BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kayu Kebutuhan manusia akan kayu terus meningkat, walaupun produksi hutan alam untuk menghasilkan kayu semakin berkurang dari tahun ke tahun. Berbagai kegunaannya di dalam kehidupan manusia, membuat fungsi kayu semakin berkembang dan beragam sesuai dengan sifat alami kayu itu sendiri (Sitorus, 2009). Kayu ataupun pohon dikategorikan atu diklasifikasikan kedalam dua jenis yaitu : kayu keras (hard wood) dan kayu lunak (soft wood). Secara botanis, pohon dari kayukeras berbeda dengan pohon dari kayu lunak. Keduanya termasuk didalam divisi spermatophyta yang berarti tumbuh-tumbuhan berbiji. Daun jarum mencirikan kayulunak, pohon-pohon seperti itu umunya dikenal sebagai pohon yang selalu hijau karena memang selalu berdaun hijau sepanjang tahun dan hanya sebagian sebagian saja dari daunnya yang tanggal. Kebanyakan kayu-lunak mempunyai buah bersisik yang berbentuk seperti kerucut. Sedangkan kayu-keras dicirikan dengan kayu daun ini dikarenakan kayu-keras mempunyai daun yang lumayan lebar dan tidak seperti daun jarum .
2.2. Lignin Lignin adalah bahan polimer alam kedua terbanyak setelah selulosa, lignin berada pada dinding sel dan antar sel, membuat kayu keras dan mampu menahan stress mekanik. Lignin berada dengan
polisakarida kayu, seperti selulosa dan hemiselulosa yang
mempunyai afinitas yang kuat terhadap molekul air (hidrofobik) dan berfungsi mengontrol penyerapan air oleh kayu. Lignin merupakan perekat alam, suatu polimer kompleks penyusun kayu (Wagener, 1985). Polimer lignin terdiri dari gugus metoksil, hidroksil fenolik, benzil alkohol, dan karbonil alkohol serta beberapa terminal gugus aldehida yang berada pada ikatan sampingnya . Gugus fungsional yang sama yang terdapat dalam polimer lignin juga
Universitas Sumatera Utara
terdapat dalam prekursor lignin. Perbedaan distribusi dari gugus fungsional yang terdapat dalam lignin berbeda-beda bergantung pada jenis kayu. (Li Jingjing, 2011) Kemampuan lignin untuk meredam kekuatan mekanis yang dikenakan pada kayu, memungkinkan usaha pemanfaatan lignin sebagai bahan perekat (adhesive) dan bahan pengikat (binder) pada papan partikel (particle board) atau kayu lapis (plywood). Ketahanan terhadap perlakuan biokimia (fisiologis) dan perlakuan kimia di dalam batang melalui mekanisme enzimatik dan reaksi redoks memungkinkan lignin untuk diolah menjadi zat antioksidan (Rudatin, 1989). Sulitnya upaya pembuatan lignin sebagai bahan baku perekat termoset, telah mendorong pemakaian lignin ini sebatas hanya sebagai campuran bahan perekat, dengan maksud untuk menghemat pemakaian perekat utama (Santoso, 2004).
2.3. Gipsum Gipsum murni merupakan suatu mineral yang berwarna putih hingga transparan, namun gipsum yang tidak murni memiliki warna abu-abu, coklat, atau merah muda. Secara kimia, gipsum memiliki nama kalsium sulfat dihidrat (CaSO 4 .2H 2 O). Ketika gipsum dipanaskan, maka akan melepaskan satu setengah molekul air sehingga akan menjadi suatu molekul gipsum hemihidrat (CaSO 4 .½H 2 O), yang lebih lembut dan lebih mudah dihaluskan menjadi serbuk yang disebut plaster gipsum hemihidrat. Jika serbuk gipsum ini dicampurkan dengan air maka akan membentuk pasta atau bubur, kemudian akan mengering dan membentuk suatu ikatan yang kuat. Gipsum dapat menghasilkan suatu material bangunan yang ideal dikarenakan sifatnya yang tahan terhadap api, murah, dan kuat (Olson, 2001). Gipsum adalah batu putih yang terbentuk karena pengendapan air laut. Gipsum merupakan mineral terbanyak dalam batuan sedimen. Di alam gipsum merupakan mineral hidroskalsium sulfat (CaSO 4 .2H 2 O). Sifat fisik mineral antara lain : berwarna putih, kuning, abu-abu, merah jingga, atau hitam, bila tidak murni : lunak, pejal, kekerasan dan mempunyai kilap sutera. Kelarutan air adalah 2,1 g/l pada suhu 40 oC; 1,8 g/l pada 0 oC dan 1,9 g/l pada suhu 70 – 90 oC. Kelarutan bertambah dengan
Universitas Sumatera Utara
penambahan HCl atau HNO 3 . Pada umumnya gipsum mempunyai komposisi CaO; 32,6%; SO 3 ; 46,5%, dan H 2 O; 20,9%. Berdasarkan proses terbentuknya gipsum dibagi menjadi dua jenis yaitu : 1. Gipsum alam, yaitu merupakan mineral hidrous sulfat yang mengandung dua molekul air dengan rumus kimia CaSO 4 .2H 2 O, dimana jenis batuannya adalah satinspar, alabaster, gypsite dan selenit, dengan warna bervariasi mulai dari putih, kekuning-kuningan sampai abu-abu. 2. Gipsum sintetis, yaitu gipsum yang diperoleh dengan memproses air laut dan air kawah yang banyak mengandung sulfat dengan menambahkan unsur kalsium ke dalamnya, dan sumber lainnya adalah gipsum sebagai produk sampingan pembuatan asam fosfat, asam sulfat, dan asam sitrat. Saat ini gipsum sebagai bahan bangunan digunakan untuk membuat papan gipsum dan profil pengganti eternit asbes. Papan gipsum profil adalah salah satu produk jadi setelah material gipsum diolah melalui proses pabrikasi menjadi tepung. Papan gipsum profil digunakan sebagai salah satu elemen dari dinding partisi dan plafon.
2.4. Papan Gipsum Plafon Papan gipsum adalah salah satu produk jadi setelah material gipsum diolah melalui proses pabrikasi menjadi tepung. Papan gipsum digunakan sebagai salah satu elemen dari dinding partisi dan plafon. Papan gipsum plafon merupakan papan yang digunakan untuk konstruksi bangunan, khususnya pada dinding-dinding langit yang bahan dasarnya menggunakan gipsum. Dimana kelebihan dari pada papan gipsum yaitu mudah didesain dan enak dipandang (artistik), ruangan menjadi lebih sejuk karena dapat menahan panas, dapat sebagai peredam suara yang baik terutama untuk air hujan yang jatuh dari atap. Papan gipsum juga digunakan sebagai plafon dimana gipsum mempunyai kelendutan paling minimal, fleksibel dan memiliki kemampuan konduktivitas suhu yang rendah. Berdasarkan sifat di atas gipsum sebagai plafon dengan mudah dapat di
Universitas Sumatera Utara
modifikasi sesuai dengan kebutuhan. Kekuatan papan gipsum berbanding lurus dengan ketebalannya.
2.5. Pemanfaatan Papan Gipsum Plafon Sebagai Pengganti Asbes Sekitar tahun 80-an bahan asbes umumnya sangat akrab digunakan sebagai penutup atap dan plafon rumah. Selain harga dan pemasangannya mudah karena asbes memiliki bobot yang ringan sehingga tidak membutuhkan gording yang khusus. Asbes plat biasanya digunakan sebagai partisi dan plafon. Karena sifatnya tahan panas, kedap suara dan kedap air, asbes juga sering digunakan pada insolating pipa pemanas dan juga untuk panel akustik. Sebenarnya asbes termasuk dalam kategori bahan berbahaya, karena asbes terdiri dari serat-serat yang berukuran sangat kecil, kira-kira lebih tipis dari 1/700 rambut kita. Serat-serat ini menguap di udara dan tidak larut dalam air, jika terhirup oleh paru-paru akan menetap di sana dan menyebabkan berbagai macam penyakit. Adapun beberapa penyakit yang ditimbulkan karena asbes antara lain yaitu : 1. Asbestosis, yaitu luka pada paru-paru hingga kesulitan bernafas dan dapat mengakibatkan kematian. 2. Mesothelioma, sejenis kanker yang menyerang selaput pada perut dan dada, muncul gejalanya setelah 20-30 tahun sejak pertama kali menghirup serat asbes. 3. Kanker paru-paru, biasanya asbes putih penyebab utama kanker paru-paru. Di Indonesia, pemakaian asbes sebagai bahan bangunan (misal genteng) masih sering ditemukan. Ini berarti terdapat risiko terkena pajanan asbes bagi pekerja di industri yang memproduksi bahan bangunan yang mengandung asbes tersebut sehingga risiko untuk terkena gangguan fungsi paru dan kanker paru atau mesotelioma sangat tinggi (Samara, 2002). Sejak tahun 2001 pemerintah sudah melarang penjualan dan penggunaan asbes sebagai atap rumah. Sehingga banyak yang sekarang menggunakan triplek ataupun papan gipsum plafon sebagai pengganti asbes.
Universitas Sumatera Utara
2.6. Jerami Jerami merupakan suatu material yang kaya dengan serat, sampai sekarang masih terbuang percuma, dibakar, dan belum termanfaatkan. Jerami padi mengandung serat berlignoselulosa, artinya suatu bahan yang mengandung serat dan lignin. Kandungan beberapa sumber serat sebagai biomassa ditunjukkan pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Kandungan Beberapa Sumber Serat Sebagai Biomassa No.
Jenis
Sellulosa
Hemisellulosa
(%)
(%)
Lignin (%)
Abu (%)
1.
Kayu lunak
41
24
27,8
0,4
2.
Kayu keras
39
35
19,5
0,3
3.
Jerami
30,2
24,5
11,9
16,1
4.
Bagas tebu
33,6
29
18,5
23
Tabel 2.1 menunjukkan jerami padi sebagai bio-massa lignoselulosa terdiri atas campuran polimer karbohidrat yaitu selulosa dan hemiselulosa, atau disebut juga holoselulosa. Holoselulosa adalah bagian serat yang bebas lignin. Sifat morfologi dan kandungan kimia jerami padi ditunjukkan dalam tabel 2.2. Peranan dimensi serat (panjang serat, diameter serat dan tebal dinding serat) pada bahan baku serat mempunyai hubungan satu dengan lainnya, yang kompleks dan mempunyai pengaruh terhadap sifat-sifat fisik dari produk yang dihasilkan, seperti kepadatan, kekuatan, fleksibilitas, kelicinan, porositas dan lainnya.
Tabel 2.2 Sifat Morfologi dan Kandungan Kimia Jerami Padi No. 1.
Komponen Panjang serat (mm)
Nilai 0,96
Universitas Sumatera Utara
2.
Diameter serat (mm)
0,00929
3.
Tebal dinding serat (mm)
0,00297
4.
Lignin (%)
25,99
5.
Selulosa Alpha (%)
37,81
6.
Holo selulosa (%)
80,60
7.
Ekstraktif (%)
4,13
Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang cukup besar jumlahnya dan belum sepenuhnya dimanfaatkan. Produksi jerami padi bervariasi yaitu dapat mencapai 12 – 15 ton per hektar satu kali panen atau 4 – 5 ton bahan kering tergantung pada lokasi atau jenis varietas tanaman yang digunakan. Produksi jerami padi yang dihasilkan sekitar 50% dari produksi gabah kering panen. Sampai saat ini limbah padat jerami padi belum lagi termanfaatkan secara maksimal. Padahal produksi jerami padi di Indonesia sekitar 43% dari total produksi limbah pertanian yang ada. Sebagian kecil limbah jerami padi diolah menjadi kompos dan juga pakan ternak. Umumnya setelah panen, jerami dibakar untuk membersihkan lahan. Akan merupakan suatu langkah yang bijak jika limbah jerami padi dimanfaatkan untuk membuat suatu komposit. Sehingga pembuatan papan partikel dari batang padi akan memberikan manfaat lebih bagi petani. Agar dihasilkan papan partikel dengan mutu yang lebih baik perlu diberi perlakuan pendahuluan terhadap batang padi. Mutu papan partikel kemudian diuji dengan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kerapatan, kadar air, daya serap air, keteguhan lentur, dan keteguhan tekan (Karim, 2007). Nilai ekonomis dari bahan yang dianggap limbah tersebut dapat ditingkatkan dengan memberikan masukan ilmu, teknologi permesinan dan lainnya sehingga dapat lebih bermanfaat. Pada jenis padi yang ditanam, perbandingan antara jerami dan padi biasanya 1 : 1. Oleh karena itu, limbah pertanian berupa jerami harus dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai yang lebih.
Universitas Sumatera Utara
Pemanfaatan jerami sebagai bahan bangunan secara langsung di Indonesia juga sangat memungkinkan, namun mengingat keadaan iklim hangat lembab, nampaknya pemakaian jerami di Indonesia tidak akan memberikan nilai tambah yang signifikan. Perbedaan karakteristik jerami dari tanaman padi yang dihasilkan di negara maju dengan jerami tanaman padi yang dihasilkan di Indonesia berupa karakteristik batang, panjang, dan ketebalan batang yang memberikan pengaruh signifikan saat jerami digunakan sebagai bahan bangunan secara langsung. Namun Mediastika (2007) secara umum menyebutkan karakteristik jerami kering hampir sama, maka jerami Indonesia masih dapat digunakan sebagai bahan bangunan. Penggunaan jerami yang potensial untuk diaplikasikan adalah sebagai bahan pelapis elemen pembatas ruang (seperti dinding dan plafon), bukan sebagai bahan bangunan struktural (Fajarwati, 2009).
2.7. Perekat Perekat merupakan salah satu faktor yang mempunyai keberhasilan dalam pembuatan papan partikel. Pemilihan jenis dan banyaknya perekat yang dibutuhkan sangat penting untuk diperhatikan. Suatu bahan perekat tergantung pada jenis papan partikel yang akan dibuat. Beberapa istilah lain dari perekat yang memiliki kekhususan meliputi glue, mucilage, paste dan cement. 1. Glue merupakan perekat yang terbuat dari protein hewani, seperti kulit, kuku, urat, otot dan tulang yang secara luas digunakan dalam industry pengerjaan kayu. 2. Mucilage adalah perekat yang dipersiapkan dari getah dan air dan diperuntukkan terutama untuk merekatkan kertas. 3. Paste merupakan perekat pati (starch) yang dibuat melalui pemanasan campuran pati dan air dan dipertahankan berbentuk pasta. 4. Cement adalah istilah yang digunakan untuk perekat yang bahan dasarnya karet dan mengeras melalui pelepasan pelarut.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan unsur kimia utama (major chemical component), perekat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1. Perekat alami (Adhesive of natural origin) a. Berasal dari tumbuhan, seperti starches (pati). Dextrins (turunan pati) dan vegetable gums (getah-getahan dan tumbuh-tumbuhan. b. Berasal dari protein, seperti kulit, tulang, urat daging, blood (albumin dan darah keseluruhan), casein (susu) serta soybean meal (termasuk kacang tanah dan protein nabati seperti biji-bijian pohon dan biji durian). c. Berasal dari material lain, seperti asphalt, shellac (lak), rubber(karet), sodium silikat, magnesium oxychloride dan bahan anorganik lainnya. 2. Perekat sintetis (Adhesive of synthetic origin) a. Perekat termoplastis yaitu resin yang akan kembali menjadi lunak ketika dipanaskan dan mengeras kembali ketika didinginkan. Contohnya seperti polyvinyl alkohol (PVA), polyvinyl asetat (PVAc), copolymers, cellulose esters, poliamida, polistirena, polivinil butiral, serta polivinil formal. b. Perekat thermosetting yaitu resin yang mengalami atau telah mengalami reaksi kimia dari pemanasan, katalis, sinar ultra violet dan sebagainya serta tidak kembali ke bentuk semula. Contohnya seperti urea, melamin, phenol, resolcinol, furfuryl alcohol, epoxy, polyurethane, unsaturated polyesters (poli ester tidak jenuh). Untuk perekat urea, melamine, phenol dan resorcinol menjadi perekat setelah direaksikan dengan formaldehida (CH 2 O) (Sucipto, 2009). Isosianat merupakan salah satu perekat yang dapat digunakan dalam pembuatan papan biokomposit. Perekat ini tergolong dalam kategori perekat termosetting, karena tidak dapat kembali kebentuk semula apabila diaplikasikan kebahan yang digunakan (Vick, 1999). Isosianat adalah perekat yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi daripada perekat lainnya. Isosianat bereaksi bukan hanya dengan aquarous tetapi juga dengan kayu yang menghasilkan ikatan kimia yang kuat sekali (chemical bonding). Isosianat
Universitas Sumatera Utara
juga memiliki gugus kimia yang sangat reaktif, yaitu R-N=C=O. Keunikan perekat isosianat adalah dapat digunakan pada variasi suhu yang luas, tahan air, panas, cepat kering, pH netral dan tidak larut dalam pelarut organik.
2.7.1. Isosianat Isosianat merupakan bagian yang utama dalam pembentukan poliuretan, ia mempunyai reaktivitas yang sangat tinggi, khusnya dengan reaktan nukleofilik. Reaktivitas dari poliuretan ditentukan oleh sifat posistif dari atom C dalam ikatan rangkap yang terdiri dari pada N, C, dan O. Dalam pembentukan poliuretan adalah sangat perlu memilih isosianat yang sesuai untuk bereaksi dengan poliol karena akan dapat menentukan hasil akhir, seperti terbentuknya rangkaian biuret, urea, uretana, dan alfanat. Isosianat yang umum digunakan dan telah dipasarkan contohnya : a). Difenilmetana diisosianat (MDI) Difenilmetana diisosianat berwujud padat, dengan titik leleh 37 – 38 oC disamping itu polimer difenilmetana diisosianat juga ada berwujud cair, kedua- duanya produk yang mempunyai tekanan uap rendah dibanding dengan toluena diidosianat telah digunakan dalam pembuatan elastomer dalam skala pabrik dan polimer difenilmetana yang paling luas dalam pemakaiannya terutama untuk produk rigid foam.
b). Toluena Diisosianat (TDI) Toluena adalah bahan pertama dari produksi toluena diisosianat (TDI). Prosesnya boleh bervariasi supaya memberikan hasil dari turunan isomer yang dikehendaki. Pada proses phosgenasi biasanya mempertimbangkan untuk mengikutsertakan pada pembentukan dari karbonil klorida didalam keadaan dingin dan produk ini dalam keadaan panas. R – NH 2 + COCl 2 R – NHCOCl
R – NHCOCl + HCl R – NCO + HCl
Universitas Sumatera Utara
Isomer toluena diisosianat adalah campuran cair dalam batas suhu 5 – 15
0
C
dan karena itu biasanya dijumpai sebagai cairan tolilen 2,4 – diisosianat, dan jika dijumpai dalam padatan biasanya dengan titik leleh 22 oC. Toluena diisosianat dapat menimbulkan iritasi pada pernapasan dan sangat diperhatikan dalam pengguanaannya. Produknya bermacam-macam lebih dari 80 : 20 campuran isomer yang sangat luas penggunaannya, terutama dalam produksi dari fleksibel foam. 4 – isosianat adalah kelompok paling banyak digunakan yang lebih reaktif dibanding 2 atau 6 – isosianat.
c). Naftalena 1,5 – diisosianat (NDI) Naftalena 1,5 – diisosianat adalah berwujud padat dengan titik leleh 128
0
C dan
mempunyai tekanan uap rendah dari pada toluen diisosianat dan bersifat kurang toksit dalam penggunaannya, tetapi ia mempunyai sifat yang sensitive. Naftalenen 1,5 – diisosianat digunakan tertama dalam produk elastomer.
d). HDI (Hexametilen diisosianat) Hexametilen diisosianat (HDI) dihasilkan melalui phosgenasi hexametilendiamin : H 2 N – (CH 2 ) 6 – NH
OCN – (CH 2 ) 6 – NCO
Hexametilen diisosianat merupakan cairan yang tekanan penguapannya hampir sama dengan TDI juga bersifat mengganggu pernafasan dan dapat menimbulkan efek yang berbahaya terhadap kulit dan mata. HDI merupakan salah satu diisosianat yang pertama sekali digunakan dalam pembuatan poliuretan dalam hal ini dalam pembuatan fiber (Hepburn, 1991).
2.7.2. Poliol Di samping isosianat, senyawa dengan berbagai fungsi hidroksil merupakan komponen penting dalam pembentukan poliuretan. Senyawa dengan berat molekul rendah seperti etilen glikol, butandiol, trimetil propana lazim digunakan sebagai agen pemanjang
Universitas Sumatera Utara
rantai atau jaringan. Poliol dengan berat molekul tinggi seperti polieter dan poliester dengan berat molekul rata-rata 8 x 103 merupakan poliol yang umum digunakan dalam polimerisasi uretan (Helen, 1970). Dalam prakteknya, poliols dibedakan dari rantai yang pendek (low-molecular) seperti ethylene glycol, 1,4-butanediol (BDO), diethylene glycol (DEG), gliserin, dan trimethylol sejenis metan (TMP). Polyols dibentuk oleh pembebasan dan penambahan radikal tentang propylene oksida (PO), ethylene oksida (EO) ke suatu hidroksil atau amina atau oleh polyesterification dari suatu di-acid, seperti asam adipin; dengan glikol, seperti etilen glikol atau dipropilen glikol (DPG). Poliols yang diperluas dengan PO atau EO nantinya disebut poleter poliols (Poliol yang dibentuk oleh poliesterifikasi). Pemilihan dari poliol sangat mempengaruhi status fisiknya, dan sifat fisis dari Poliuretan polimer (seperti bobot molekular). Poliol merupakan senyawa organik yang memiliki gugus hidroksil lebih dari satu dan dalam industri material sangat luas digunakan baik sebagai bahan pereaksi maupun aditif. Senyawa poliol dapat diperoleh langsung di alam seperti amilum, selulosa, sukrosa dan lignin ataupun olahan industri. Gugus hidroksi pada senyawa organik dapat meningkatkan sifat hidrofil karena disamping gugus fungsi yang aktif bereaksi dengan berbagai pereaksi untuk menghasilkan senyawa baru juga dapat berinteraksi baik melalui dipoldipol yang terbentuk maupun melalui ikatan hidrogen dengan gugus hidrofil dari senyawa lain. Gugus hidroksil yang tidak terikat memberikan sifat hidrofil sedangkan gugus hidroksil yang terikat baik sebagai ester, eter dapat mengubah senyawa tersebut menjadi lipofil. Adanya sifat hidrofil dan lipofil menyebabkan senyawa poliol banyak digunakan sebagai surfaktan dalam makanan, kosmetik maupun keperluan farmasi seperti obat-obatan (Jung, 1998).
2.7.3. Poliuretan Usaha menciptakan polimer poliuretan pertama kali dirintis oleh Otto Bayer dan rekan-rekannya pada tahun 1973 di labolatorium I.G. Farben di Leverkusen, Jerman. Mereka menggunakan prinsip polimerisasi adisi untuk menghasilkan
Universitas Sumatera Utara
poliuretan dari diisosianat cair dan polieter cair atau diol poliester seperti menunjuk ke berbagai kesempatan spesial, khususnya saat dibandingkan dengan berbagai plastik yang dihasilkan dari olefin, atau dengan polikondensasi. Awalnya, usaha difokuskan pada produksi serat dan busa yang fleksibel. Kendati pengembangan terintangi oleh Perang Dunia II (saat itu poliuretan digunakan dalam skala terbatas sebagai pelapisan pesawat), poliisosianat telah menjadi tersedia secara komersial sebelum tahun 1952. Produksi komersialnya busa poliuretan yang fleksibel dimulai pada 1954, didasarkan pada toluena diisosianat (TDI) dan poliol poliester. Penemuan busa ini (yang awalnya dijuluki keju Swiss imitasi oleh beberapa penemu) adalah berkat jasa air yang tak sengaja dicampurkan ke dalam campuran reaksi. Bahan-bahan ini digunakan pula untuk memproduksi busa kaku, karet gom, dan elastomer. Cara simultan interpenetrasi jaringan polimer menggabungkan antara isosianat dan lignin (Sperling, 1994). Peneliti menggunakan isosianat dalam pembentukan interpenetrasi jaringan polimer sehingga menghasilkan bahan polimer baru yang kaya akan sifat fisik dan mekanik. Polimer uretan biasanya digunakan sebagai larutan perekat yang diproduksi melalui reaksi senyawa-senyawa hidroksi dengan isosianat. Sifat-sifat fisika dari poliuretan yang dihasilkan bergantung pada struktur dan fungsional dari senyawa hidroksil dan isosianat yang membentuknya. Elastomer poliuretan digunakan sebagai perekat kontak yang dihasilkan melalui reaksi antara poliester diol dengan 4,4’-difenil-imetan-diisosianat yang menghasilkan suatu polimmer linier yang cabangnya dapat diabaikan. Poliester ini akan menyumbangkan sifat kristalinitas pada produk akhir poliuretan. Polimer ini dihasilkan melalui suatu proses polimerisasi dengan temperatur reaksi 100-140oC (umumnya 120oC) dan waktu reaksinya sekita 0,5-24 jam (umumnya adalah sekitar 12 jam). Massa molarnya dapat dihitung dengan mengukur viskositas spesifiknya.
Universitas Sumatera Utara
Untuk menghasilkan sifat-sifat larutan yang baik, maka perbandingan molar isosianat dengan hidroksil, biasanya berkisar antara 0,97:1,0 dan 0,99:1,0 yang dapat menghasilkan suatu polimer dengan gugus hidroksil terminal. Walaupun ada sejumlah reaksi yang merumuskan pembentukan poliuretan, tetapi hanya satu bentuk umum yang paling penting: yaitu reaksi antara suatu isosianat dengan suatu alkohol (Wake, 1987).
2.7.4. Pembentukan Ikatan Silang Poliuretan Secara umum ada dua tahap pembentukan ikatan silang poliuretan, yaitu: 1. Mereaksikan diisosianat dengan dua atau lebih monomer yang mempunyai dua atau lebih gugus hidroksi per molekulnya. Dimana tingkat
ikatan silang
tergantung pada dasar struktur, fungsi dari kandungan polihidroksinya, dan variasi kandungan hidroksi. 2. Poliuretan liniear direaksikan dengan gugus hidroksi atau gugus diisosianat yang mempunyai dua gugus fungsi. Isosianat dapat bereaksi dengan hidroksil kayu membentuk uretan linkage, secara pasti mekanisme ikatan kimia dipengaruhi oleh kondisi pematangan. Di samping itu kayu terdiri dari tiga perbedaan polimer yang terdiri primer, sekunder alifatis, dan aromatis hidroksil, dan juga isosianat dapat berpenetrasi ke dalam poripori kayu yang paling dalam (Frazier, 1998), sehingga ikatan kimia yang terbentuk mampu menghasilkan aplikasi yang potensial dalam kegunaannya. Mekanisme reaksi isosianat dengan kumpulan hidroksil atau hidroksil dari kayu ditentukan menurut reaktivitas kumpulan hidroksil itu sendiri, walaupun reaktivitas kumpulan hidroksil itu bermacam-macam, akan tetapi secara umum reaksi isosianat dengan senyawa hidroksil untuk membentuk poliuretan adalah sebagai berikut :
NCO +
HO
NHCO O
Universitas Sumatera Utara
Isosianat
hidroksil
Uretan
Poliuretan terbentuk dari polimerisasi dengan memilih isosianat yang sesuai untuk dapat bereaksi dengan poliol atau gugus hidroksil karena akan dapat menentukan hasil akhir, seperti terbentuknya rangkaian biuret, urea, uretan dan alopanat. Para peneliti terdahulu telah mencoba berbagai isosianat yang berbeda untuk mendapatkan hasil akhir poliuretan yang diinginkan. Isosianat yang umum digunakan dan telah dipasarkan adalah Toluena Diisosianat (TDI), Difenilmetan Diisosianat (DMI), Naptalena–1,5–diisosianat (NDI) dan lain-lain. Toluena memiliki senyawa dasar toluena, terdiri dari dua jenis isomer 2,4 (80%) dan isomer 2,6 ( 20%), yang merupakan isosianat biasa untuk pembuatan poliuretan busa tahan lentur. Jenis kedua adalah TDI dengan campuran 65% isomer 2,4 dan 35% isomer 2,6. TDI ini memiliki reaktivitas berbeda yang mana kedudukan 4-isosianat adalah lebih reaktif daripada 2 atau 6 isosianat, atau dapat dinyatakan gugus NCO pada kedudukan 4 adalah sepuluh kali lebih reaktif dari letak 2 atau 6 pada suhu kamar. TDI dapat bereaksi dengan gugus fungsi dalam resin poliester dan juga mampu bereaksi dengan air membentuk karbon dioksida yang merupakan hasil sampingan dalam pembentukan ikatan urea.
2.8. Karakterisasi Papan Gipsum Plafon Pengujian papan gipsum plafon yang mengacu pada standard SNI 03-2105-2006.
2.8.1. Uji Kerapatan (Density) Densitas merupakan ukuran kepadatan dari suatu material. Ada dua macam densitas yaitu : bulk density dan densitas teoritis (true density). Dalam hal ini yang diukur adalah bulk density, merupakan densitas sampel yang berdasarkan volume sampel termasuk dengan rongga atau pori. Bulk density untuk benda padatan yang besar dengan bentuk yang beraturan, bentuk dan volume sampel dapat diukur dengan cara mengukur dimensinya. Sedangkan untuk bentuk yang tidak beraturan maka bulk density ditentukan dengan metode Archimedes, yaitu dengan persamaan 2.1 :
Universitas Sumatera Utara
(2.1) Dimana :
ρ = Densitas sampel uji, kg/m3 ρ air = Densitas air, kg/m3 M k = Massa kering sampel uji, kg M g = Massa ketika sampel uji digantung dalam air, kg M t = Massa tali penggantung, kg .
2.8.2. Uji Penyerapan Air Untuk metode pengujian penyerapan air ini mengacu pada ASTM C 20-00-2005 dan SNI 01-4449-2006. Dimana pengujian ini dilakukan untuk mengetahui besarnya persentase penyerapan air oleh papan gipsum plafon. Metode pengujian ini dilakukan dengan melakukan perendaman terhadap sampel papan gipsum plafon untuk waktu perendaman selama 24 jam (1 hari). Untuk menentukan besarnya nilai penyerapan air, dapat menggunakan persamaan 2.2 : (2.2) Dengan :
PA = Nilai penyerapan air (%) M k = Berat sampel kering (g) M b = Berat jenuh air (g)
2.8.3. Uji Impak Kekuatan material terhadap beban kejut dapat diketahui dengan cara melakukan uji impak. Dari hasil pengujian akan dapat diperoleh tingkat kegetasan material tersebut. Kekuatan impak komposit rata-rata masih dibawah kekuatan impak logam. Kekuatan impak komposit sangat tergantung pada ikatan antar molekulnya semakin kuat ikatan antar molekulnya maka akan semakin tinggi pula kekuatan impaknya.
Universitas Sumatera Utara
Pengujian impak komposit dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu flat impact method (impak depan) dan edge impact method (impact samping). Pengujian impak dari samping akan menghasilkan kekuatan impak yang lebih rendah dibandingkan dengan pengujian dari depan. Pada penelitian ini menggunakan metode flat impact method, hal ini dilakukan karena pertimbangan aplikasinya sebagai dinding panel interior.
(a)
(b)
Gambar 2.1 (a) Alat Uji Impak, dan (b) Simulasi Alat Uji Impak
Pada pengujian impak, energi yang diserap oleh benda uji saat diberi beban kejut oleh pendulum dapat diketahui dengan persamaan 2.3 (Instruction Manual Toyo Seiki Izod impact tester ). (2.3)
Dimana :
E serap
= energi serap, (J)
W
= berat pendulum, (N)
R
= jarak pendulum terhadap titik poros, (cm)
α
= sudut pendulum pada posisi pengujian, (º)
β
= sudut ayun pendulum pada sisi sebelah setelah menghantam
Universitas Sumatera Utara
spesimen, (º) α’
= sudut ayun pendulum dari posisi sudut α, tanpa spesimen (º)
Dengan mengetahui besarnya energi yang diserap oleh material maka kekuatan impak benda uji dapat dihitung sesuai persamaan 2.4 (Instruction Manual Toyo Seiki Izod impact tester). (2.4) Dimana :
(σ) = Kekuatan Impak ( J/mm2) A = luas (mm2)
2.8.4. Uji Modulus Patah Modulus patah atau MOR (modulus of rupture) dapat didefenisikan sebagai kemampuan material untuk menahan deformasi di bawah beban hingga bengkok sebelum patah. Tekanan fleksural pada dasarnya adalah kombinasi dari gaya tekan dan gaya tarik. Modulus patah merupakan besaran dalam bidang teknik yang menunjukkan beban maksimum yang dapat ditahan oleh material (dalam hal ini adalah papan komposit) persatuan luas. Modulus patah bekerja pada batas proporsional atau daerah elastis.(Sudarsono, 2010).
Gambar 2.2 Kuat Lentur
Pada Gambar 2.2 tampak papan segi empat ditekan oleh gaya tunggal F pada bagian tengah sehingga papan akan mengalami defleksi. Jarak terbesar papan mengalami defleksi disebut defleksi maksimum. Bagian atas papan akan mengalami kompresi dan bagian bawah akan mengalami tarikan. Permukaan imaginer pada bagian tengah beam disebut bidang netral.
Universitas Sumatera Utara
Besarnya suatu tekanan atau tarikan akan bertambah besar bila semakin menjauhi bidang netral. Tekanan dan tarikan akan maksimum pada permukaan atas dan bawah. (Dieter, 1981). Pengujian modulus patah dari papan gipsum plafon mengacu pada SNI 032105-2006. Untuk menentukan nilai kuat lenturnya dapat menggunakan persamaan 2.5 : (2.5) Dimana :
F l = Nilai kuat lentur, kgf/m2 P 1 = Beban lentur, kgf S = Jarak penyangga, m L = Lebar benda uji, m T = Tebal benda uji, m
Untuk papan gipsum biasa nilai terendah yang dipakai. Untuk papan gipsum biasa struktural, nilai pada arah panjang dan lebar yang dipakai.
2.8.5. Uji Modulus Elastisitas Modulus elastisitas atau MOE (Modulus of Elasticity) merupakan tegangan lengkung akhir sebelum terjadinya patah dari suatu material dalam kelengkungannya, dan itu sering digunakan untuk membandingkan material satu dengan yang lainnya. Modulus elastisitas papan gipsum plafon mengacu pada SNI 03-2105-2006. Metode pengujian ini dimaksudkan untuk memperoleh nilai modulus elastisitas kayu (Sudarsono, 2010). Benda uji sebelum dilakukan pengujian harus memenuhi persyaratan antara lain yaitu benda uji harus sama jenisnya, benda uji bebas cacat (papan tidak retak, tidak rapuh, dan kadar air maksimum 20%), jumlah benda uji minimum 2 buah untuk setiap jenis papan gipsum.
Universitas Sumatera Utara
Setelah dilakukan pengujian akan diperoleh nilai P maksimumnya, yang kemudian ditentukan nilai Modulus Elastisitas nya dengan menggunakan persamaan 2.6 : (2.6) Dimana :
Fp = Nilai Modulus Elastisitas, kgf/m2 S = Jarak penyangga, m L = Lebar benda uji, m T = Tebal benda uji, m P 2 = Beban patah, kgf Y = Titik pusat kelengkungan, m
Untuk papan gipsum biasa nilai terendah yang dipakai. Untuk papan gipsum biasa struktural, nilai pada arah panjang dan lebar yang dipakai.
2.8.6. Analisa Sifat Termal dengan Uji Thermogravimetry Analysis (TGA) Termogravimetri analisis merupakan teknik analisa yang digunakan untuk menentukan stabilitas termal dari suatu material dengan memantau perubahan berat yang terjadi pada material yang dipanaskan. Berat sampel secara terus-menerus dipantau saat peningkatan suhu baik pada tingkat yang konstan atau melalui serangkaian langkahlangkah. Komponen polimer atau formulasi elastomer menguap atau terurai pada temperatur yang berbeda. Hal ini menyebabkan serangkaian langkah penurunan berat komponen dapat diukur secara kuantitatif. Pengukuran TGA memberikan informasi berharga yang dapat digunakan untuk memilih material untuk penggunaan aplikasi akhir, memprediksi kinerja produk, dan meningkatkan kualitas produk. Analisis termogravimetri sangat berkaitan dengan sensitifitas yang digunakan untuk mengukur perubahan berat dari sampel oleh adanya pengaruh temperatur. Aplikasi ini berperan dalam memperkirakan temperatur panas yang stabil dan temperatur dekomposisi (Billmeyer, 1984).
Universitas Sumatera Utara
2.8.7. Analisa Sifat Morfologi dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen. Interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar X, elektron sekunder dan absorpsi elektron. Teknik SEM pada hakekatnya merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 µm dari permukaan. Gambar permukaan yang diperoleh merupakan tofografi dengan segala tonjolan, lekukan dan lubang pada permukaan. Gambar tofografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh detektor yang diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh gambar yang khas menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya gambar di monitor dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau dapat pula direkam ke dalam suatu disket. Sampel yang dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai permukaan dengan konduktivitas tinggi. Karena polimer mempunyai kondiktivitas rendah maka bahan perlu dilapisi dengan bahan konduktor (bahan pengantar) yang tipis. Bahan yang biasa digunakan adalah perak, tetapi juga dianalisa dalam waktu yang lama, lebih baik digunakan emas atas campuran emas dan palladium (Rafli, 2008). Cara kerja SEM adalah gelombang elektron yang dipancarkan electron gun terkondensi di lensa kondensor dan terfokus sebagai titik yang jelas oleh lensa objektif. Scanning coil yang diberikan energi menyediakan
medan magnetik bagi sinar
elektron. Berkas sinar elektron yang mengenai cuplikan menghasilkan elektron sekunder dan kemudian dikumpulkan oleh detektor sekunder. Gambar yang dihasilkan terdiri dari ribuan titik berbagai intensitas di permukaan Cathode Ray Tube (CRT) sebagai topografi gambar (Kroschwitz, 1990).
Universitas Sumatera Utara
2.8.8. Analisa Gugus Fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) Spektroskopi inframerah merupakan teknik spektroskopi yang dapat digunakan untuk menentukan struktur senyawa yang tak diketahui maupun untuk mempelajari karakteristik ikatan dari senyawa yang diketahui. Identifikasi dengan spektroskopi inframerah adalah berdasarkan penentuan gugus fungsinya. Spektrum inframerah senyawa organik bersifat khas, artinya senyawaan yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda pula. Selain dari senyawaan isomer-optik, tidak satupun antara 2 senyawaan yang mempunyai kurva serapan inframerah yang identik. Daerah inframerah terletak pada daerah spektrum 4000-400 cm-1. Analisis infra merah memberikan informasi tentang kandungan aditif, panjang rantai struktur polimer. Di samping itu analisis mengenai bahan polimer yang terdegradasi oksidatif dengan munculnya gugus karbonil dan pembentukan ikatan rangkap polimer. Gugus lain yang menunjukkan terjadinya degradasi oksidatif adalah gugus karbonil dan karboksilat. Umumnya pita serapan polimer pada spektrum infra merah adalah adanya ikatan C/H/regangan pada daerah 2880 cm-1 sampai dengan 2900 cm-1 dan regangan dari gugus lain yang mendukung suatu analisa mineral. Sistem analisa spektroskopi infra merah (IR) telah memberikan keunggulan dalam mengkarakterisasi senyawa organik dan formulasi material polimer. Analisa infra merah (IR) akan menentukan gugus fungsi dari molekul yang memberikan regangan pada daerah serapan infra merah. Tahap awal identifikasi bahan polimer, maka harus diketahui pita serapan yang karakteristik untuk masing-masing polimer dengan membandingkan spektrum yang telah dikenal. Pita serapan yang khas ditunjukan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya ( Hummel, 1985 ). Hadirnya sebuah puncak serapan dalam daerah gugus fungsi dalam spektrum inframerah merupakan petunjuk pasti bahwa beberapa gugus fungsi tertentu terdapat dalam senyawa cuplikan. Demikian pula tidak adanya puncak dalam bagian tertentu
Universitas Sumatera Utara
dari daerah gugus fungsi sebuah spektrum inframerah berarti bahwa gugus fungsi yang menyerap pada daerah tersebut tidak ada (Pine, 1988).
2.8.9. Pengujian Koefisien Serap Bunyi Pengujian ini menggunakan metode pengambilan data dengan alat tabung impedansi. Penggunaan metode ini untuk menunjukkan sifat serapan yang dimiliki oleh sebuah material. Metode ini terutama digunakan didalam pekerjaan riset ataupun dalam pengaturan kualitas untuk pembuatan dari bahan–bahan penyerapan suara. Gambar 2.3 menunjukkan perpindahan energi gelombang datang dan gelombang pantul, dimana dapat dilihat bahwa besarnya amplitudo yang timbul pada gelombang datang berbeda dengan amplitudo yang timbul pada gelombang pantul.
Gambar 2.3. Perpindahan energi gelombang datang dan gelombang pantul Jika perpindahan gelombang datang yang terjadi pada sembarang waktu, dapat ditunjukkan pada gambar 2.3, dengan persamaan 2.7: d 1 = A sin(ωt − kx)
(2.7)
k = 2/λ
dan perpindahan gelombang pantulan dapat ditunjukkan pada gambar 2.3, dengan persamaan 2.8:
d 2 = RA sin(ωt + kx) dimana:
A=
(2.8)
simpangan maksimum mula–mula
Universitas Sumatera Utara
R=
koefisien energi pantul gelombang
Jadi sebagai akibat perpindahan pada setiap titik diberikan dengan persamaan 2.9 : d = d1 + d 2 = A sin(ϖt − kx) + RA sin(ϖt + kx) = A(1 + R ) sin ϖt cos kx + A(1 − R ) cos ωt sin kx
(2.9)
Dapat terlihat bahwa masing-masing nilai amplitudo maksimum dan minimum adalah A(1 + R) dan A(1 – R). Jika nilai jarak maksimum dan minimum dari amplitudo adalah A1 dan A2 maka: A1 A(1 + R ) = A2 A(1 − R )
(2.10)
atau R=
( A1 − A2) = Amplitudo ( A1 + A2)
(2.11)
Energi dapat ditunjukkan sebagai berbanding langsung terhadap amplitudo kuadrat yaitu: Energi = R =
( A1 − A2) 2 ( A1 + A2) 2
R
= sebagian energi yang dipantulkan (refleksi)
α
= koefisien energi yang diserap (absorbsi)
(2.12)
maka: α + R =1 α =1− R =1−
=
( A1 − A2) 2 ( A1 + A2) 2
( A1 + A2) 2 − ( A1 − A2) 2 ( A1 + A2) 2
Universitas Sumatera Utara
α =4
A1xA2 ( A1 + A2) 2
(2.13)
Resultan bentuk gelombang di dalam Impedance Tube dapat dilihat pada gambar 2.4. Pada Gambar 2.4 menunjukkan bahwa resultan tekanan bentuk gelombang bunyi datang dan gelombang bunyi pantul di dalam Impedance Tube dimana P max adalah puncak gelombang dan P min adalah lembah gelombang.
Gambar 2.4. Resultan bentuk gelombang di dalam Impedance Tube Maka nilai koefisien serap bunyi (α) dapat dihitung dengan mencari perbandingan P max dan P min atau A1/A2 dengan persamaan 2.14 : α =4
A1 x A2 (1 + A1 / A2)
α=
2
;
4 (2 + A1 / A2 + A2/A1)
(2.14)
dimana: A1(P maks )
= Jarak puncak gelombang (cm)
A2(P min )
= Jarak lembah gelombang (cm) (Marjuki, 2013).
Universitas Sumatera Utara