BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kusta 2.1.1. Definisi Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya menyerang
kulit,
mukosa
mulut,
saluran
napas
bagian
atas,
sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis, kecuali susunan saraf pusat.Istilah kusta berasal dari bahasa India yakni kustha dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Penyakit kusta disebut juga lepra dan Morbus Hansen. Kata lepra disebut dalam kitab injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Morbus Hansen sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 di Norwegia sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen (Kosasih, 2011).
2.1.2 Epidemiologi Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat yang lain sampai tersebar seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanisia termasuk Indonesia, diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap
negara
maupun
dalam
negara
sendiri
ternyata
berbeda-beda
(Kosasih,2011).Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya resevoir diluar manusia (Linuwih, 2011). Menurut WHO Weekly Epidemiological Report mengenai kusta tahun 2013. Prevalensi tertinggi penyakit kusta terdapat di India, dengan jumlah penderita 91.743 jiwa pada tahun 2012. Peringkat kedua terdapat di Brazil dengan jumlah penderita 29.311 jiwa pada tahun 2012. Indonesia sendiri berada di
peringkat ketiga, dengan jumlah penderita 22.390 jiwa pada tahun 2012 (WHO,2013). Menurut laporan WHO tersebut, selama tahun 2012 terdapat 18.994 kasus baru di Indonesia, dengan 15.703 kasus teridentifikasi sebagai kasus kusta tipe Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe yang menular. Dari data kasus kusta baru tahun 2012 tersebut, 6.667 kasus diantaranya oleh diderita oleh kaum perempuan, sedangkan 2.191 kasus diderita oleh anak-anak (WHO,2013). Menurut Ress (1975) dalam Zulfikli (2002), dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni bakteri Mycobacterium Leprae itu sendiri dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah: 1. Usia, anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa. 2. Jenis kelamin, laki-laki lebih banyak menderita kusta. 3. Ras, bangsa Asia dan Afrika lebih banyak menderita kusta. 4. Keadaan sosial, umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah. 5. Lingkungan, fisik, biologi dan sosial yang kurang sehat.
2.1.3. Gejala Klinis Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh kuman kusta yang bersifat intraselular obligat. Saraf tepi/perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran nafas bagian atas. Maka untuk mendiagnosis kusta dicari kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan yang tampak pada kulit. Untuk menciptakan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda kardinal (cardinal signs), yaitu: 1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa. Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritema) yang mati rasa (anestesi). 2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi (neuritis perifer) kronis. Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa: a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (paralisis) otot. c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak. 3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear.
Gejala-gejala umum pada reaksi kusta : 1. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil 2. Anoreksia 3. Nausea, kadang-kadang disertai vomitus 4. Nyeri kepala 5. Kadang-kadang disertai Neuritis dan Orchitis
2.1.4. Klasifikasi Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan. 1. Tipe Tuberkuloid (TT) Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat meninggi menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal.
2. Bordeline Tuberculoid (BT) Lesi pada tipe ini menyerupai tipe tuberculoid (TT), yakni berupa makula atau plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3. Mid Bordeline (BB) Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe borderline tuberculoid(BT) dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
4. Bordeline Lepromatous (BL) Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punced-out. Tandatanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe lepramatosa (LL). Penebalan saraf dapat teraba pada tempat predileksi.
5. Tipe Lepramatosa (LL) Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi pelipis, dagu, cuping telinga: sedang dibadan dan diwajah mengenai bagian badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking & glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progressif, muncul makula dan papula baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
Klasifikasi Internasional (Madrid, 1953) -
Indeterminate (I)
-
Tuberkuloid (T)
-
Borderline – Dimorphus (B)
-
Lepromatosa (L)
Klasifikasi WHO (1981) -
Pausibasilar (PB) Hanya kusta tipe tuberculoid(TT) dan sebagian besar tipe borderline tuberculoid (BT) dengan bakteri tahan asam (BTA) negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe indeterminate (I) dan tuberkuloid (T) menurut klasifikasi Madrid.
-
Multibasilar (MB) Termasuk kusta tipe lepramatosa (LL), tipe borderline lepramatosa (BL), tipe mid borderline (BB) dan sebagian tipe borderline tuberculoid (BT) menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe borderline – dimorphus (B) dan tipe lepromatosa (L) menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif (Syahril R. Lubis).
2.1.5 Patogenesis M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila kuman M. Leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya. Pada kusta tipe lepramatosa (LL) terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.Pada kusta tipe tuberculoid (TT) kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia type Langerhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya. Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. Leprae di samping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif (Syahril R. Lubis).
2.1.6. Pemeriksaan 1. Anamnesis Anamnesis diperlukan untuk mengetahui keluhan pasien, riwayat kontak dengan pasien, dan latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomi (Amirudin et al, 2003). 2. Inspeksi Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan kulit (Amirudin et al, 2003). 3. Palpasi - Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan kaki. - Kelainan saraf Pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti: N. aurikularis magnus, N. ulnaris, dan N. perenous. Petugas harus mencatat adanya nyeri tekan dan penebalan saraf. Harus diperhatikan raut wajah pasien, apakah kesakitan atau tidak pada waktu saraf diraba. Pemeriksaan saraf harus sistematis, meraba atau pasien mendapat kesan kurang baik. Pemeriksaan saraf tepi : •
Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan
•
Membesar atau tidak
•
Pembesaran regular (smooth) atau irregular, bergumpal
•
Perabaan keras atau kenyal
•
Nyeri atau tidak
Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah menebal dan saraf mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak. Cara pemeriksaan saraf tepi : a. N. aurikularis magnus Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bisa terlihat bila saraf membesar. Dua
jari pemeriksa diletakan di atas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan pada perabaan secara seksama akan menemukan jaringan kabel atau kawat. Jangan lupa membandingkan yang kiri dan kanan. b. N. ulnaris Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan diatas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan dibawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan,
apakah
ada
penebalan
atau
tidak.
Perlu
dibandingkan N. ulnaris kanan dan kiri untuk melihat adanya perbedaan atau tidak c. N. paroneus lateralis Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, dirabadi sebelah lateral dan capitulum fibulae, biasanya sedikit ke posterior (Amirudin et al, 2003). 4. Tes Fungsi Saraf a. Tes sensoris •
Rasa raba Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa
perasaan
rangsang
raba
dengan
menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada saat dilakukan pemeriksaan. •
Rasa nyeri Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.
•
Rasa suhu Dilakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas (sebaiknya 40°C) yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 20°C). Mata pasien ditutup atau menoleh ke
tempat lain, lalu tempelkan tabung tersebut pada daerah kulit yang
dicurigai
secara
bergantian
dengan
sebelumnya
melakukan kontrol pada kulit yang sehat. Jika pada daerah kulit yang dicurigai penderita salah menyebutkan suhu pada tabung yang ditempelkan, maka dapat disimpulkan bahwa sensasi suhu di daerah tersebut terganggu. b. Tes motoris: Voluntary muscle test (VMT) (Amirudin et al, 2003) 5. Pemeriksaan Bakteriologis Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang diperoleh lewat irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudiaan diberi pewarnaan Ziehl Nielsen untuk melihat M. Leprae.
6. Pemeriksaan Histopatologis Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis secara teliti dan pemeriksaan bakterioskopis. Pada sebagian kecil kasus, bilamana diagnosis masih diragukan, pemeriksaan histopatologis dapat
dilakukan.
Pemeriksaan
histopatologis
digunakan
untuk
menegakkan diagnosis penyakit kusta. Pemeriksaan ini sangat membantu khususnya pada anak-anak, bilamana pemeriksaaan saraf sensoris sulit dilakukan, juga pada lesi dini contohnya pada tipe indeterminate, serta untuk menentukan klasifikasi yang tepat (Amirudin et al, 2003) 7. Pemeriksaan Serologis a. Uji MLPA (Mycrobacterium leprae particle agglutination) b. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent Assay) c. ML disptick (Mycrobacterium leprae disptick) 8. Pemeriksaan Reaksi Rantai Polimerase
2.1.7 Pengobatan Obat antikusta diberikan secara kombinasi 2 atau 3 obat yang terdiri dari Diamino-difenil-sulfon (Dapson), Rifampisin, Klofazimin. DDS mulai dipakai sejak 1948 dan di Indonesia digunakan tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak 1962 oleh Brown dan Hogerzeil, dan rifampisin dipakai sejak tahun 1970. Pada
tahun 1988 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritomisin (Kosasih, 2011).
A. Program Multi Drug Therapy (MDT) 1. DDS (Diamino-difenil-sulfon) Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Resistensi terhadap dapson timbul sebagai akibat kandungan enzim sintase yang terlalu tinggi pada kuman kusta, Dapson biasanya diberikan dosis tunggal, yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa, atau 2 mg/kg berat badan untuk anak-anak. Efek samping yang mungkin timbul antara lain: erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Namun efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim (Soebono, 2003) 2. Rifampisin Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta, dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis yang lazim. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerasi RNA yang berikatan secara ireversibel. Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kg berat badan). Pemberian seminggu sekali dalam dosis tinggi dapat menimbulkan gejala yang disebut flu like syndrome. Efek samping yang harus diperhatikan adalah: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit (Soebono, 2003). Obat ini adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan dosis 10 mg/kg berat badan diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya (Kosasih, 2011). 3. Klofazimin (Lamprene) Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai efek bakteriostatik setara dengan dapson. Disamping itu obat ini juga mempunyai efek antiinflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta. Dosis untuk kusta
adalah 50mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kg berat badan/hari. Efek sampingnya hanya terjadi pada dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia, dan vomittus) (Soebono, 2003). 4. Etionamid dan protionamid Kedua obat ini merupakan obat tuberkolosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta. Dahulu dipakai sebagai pengganti klofazimin, pada kasuskasus yang berat karena perubahan pigmentasinya. Obat ini bekerja bakteriostatik, tetapi cepat menimbulkan resistensi, lebih toksik, harganya mahal serta hepatotoksik, oleh karenanya sekarang tidak dianjurkan lagi pada rejimen pengobatan kusta (Soebono, 2003). Skema rejimen Multi Drug Therapy (MDT) WHO terdiri atas obat-obatan dapson, rifampisin, klofazimin, dengan skema menurut WHO sebagai berikut: a. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali, dibawah pengawasan, ditambah dapson 100 mg/hari (12 mg/kg berat badan) selama 6 bulan. b. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas kombinasi rifampisim 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan, dapson 100 mg/hari, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari dengan lama pengobatan 1 tahun. c. Rejimen PB dengan lesi tunggal, terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal (Soebono, 2003).
B. Obat Alternatif Kusta 1. Ofloksasin Ofloksasin merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycrobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 hari akan membunuh kuman Mycrobacterium leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan sususnan saraf pusat termasuk
insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan penghentian pemakain obat. Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati. 2. Minosiklin Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada rifampisin. Dosis standar harian 100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan
gigi
bayi
dan
anak-anak,
kadang-kadang
menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai sistem saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan. 3. Klaritomisin Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap Mycrobacterium Leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg (Kosasih, 2011).
2.1.8 Prognosis Prognosis penyakit kusta bergantung pada deteksi dini apa yang dialami pasien, akses ke pelayanan kesehatan dan penanganan awal yang diterima oleh pasien. Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01 – 0,14 % per tahun dalam 10 tahun. Perlu diperhatikan terjadinya resistensi terhadap dapson atau rifampisin. Secara keseluruhan, prognosis kusta pada anak lebih baik karena pada anak jarang terjadi reaksi kusta (Lewis, 2010)
2.1.9 Reaksi Kusta Definisi Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu kelaziman. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum,
selama dan sesudah pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan.
1) Reaksi tipe 1 Reaksi ini lebih banyak terjadi pada pasien yang berada di spektrum borderline, karena tipe borderline ini merupakan tipe tidak stabil. Reaksi tipe ini terutama terjadi selama pengobatan karena adanya peningkatan hebat respons imun selular secara tiba-tiba, mengakibatkan terjadinya respons inflamasi pada daerah kulit dan saraf yang terkena. Inflamasi pada jaringan saraf dapat mengakibatkan kerusakan dan kecacatan jika tidak ditangani secara adekuat. Gejala pada reaksi tipe 1 dapat dilihat berupa perubahan pada kulit, maupun saraf dalam bentuk peradangan. Pada kulit lesi plakat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas. Pada saraf terjadi neuritis akut, berupa nyeri pada saraf dan gangguan fungsi saraf. Kadang juga dapat terjadi gangguan keadaan umum, seperti demam.
2) Reaksi tipe 2 Terjadi pada pasien tipe lepramatosa (LL)&tipe borderline lepromatosa (BL) dan merupakan reaksi humoral pada penderita lepromatous dan borderline, dimana tubuh akan membentuk antibodi karena M. Leprae bersifat antigenik. Jika terjadi reaksi antigen-antibodi akan mengaktifkan sistem komplemen sehingga terbentuk kompleks imun dan beredar di pembuluh darah kemudian mengendap di jaringan menyebabkan respon inflamasi seperti: pada kulit nodul merah yang disebut ENL (Erytema Nodosum Leprosum), pada saraf (neuritis), limfonodus (limfadenitis), tulang (artritis), ginjal (nefritis), dan testis (orkitis). Umumnya menghilang dalam 10 hari dan bekasnya dapat menimbulkan hiperpigmentasi (Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta, 2012).
2.1.10 Cacat Kusta WHO (1980) membatasi istilah dalam cacat kusta sebagai berikut: 1. Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang bersifat patologik, fisiologik, atau anatomik, misalnya leproma, ginekomastia, madarosis, claw hand, ulkus, dan absorbsi jari. 2. Disability:
segala
keterbatasan
atau
kekurangmampuan
(akibat
impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas kehidupan yang normal bagi manusia. 3. Handicap: kemunduran pada seorang individu (akibat impairment atau disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, jenis kelamin, dan faktor soial budaya. Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial, ekonomi, dan budaya. 4. Deformity: kelainan struktur anatomis 5. Dehabilitation: keadaan/proses pasien kusta (handicap) kehilangan status sosial secaara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman-temannya. 6. Destitution: dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh dari seluruh masyarakat tanpa makanan atau perlindungan (shelter).
Klasifikasi cacat kusta(WHO): a. Cacat tingkat 0
: tidak terdapat gangguan sensibilitas atau ada
kerusakan atau deformitas yang terlihat pada tangan, kaki, dan mata. b. Cacat tingkat 1
: ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau
deformitas yang terlihat pada tangan dan kaki. Ada gangguan pada mata, tidak ada gangguan yang berat. Visus 6/60 atau lebih baik c. Cacat tingkat 2
: terdapat kerusakan atau deformitas pada tangan
dan kaki. Terdapat gangguan penglihatan yang berat, visus kurang dari 6/60, tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter (Kosasih,2011).
Jenis cacat yang timbul pada penderita kusta dapat dibagi: 1. Kelompok cacat primer Kelompok kecacatan yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kecacatan sebagai respon kerusakan jaringan terhadap infeksi. Yang termasuk cacat ini: a. Cacat pada fungsi sensorik, misalnya anestesia, fungsi saraf motorik. Misalnya: claw hand, wrist drop, foot drop, lagoftalmos dan cacat pada fungsi otonom yang dapat menyebabkan kulit kering dan elastisitas kulit berkurang. b. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit berkerut dan berlipat-lipat. Kerusakan folikel rambut menyebabkan alopesia dan madarosis. c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman dapat terjadi tendon, ligamen, sendi, tulang rawan, tulang, testis, dan bola mata (Wisnu, 2003).
2. Kelompok cacat sekunder Cacat yang terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf. Anestesi memudahkan luka akibat trauma mekanis maupun termis. Kelumpuhan motorik dapat menyebabkan kontraktur sehingga dapat menimbulkan gangguan mengenggam dan berjalan. Lagoftalmos dapat menyebabkan kornea kering dan terjadinya keratitis (Wisnu, 2003). Menurut
(Kurniarto,
2006),
terdapat
beberapa
faktor
mempengaruhi terjadinya kecacatan pada penderita kusta, yaitu: a. Umur b. Jenis kelamin c. Tipe kusta d. Lama sakit e. Keteraturan minum obat f. Pendidikan g. Pekerjaan h. Reaksi kusta
resiko
yang
2.1.11 Rehabilitasi Cacat Kusta Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas suatu usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial, dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh, sesuai dengan kemampuan yang ada padanya (Depkes,1977). Pengertian rehabilitasi (Jones, Mayo, Hinsi, Camphbell): a. Rehabilitasi ditujukan bagi orang cacat dan yang mempunyai keterbatasan (activity limitation, participation restriction). b. Rehabilitasi adalah pertolongan yang berdasarkan pada pemberian hak azasi, bukan pada filanterofi (charity). c. Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan individu menjadi manusia normal, mandiri dan berguna. d. Rehabilitasi merupakan upaya tradisi dan terkordinasi meliputi berbagai aspek yang dijalankan menurut sistem dan metode tertentu secara bertahap.
Maka Penyandang Cacat Kusta (PCK) perlu mendapat berbagi pengertian rehabilitasi memulai pendekatan paripurna sebagai berikut: 1. Rehabilitasi Bidang Medis: a. Perawatan (care) yang dikerjakan bersamaan dengan program Pengendalian Penyakit Kusta melalui kegiatan Pencegahan Cacat (POD), Kelompok Perawatan Diri (KPD) atau Self Care Group. b. Rehabilitasi fisik dan mental Yang dikerjakan melalui berbagai tindakan pelayanan medis dan konseling medik. 2. Rehabilitasi Bidang Sosial-Ekonomi Rehabilitasi sosial ditujukan untuk mengurangi masalah psikologis dan stigma sosial agak PCK dapat diterima di masyarakat meliputi: konseling, advokasi, penyuluhan dan pendidikan. Sedangkan rehabilitasi ekonomi ditujukan untuk perbaikan ekonomi dan kualitas hidup meliputi: pelatihan keterampilan kerja (vocational training), fasilitas kredit kecil untuk usaha sendiri, modal
bergulir, modal usaha, dll (Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta, 2006). Menurut Soewono (2003), peranan pengobatan fisioterapi sangat penting pada pengelolaan dan pencegahan cacat pasien kusta. Beberapa peranan fisioterapi bagi PCK: 1. Mengembalikan tonus otot yang paresis atau paralisis 2. Mencegah atrofi dan kontraktur otot yang paresis atau paralisis 3. Mencegah timbulnya kontraktur dan mempertahankan range gerakan sendi normal 4. Membuat kulit tetap lembut dan lunak Sebagai kesatuan dari rehabilitasi medis, maka perlu dilakukan tindakan bedah pada penderita kusta yang cacat, khususnya bedah rekonstruksi, dengan tujuan: 1. Memperbaiki fungsi anggota badan seoptimal mungkin. 2. Mencegah cacat berlanjut menjadi berat 3. Memperbaiki penampilan (kosmetik). Agar pembedahan berhasil dengan baik, maka harus memunuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Basil tahan asam (M. leprae) negatif atau pasien sudah bebas terapi (CTC = Completion of treatment cure). 2. Bebas reaksi lebih dar 6 bulan. 3. Tidak pernah mendapat pengobatan steroid dalam 6 bulan terakhir. 4. Kelumpuhan otot sudah menetap. 5. Ada otot donor yang normal. 6. Tidak ada kontraindikasi pada operasi umum. 7. Pasien koorperatif dan ada motivasi untuk dioperasi.
2.1.12 Pencegahan Cacat Kusta 1. Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi: a. Diagnosis dini b. Pengobatan secara teratur dan adekuat
c. Diagnosis dini dan penatalaksanaan neuritis d. Diagnosis dini dan penatalaksanaan reaksi 2. Upaya pencegahan cacat sekunder, antara lain: Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka a. Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur. b. Bedah
rekonstruksi
untuk
koreksi
otot
yang
mengalami
kelumpuhan. c. Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi, sehingga pada proses penyembuhan tidak terlalu banyak jaringan yang hilang. d. Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot (Wisnu, 2003).
2.1.13 Relaps Kusta Relaps adalah kembalinya penyakit secara aktif pada pasien yang sesungguhnya telah menyelesaikan pengobatan yang telah ditentukan dan karena itu pengobatannya telah dihentikan oleh petugas kesehatan yang berwenang (Amirudin,2003). 1. Relaps pada kusta pasibasilar dapat bermanifestasi: a. Terjadinya pada kulit dan saraf dengan klasifiasi tipe kusta yang sama seperti asalnya. b. Manifestasi relaps mungkin secara klinis dan imunologis lebih buruk dari klasifikasi asalnya, contoh: pasien dengan klasifikasi asal BT dapat relaps dengan ciri-ciri BB atau BL. c. Dapat bermanifestasi dalam bentuk yang lebih baik, contoh: pasien yang asalnya BT dapat relaps dalam bentuk TT. 2. Relaps pada kusta multibasilar dapat bermanifestasi: a. Relaps dapat terjadi dalam bentuk tipe klasifikasi yang sama dengan asalnya. b. Dapat bermanifestasi lebih buruk, contoh: pasien dengan bentuk asal BB atau BL dapat relaps dengan gambaran LL.
c. Dapat bermanifestasi lebih baik, contoh: pasien dengan bentuk asal LL dapat relaps dalam bentuk lepra borderline, misalnya BL, BB atau BT. d. Tipe lesi yang disebut histoid dapat terjadi pada beberapa kasus. Relaps yang khas ini disebabkan oleh resistensi obat (terutama terhadap dapson). 3. Gejala klinis Relaps adalah: a. Meluasnya lesi yang telah ada, menebal, eritematosa atau terjadinya infiltrat
pada lesi
yang sebelumnya
telah
menghilang,
atau
terbentuknya lesi yang baru. b. Penebalan atau kekakuan saraf, atau adanya saraf baru yang terkena. c. Ditemukan bakteri pada tempat yang sebelumnya negatif dan atau positif pada lesi yang baru (Amirudin et al, 2003).