BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas beberapa teori yang berkaitan dengan variabel-variabel yang akan diteliti pada penelitian ini.
2.1 Pernikahan Pernikahan merupakan awal terbentuknya kehidupan keluarga. Pernikahan, dengan kata dasar nikah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) didefinisikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi), perkawinan, membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau istri. Menurut Olson DeFrain (2006), pernikahan merupakan suatu komitmen secara emosi maupun hukum yang sah antara dua orang untuk berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagai macam tugas dan dalam hal keuangan. Pernikahan menurut Papalia (2002) merupakan faktor yang sangat penting dalam menciptakan kebahagiaan individu, bahkan lebih penting daripada pekerjaan, pertemanan dan lain sebagainya. Pada umumnya, individu mengharapkan kesuksesan dalam kehidupan pernikahannya. Kesuksesan tersebut dapat tercermin dari kebertahanan dan kualitas pernikahan, terpenuhinya cita-cita yang diidamkan pasangan, terpenuhi kebutuhan seperti kebutuhan psikologis, kebutuhan sosial, dan kebutuhan seksual diantara kedua belah pihak, serta terciptanya kepuasan pernikahan pada pasangan (DeGenova, 2008). Agar pernikahan dapat terwujud sesuai dengan harapan kita, maka dibutuhkan kesiapan sebelum menikah.
2.1.1 Kesiapan Menikah Konsep kesiapan menikah Wiryasti diperoleh melalui studi penelitian dari Fowers & Olson (1992). Menurut Fowers & Olson (1992), dibutuhkan kemampuan-kemampuan dasar dalam pernikahan seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan dalam finansial, dan kemampuan-kemampuan lain karena hal tersebut sangatlah penting dalam menentukan keberhasilan awal pernikahan pada pasangan. Kurangnya kemampuan-kemampuan tersebut dapat terlihat dari tingkat perceraian yang tinggi pada pasangan individu yang belum lama menikah pada saat studi dilakukan yaitu, 50% (Olson & DeFrain, 1997, dalam Olson & Olson). Oleh sebab itu, pada tahun 1978, inventori PREPARE/ENRICH dikembangkan berdasarkan indikator-indikator
teoritis dan empiris dari permasalahan-permasalahan dan konflik-konflik yang umum terjadi pada pernikahan. Indikator ini terdiri dari 4 kelompok utama yaitu personality issues, intrapersonal issues, interpersonal issues, dan external issues.
Pada studi yang dilakukan Fowers dan Olson (1992) disimpulkan bahwa kepuasan dan keberhasilan pernikahan dapat diprediksi dari kualitas hubungan sebelum menikah dan pernikahan dapat ditingkatkan dan distabilisasi melalui intervensi sebelum pernikahan. Intervensi yang dilakukan akan lebih sesuai, efektif dan efisien bila sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh pasangan yang akan menikah. Maka dari itu, Fowers dan Olson (1992) mengembangkan tipologi pasangan berdasarkan inventori PREPARE agar dapat membantu dalam menemukan intervensi yang sesuai. Mereka pun membaginya kedalam 4 tipe pasangan yaitu, vitalized couples, harmonious couples, traditional couples, dan conflicted couples. Karakteristik dari tipe-tipe pasangan menurut Fowers dan Olson (1992) adalah sebagai berikut: A.
Vitalized couples
Pasangan yang memiliki tingkat kepuasan yang tinggi pada keseluruhan hubungannya. Pasangan ini memiliki nilai yang tinggi pada kenyamanan dalam mendiskusikan hubungannya masing-masing, dan dapat menyelesaikan masalahnya bersama-sama. B.
Harmonious couples
Pasangan yang memiliki tingkat kepuasan yang sedang pada hubungannya. Pasangan ini menyatakan bahwa secara relatif mereka puas akan kepribadian dan perilaku pasangannya, merasa dimengerti oleh pasangannya, dapat mendiskusikan perasaannya satu sama lain, dapat menghadapi perbedaan-perbedaan pada pasangannya, dan merasa nyaman dengan teman-teman dan keluarga pasangannya.
C.
Traditional couples
Pasangan ini memiliki ketidakpuasan pada area interaksional hubungan mereka, tapi memiliki kekuatan dalam area-area yang melibatkan pengambilan keputusan dan perencanaan masa depan. D.
Conflicted couples
Pada pasangan ini, mengidikasikan kesulitan pada semua skala PREPARE. Pasangan ini menyatakan ketidakpuasannya terhadap kepribadian dan kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki pasangannya.
Kemudian, pada tahun 1996, Fowers & Olson membuat program pre-marital PREPARE guna melihat kekuatan dan kelemahan dari pasangan yang sudah akan menikah, dimana tujuan program tersebut adalah mengantisipasi ketidakpuasan yang akan terjadi diantara pasangan. Pada tahun 2003, Risnawaty mengadaptasi PREPARE/ENRICH ke dalam bahasa Indonesia, yang kemudian dinamakan Inventori Kesiapan Menikah. Inventori Kesiapan Menikah pun kembali diadaptasi secara lebih mendalam oleh Wiryasti pada tahun 2004, yang kemudian berubah nama menjadi Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah.
2.1.2 Definisi Kesiapan Menikah Menurut Larson (1988 dalam Badger, 2005) kesiapan menikah adalah evaluasi subjektif individu terhadap kesiapan dirinya untuk mengemban tanggung jawab dan tantangan dalam pernikahan. Menurut Holman & Li (1997), kesiapan menikah merupakan kemampuan yang dipersepsi oleh individu untuk menjalankan peran dalam pernikahan dan merupakan bagian dari proses memilih pasangan atau perkembangan hubungan. Kesiapan menikah menurut Wiryasti (2004) merupakan kemampuan individu untuk menyandang peran barunya, yaitu sebagai suami dan istri, dan digambarkan oleh adanya faktorfaktor eksternal seperti kematangan pribadi, pengalaman dalam menjalin hubungan interpersonal, usia minimal dewasa muda, adanya sumber finansial dan studi yang telah selesai. Berdasarkan definisi kesiapan menikah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesiapan menikah merupakan kemampuan individu untuk mengemban tanggung jawab dan menjalankan peran dalam pernikahannya kelak.
2.1.3 Komponen Kesiapan Menikah Terdapat komponen-komponen dalam kesiapan menikah yang perlu untuk diukur. Komponen tersebut diukur menggunakan Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah yang dikembangkan oleh Wiryasti (2004) yang telah merangkum komponen-komponen kesiapan menikah dari beberapa ahli, yaitu Holman & Larson (1994), Fowers & Olson (1996), dan
Risnawaty (2003). Berikut komponen-komponen perbandingan yang melatarbelakangi definisi kesiapan menikah menurut Wiryasti (2004) :
Tabel 2.1 Tabel Perbandingan Kompoen Kesiapan Menikah Holman & Larson
Fowers & Olson
Risnawaty
Wiryasti
(1992)
(2003)
(2004)
•
Komunikasi
Personality Issues
•
Komunikasi
•
Komunikasi
•
Resolusi
(Kepribadian)
•
Keuangan
•
Keuangan
•
Anak dan
•
Anak dan
•
Konflik
-
Assertiveness
Keluarga
-
Self confidence
Besar
-
Avoidance
(Family of
-
Partner
peran suami
peran suami
dominance
istri
dan istri
origin) •
Masalah keuangan
•
Intrapersonal Issues
•
•
Pembagian
Latar
pengasuhan •
•
Pembagian
Latar
Idealistic
Belakang
belakang
Distortion
pasangan
pasangan dan
-
Spiritual Beliefs
dan relasi
relasi dengan
-
Leisure
dengan
keluarga
activities
keluarga
besar
Marriage
besar
•
Agama
Agama
•
Minat dan
-
Tujuan Pernikahan
pengasuhan
-
expectation
•
Interpersonal Issues -
Communication
-
Conflict
-
waktu luang •
Perubahan
Resolution
pada
Children and
pasnagan dan
parenting
pola hidup
Couple closeness
-
pemanfaatan
Role
Holman & Larson
Fowers & Olson
Risnawaty
Wiryasti
(1992)
(2003)
(2004)
relationship -
Sexual relationship
External Issues -
Family and friend
-
Financial management
-
Family closeness and family flexibility
Berikut komponen kesiapan menikah yang diukur oleh Wiryasti (2004) : 1. Komunikasi Komunikasi adalah kemampuan untuk mengekspresikan ide atau perasaannya dan mendengarkan pesan. Menurut Olson & DeFrain (2006), komunikasi adalah cara yang digunakan individu untuk membentuk dan membagi suatu arti, baik secara verbal, maupun non-verbal, dimana kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik adalah sebuah keterapilan yang esensial dan sangat membantu yang harus dikuasai oleh individu bisa menikmati hubungan dengan pasangan. Menurut Wiryasti (2004), indikator dalam komponen komunikasi ini terdiri dari keterbukaan, kejujuran, kepercayaan, empati dan keterampilan mendengarkan. Keterbukaan (self-disclosure) menurut Budyatna dan Ganiem (2011) adalah saling memberikan data biografis, gagasan-gagasan pribadi, dan perasaan-perasaan yang tidak diketahui bagi orang lain, dan umpan balik berupa verbal dan respon-respon fisik kepada orang dan/atau pesan-pesan mereka di dalam suatu hubungan. Sedangkan empati merupakan kemampuan untuk mendengarkan secara aktif dan penuh perhatian, serta mengidentifikasi pernyataan emosi dari pasangan bahan ketika ia tidak membagi perasaannya (Wiryasti, 2004).
2. Keuangan Keuangan dalam hal ini merupakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah pengaturan ekonomi rumah tangga. Keuangan merupakan stressor yang paling umum dirasakan pasangan dan keluarga, terlepas dari berapa banyak uang yang mereka hasilkan (Olson DeFrain, 2006). Menurut Wiryasti (2004), indikator dalam komponen ini dalah pengendalian atau pengaturan keuangan (menabung atau tidak, ada rencana penyusunan anggaran) dan membentuk kesepakatan yang telah dibuat dengan pasangan. Masalah yang berkaitan dengan ekonomi menjadi suatu hal yang penting dalam rumah tangga, dimana kebutuhan hidup masing-masing anggota keluarga seperti keperluan rumah, biaya transportasi, makanan, kesehatan, rekreasi, pendidikan dan kebutuhan lainnya diharapkan dapat terpenuhi (DeGenova, 2008). 3. Anak dan Pengasuhan Ketika individu siap untuk menikah, maka siap pula untuk menghadapi segala konsekuensinya, seperti memiliki anak. Namun, menjadi orangtua ternyata bukanlah suatu hal yang mudah (DeGenova, 2008). Masalah anak dan pengasuhan berkaitan dengan perencanaan untuk memiliki anak dan cara pengasuhan atau didikan yang akan diberikan. Dalam komponen ini, terdapat lima indikator menurut Wiryasti (2004) yaitu, pengaruh kehadiran anak terhadap relasi, rencana untuk memiliki anak, kesepakatan cara KB, kesepakatan cara pengasuhan dan kesiapan menjalankan peran orangtua. 4. Pembagian peran suami dan istri Setiap individu dalam suatu pasangan memiliki dua peran, yaitu peran domestic (peran dalam rumah tangga) dan peran publik (peran di luar rumah tangga). Pembagian peran suami dan istri merupakan persepsi dan sikap dalam memandang peran-peran domestik dan publik serta kesepakatan dalam pembagiannya. Terdapat dua indicator dalam komponen pembagian peran suami dan istri menurut Wiryasti (2004) yaitu, sikap terhadap peran-peran tradisional atau egaliter dan kesepakatan pembagian peran suami istri dengan pasangan. 5. Latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar Ketika pasangan menikah, maka mereka tidak hanya menikah dengan pasangannya, melainkan juga dengan keluarga dan lingkungan sosial dari pasangan (Broderick, 1992, 1993, dalam Olson & DeFrain, 2006). Komponen latar belakang pasangan dan relasi
dengan keluarga besar menurut Wiryasti (2004), merupakan nilai-nilai dan sistem keluarga besar (asal) yang membentuk karakter individu dan relasi anggota keluarga. Indikator dalam komponen ini menurut Wiryasti (2004) ialah latar belakang keluarga, evaluasi terhadap nilai-nilai keluarga besar (sama atau berbeda apakah berpotensi menjadi konflik), sikap keluarga besar terhadap anggota baru apakah menerima atau tidak dan suku bangsa. 6. Agama Komponen agama merupakan nilai-nilai religius yang menjadi dasar pernikahan. Menurut Hatch, James & Schumm (1986, dalam DeGenova, 2008), bahwa pasangan yang sukses merupakan pasangan yang berbagi aktivitas spiritual, memiliki kesamaan nilai dan religiusitas, serta pasangan yang memiliki derajat tinggi dalam orientasi keagamaan. Menurut Wiryasti (2004), komponen ini terdiri dari dua indikator yaitu, kesamaan prinsip agamaapakah harus seiman atau tidak serta penempatan nilai agama atau religiusitas dalam relasi apakah dilandasi nilai agama atau tidak. Komponen agama juga berkaitan dengan penempatan nilai agama dalam kehidupan pernikahan dan dalam hubungan dengan pasangan, serta apakah janji pernikahan yang telah dibuat secara sungguh-sungguh berarti bagi pasangan (Wiryasti, 2004).
7. Minat dan pemanfaatan waktu luang Sikap terhadap minat pasangan dan kesepakatan mengenai pemanfaatan waktu luang bagi diri sendiri dan pasangan. Dalam komponen ini terdiri dari indicator minat apakah pasangan saling mendukung atau tidak, waktu untuk bersama serta waktu untuk sendiri. 8. Perubahan pada pasangan dan pola hidup Komponen ini merupakan persepsi dan sikap terhadap perubahan pasangan dan pola hidup, yang mungkin terjadi setelah menikah. Dimana terdiri dari dua indikator yaitu perubahan pada diri pasangan dan perubahan pada pola hidup.
2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Menikah Menurut De Genova (2008) dan Holman & Li (1997), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah, yaitu: 1. Usia saat menikah
Menurut DeGenova (2008), Individu yang menikah pada masa remaja menyebabkan mereka harus meninggalkan kegiatan pendidikan dan menerima status yang rendah dalam pekerjaan, dimana hal tersebut mempersulit pernikahan mereka ke depannya. Senada dengan DeGenova (2008), menurut Holman & Li (1997), karakteristik sosiodemografis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah. Karakteristik sosiodemografis berkaitan dengan usia individu, pekerjaan, tabungan atau pendapatan (financial) dan hal-hal tersebut turut mempengaruhi kesiapan seseorang untuk menikah. 2. Level kedewasaan pasangan Remaja biasanya belum cukup dewasa untuk menghadapi pernikahan, karena kurangnya kemampuan komunikasi, rasa cemburu, atau kurangnya kesetiaan (DeGenova, 2008). Sedangkan menurut Holman & Li (1997), kualitas komunikasi pasangan dan tingkat persetujuan pasangan merupakan salah faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah. Kualitas komunikasi dengan pasangan dan cara berinteraksi dengan pasangan dalam menjalin suatu hubungan dengan pasangan berkaitan dengan level persetujuan dengan pasangan dimana hal tersebut menghasilkan bagaimana individu tersebut dapat melakukan persetujuan dengan pasangannya apakah sulit atau mudah. hal tersebut dapat menjadi faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah dan menjadi faktor kuat untuk melanjutkan hubungan ke arah pernikahan. 3. Waktu menikah Menurut DeGenova (2008), beberapa pasangan menikah pada waktu yang tidak tepat, tidak sesuai dengan rencana mereka. Sehingga, hal tersebut membuat individu menjadi kecewa dengan pernikahannya. 4. Motivasi untuk menikah Kebanyakan orang menikah karena cinta, persahabatan dan keamanan. Tapi, ada juga individu yang menikah untuk terbebas dari keadaan hidup yang tidak menyenangkan, untuk menyembuhkan ego, atau dengan maksud membuktikan bahwa mereka layak untuk menikah. Beberapa individu merasa tertarik untuk menikahi individu yang butuh diperhatikan (DeGenova, 2008). 5. Kesiapan untuk eksklusivitas seksual Pada umumnya, pasangan menginginkan eksklusivitas seksual. Jika ia belum siap akan hal tersebut, maka kemungkinan ia tidak siap untuk menikah (DeGenova, 2008).
6. Emansipasi emosi dari orangtua Emansipasi emosi dari orangtua yang dimaksud oleh DeGenova (2008) adalah keadaan dimana individu harus siap untuk memberikan loyalitas dan perhatian utama mereka kepada pasangan, bukan lagi kepada orangtua mereka. 7. Tingkat pendidikan dan aspirasi vokasional dan derajat pemenuhan pendidikan Diugkapkan oleh DeGenova (2008), bahwa secara umum orang dengan pendidikan yang rendah akan menikah lebih awal. Jika seseorang memiliki aspirasi yang tinggi maka ia akan menunggu lebih lama untuk menyelesaikan kuliahnya terlebih dulu dan kemudian menikah, serta akan menunggu lebih lama untuk memiliki anak setelah menikah. 8. Jumlah dukungan yang signifikan dari orang lain untuk hubungan Menurut Holman & Li (1997), apabila terdapat jumlah dukungan orang lain yang signifikan terhadap hubungan yang sedang dijalani individu, dalam arti semakin banyak orang yang memberikan dukungan terhadap hubungannya dengan pasangannya maka akan semakin menimbulkan kesiapan menikah pada diri individu tersebut. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah yang telah dijabarkan di atas menurut De Genova (2008) dan Holman & Li (1997), salah satu faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah adalah motivasi untuk menikah. Dimana dalam hal ini yang dimakasud dengan motivasi untuk menikah adalah pernikahan yang didorong oleh perasaan cinta, persahabatan, dan keamanan. Motivasi merupakan salah satu komponen yang terdapat dalam teori hope atau dalam teori hope itu sendiri biasa disebut dengan agency thinking atau willpower yang merupakan pemikiran untuk memulai usaha guna meraih tujuan.
2.2 Hope 2.2.1 Definisi Hope Snyder (1991, dalam Snyder, Sympson, Ybasco, Borders, Babyak & Higgins, 1994) menjelaskan hope sebagai sekumpulan kognitif yang didasari pada hubungan timbal-balik antara agency dan pathway. Menurut Snyder (1994), harapan adalah keseluruhan daya kehendak (willpower/agency) dan strategi (waypower/pathway) yang dimiliki individu untuk mencapai sasaran (goal). Menurut Snyder (dalam Lopez & Snyder, 2003), hope merupakan pemikiran yang terarah pada tujuan, dimana individu merasa bahwa mereka dapat membuat rute yang diinginkan untuk meraih tujuan (pathways thinking) dan motivasi yang diperlukan untuk
menggunakan rute mereka tersebut (agency thinking). Bila seseorang tidak memiliki semua komponen tersebut dalam hope, maka hal itu tidak bisa disebut sebagai harapan. Hope dapat diukur dengan menggunakan The Adult Dispositional (Trait) Hope Scale oleh Snyder (1991) dan The Adult State Hope Scale oleh Snyder (1996). Dimana kedua alat ukur ini sama-sama ditunjukkan untuk subjek dengan usia 15 tahun keatas. The Adult Dispositional (Trait) Hope Scale merupakan self report dimana untuk mengisinya, subjek diminta untuk membayangkan dirinya berada pada situasi dan waktu tertentu. Oleh sebab itu, The Adult Dispositional (Trait) Hope Scale juga biasa disebut The Future Scale. The Adult Dispositional (Trait) Hope Scale memiliki 12 item, 4 item untuk komponen agency thinking (willpower), 4 item untuk komponen pathway thinking (waypower), dan 4 item distractor. Sedangkan The Adult State Hope Scale juga merupakan self report, namun hal yang membedakan dibandingkan dengan The Adult Dispositional (Trait) Hope Scale adalah untuk mengisinya subjek diminta untuk mendeskripsikan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka pada saat sekarang. The Adult Hope Scale memiliki 6 item, 3 item untuk komponen agency thinking (willpower), dan 3 item untuk komponen pathway thinking (waypower). Oleh sebab itu, peneliti memilih untuk menggunakan alat ukur The adult Dispositional (Trait) Hope Scale karena dalam penelitian teori hope dihubungkan dengan kesiapan menikah.
2.2.2 Komponen Hope Menurut Snyder (2000) terdapat tiga komponen dalam teori hope yaitu goal, agency thinking/willpower dan pathway thinking/waypower. 2.2.2.1 Tujuan (Goal) Goal adalah sasaran dari tahapan tindakan mental yang menghasilkan komponen kognitif (Snyder, 2005). Goal harus cukup bernilai bagi individu untuk menempati pemikiran sadar yang dapat bervariasi dalam jangka waktu untuk mencapainya, mulai dari yang dapat dicapai dalam beberapa menit berikutnya (jangka pendek) sampai tujuan yang memerlukan waktu berbulanbulan bahkan bertahun-tahun (jangka panjang) untuk mencapainya (Snyder, 2002). Menurut Snyder (2002), terdapat dua jenis tujuan yang diharapkan. Jenis pertama merupakan tujuan positif atau tujuan mendekati. Sedangkan jenis yang kedua ialah tujuan negatif untuk mencegah. 2.2.2.2 Agency Thinking (Willpower)
Komponen kedua adalah agency thinking, yaitu kapasitas cara (pathway) individu untuk mencapai tujuan (goal), (Snyder, 2005). Agency thinking merupakan motivasi mental individu untuk memulai usaha dalam meraih tujuan. Willpower/agency adalah sumber tekad dan komitmen yang mendorong individu untuk mencapai sasaran (Snyder, 1994). Snyder (2002) menyatakan bahwa willpower bersifat self –referential, yaitu individu memiliki pemikiran bahwa dirinya sendirilah yang memulai dan terus bergerak untuk mencapai tujuannya. Keberadaan tujuan yang jelas dan penting mempengaruhi seberapa besar willpower inidvidu untuk mencapainya. Tujuan yang samar-samar tidak memunculkan willpower secara mental untuk maju. Willpower juga dipengaruhi oleh pembelajaran sebelumnya ketika seseorang berusaha untuk menjapai tujuannya. Inidvidu yang memiliki willpower merupakan individu yang telah mampu menghadapi kesulitan dalam hidup. 2.2.2.3 Pathway Thinking (Waypower) Komponen ketiga merupakan pathway thinking. Menurut Snyder (2005), pathway thinking diartikan sebagai kemampuan atau rute yang berfungsi untuk mencapai goal (tujuan) individu. Suatu rute atau jalan pikir yang mampu memberikan gambaran dan prediksi tentang cara yang akan ditempuh untuk meraih tujuan (Snyder, 2000). Strategi adalah kapasitas mental untuk menemukan satu atau beberapa cara yang efektif untuk mencapai sasaran (Snyder, 1994). Keberadaan tujuan penting untuk membantu individu untuk merencanakan dengan lebih baik cara-cara untuk mencapainya. Kemampuan merencanakan strategi turut dipengaruhi oleh pengalaman dan pembelajaran menemukan cara-cara tertentu untuk mencapai sasaran. Selain itu informasi yang dimiliki individu turut membantunya untuk merancang strategi mencapai sasaran. Bahkan bila kemudian cara tersebut tidak berhasil, individu bisa menggunakan informasi lain untuk merancang strategi baru. Snyder (2000) menggambarkan hope sebagai berikut:
Gambar 2.1 Gambaran Hope Theory Secara lebih lanjut, gambar 2.1 di atas merupakan sebuah gambaran dinamika yang berguna untuk mengetahui siklus proses pemunculan hope hingga proses pencapaian goal pada seseorang. Terdapat berbagai komponen dari hope theory, termasuk diantaranya hubungan interaksi yang dinamis antara pathway dan agency. Pathway dan agency tersebut didasari oleh serangkaian emosi yang berasal dari pengalaman pencapaian goal sebelumnya. Supaya proses pencapaian goal tetap berlangsung, maka perlu nilai yang cukup terkait dengan pencapaian goal. Pada tahapan ini, pathway dan agency akan diaplikasikan pada goal yang diingkan. Dalam rute pencapaian goal, seseorang mungkin menghadapi stress yang dapat menghambat goal tersebut. Menurut teori hope, individu dengan hope yang tinggi akan melihat hambatan sebagai tantangan, sementara individu dengan hope yang renadah akan melihat hambatan sebagai rintangan. Jika berhasil menghadapi rintangan, maka emosi positif akan bertambah dan menambah pathway thoughts dan agency thoughts. Sebaliknya, jika gagal dalam menghadapi hambatan akan muncul emosi negatif yang menghambat proses pencapaian goal (Snyder & Lopez,2006).
2. 3 Emerging Adult 2.3.1 Definisi Emerging Adult Emerging adult adalah tahapan perkembangan yang baru muncul di akhir abad ke dua puluh dengan fokus usia 18-25 tahun (Arnett, 2004) atau 18-29 tahun (Arnett, 2013). Arnett (2006) mendefinisikan emerging adult sebagai tahapan perkembangan yang bukan lagi tahapan remaja bukan pula tahapan dewasa awal. Emerging adult merupakan saat ketika muncul banyak
pilihan terhadap arah kehidupan mereka seperti cinta, pekerjaan dan pandangan terhadap dunia (Santoso, Untario, Wahyuningsih & Setyaningrum, 2009). 2.3.2 Ciri-Ciri Emerging Adult Menurut Arnett (2004), terdapat lima ciri yang ditemui pada individu di tahap emerging adult. Ciri-ciri tersebut ialah sebagai berikut: 1. Identity Exploration Individu pada tahap emerging adult akan mencoba segala macam kemungkinankemungkinan, mencari dan mengeksplorasi identitas yang ia cari secara serius dan fokus mempersiapkannya memasuki tahapan kehidupan terutama dalam hal pekerjaan dan cinta. 2. Instability Individu pada tahapan emerging adult mengalami masa yang tidak stabil. Pada tahapan sebelumnya, mereka memiliki rencana yang akan mereka bawa dan wujudkan ketika dewasa kelak. Namun, seiring masuknya ke tahapan emerging adult, mereka banyak mengalami perubahan rencana yang telah disusun. 3. Self Focus Individu mulai membangun kompetensi untuk menjalani aktivitasnya sehari-hari, menggali pemahaman yang lebih dalam mengenali siapa mereka dan apa yang mereka harpkan dalam hidup. Pada tahapan ini, individu mulai dituntut untuk mampu mandiri. 4. Feeling In-Between Individu merasakap dimana ia tidak ingin lagi dianggap sebagai remaja, namun belum siap untuk masuk ke dalam tahapan dewasa. 5. Possibilities Harapan individu dalam tahap emerging adult akan masa depan berkembang besar. Mereka melihat banyakanya kesempatan yang terbuka untuk memulai pekerjaan pada tahapan ini. Sebagian mimpi mereka diupakan dicoba pada kehidupan nyata.
2.4 Tunangan Menurut DeGenova (2008), tunangan merupakan tahapan pasangan antara pacaran dan menikah, setelah pasangan mengumumkan untuk menikah. Pada tahapan ini, individu sudah matang untuk menjadikan pasangannya sebagai calon pendamping hidupnya. Maka, biasanya
dirinya memberi simbol seperti cincin dan mengumunkan kepada publik bahwa mereka akan menikah. Selama masa tunangan, hubungan pasangan dikelilingi oleh norma yang kuat hampir seperti pernikahan. Pada saat ini, tanggal pernikahan biasanya ditentukan ketika tunangan berlangsung.
2.5 Kerangka Berfikir Hope menurut Snyder (2000), terdiri dari tiga komponen, yaitu goal, pathway thinking dan agency thinking. Goal merupakan sasaran dari tahapan tindakan mental yang menghasilkan komponen kognitif (Snyder, 2000). Pathway thinking adalah strategi spesifik yang dikembangkan sesorang untuk mencapai tujuan tertentu (Snyder et. al., 2004). Dan agency thinking adalah motivasi mental individu untuk memulai usaha dalam meraih tujuan (Snyder, 2000). Ketiga komponen utama hope ini terkait dengan kesiapan menikah dimana tujuan (goal) pasangan yang akan menikah adalah siap untuk mengemban tanggung jawab sebagai suami maupun istri. Senada seperti yang dikemukan oleh DeGenova (2008), pada umumnya individu mengharapkan kesuksesan dalam kehidupan pernikahannya yang dapat tercermin melalui terpenuhinya cita-cita yang diidamkan kedua pasangan. Ketika pasangan memiliki tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang dalam pernikahannya kelak, maka ia akan mencari cara (pathway thinking) untuk meraih tujuan tersebut. Hal tersebut tercantum dalam komponen kesiapan menikah menurut Wiryasti (2004), yakni komunikasi yang baik, dapat mengatur keuangan, perencanaan untuk memiliki anak dan cara pengasuhan, membagi peran suami dan istri, hubungan dengan keluarga besar, kesepakatan dalam pemanfaatan waktu luang, dan persepsi terhadap perubahan pasangan. Untuk melakukan strategi demi mencapai tujuan maka diperlukan motivasi (agency thinking) dalam kesiapan menikah. Dimana motivasi pernikahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah (DeGenova, 2008). Motivasi yang dimaksud dalam hal ini adalah individu menikah yang didasari oleh perasaan cinta kepada pasangannya. Ketika individu menikah berdasarkan cinta dan ingin merasa bahagia, maka hal tersebut akan mendorong individu dalam melakukan strategi guna mencapai tujuan pernikahan yang bahagia seperti yang diinginkannya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka alur pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:
Hope
Kesiapan Menikah
Emerging Adult yang sudah bertunangan
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Hubungan Hope dengan Kesiapan Menikah
2.6 Asumsi Penelitian Asumsi dari penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara kesiapan menikah dengan hope. Dengan begitu, kedua variable memiliki hubungan yang searah. Dapat diartikan apabila individu memiliki kesiapan menikah yang tinggi, maka individu akan memiliki hope yang tinggi pula, begitu pula sebaliknya. Apabila individu memiliki hope yang tinggi, maka individu akan memiliki kesiapan menikah yang tinggi pula.