BAB 2 Tinjauan Pustaka
2.1. Psoriasis 2.1.1.
Sejarah dan Definisi Psoriasis adalah sebuah nama yang diberikan oleh seorang dermatologi
asal Vienna, Ferdinand von Hebra pada tahun 1841. Psoriasis berasal dari bahasa Yunani “ psora” yang artinya gatal . Dahulu penyakit ini sering dikaitkan dengan penyakit lepra dan dikenal sebagai Willan’s lepra (pada abad ke 18 akhir) oleh dermatologi asal Inggris Robert Wilan dan Thomas Bateman. Bentuk klinis yang
mirip dengan lepra membuatnya sulit dibedakan dengan lepra dan
menggolongkan penyakit ini sebagai varian dari lepra, sampai pada tahun 1841, penyakit ini akhirnya diberi nama psoriasis.10 Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit kronis yang di mediasi oleh sistem imunitas sel T dan dikarakteristikkan sebagai perubahan pada pertumbuhan dan diferensiasi epidermis serta akumulasi dari berbagai subpopulasi leukosit yang berbeda, dengan gambaran berupa plak yang berbatas tegas, merah, dan menebal disertai sisik yang berwarna putih keperakan. Faktor predisposisi yang dapat mencetuskan timbulnya penyakit ini, seperti trauma, infeksi, atau pengobatan.10,11
6 Universitas Sumatera Utara
7
2.1.2.
Epidemiologi
2.1.2.1.
Ras Prevalensi psoriasis adalah luas dan bervariasi bergantung
pada ras, dikatakan berkisar antara 0.1% sampai 11.8% atau 125 juta manusia di seluruh dunia1. Prevalensi yang rendah dilaporkan pada ras Jepang, Eskimo, Australia aborigin, Afrika Barat dan Indian Amerika Selatan, sedangkan Kaukasia adalah ras yang paling banyak dilaporkan pada kasus psoriasis.3 Prevalensi di Eropa dikatakan berkisar antara 1% sampai 2% dari populasi, dengan estimasi pada Amerika Serikat adalah antara 0.6% sampai 4.8%, dan tidak terdapat data yang jelas yang mendukung pernyataan kejadian psoriasis yang rendah pada kulit gelap. Gerfand et al pada penelitiannya melaporkan prevalensi pada Kaukasia adalah 2.5% dan pada Amerika Afrika 1.3% yang mengindikasikan meskipun angka kejadian psoriasis lebih sedikit pada kulit hitam, namun kasusnya tidak jarang. Sedangkan di Australia prevalensi yang dilaporkan adalah 1.2% sampai 2.3%.1 Belum adanya penelitian yang berdasarkan populasi seputar prevalensi psoriasis di Malaysia, namun Adam melaporkan insidensi sebesar 4% pada tahun 1980 dari penderita yang berkunjung ke klinik dermatologi di Kuala Lumpur, Malaysia. Siow et al melaporkan insidensi sebesar 2.5% diantara 181 penderita yang mengunjungi klinik dermatologi di Seremban,
Universitas Sumatera Utara
8
Malaysia.1 Sampai saat ini belum ada data yang akurat mengenai prevalensi penyakit ini di Indonesia, namun insidensi di Asia sendiri dikatakan cenderung rendah (0.4%).3
2.1.2.2.
Usia Onset terjadinya psoriasis dapat pada berbagai usia, namun
rata-rata usia yang terkena dikatakan berkisar 15 sampai 30 tahun. Dikatakan bahwa 75% penderita psoriasis menderita psoriasis sebelum usia 46 tahun. Namun studi lain mengenai psoriasis mengemukakan adanya onset yang bersifat bimodal, dengan puncak pada usia 16-22 tahun dan puncak lainnya adalah usia 5760 tahun, dan onset yang lebih awal ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki.3 Menurut Henseler et al, terdapat dua tipe psoriasis yang dibedakan berdasarkan onset usia. Psoriasis tipe I, adalah ketika psoriasis muncul pada usia sebelum atau pada usia 40 tahun, dan tipe II, adalah ketika psoriasis muncul setelah usia 40 tahun. Angka kejadian tipe I ini dikatakan lebih dari 75% dan memiliki gejala yang lebih berat serta kerterlibatan genetik yang kuat . Dikatakan terdapat hubungan antara Human Leukocyte Antigen (HLA) antigen kelas I khususnya HLA-Cw6 serta riwayat keluarga dengan onset penyakit yang dini pada psoriasis tipe I ini.3 Data prevalensi menemukan penurunan frekuensi psoriasis pada individu usia lanjut. Pada studi prevalensi psoriasis di
Universitas Sumatera Utara
9
Spanyol dan Inggris, dikatakan adanya penurunan psoriasis pada usia diatas 70 tahun. Juga dikatakan pada suatu studi di Norwegia, rata-rata prevalensi menunjukkan penurunan dengan peningkatan usia mendekati 49 tahun.4
2.1.2.3.
Jenis kelamin Psoriasis mengenai laki-laki dan perempuan secara
seimbang. Namun beberapa studi mengatakan bahwa prevalensi psoriasis sedikit lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Namun pada penderita usia muda (<20 tahun) prevalensi adalah lebih besar pada perempuan dibandingkan lakilaki, yang membuktikan adanya onset psoriasis yang lebih awal pada
perempuan
dibandingkan
laki-laki.
Penemuan
ini
merefleksikan adanya interaksi antara jenis kelamin, usia, dan kerentanan terhadap perkembangan psoriasis.3,4
2.1.3.
Etiologi dan Patogenesis Penyebab pasti dari psoriasis belum diketahui, namun dikatakan adanya
peranan dari genetik maupun respon imun pada penyakit ini. Banyak penelitian yang mengungkap pentingnya peranan genetik terutama pada psoriasis tipe I, namun peranan genetik ini dalam patogenesis psoriasis belum dimengerti sepenuhnya. Psoriasis tipe I dihubungkan dengan HLA-Cw6, B5, B13, B57, DRB1*0701 dan DR7, sedangkan psoriasis tipe II memiliki hubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
10
HLA-Cw2 and B27. Kedua tipe tersebut dibedakan berdasarkan usia dari penderita. Kerentanan lokus Psoriasis Susceptibility Locus (PSORS) terhadap psoriasis ditemukan pada beberapa jenis kromosom: : PSORS1 pada 6p21.3, PSORS2 pada 17q, PSORS3 pada 4q, PSORS4 pada 1q21, PSORS5 pada 3q21, PSORS6 pada 19p, PSORS7 pada 1p, PSORS8 pada 16q, PSORS9 pada 4q31, PSORS10 pada 18p11, PSORS11 pada 5q31-q33 dan PSORS12 pada 20q13. Dimana PSORS1 yang berlokasi 6p21 dalam kompleks HLA merupakan yang paling utama dan berkorelasi dengan gen HLA-Cw6.12,13 Lingkungan juga dikatakan berperan dalam patogenesis dari psoriasis, dimana dikatakan trauma dapat menimbulkan fenomena koebner pada lokasi yang tidak terkena psoriasis. Juga lebih lanjut dikatakan adanya peranan stress dalam menginduksi keparahan dari penyakit, yang dapat dinilai dari segi kualitas hidup penderita tersebut.12,13 Psoriasis dikarakteristikkan dengan hiperproliferasi dan gangguan diferensiasi dari keratinosit epidermis, inflitrasi limfosit dan berbagai perubahan pembuluh darah endotel pada lapisan dermis. Pengertian mengenai patogenesis molekular psoriasis berdasarkan atas dua hubungan interaktif “yin/yang relationship” yaitu keseimbangan imunitas bawaan serta didapat dan faktor-faktor yang diproduksi oleh keratinosit epidermis yang secara langsung berefek pada sel T dan sel dendritik. 12,14 Peneliti saat ini menganggap psoriasis sebagai penyakit kulit inflamasi yang dipengaruhi oleh sel T. Onset awal penyakit psoriasis ditandai dengan teraktivasinya sel dendritik epidermis dan dermis yang akan memproduksi
Universitas Sumatera Utara
11
substansi seperti TNF-α, dan IL-23 yang akan mempromosikan perkembangan dari sel Th1, dan sel Th17. Sel T ini akan mensekresikan mediator-mediator yang berkontribusi dalam perubahan pembuluh darah dan epidermis dari psoriasis. Keterlibatan limfosit T pada patogenesis psoriasis ini digambarkan dalam tiga bentuk kejadian: aktivasi awal dari limfosit T, migrasi limfosit T ke dalam kulit, dan berbagai peran dari sitokin yang dilepaskan dari limfosit T. Selain limfosit T , sitokin dan kemokin juga memiliki peranan dalam perkembangan dan persistensi lesi. Penelitian dengan menggunakan mencit Severe Combined Immunodefficient (SCID) pada lesi psoriasis menemukan infiltrasi didominasi oleh Cluster of differentiation 4(CD4)-positive T-cells (T-helper cells) yang akan memproduksi berbagai sitokin proinflamasi seperti IFN ɣ dan IL-17. Sel endotelial, netrofil, sel natural killer T, molekul adhesi Intracellular Adhesion Molecule 1 (ICAM-1) dikatakan juga berperan.12,13 Elder et al. menyatakan adanya hubungan yang erat antara keratinosit dan sel pada sistem imunitas sebagai langkah awal dalam patogenesis psoriasis. Pada percobaan mencit transgenik, aktivasi ubiquitous dari faktor transkripsi Nuclear Factor Kappa-B (NFkB), yang merupakan inducer poten respon inflamasi, dianggap berperan dalam perkembangan penyakit kulit yang menyerupai psoriasis, termasuk akantosis, hiperkeratosis, parakeratosis dan dilatasi dari pembuluh darah dermis. Dimana mekanisme ini sangat bergantung pada aktivasi faktor NFkB di keratinosit dan sel T. Lapisan dermis psoriasis dipenuhi dengan sel sitokin proinflamasi seperti IFN-ɣ, TNF dan IL-17, serta faktor-faktor pertumbuhan seperti Transforming Growth Factor Alfa (TGF- α) yang semakin
Universitas Sumatera Utara
12
memperjelas hubungan antara sel imunitas dan keratinosit dalam patogenesis psoriasis. Pernyataan tersebut didukung dengan penemuan di awal 1979, yang menunjukkan bahwa pengobatan yang banyak digunakan pada psoriasis seperti analog vitamin D, retinoid, siklosporin dan sikrolimus dikatakan memiliki efek dari anti-inflamasi dan antiproliferasi. Selain itu dikatakan juga bahwa obatobatan tersebut memiliki efek dari aktivitas anti-angiogenik yang kemudian menjadikan proses angiogenesis ini penting dalam patogenesis psoriasis.11,12,15 Lebih lanjut penelitian menggunakan efalizumab yang mentargetkan pada interaksi antar sel T dan sel endotel menunjukkan adanya interaksi yang kompleks diantara respon imunitas, inflamasi dan angiogenesis. Respon imun dan inflamasi dianggap sebagai inducer dari angiogenesis, dimana angiogenesis sendiri akan mempromosikan serta menjaga proses imunitas dan inflamasi. Sehingga angiogenesis bukan hanya sebagai ko-faktor namun juga inducer perkembangan dari psoriasis. Dikatakan mediator pro-angiogenik banyak ditemukan pada kulit psoriasis, seperti TNF, VEGF, Hypoxia Inducible Factor (HIF), IL-8 atau angiopoetin.15
2.1.4.
Gambaran Klinis Gambaran klinis psoriasis klasik berupa plak merah berbatas tegas dengan
sisik putih pada permukaannya. Ukuran lesi dapat bervariasi dari papul pin point sampai plak diseluruh tubuh. Lesi psoriasis umumnya muncul secara simetrik, namun dapat juga unilateral, umumnya pada aspek ekstensor dari ekstremitas, khususnya siku, lutut, kulit kepala, lumobsakral bawah, bokong, dan kelamin.3
Universitas Sumatera Utara
13
Secara klinis psoriasis muncul sebagai penyakit papuloskuamosa dengan berbagai jenis morfologi, distribusi, keparahan, dan perjalanan klinis. Terdapat lima tipe psoriasis yaitu jenis plak (psoriasis vulgaris), gutata, inversa (fleksural), pustular, dan eritrodermik. Dari kelima tipe tersebut, tipe plak (psoriasis vulgaris) adalah yang paling sering ditemukan, sekitar 80% dari penderita
psoriasis.
Adalah mungkin ditemukannya kelima tipe psoriasis ini pada waktu yang bersamaan.16 Berbagai tipe psoriasis ini dapat lokalisata ataupun menyebar, serta dapat bervariasi keparahannya dari yang ringan sampai berat.16
2.1.5.
Diagnosis Diagnosis dari psoriasis meliputi pengenalan gejala klinis dari lesi kulit
yang khas serta dikatakan lokasi dapat menjadi pengarah diagnostik pada penyakit ini. Penanda lain, dapat ditemukan tanda Auspitz (titik-titik perdarahan ketika sisik dihilangkan, akibat trauma pada kapiler yang berdilatasi), fenomena tetesan lilin (penggoresan skuama dengan pinggir object glass akan menyebabkan perubahan warna menjadi lebih putih seperti tetesan lilin), fenomena Koebner (induksi traumatik psoriasis pada lesi yang bukan psoriasis), umumnya muncul 714 hari setelah luka. Fenomena Koebner ini tidak spesifik untuk psoriasis namun dapat membantu menentukan diagnosis. Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat menyokong diagnostik psoriasis vulgaris adalah pemeriksaan histopatologi.3
Universitas Sumatera Utara
14
2.1.6.
Histopatologi Secara histopatologi, psoriasis dikarakteristikkan dengan perubahan yang
khas pada epidermis dan dermis. Penemuan epidermis berupa hiperploriferasi dari keratinosit yang menyebabkan penebalan epidermis dan elongasi rete ridges yang membentuk “fingerlike” protusi ke dalam dermis. Lapisan granular epidermis yang merupakan lokasi diferensiasi keratinosit dikatakan jelas berkurang ataupun menghilang. Adanya parakeratosis, epidermis terinfiltrasi oleh netrofil dan limfosit T CD8 yang teraktivasi. Pada dermis, adanya infiltasi dari limfosit, makrofag, sel mast, dan netrofil. Elongasi dan dilatasi pembuluh darah pada papilla dermis merupakan tanda histologi yang khas pada lesi kulit psoriasis.15 2.1.7.
Skor PASI Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi yang dikarakteristikkan dengan
gelaja klinis yang sering kambuh dan berulang, disertai penurunan yang signifikan dalam kualitas hidup dan cacat psikososial pada penderita. Penyakit ini juga memiliki kebutuhan akan pengobatan yang efektif dan pengendalian penyakit jangka panjang, sehingga dibutuhkan kriteria yang dapat diandalkan dalam menilai secara obyektif baik dalam tingkat keparahan penyakit maupun kualitas hidup penderita. 12 National Institute for Health and Clinical (NICE) telah mengadopsi penggunaan skor PASI sebagai alat untuk mengukur tingkat keparahan penyakit pada plak psoriasis kronis. Skor ini juga telah digunakan secara luas di seluruh dunia dan juga dalam penelitian klinis, termasuk dalam penelitian seputar terapi biologik. Skor PASI 10 (dari 0-72) dikatakan berkorelasi dengan keadaan
Universitas Sumatera Utara
15
psoriasis yang berat yang membutuhkan perawatan sistemik. Sedangkan penilaian untuk kualitas hidup penderita menggunakan The Dermatology Life Quality Index (DLQI) dengan skor >10 (dari 0-30) dikorelasikan dengan efek yang besar dalam kualitas hidup penderita.17 Penilaian keparahan psoriasis dinilai dari kemerahan, ketebalan, dan sisik pada lesi (pada skala 0-4), ditambahkan dengan area yang terlibat. Skor PASI ini masih merupakan gold standard terhadap penilaian dari keparahan suatu psoriasis. Namun dikatakan skor PASI ini masih memiliki kekurangan karena sensitivitas nya yang rendah pada area dengan keterlibatan yang cukup terbatas.18 Penilaian PASI ini juga memiliki peranan dalam regimen pengobatan suatu psoriasis. Dikatakan bahwa penggunaan dosis metotreksat (dengan dosis awal 5-10 mg sekali seminggu) yang akan ditingkatkan sampai ke dosis efektif dan maksimum 25 mg per minggu, akan ditentukan penghentiannya dengan mengukur skor PASI penderita tersebut. Bila setelah pengobatan selama 3 bulan masih belum terjadi perbaikan (contohnya penurunan kurang dari 75% dari skor PASI atau penurunan kurang dari 50% dari skor PASI), maka pengobatan dapat dihentikan.19 Selain untuk kebutuhan klinis, skor PASI juga sering dijadikan panduan dalam mendukung suatu penelitian mengenai psoriasis. Penelitian yang dilakukan oleh Nofal et al, membuktikan adanya korelasi antara kadar VEGF serum dan skor PASI, yang dibuktikan dengan pengukuran serum VEGF sebelum dan sesudah pengobatan terhadap Psoralen and Ultraviolet A (PUVA) dan kombinasi PUVA serta acitretin 25 mg. Setiap penderita dievaluasi dengan menggunakan
Universitas Sumatera Utara
16
PASI dan dilakukan pemeriksaan VEGF serum sebelum dan sesudah pengobatan. Hasilnya didapatkan peningkatan yang siginifikan kadar VEGF serum dibandingkan dengan kontrol sebelum dan sesudah pengobatan.20 Neilsen et al, menentukan kadar VEGF dan Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1) dengan metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) pada penderita sebelum pengobatan dan 1,3, dan 6 bulan setelah pengobatan, yang hasilnya dibandingkan dengan skor PASI. Didapatkan hasil berupa peningkatan secara signifikan kadar VEGF plasma dibandingkan kontrol. Pada studi ini juga terdapat penurunan secara signifikan kadar VEGF plasma setelah pengobatan, yang berkorelasi secara signifikan dengan penurunan skor PASI.21 Penelitian lain yang dilakukan oleh Flisiak et al, membuktikan adanya peningkatan kadar VEGF dan sVEGF R1 (bukan sVEGF R2) pada penderita psoriasis diandingkan dengan kontrol. Juga dikatakan kadar sVEGF R1 serum setelah pengobatan lebih tinggi secara signifikan pada penderita dengan psoriasis yang ringan dibandingkan dengan yang berat.9
2.2 Vascular Endotelial Growth Factor Vascular Endotelial Growth Factor adalah suatu angiogenik poten, yang dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan merupakan mitogen spesifik terhadap sel endotel pembuluh darah.22 VEGF pertama kali dideskripsikan oleh Senger et al. pada tahun 1983, sebagai protein homodimerik 34-42 kDa yang dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah di kulit. Dahulu protein ini disebut sebagai Vascular
Universitas Sumatera Utara
17
Permeability Factor (VPF) dan diisolasi dari cairan asitik dan kultur sel supernatan dari sel hepatokarsinoma guinea-pig. Pada tahun 1989, peneliti lainnya mengidentifikasi substansi pertumbuhan yang diberi nama VEGF, dimana VEGF ini identik dengan VPF. Terdapat 7 anggota keluarga VEGF: VEGF-A, VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, VEGF-E, VEGF-F, dan Placenta Growth Factor (PIGF), yang memiliki kesamaan struktur (8 residu sistein pada domain homolog VEGF).22 Dari semua anggota VEGF, adalah VEGF-A yang menunjukkan dua aktivitas biologis yang utama: yaitu kemampuan untuk merangsang proliferasi sel endotel pembuluh darah, dan aktivitas lainnya untuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. VEGF A juga mempromosikan survival dan migrasi dari sel endotel. VEGF-A manusia memiliki setidaknya sembilan subtipe : VEGF121, VEGF145, VEGF148, VEGF162, VEGF165, VEGF165 b, VEGF183, VEGF189 dan VEGF206. 23 VEGF ini dapat dihasilkan oleh sel endotel, fibroblas, sel otot polos, dan makrofag. Anggota VEGF memiliki berbagai sifat fisiologi dan biologik dan bekerja melalui reseptor tirosin kinase yang spesifik (VEGFR-1, VEGFR-2 dann VEGFR-3).22 Ekspresi gen VEGF diregulasi oleh berbagai macam stimulus seperti, hipoksia, faktor pertumbuhan, transformasi, mutasi p53, estrogen, Thyroid Stimulating Hormone (TSH), promotor tumor dan Nitric Oxide (NO). Meskipun semua stimulus tersebut berperan dalam peningkatan regulasi gen VEGF, hipoksia memiliki ketertarikan tersendiri karena regulasi transkripsi nya yang unik
Universitas Sumatera Utara
18
dan penting. Dikatakan HIF-1 adalah mediator utama terhadap respon hipoksia. HIF-1 adalah aktivator transkripsional yang terdiri dari subunit Hypoxia Inducible Factor Alfa (HIF-1α) and Hypoxia Inducible Factor Beta (HIF-1β). Baik HIF-1α and HIF-1β diekspresikan dalam berbagai jenis tumor. 23
2.2.1
Reseptor VEGF
2.2.1.1 Reseptor Tyrosine-kinase (RTK) Kedua reseptor VEGF berasal dari keluarga reseptor tyrosine-kinase yaitu: reseptor VEGFR-1 dan VEGFR-2 . Sedangkan reseptor VEGFR-3 diekspresikan pada pembuluh darah limfe. VEGFA, B dan PIGF akan melekat ke VEGFR-1, VEGFA dan E melekat ke VEGFR-2, dan VEGFC dan D melekat ke VEGFR-3. Reseptor VEGFR-1 dan VEGFR-2 diekspresikan terutama pada sel endotelial. Reseptor VEGFR-1 diekspresikan pada sel tropoblas, monosit, dan sel mesangial renal. Sedangkan VEGFR2 terbentuk karena adanya pemotongan alternatif.8 Dikatakan sel tumerogenik akan mengekspresikan VEGFR1 dan VEGFR2, contohnya adalah sel melanoma. Reseptor VEGFR1 dan VEGFR2 diaktifkan oleh berbagai isoform VEGF namun memiliki fungsi yang berbeda. Namun ekspresi dari kedua reseptor dikatakan dipengaruhi oleh keadaan hipoksia. VEGF-A memediasi efeknya melalui interaksinya dengan reseptor tirosin kinase transmembran yang secara selektif diekspresikan oleh endotel pembuluh darah.8 Baik VEGFR1 (Flt-1) dan VEGR2 Kinase Insert Domain Receptor (KDR), flk-1 banyak diekspresikan pada pembuluh darah tumor.24
Universitas Sumatera Utara
19
Belakangan ini dikemukakan bahwa reseptor non kinase, Neurophilin-1 (NRP-1) berpotensi dalam pelekatan VEGF-A ke reseptor VEGFR2. Neurophilin diekspresikan secara kurang selektif pada endotel pembuluh darah dibandingkan VEGFR1 dan VEGFR2, dan peranannya dalam angiogenesis masih dipelajari.24
2.2.1.2 Regulasi dari aktivitas VEGFR Aktivitas RTKs diatur oleh ketersediaan ligan. Ketika melekat pada reseptornya, VEGF-A akan menginisiasikan kejadian persinyalan dari kaskade yang dimulai dengan proses autofosforilisasi dari kedua reseptor tirosin kinase, yang diikuti dengan aktivasi beragai protein termasuk phospholipase C, Phosphoinositide-3 Kinase (PI3-K), GTPase-Activating Proteins (GAP), GTPase-activating protein, Mitogen-activated protein kinase
Ras
(MAPK), dan
lainnya. 24 Sebuah fitur khusus dari ligan VEGFA adalah peningkatan secara dramatis ekspresinya di bawah kondisi hipoksia. Hipoksia memungkinkan stabilisasi HIFs yang mengikat elemen promotor spesifik yang hadir di daerah promotor VEGFA.26 Demikian juga, ekspresi VEGFR1 diatur langsung oleh HIFs. VEGFR2 juga meningkat selama hipoksia, tetapi peran HIFs yang berbeda dalam peraturan ini masih harus diklarifikasi. Kontribusi hipoksia terhadap regulasi ekspresi VEGFR3 in vivo masih belum jelas.8 Walaupun fungsi biologi yang spesifik dari masing-masing reseptor belum jelas diketahui, VEGFR2 dianggap bertanggung jawab dalam memediasi permeabilitas mikrovaskular, dan peningkatan yang jelas Ca2+ dan proliferasi
Universitas Sumatera Utara
20
serta migrasi sel endotel.24 VEGFRs dapat mengatur permeabilitas pembuluh darah yang mengarah ke edema dan pembengkakan jaringan. VEGFR1 adalah regulator positif dari monosit dan migrasi makrofag, dan telah digambarkan sebagai regulator positif dan negatif dari kapasitas persinyalan VEGFR2. Regulasi negatif oleh varian VEGFR1 larut akan mencegah pengikatan VEGF ke VEGFR2. VEGFR2 terlibat dalam semua aspek biologi sel endotel vaskular yang normal dan patologis, sedangkan VEGFR3 penting untuk perkembangan dan fungsi sel endotel limfatik.25
2.2.2
Peran VEGF dan terapi anti-angiogenik Terapi tumor yang berdasarkan neutralizing anti-VEGF antibodies dan
penghambat
tirosin
kinase
yang
menargetkan
kepada
VEGFRs
telah
dikembangkan.26 Terapi terbaru untuk pengobatan tumor ini telah menunjukan relevansi klinis dalam penghambatan jalur sinyal transduksi VEGF yang terlibat dalam angiogenesis patologis. Pengobatan K14-VEGF transgenic mice dengan menghambat reseptor VEGF tirosin kinase, NVP-BAW288, akan mereduksi jumlah pembuluh darah limfatik dan infiltrasi leukosit kulit serta normalisasi arsitektur dari epidermis. 27 Pengobatan anti psoriasis terbaru (ustekinumab dan ABT-874) secara dominan menargetkan kepada komponen sistem imun seperti TNF-α atau molekul yang terlibat dalam aktivasi sel T, namun belum ditemukannya terapi yang dapat menyembuhkan. Secara mengejutkan pengobatan anti-angiogenik untuk kondisi
Universitas Sumatera Utara
21
inflamasi kronis masih mendapatkan sedikit perhatian, walaupun beberapa terapi untuk psoriasis seperti, paclitaxel dan shark fin cartilage, dikatakan memiliki efek anti-angiogenik. 27 Lebih lanjut dijelaskan keterlibatan yang jelas angiogenesis dalam patogenesis psoriasis dan penggunaaan terapi anti-angiogenik pada kanker manusia menggunakan antibodi monoklonal yang secara langsung melawan VEGF (bevacizumab, AvastinR) yang dikatakan dapat digunakan sebagai pengobatan anti-VEGF pada penderita yang menderita psoriasis. Sebuah penderita melaporkan remisi komplit dari psoriasis selama pemakaian pengobatan bevacizumab pada penyakit kanker kolon mestatasis.27 Studi di masa depan yaitu pendekatan terapeutik menggunakan antibodi anti-VEGF G6-31 pada model tikus genetik dengan peradangan kulit kronis menyerupai psoriasis, dikatakan terbukti menghambat secara poten baik VEGF pada manusia dan tikus. Pengobatan sistemik menggunakan antibodi anti-VEGF pada tikus mutan dikatakan secara kuat mereduksi inflamasi kulit dalam waktu 8 hari pengobatan secara kontras ketika dibandingkan dengan kontrol. Tikus mutan menunjukkan secara keseluruhan perkembangan dari fenotipe psoriasis, normalisasi arsitektur epidermis, dan reduksi dari jumlah dan ukuran pembuluh darah. 27
2.2.3
Peran VEGF dalam angiogenesis dan hubungannya dengan psoriasis Angiogenesis adalah pertumbuhan pembuluh darah baru dari pembuluh
darah yang sudah ada. Angiogenesis dikatakan memiliki hubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
22
kondisi patologi terhadap respon langsung akan kebutuhan jaringan, seperti inflamasi kronis, fibrosis, dan pertumbuhan tumor. Terdapat beberapa inducer angiogenesis yang telah teridentifikasi, seperti keluarga Fibroblast Growth Factor (FGF), VEGF, angiogenin, TGF-α, TGF-β, Platelet-derived Growth Factor, TNF-α, Hepatocyte Growth Factor, Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF), interleukin, kemokin, dan angiopoietin 1 dan 2. Dikatakan VEGF adalah regulator paling poten untuk angiogenesis, dan sering ditemukannya ekspresi VEGF pada inflamasi kronis, dan keganasan.22 VEGF-A terbukti meningkatkan permeabilitas 50,000 kali lebih poten dibandingkan dengan histamin. Proses permeabilitas pembuluh darah ini berperan baik dalam proses
penyembuhan luka fisiologis, namun juga dalam proses
patologis seperti kanker. VEGF-A akan mempromosikan edema dan asites, juga menyebabkan kebocoran zat terlarut yang kecil. Kebocoran protein kecil ini akan menginduksi formasi kaveola oleh VEGF, dan vesiculovacuolar organelles (VVOs), dan pembentukkan pori-pori trans-endothelial. Permeabilitas yang diinduksi VEGF bergantung pada sintesis NO endotelial (eNOS), baik melalui aktivasi phospholipase C-γ dan influks kalsium, atau melalui fosforilisasi dari eNOS oleh AKT/protein kinase B (PKB).24 Angiogenesis dan inflamasi kronis dikatakan memiliki hubungan yang erat, dimana angiogenesis adalah suatu pertanda dari sebagian besar penyakit inflamasi, termasuk psoriasis dan artritis rheumatoid. Pembuluh darah angiogenik pada lokasi inflamasi membesar, terjadi peningkatan permeabilitas untuk menjaga aliran darah dan adanya peningkatan kebutuhan metabolisme dari jaringan.
Universitas Sumatera Utara
23
Beberapa faktor proangiogenik termasuk di dalamnya adalah VEGF dan beberapa anggota kemokin, yang dikatakan meningkat pada kejadian inflamasi.22 Karakteristik yang ditunjukkan pada penyakit psoriasis semakin mendukung peranan dari angiogenesis, baik dalam patogenesis penyakit maupun perkembangan dari penyakit itu sendiri. Dimana terjadi perubahan pada pembuluh darah di dermis dari lesi psoriasis berupa dilatasi, perlekukkan dari kapiler dan pembentukan High Endothelial Venule (HEV), dilatasi dari kapiler ini akan menutrisi kulit yang berploriferasi.7
Universitas Sumatera Utara
24
2.3 Kerangka Teori
Sel
Genetik
Langerhans
Lingkungan Imunologi Sel T
Produksi sitokin pro-inflamasi (IFN-γ, TNF-α) Pe↑an kadar IL-6, KGF, TGF- α Pe↑an Komplemen Pe↓an IL-4, IL-10 Pe↑an ICAM-1, Molekul adhesi Aktivasi NF-kB Produksi sitokin pro-angiogenik (VEGF,bFGF,IL8)
Proliferasi keratinosit Pe↑an angiogenesis (mitosis dan survival sel pembuluh darah endotel) Abnormalisasi struktur pembuluh darah dermis(dilatasi, peningkatan permeabilitas)
Psoriasis vulgaris
SKOR PASI
Universitas Sumatera Utara
25
2.4 Kerangka Konsep
VEGF
SKOR PASI
Universitas Sumatera Utara