BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Botani Solanum betasium Cav.
Terung Belanda awalnya dikenal dengan nama Cyphomandra betacea (Cav) namun kemudian direvisi oleh seorang ahli yang bernama Sendtner menjadi Solanum betaceum (Cav) dan masuk kedalam famili dari Solanaceae. Tanaman ini juga dikenal dengan nama Tamarillo. Tanaman ini berasal dari pegunungan di Andes dan lebih kurang 30 species dari genus ini yang tersebar di bagian selatan Amerika, namun saat ini telah berkembang hingga ke negara-negara tropis lainnya seperti Indonesia. Setelah Terung Belanda menjadi sesuatu komoditi yang diperhitungkan tanaman ini banyak diekspor ke luar negeri termasuk Selandia Baru (Faucon, 1998). Tanaman ini menjadi sangat popular di negara Selandia Baru. Buahnya berbentuk bulat panjang dan memiliki kombinasi rasa antara buah tomat dan jambu biji sehingga masyarakat di Selandia Baru sangat menyukainya. Di Indonesia Terung Belanda dikembangkan di daerah Bali, Jawa Barat, dan Tanah Karo Sumatera Utara (Kumalaningsih, 2006).
Menurut Tjitrosoepomo (2000), kedudukan tanaman Terung Belanda dalam sistematika adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub Divisio
: Angiospermae
Klass
: Dicotyledonae
Ordo
: Solanales
Family
: Solanaceae
Genus
: Solanum
Spesies
: Solanum betaceum Cav.
Pohon Terung Belanda ini memiliki tinggi mencapai 3,5 meter. Daunnya berbentuk oval dengan panjang 6-12 inchi. Bunganya kecil-kecil berwarna merah
Universitas Sumatera Utara
jambu dan tumbuh selama musim semi dan awal musim panas. Buah Terung Belanda akan matang selama musim gugur dan dingin. Saat matang buah ini akan berwarna merah jingga atau keunguan, tergantung varietasnya. Daging buahnya tebal berwarna merah kekuningan, dibungkus oleh selaput tipis yang mudah dikelupas. Daging buah ini melindungi biji-bijinya, yang jumlahnya banyak dan tersusun melingkar dan rapi. Daya tahan pohon ini dapat mencapai 10 tahun. Kendala pertumbuhan biasanya pada daun yang sering dimakan oleh laba-laba atau serangga lainnya. Karena berdaun lebar maka tanaman ini memerlukan pengairan yang teratur (http://www.sinarharapan.co.id, diakses pada tanggal 28 September 2007).
Secara fungsional buah Terung Belanda mempunyai khasiat khusus yang sangat unggul sebagai sumber antioksidan alami karena dapat meluruhkan zat-zat yang bersifat radikal bebas. Buah ini mengandung berbagai jenis vitamin antara lain vitamin E, vitamin A, vitamin C, vitamin B6 (Kumalaningsih, 2006). Terung belanda juga mengandung beberapa komponen lainnya seperti air 80 % -90 %, protein 1,4 % 2 %, lemak 0,1 % - 0,6 %, serat 1,4 %-4,7 %, karbohidrat 110 KJ – 150 KJ (Faucon, 1998).
2.2 Kultur Jaringan
Kultur jaringan tanaman merupakan teknik budidaya (perbanyakan) sel, jaringan, dan organ tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas dari mikroorganisme. Secara umum perbanyakan tanaman berdasarkan perkembangan dan siklus hidupnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu perbanyakan secara seksual dan perbanyakan secara aseksual (Santoso dan Nursandi, 2004).
Berdasarkan bagian tanaman yang dikulturkan secara lebih spesifik terdapat tipe-tipe kultur yaitu, kultur kalus, kultur suspensi sel, kultur anter, kultur akar, kultur pucuk tunas, kultur embrio, kultur ovul, dan kultur kuncup bunga. Kultur jaringan bermula dari adanya pembuktian sifat totipotensi sel, yaitu bahwa setiap sel tanaman yang hidup dilengkapi dengan informasi genetik dan perangkat fisiologis yang
Universitas Sumatera Utara
lengkap untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh, jika berada dalam kondisi yang sesuai. Penemuan zat pengatur tumbuh (ZPT) dan upaya pengembangan formulasi media sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan teknik kultur jaringan (Yusnita, 2003). Zat pengatur tumbuh yang paling sering digunakan adalah asam 2,4-diklorofenoksi asetat (2,4-D) (Wetter & Constabel, 1991). Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman dengan menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat yang steril (Departemen Pertanian, 2007).
Dalam perbanyakan teknik kultur jaringan, eksplan merupakan faktor yang penting dalam penentuan keberhasilan. Menurut Gunawan (1995) disamping eksplan faktor genotip, umur eksplan, letak pada cabang dan seks (pohon jantan atau betina) juga perlu diperhatikan dalam pembuatan kultur jaringan. Eksplan adalah bagian tanaman yang dijadikan bahan inokulum awal yang ditanam dalam media, yang akan menunjukan pertumbuhan dan perkembangan tertentu. Dalam pemilihan bagian tanaman perlu juga dipertimbangkan tujuan dari kultur yang akan dilakukan. Bagian tertentu akan memberikan variasi dalam jumlah kromosom maupun variasi dalam beberapa gen. Santoso & Nursandi (2004) menambahkan bahwa langkah pertama untuk menentukan bagian mana dari tanaman yang akan digunakan sebagai eksplan adalah melihat potensi genetik yang ada pada tanaman dilapangan. Untuk itu perlu dilakukan analisis jaringan secara in vivo untuk mengetahui bagian tanaman yang mempunyai kandungan tertinggi senyawa yang diinginkan. Tanaman yang mempunyai kandungan senyawa tertentu dalam jumlah besar akan mampu menghasilkan senyawa yang sama dalam jumlah besar pula apabila tanaman tersebut dikulturkan secara in vitro. Hal ini sesuai dengan teori totipotensi yang dimiliki suatu sel.
2.3 Media Kultur Jaringan
Universitas Sumatera Utara
Media merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Berbagai komposisi media kultur telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dikulturkan. Media kultur secara fisik dapat berbentuk cair atau padat (Yusnita, 2003). Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu diperlukan pula bahan tambahan seperti agar, gula dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya juga jumlahnya tergantung dengan kebutuhan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan (Departemen Pertanian, 2007).
Medium MS merupakan media yang secara luas dikembangkan pada tahun 1962. Dari berbagai komposisi dasar ini kadang-kadang dibuat modifikasi, misalnya hanya menggunakan setengah dari konsentrasi garam-garam makro yang digunakan atau menggunakan komponen garam-garam makro berdasarkan MS yang disesuaikan (Gunawan, 1994). Medium yang dikembangkan oleh Murashige dan Skoog (MS) untuk kultur jaringan tanaman digunakan secara luas untuk kultivasi kalus pada agar demikian juga kultur suspensi sel dalam medium cair. Keistimewaan medium ini yaitu kandungan nitrat, kalium dan amoniumnya yang tinggi (Wetter & Constabel, 1991). Selain medium MS ada beberapa contoh medium lainnya yaitu komposisi Knudson C (1946), Heller(1953), Nitsch dan Nitsch (1972), Gamborg dkk. B5 (1976), Linsmaier dan Skoog-LS (1965), serta Woody Plant Medium-WPM (Lloyd dan McCown, 1980) (Yusnita, 2003).
Ada medium tertentu yang dapat menumbuhkan eksplan melalui kalus langsung berkembang menjadi plantula, misalnya medium Vacin dan Went untuk kultur jaringan anggrek. Metode ini dinamakan one step method. Kerap kali tidak dapat secepat itu hasil budidaya jaringan dapat dicapai. Misalnya dengan medium tertentu dapat dihasilkan kalus namun tidak mau berkembang menjadi tunas-berakar. Dan setelah diganti medium, maka terjadi diferensiasi menjadi plantula yang mana ini disebut dengan two step methods (Suryowinoto, 1996).
2.4 Zat Pengatur Tumbuh
Universitas Sumatera Utara
Pada tumbuhan zat pengatur tumbuh sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (Abidin,1982). Selain itu zat pengatur tumbuh juga berperan dalam mempercepat terbentuknya kalus serta proses diferensiasi semua fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Heddy, 1986), juga dapat memberikan arah bagi perkembangan sel tanaman (Pierik, 1987). Faktor yang perlu mendapatkan perhatian dalam penggunaan zat pengatur tumbuh antara lain jenis zat pengatur tumbuh
yang
akan
digunakan,
konsentrasi
zat
pengatur
tumbuh,
urutan
penggunaannya, dan periode masa induksi yang dilakukan dalam teknik kultur jaringan tertentu (Gunawan, 1995).
Dalam kultur jaringan zat pengatur auksin dan sitokinin sangat berpengaruh (Gunawan, 1995). Auksin adalah zat pengatur tumbuh yang mempengaruhi pertumbuhan kalus. Jenis auksin buatan yang biasa digunakan adalah IBA, 2,4-D, dan ANA sedangkan yang alami biasa digunakan IAA (Katuuk, 1989). Asam Naftalen Asetat (ANA) adalah senyawa sintetis yang berhasil dibuat. Senyawa ini tidak mengandung ciri-ciri indole tetapi mempunyai aktifitas biologis seperti IAA, ANA dan 2,4-D merupakan golongan auksin sintetis yang mempunyai sifat lebih stabil dari pada IAA karena tidak mudah terurai oleh enzim-enzim yang dikeluarkan oleh sel atau oleh pemanasan pada proses sterilisasi. Sitokinin alamiah yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah zeatin, 2-iP, sedangkan untuk sintetik meliputi BAP dan kinetin (Wattimena, 1988).
2.5 Kalus
Pada batang muda yang terluka sering dijumpai suatu jaringan meristematis penutup luka. Jaringan yang meristematis ini dikenal dengan nama kalus (callus). Kalus merupakan salah satu wujud kumpulan sel yang belum berdiferensiasi. Dalam budidaya in vitro menginduksi terbentuknya kalus merupakan salah satu langkah yang penting. Setelah itu diusahakan rangsangan agar berdiferensiasi membentuk tunas dan akar. Proses mulai terjadinya kalus sampai diferensiasi berbeda-beda, tergantung macam dan bagian tanaman yang dipakai untuk eksplan, metode budidaya in vitro
Universitas Sumatera Utara
yang digunakan. Juga zat-zat tanaman yang dicampurkan pada medium dasar (Suryowinoto, 1996).
Tanaman dapat diperbanyak secara vegetatif menggunakan teknik kultur in vitro dengan teknik kultur kalus atau kultur sel. Jika suatu eksplan ditanam pada medium padat atau dalam medium cair yang sesuai, dalam waktu 2–4 minggu, tergantung spesiesnya maka akan terbentuk kalus yang merupakan massa amorf dan tersusun atas sel-sel parenkim berdinding sel tipis yang berkembang dari hasil poliferasi sel-sel jaringan induk (Yuwono, 2006).
Beberapa jaringan tanaman dapat digunakan untuk membentuk biakkan kalus seperti akar, batang, dan daun. Untuk membentuk kalus, jaringan dipisahkan dari tanaman dan permukaan sayatan disterilkan untuk membunuh pengkontaminasi biakkan. Beberapa biakkan yang membentuk kalus dari tanaman yang tumbuh dalam kondisi aseptik dengan permukaan biji yang disterilkan untuk mengurangi kontaminasi (Nasir, 2002). Membuat kalus berarti menginduksi dari bagian tanaman tertentu, biasanya dengan jalan dirangsang secara hormonal. Hormon yang banyak digunakan untuk induksi kalus adalah auksin. Induksi kalus dipengaruhi oleh auksin. Tahapan induksi kalus adalah suatu tahapan yang penting dalam budidaya kultur jaringan. Tahapan inilah yang merupakan tahapan untuk mendapatkan tanaman utuh atau untuk tujuan lain sesuai yang diinginkan. Sitokinin sering pula digunakan sebagai bahan kombinasi untuk induksi kalus (Santoso & Nursandi, 2004).
Untuk menghasilkan kalus yang baik, zat hara sangat berperan dalam merangsang pertumbuhan sel dengan cepat. Kebutuhan nutrisi mineral untuk tanaman yang dikulturkan secara in vitro pada dasarnya sama dengan kebutuhan hara tanaman yang ditumbuhkan di tanah, yaitu meliputi hara-hara makro dan mikro. Hara makro adalah hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang besar seperti N, P, K, Ca, Mg dan S. Sedangkan hara mikro adalah hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit seperti Fe, Cu, Mn, Zn, B, Mo, dan Co.
2.6 Ethyl Methane Sulphonate (EMS)
Universitas Sumatera Utara
Ethyl Methane Sulphonate (EMS) dapat menyebabkan mutasi yang
terjadi pada
tingkat DNA pada berbagai jenis organisme (Priyono & Agung, 2002). Mutasi dengan menggunakan mutagen kimia EMS telah banyak dilakukan pada berbagai spesies tanaman. EMS merupakan kelompok alkil yang dapat mengubah basa-basa DNA (guanin dan timin) menjadi basa lain dan akan berpasangan dengan basa yang berbeda sehingga terjadi transisi (Purwati et al. 2007). EMS telah terbukti telah menghasilkan mutan antara lain daun variegata pada Arabidopsis (Chen et al. 2000), jumlah cabang yang banyak pada kenaf (Arumingtyas & Indriani, 2005), peningkatan keragaman Abaka serta resistensinya (Purwati et al. 2007).
Aplikasi mutagen secara in vitro telah lazim digunakan dalam metode mutasi buatan seiring dengan keberhasilan aplikasi teknik perbanyakan in vitro pada berbagai jenis tanaman. Prinsip dasar mutasi in vitro adalah meningkatkan frekuansi variasi somaklonal dan meningkatkan efektifitas variasi somaklonal sehingga keragaman genetik tanaman diharapkan akan meningkat. Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan EMS. Salah satunya adalah penelitian tentang perlakuan pemberian EMS terhadap pembentukan sisik mikro tanaman Lily Kerk yang telah dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Bahan yang digunakan adalah umbi Lily Kerk kultivar lokal, bahan kimia penyusun media MS, bahan sterilisasi, EMS (Ethyl Methane Sulphonate), dan asam thioglikolat. Hasil menunjukkan bahwa EMS pada konsentrasi 0,05 % dapat berfungsi sebagai zat pengatur tumbuh dalam hal peningkatan nilai jumlah bulbet dan persentase perakaran, sedangkan pada konsentrasi 0,1 % EMS mampu memacu peningkatan jumlah bulbet. Hal yang sama juga ditunjukkan pada penggunaan 2,4-D yang mana pada konsentrasi tinggi dapat sebagai herbisida namun pada konsentrasi rendah justru memacu pembelahan sel tanaman. Perendaman eksplan dalam EMS selama 4 hari memungkinkan terjadinya proses difusi EMS secara maksimal ke dalam jaringan, sehingga dihasilkan tanaman yang beragam dalam hal pembungaan, pertumbuhan serta hasil uji DNA mutan. (Priyono & Agung, 2002).
2.7 Peroksidase dan Polifenol Oksidase
Universitas Sumatera Utara
Enzim adalah protein khusus yang disintesis oleh sel hidup untuk mengkatalis reaksi yang berlangsung di dalamnya. Oleh karena reaksi yang terjadi banyak maka biokatalisator yang dibentuk jumlah ataupun jenisnya tak terhitung banyaknya. Enzim pertama kali dikenal sebagai protein oleh Sumner pada tahun 1926 yang telah berhasil mengisolasi urease dari kara pedang (Martoharsono, 1998).
Enzim dikatakan sebagai suatu kelompok protein yang berperan sangat penting dalam proses aktivitas biologi. Reaksi atau proses kimia yang berlangsung di dalam tubuh dimungkinkan karena adanya katalis yang disebut enzim (Poedjiadi, 2004). Enzim ini berfungsi sebagai katalisator dalam sel yang mempunyai sifat yang khas karena hanya bekerja pada substrat dan bentuk reaksi yang tertentu (Girindra, 1990). Ada juga enzim yang bekerja terhadap lebih dari satu substrat namun enzim tersebut tetap saja mempunyai kekhasan tertentu (Poedjiadi, 1994). Dalam jumlah yang sangat kecil, enzim dapat mengatur reaksi tertentu sehingga dalam keadaan normal tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan hasil akhir reaksinya. Menurut Gaman & Sherington (1992) bahwa kerja enzim dipengaruhi oleh suhu, pH, kofaktor dan aktivator serta konsentrasi dari substratnya. Enzim dapat mengontrol dan mengkatalisis aktifitas kimia dari sel makhluk hidup (page, 1989). Salah satu fungsi yang menonjol dari protein adalah aktifitas enzim. Enzim mengontrol dan mengkatalis aktifitas kimia dari sel makhluk hidup (Page, 1989).
Isozim adalah enzim yang merupakan produk langsung dari gen, terdiri dari berbagai molekul aktif yang mempunyai struktur kimia yang berbeda tetapi mengkatalisis reaksi yang sama. Enzim merupakan protein biokatalisator untuk proses-proses fisiologi tanaman yang pengadaan dan pengaturannya dikontrol secara genetik Penggunaan penandaan isozim mempunyai kelebihan karena isozim diatur oleh gen tunggal dan bersifat kodominan dalam pewarisan dan bersegregasi secara normal. Penanda ini bersifat stabil karena tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, lebih cepat dan akurat karena tidak menunggu tanaman ini sampai bereproduksi (Poedjiadi, 1994).
2.7.1 Peroksidase
Universitas Sumatera Utara
Peroksidase terdistribusi luas pada banyak jenis tanaman dan luas pada banyak bagian dari tanaman antara lain terdapat pada bagian organ tanaman, jaringan tanaman, sel serta komponen subselulernya termasuk organel sel (Birecka et al. 1975; Catesson et al. 1986). Peroksidase merupakan anggota dari enzim reduktase yang dianggap memiliki hubungan nyata dengan penyebab perubahan pada rasa, warna, tekstur dan kandungan gizi buah-buahan dan sayur-sayuran yang belum diolah. Peroksidase pada tanaman merupakan isozim yang berperan dalam pertumbuhan, diferensiasi dan pertahanan. Aktivitas isozim peroksidase dapat dideteksi karena adanya aktivitas yang luar biasa pada jaringan. Peroksidase mengkatalisis H2O2 menjadi H2 dan O2 (Gaspar et al. 1980).
Ada beberapa fungsi dari peroksidase yaitu sebagai pengontrol tingkat regulasi hormon dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Lewak, 1986), serta dapat dijadikan sebagai indikasi resistensi pada jaringan tanaman Penelitian mengenai peroksidase yang berhubungan dengan resistensi tanaman telah banyak dilakukan, khususnya pada penelitian 29 genotip cabai merah yang diinfeksi dengan Cucumber Mosaic Virus (CMV). Hasil yang diperoleh ada beberapa genotip cabai merah yang tahan terhadap CMV dan dapat digunakan sebagai sumber gen ketahanan terhadap CMV. Intensitas penyakit berkaitan cukup erat dengan tingkat konsentrasi virus sehingga variabel yang diperoleh layak digunakan untuk mengukur tingkat kerentanan atau ketahanan tanaman cabai merah terhadap CMV. Aktivitas enzim peroksidase pada tanaman cabai merah yang terinfeksi CMV berperan dalam mekanisme ketahanan terhadap infeksi virus. Mekanisme ketahanan dapat terlihat dengan adanya pembentukan lignifikasi pada dinding sel, pembentukan senyawa fitoalexin serta adanya reaksi hipersensitif pada jaringan tanaman, dengan demikian perkembangan patogen dapat terhambat (Herison et al. 2007).
2.7.2 Polifenol Oksidase
Universitas Sumatera Utara
Enzim diproduksi pada bagian-bagian tanaman yang dapat dideteksi pada organ tanaman, jaringan tanaman, sel serta lokasi terkecil dari sel yaitu organel dan bagian lain yang mudah terlarut dari sel (Kar & Mishra, 1976; Sato & Hasegawa, 1976). Tingkat aktivitas polifenol oksidase sering berubah-ubah selama terjadinya proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Aktivitas polifenol oksidase akan meningkat dengan adanya pelukaan yang terjadi pada jaringan tanaman yang dapat disebabkan oleh tekanan mekanik ataupun oleh adanya infeksi (Jeannings et al. 1969). Tolbert (1973) menambahkan bahwa inhibitor yang dapat menghentikan kerja dari enzim ini seperti dengan pemberian 1-cysteine dan glutathione dalam konsentrasi rendah. Dalam beberapa penelitian sebelumnya dikatakan bahwa polifenol oksidase memiliki tingkat energi serta aktivitas yang lebih tinggi dibanding dengan peroksidase dalam suatu tanaman.
Pada organ daun, polifenol oksidase terlokalisasi pada kloroplas dan tidak terdapat pada bagian sitoplasmanya. Aktivitasnya terdapat pada bagian lamelar dan tidak sampai ke plastida. Pada daun, aktivitasnya dapat diukur pada suhu antara 4 oC sampai dengan 8 oC . Pada beberapa tanaman seperti tomat, kacang-kacangan dan pada
daun
jagung
enzim
polifenol
oksidase
ini
dapat
mengoksidasi
dihidrophenilalanin pada keadaan tanpa cahaya (Tolbert, 1973).
Katekol oksidase sering juga disebut polifenol oksidase, polifenolase, atau fenolase. Polifenol oksidase berperan dalam proses oksidasi enzimatik polifenol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulianto, et al. (2007) mengenai model perpindahan massa proses steaming inaktivitasi polifenol oksidase dalam pengolahan teh hijau. Dalam penelitiannya dikatakan bahwa, katekin banyak terkandung pada pucuk tanaman teh yang memberikan mutu, baik cita rasa, kenampakan ataupun warna air seduhan teh. Katekin merupakan senyawa yang dihasilkan dari hasil oksidasi katekol oksidase yang sering disebut polifenol oksidase. Oksidasi enzimatik polifenol oksidase dan katekin akan terjadi bila keduanya bergabung dalam sel daun teh.
Universitas Sumatera Utara