5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Siklus Menstruasi Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus,
disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium (Prawirohardjo, 2005), sedangkan siklus menstruasi adalah menstruasi yang berulang setiap bulan yang merupakan suatuproses kompleks yang mencakup reproduktif dan endokrin yang berangkai secara kompleks dan saling mempengaruhi (Sherwood, 2009). Panjang siklus menstruasi adalah jarak antara tanggal mulainya menstruasi yang lalu dan mulainya menstruasi berikutnya. Hari mulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus (Prawirohardjo, 2005). Panjang siklus menstruasi yang normal atau dianggap sebagai siklus menstruasi klasik adalah 28 hari, tetapi variasinya cukup luas biasanya berlangsung selama kurang lebih 7 hari.Lama perdarahan sekitar 3-5 hari dengan jumlah darah yang hilang sekitar 30-40 cc (Bobak, 2005). Pada setiap siklus, saluran reproduksi wanita dipersiapkan untuk fertilisasi dan implantasi ovum yang dibebaskan dari ovarium saat ovulasi. Jika pembuahan tidak terjadi, maka siklus akan berulang. Jika pembuahan terjadi, maka siklus terhenti sementara dan sistem pada wanita tersebut beradaptasi untuk memelihara dan melindungi makhluk hidup yang baru terbentuk sampai dapat berkembang menjadi individu yang dapat berkembang di luar lingkungan ibu (Sherwood, 2009).
2.2
Fisiologi Menstruasi Siklus menstruasi normal merupakan hasil interaksi antara hipotalamus,
hipofisis, dan ovarium (hypothalamic-pituitary-ovarian axis). Hipotalamus menghasilkan faktor yang telah dapat diisolasi dan disebut Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) karena dapat merangsang pelepasan Luteinizing
Universitas Sumatera Utara
6
Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisis. Sedangkan ovarium menghasilkan hormon steroid, terutama estrogen dan progesteron. Perubahan-perubahan
kadar
hormon
sepanjang
siklus
menstruasi
disebabkan oleh mekanisme umpan balik (feedback) antara hormon yang dihasilkan oleh ovarium dan hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus (Prawirohardjo, 2005). Hipotalamus + GnRH ++ Hipofisis Anterior + Sel penghasil LH
Sel Penghasil FSH
LH
FSH
++ Folikel Ovarium Matang Lonjakan LH
Kadar Estrogen
Ovulasi
Tinggi Gambar 2.1. Mekanisme umpan balik hormon-hormon yang berperan dalam siklus menstruasi Siklus
menstruasi
normal
dapat
dipahami
dengan
baik
dengan
membaginya atas 2 fase dan 1 saat, yaitu fase folikular, saat ovulasi, dan fase luteal (Prawirohardjo, 2005). 1. Fase Folikular Setiap saat selama siklus, sebagian dari folikel-folikel primer mulai berkembang. Pada fase ini, terjadi peningkatan hormon FSH untuk membantu
Universitas Sumatera Utara
7
perkembangan dan pematangan folikel. Dengan berkembangnya folikel, produksi estrogen meningkat dan ini akan memberi efek feedback, yaitu penekanan produksi hormon FSH. Hanya folikel dengan lingkungan hormonal tepat untuk mendorong
pematangannya
yang
berlanjut
melewati
tahap-tahap
awal
perkembangan. Folikel yang lain karena tidak mendapat bantuan hormon akan mengalami atresia. Pada waktu ini, LH juga meningkat untuk membantu pembuatan estrogen dalam folikel. Perkembangan folikel berakhir setelah kadar estrogen dalam plasma meningkat secara signifikan. Selama pembentukan folikel, seiring dengan pembentukan dan penyimpanan bahan oleh oosit primer untuk digunakan jika dibuahi, terjadi perubahan-perubahan penting di sel-sel yang mengelilingi oosit dalam persiapan untuk pembebasan sel telur dari ovarium (Sherwood, 2009). 2. Saat ovulasi Pada saat ovulasi, kadar estrogen perlahan-lahan meningkat dan kemudian dengan cepat mencapai puncaknya dan akan menyebabkan lonjakan LH pada pertengahan siklus. Lonjakan LH ini menyebabkan empat perubahan besar dalam folikel : a. Hal ini menghentikan sintesis estrogen oleh sel folikel. b. Hal ini memicu kembali meiosis di oosit folikel yang sedang berkembang. c. Hal ini memicu pembentukan prostaglandin kerja lokal yang akan memicu ovulasi
dengan
mendorong
perubahan
vaskular
yang
menyebabkan
pembengkakan cepat folikel dan menginduksi digesti enzimatik dinding folikel yang akan menyebabkan pecahnya dinding folikel yang menutupi tonjolan folikel. d. Hal ini menyebabkan diferensiasi sel folikel menjadi sel luteal. Lonjakan LH di pertengahan siklus akan mengakhiri fase folikular dan memulai fase luteal. (Sherwood, 2009). 3. Fase Luteal Setelah memicu pembentukan korpus luteum, LH merangsang sekresi berkelanjutan hormon steroid oleh struktur ovarium ini. Di bawah pengaruh LH, korpus luteum mengeluarkan progesteron dan estrogen. Kadar progesteron akan
Universitas Sumatera Utara
8
meningkat dan kadar estrogen juga meningkat tetapi tidak sampai mencapai kadar yang sama ketika fase folikular. Progesteron akan mendominasi fase luteal dan akan menghambat sekresi LH dan FSH untuk mencegah pematangan folikel baru dan ovulasi selama fase luteal. Korpus luteum berfungsi selama kurang lebih dua minggu dan akan berdegenerasi jika tidak terjadi fertilisasi. Proses degenerasi ini ditandai dengan berkurangnya kapiler-kapiler darah dan menurunnya sekresi progesteron dan estrogen. Hilangnya efek inhibisi kedua hormon ini akan memungkinkan sekresi FSH dan LH kembali meningkat dan akan mempengaruhi kelompok folikel primer untuk matang kembali dan memulai kembali fase folikular baru. Pada kehamilan, hidupnya korpus luteum diperpanjang oleh rangsangan Human Chorionic Gonadotrophin (HCG) yang disekresi oleh blastokista yang tertanam. Hal ini terjadi sampai 9-10 minggu kehamilan dan fungsinya akan diambil alih oleh plasenta. (Prawirohardjo, 2005).
Gambar 2.2 Perubahan struktur dan hormonal selama siklus menstruasi
Universitas Sumatera Utara
9
2.3
Keteraturan Siklus Menstruasi Panjang siklus menstruasi adalah jarak antara tanggal mulainya menstruasi
yang lalu dan mulainya menstruasi berikutnya (Prawirohardjo, 2005). Panjang siklus menstruasi mengalami kesalahan ±3 hari karena waktu keluarnya darah dari ostium uteri eksternum (OUE) tidak dapat diketahui secara tepat. (Winkjosastro, 2007). Menurut Tarigan (2010) dalam Pratiwi (2011), ketidakteraturan siklus menstruasi adalah kondisi dimana siklus bervariasi dari bulan ke bulan Ketidakteraturan siklus menstruasi pada masa-masa awal merupakan suatu hal yang fisiologis. Baziad (2009) dalam Pratiwi (2011) juga menyatakan bahwa mungkin saja jarak antar siklus berlangsung selama dua bulan atau mengalami dua siklus menstruasi dalam satu bulan.
2.4
Faktor-faktor yang mempengaruhi keteraturan siklus menstruasi
2.4.1
Status Gizi Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan
oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Status ini merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran berdasarkan pangan yang dikonsumsi (Sunarti, 2004).Menurut Almatsier (2009), status gizi adalah suatu kondisi tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Penilaian status gizi dapat dilakukan melalui penilaian secara langsung dan tidak langsung (Supriasa, 2002). Secara langsung dapat dilakukan dengan metode biokimia, biofisik, cara klinis, dan metode antropometri. Sedangkan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan metode survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi. Penilaian status gizi untuk dewasa yang lazim digunakan adalah metode antropometri karena relatif sederhana dan mudah untuk dilakukan. Alat yang digunakan relatif mudah ditemukan dan diaplikasikan.
Universitas Sumatera Utara
10
Metode antropometri dilakukan dengan mengukur berat badan dan tinggi badan kemudian menginterpretasikan status gizi dalam bentuk Indeks Massa Tubuh yang dapat diperoleh dengan rumus : IMT = Berat badan (kg) Tinggi badan (m2) Klasifikasi Indeks Massa Tubuh yang dikeluarkan oleh WHO untuk digunakan secara internasional tidak dapat diaplikasikan untuk orang Indonesia karena kepadatan dan ukuran tulang akan mempengaruhi perhitungan berat badan. Maka, Departemen Kesehatan mengeluarkan klasifikasi Indeks Massa Tubuh khusus untuk orang Indonesia (Riyadi, 2010).
Tabel 2.1. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) berdasarkan WHO (2004) Klasifikasi Underweight Berat
IMT < 18,50 < 16,00
Sedang
16,00 – 16,99
Ringan
17,00 – 18,49
Normal Overweight
18,50 – 24,99 ≥ 25,00
Pre-Obese
25,00 – 29,99
Obesitas
≥ 30,00
Obesitas Kelas 1
30,00 – 34,99
Obesitas Kelas 2
35,00 - 39,99
Obesitas Kelas 3
≥ 40,00
Universitas Sumatera Utara
11
Tabel 2.2. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) berdasarkan Departemen Kesehatan Repubik Indonesia (2005) Kategori
IMT
Kurus Kekurangan Berat Badan Tingkat Berat
< 17,00
Kekurangan Berat Badan Tingkat Sedang
17,00 – 18,50
Normal
18,50 - 25,00
Gemuk Kelebihan Berat Badan Tingkat Ringan
> 25,00 – 27,00
Kelebihan Berat Badan Tingkat Berat
> 27,00
Status Gizi mempunyai peranan penting dalam siklus menstruasi. Diperlukan paling tidak 22% lemak dan indeks tubuh yang lebih besar dari 19 kg/m2 agar siklus ovulatorik dapat terpelihara dengan normal. (Coad, 2007). Siklus menstruasi sendiri sangat bergantung pada mekanisme hormonal, termasuk hormon estrogen yang memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap mekanisme feedback (Prawirohardjo, 2005). Selain dihasilkan di ovarium di bawah kontrol hipotalamus, estrogen juga dapat dihasilkan dari jaringan lemak. Dengan demikian, produksi estrogen juga bergantung pada berat badan dan komposisi lemak tubuh (Proverawati, 2009). Obesitas dapat menyebabkan gangguan siklus menstruasi melalui jaringan adiposa yang secara aktif mempengaruhi rasio hormon androgen dan estrogen. Pada wanita dengan obesitas terjadi peningkatan produksi estrogen yang apabila terjadi secara terus-menerus secara tidak langsung akan menyebabkan peningkatan hormon androgen yang dapat mengganggu perkembangan folikel sehingga tidak dapat menghasilkan folikel yang matang (Rakhmawati, 2012). Waryana (2010) dalam Wahyuni (2012) mengatakan bahwa pada keadaan gizi kurang atau terbatas juga terjadi gangguan fungsi reproduksi dan perubahan kadar hormon estrogen yang akan mempengaruhi keteraturan siklus menstruasi. Jappe et al (2014) juga menyatakan bahwa wanita dengan
malnutrisi
atau
Universitas Sumatera Utara
12
underweight umumnya akibat eating disorder, mengalami keterlambatan dalam maturitas seksual dan menyebabkan risiko siklus menstruasi yang tidak teratur. Selain itu, sekresi hormon LH yang terganggu akibat penurunan berat badan juga akan mengganggu siklus dengan menyebabkan pemendekan fase luteal (Coad, 2007).
2.4.2
Stress Stress merupakan respons nonspesifik generalisata tubuh terhadap setiap
faktor yang mengalahkan, atau mengancam untuk mengalahkan kompensasi tubuh untuk mempertahankan homeostasis (Sherwood, 2009). Respon utama terhadap rangsangan stress adalah pengaktifan sistem saraf simpatis generalisata dan pengaktifan sistem CRH-ACTH-kortisol (Corticotropinreleasing hormone-Adenocorticotropik Hormone) (Sherwood, 2009). Stress akan memicu produksi hormon kortisol yang berlebihan, dimana hormon ini bekerja mengatur seluruh sistem di dalam tubuh, termasuk sistem reproduksi. Produksi kortisol yang berlebihan ini akan mempengaruhi pengeluaran hormon dari korteks adrenal, terutama hormon estrogen yang nantinya akan mempengaruhi kelancaran siklus menstruasi dan akan memicu perubahan-perubahan dependen androgen pada wanita (Duchesne, 2013). Dalam pengaruhnya terhadap sistem menstruasi, stress melibatkan sistem neuroendokrinologi sebagai sistem yang besar peranannya dalam reproduksi wanita. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa pada saat terjadi stress, terjadi aktivasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal bersama-sama dengan aktivasi saraf
otonom
yang
menyebabkan
beberapa
perubahan,
salah
satunya
menyebabkan gangguan pada sistem reproduksi, yakni siklus menstruasi yang abnormal (Pinasti et al, 2012).
2.4.3
Olahraga yang teratur Beberapa penelitian mengatakan bahwa olahraga yang teratur dapat
mempengaruhi keteraturan siklus menstruasi. Olahraga yang teratur akan menyebabkan terjadinya gangguan pada aksis hypothalamus-hipofisis-ovarium
Universitas Sumatera Utara
13
yang akan menyebabkan penekanan sekresi pulsatil GnRH dari hypothalamus. Penekanan pulsatil GnRH ini juga diyakini akibat penggunaan energi yang berlebihan yang melebihi pemasukan energi pada orang-orang yang berolahraga secara teratur. Akibatnya, sekresi LH dan FSH akan berkurang dan membatasi stimulasi ke ovarium dan produksi estradiol dan mengakibatkan pemanjangan siklus folikuler dan hilangnya LH peak
pada tengah siklus (fase ovulasi)
(Dayanti, 2004). Olahraga memang memberikan banyak keuntungan, tetapi olahraga yang berlebihan dapat menyababkan gangguan pada siklus menstruasi. Gangguangangguan yang dapat terjadi, yaitu gangguan keteraturan siklus menstruasi hingga amenorea (tidak mengalami menstruasi), penipisan tulang (osteoporosis), perdarahan abnormal, dan infertilitas. Sifat dan tingkat keparahan gejala tergantung pada beberapa hal, seperti jenis olahraga, intensitas dan durasi olahraga (Asmarani, 2010).
2.4.4
Penyakit yang berhubungan dengan sistem reproduksi Penyakit
reproduksi
seperti
polycystic
ovary
syndrome
(PCOS),
endometriosis, tumor ovarium, dan kanker serviks dapat menyebabkan perubahan kadar
hormon
sehingga
mempengaruhi
keteraturan
siklus
menstruasi
(Winkjosastro, 2007).
2.4.5
Merokok Siklus menstruasi pada perokok berat cenderung lebih pendek dan lebih
tidak teratur dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok (Winkjosastro, 2007).
2.4.6
Kelainan genetik Kelainan genetik, seperti sindrom cushing, sindrom asherman, sindrom
turner, sindrom testicular feminization dapat menyebabkan terjadinya amenore primer (Winkjosastro, 2007).
Universitas Sumatera Utara
14
2.4.7
Konsumsi obat-obatan Konsumsi kontrasepsi hormonal atau obat-obatan yang meningkatkan
kadar hormon prolaktin dapat menyebabkan perubahan siklus menstruasi. Konsumsi obat-obatan jenis ini dapat menyebabkan manipulasi siklus menstruasi dan memaksa tubuh untuk membentuk siklus buatan (Smith, 2000).
Universitas Sumatera Utara