari beberapa tahap, yaitu (Feig, 2001) : a.
Tahap Awal -
Asimptomatik
Universitas Sumatera Utara
b.
-
Pendarahan vagina yang ireguler atau berkepanjangan
-
Pink discharge
-
Pendarahan pasca koitus atau brownish discharge
Tahap Pertengahan - Pendarahan pasca defekasi - Disuria atau hematuria
c.
Tahap Lanjut - Penurunan berat badan - Pendarahan, discharge berbau busuk - Nyeri hebat, penyebaran ke pleksus sakralis.
Tanda dini kanker serviks tidak spesifik seperti adanya sekret vagina yang agak banyak dan kadang-kadang disertai bercak pendarahan (Edianto, 2006). Pendarahan abnormal vagina ini merupakan simptom yang paling sering terjadi pada kanker serviks invasif. Pendarahan dapat terjadi pasca koitus, intermenstrual, atau pasca menopause (Hacker, 2004). Tanda yang lebih klasik adalah bercak pendarahan yang berulang, atau bercak pendarahan setelah bersetubuh atau membersihkan vagina (Edianto, 2006). Anemia akan menyertai sebagai akibat pendarahan pervaginam yang berulang (Mardjikoen, 2007). Perdarahan spontan saat defekasi terjadi akibat tergesernya tumor eksofitik dari serviks oleh skibala (Mardjikoen, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Pada kanker serviks juga dapat dijumpai sekret vagina yang berbau terutama dengan massa nekrosis lanjut. Nekrosis terjadi karena pertumbuhan tumor yang cepat tidak diimbangi dengan pertumbuhan pembuluh darah agar mendapat aliran darah yang cukup. Nekrosis ini menimbulkan bau yang tidak sedap dan reaksi peradangan nonspesifik (Edianto, 2006). Pada stadium lanjut dapat ditemui nyeri yang menjalar ke pinggul atau kaki ketika tumor telah menyebar ke luar dari serviks dan melibatkan jaringan di rongga pelvis seperti ureter, dinding panggul, atau nervus skiatik. Beberapa penderita mengeluhkan nyeri berkemih, hematuria, sulit berkemih, dan konstipasi (Edianto, 2006). Sebelum tingkat akhir (terminal stage), penderita meninggal akibat pendarahan yang eksesif, kegagalan faal ginjal akibat infiltrasi tumor ke ureter sebelum memasuki kandung kemih, yang menyebabkan obstruksi total (Mardjikoen, 2007).
2.2.6. Pencegahan Kanker Serviks Pencegahan kanker serviks terdiri dari beberapa tahap, yaitu (Sukardja, 2000) : 1.
Pencegahan Primer Pencegahan primer merupakan upaya dalam mengurangi atau menghilangkan kontak individu dengan karsinogen untuk mencegah terjadinya proses karsinogenesis. Pencegahan primer juga dapat dilakukan dengan menghindari berbagai faktor risiko, seperti dengan menunda aktivitas seksual sampai usia 20 tahun, berhubungan secara monogami, serta penggunaan vaksin HPV (Rasjidi, Irwanto, & Wicaksono, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.
Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan kasus-kasus dini kanker serviks,
sehingga
kemungkinan
penyembuhan
dapat
ditingkatkan.
Pencegahan sekunder termasuk skrining dan deteksi dini seperti Pap Smear, kolposkopi, servikografi, Pap net, dan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA). 3.
Pencegahan Tersier Pencegahan tersier merupakan pencegahan komplikasi klinik ndan kematian. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan pengobatan yang tepat berupa operasi, kemoterapi, atau radioterapi.
2.2. Pengetahuan 2.3.1. Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui
pengamatan
inderawi.
Pengetahuan
muncul
ketika
seseorang
menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya (Suhartono, 2005).
2.3.2. Hal-Hal yang Mempengaruhi Pengetahuan Menurut Meliono (2007), pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a.
Pendidikan Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, yang bertujuan untuk mencerdaskan manusia.
Universitas Sumatera Utara
b.
Media Media adalah sasaran yang dapat dipergunakan oleh seseorang dalam memperoleh pengetahuan, contohnya televisi, radio, koran, dan majalah.
c.
Paparan Informasi Informasi adalah data yang diperoleh dari observasi terhadap lingkungan sekitar yang diteruskan melalui komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
2.3.3. Pengetahuan dan Perilaku Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Menurut Notoatmodjo (1996), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi
(application),
analisis
(analysis),
sintesis
(synthesis),
evaluasi
(evaluation). Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bertahan lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003). Menurut Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni awareness, interest, evaluation, trial, dan adoption. Pada tahap awareness (kesadaran), seseorang menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu. Selanjutnya orang tersebut mulai tertarik (interest) kepada stimulus. Tahap selanjutnya yaitu evaluation, dimana orang tersebut menimbang-nimbang baik dan buruknya stimulus tersebut terhadap dirinya. Kemudian orang tersebut mulai mencoba perilaku baru (trial). Pada tahap
Universitas Sumatera Utara
akhir, yaitu adoption, individu tersebut telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Namun pada penelitian Rogers selanjutnya menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang didasari oleh pengetahuan seperti ini, maka perilaku tersebut akan lebih tahan lama (long lasting).
Universitas Sumatera Utara