BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Penyakit Jantung Koroner
2.1.1. Definisi Penyakit jantung koroner (PJK) adalah suatu kondisi dimana terjadi imbalans dari supply dan demand oksigen otot jantung, yang paling sering disebabkan oleh plak aterosklerosis yang menyebabkan penyempitan arteri-arteri koroner. Selain itu PJK dapat pula terjadi akibat spasme arteri yang disebut dengan angina varian. Presentasi klinis yang ditimbulkan dapat bermacam-macam dan membentuk spektrum PJK, namun manifestasi yang paling sering adalah angina pektoris (Young dan Libby, 2007) Penyakit jantung koroner merupakan suatu penyakit yang dinamis, dimana ada suatu proses transisi dari spektrum penyakit akibat perubahan intralumen mulai dari oklusi parsial sampai dengan total ataupun reperfusi, seperti yang diringkas pada gambar 2.1 berdasarkan modalitas diagnostik (Talwar et al, 2008). Adapun spektrum klinis dari penyakit jantung koroner adalah sebagai berikut (Young dan Libby, 2007) : a.
Penyakit jantung koroner : kondisi imbalans dari suplai dan kebutuhan oksigen miokardium yang berakibat hipoksia dan akumulasi metabolit berbahaya, paling sering disebabkan aterosklerosis.
b.
Angina pektoris : sensasi tidak nyaman di daerah dada dan sekitar, akibat proses iskemia otot jantung.
c.
Angina stabil : bentuk kronik dari angina yang hilang timbul, timbul saat aktivitas dan emosi, dan hilang saat istirahat dan pemberian nitrat. Tidak ada kerusakan permanen otot jantung.
d.
Angina varian : klinis seperti angina, timbul saat istirahat, terjadi akibat spasme pembuluh darah koroner.
e.
Angina tidak stabil : bentuk dari angina dengan peningkatan frekuensi dan durasi, muncul saat aktivitas yang lebih ringan. Dapat menjadi infark miokard akut jika tidak segera ditangani.
Universitas Sumatera Utara
f.
Silent Ishcemia : bentuk asimptomatis dari proses iskemia miokardium. Dapat dideteksi melalui EKG dan pemeriksaan laboratorium.
g.
Infark Miokard Akut : proses nekrosis miokardium yang disebabkan penurunan aliran darah berkepanjangan. Paling sering disebabkan oleh trombus, dapat bermanifestasi pertama kali ataupun muncul kesekian kali dengan riwayat angina pektoris.
Gambar 2.1 Spektrum PJK sumber : Talwar et al, 2008
2.1.2. Epidemiologi Di Amerika, Prevalensi PJK terjadi 7% pada orang dewasa, dimana sebanyak 16.3 juta orang mengalami PJK, yang terdiri dari serangan jantung sebanyak 7.9 juta orang dan angina pektoris sebanyak 9 juta orang. Hampir setengah dari keseluruhan penderita ini, terjadi pada usia diatas 60 tahun, prevalensi PJK pada laki-laki sebanyak 8.3% dan perempuan sebanyak 6.1%. Insidensi serangan jantung pada tahun 2011 di Amerika diperkirakan 785.000 kasus baru dan 470.000 serangan berulang. Diperkirakan setiap 25 detik, satu orang Amerika akan mengalami cardiac event dan setiap 1 menit, satu orang Amerika akan mati akibat PJK (Roger et al, 2011). Di Indonesia, sebelum tahun 1950 PJK jarang dijumpai, tetapi mulai tahun 1970 PJK merupakan jenis penyakit kardiovaskular yang banyak dijumpai di
Universitas Sumatera Utara
rumah sakit-rumah sakit besar. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI tahun 1986 dilaporkan bahwa morbiditas penyakit kardiovaskular naik dari urutan ke-10 pada tahun 1981 menjadi urutan ke-3 pada tahun 1986, dan kenaikan ini disebabkan oleh naiknya morbiditas PJK. Sargowo (2002) dalam Nababan (2008).
2.1.3. Aterosklerosis Aterosklerosis adalah suatu kondisi yang menganggu arteri sedang dan besar, ditandai dengan penebalan dinding arteri yang berhubungan dengan akumulasi lipid yang dapat berujung dengan kalsifikasi, kemudian dapat menjadi ruptur akibat kelemahan dinding yang akan merangsang koagulasi darah untuk membentuk suatu trombus yang akan menghambat perfusi ke jaringan (Itrovic, 2009). Plak aterosklerosis terdiri dari berbagai macam lipoprotein, matriks ekstraseluler (kolagen, proteoglikan, glikosaminoglikan), kalsium, sel-sel otot polos, sel-sel inflamasi, dan angiogenesis (Shah et al, 2008). Aterosklerosis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara berkembang. Manifestasi klinis utamanya yaitu penyakit kardiovaskular dan stroke, diperkirakan akan menjadi global killer pada tahun 2020 (Young dan Libby, 2007).
2.1.4. Proses Pembentukan Aterosklerosis Proses pembentukan aterosklerosis bukan hanya melibatkan akumulasi lipid akibat diet saja, tetapi penelitian-penelitian terakhir menyebutkan bahwa ini merupakan suatu kondisi inflamasi kronik, yang melibatkan lipid, trombosis, komponen dinding vaskular, dan sel-sel imun (Yong dan Libby, 2007). Jadi, aterosklerosis merupakan penyakit inflamasi dimana terjadi interaksi antara komponen sistem imun dengan faktor-faktor metabolik yang nantinya akan menginisiasi dan mengaktivasi lesi di dinding arteri (Hannson, 2005). Proses pembentukan ini sudah mulai terjadi sejak balita sampai usia tua, ataupun timbul manifestasi lebih dini berupa kejadian akut kardiovaskular (Yong dan Libby, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Dinding arteri memiliki sistem yang dinamik dan regulatif, sehingga beberapa komponen yang merugikan dapat menganggu homeostasis dari sistem ini, dan akan merangsang proses aterogenesis. Misalnya, sel-sel endotel dan otot polos yang ada didalam arteri dapat beraksi terhadap mediator-mediator inflamasi seperti IL-1 dan TNF-alfa yang akan mengakibatkan endotel dan otot teraktivasi dan melepaskan IL-1 dan TNF-alfa pula (Yong dan Libby, 2007)
Gambar 2.2 : Proses Pembentukan Aterosklerosis Sumber : Schoen, 2005
Dalam perjalanannya ada beberapa mekanisme yang terlibat dalam proses inflamasi aterosklerosis, yaitu : disfungsi endotel, akumulasi lipid di subintima, penarikan leukosit dan sel-sel otot polos ke subintima, pembentukan foam cells, deposisi matriks ekstraselular yang terangkum dalam gambar 2.2 (Schoen, 2005). Proses inflamasi di endotel yang menjadi dasar proses aterosklerosis akan menyebabkan aktivasi atau disfungsi endotel yang mengakibatkan infiltrasi
Universitas Sumatera Utara
lipoprotein, retensi, dan modifikasi disertai dengan pemanggilan sel-sel inflamasi (Shah et al, 2008). Aterosklerosis diawali dengan pembentukan fatty streak, secara makroskopis terlihat diskolorisasi bagian dalam arteri berupa warna kuning tanpa adanya protrusi ke intralumen sehingga tidak akan menganggu blood flow. Pada awalnya stressor akan menyebabkan disfungsi endotel, yang nantinya akan menyebabkan influks dan modifikasi lipid di subintima, dimana akan terjadi suatu proses inflamasi yang mendukungya untuk selanjutnya menarik sel-sel leukosit di darah dan membentuk suatu foam cells (Young dan Libby, 2007). a.
Disfungsi endotel, dapat terjadi akibat faktor fisik maupun kimiawi. Faktor fisik yang diistilahkan dengan physical stress sering terjadi pada arteri dengan banyak cabang, sedangkan pada arteri dengan aliran yang lebih lurus (laminar flow) lebih menguntungkan, karena akan menghasilkan vasodilator endogen (NO), penghambat agregasi platelet, substansi anti-inflamasi, dan antioksidan yang bersifat protektif terhadap bahan kimiawi dan keadaan iskemik. Hal sebaliknya dijumpai pada arteri yang bercabang, akan terjadi gangguan mekanisme ateroprotektif (Young dan Libby, 2007). Untuk faktor kimiawi, seperti : rokok, dislipidemia, dan diabetes, yang juga merupakan faktor risiko aterosklerosis, menyebabkan oxidative stress melalui produksi oksigen reaktif terutama anion superoksida yang akan berinteraksi dengan molekul-molekul intrasel dari endotel untuk mempengaruhi fungsi sintesis dan metabolisme yang berujung pada proses inflamasi (Shah et al, 2008). Akibat daripada disfungsi endotel ini adalah : (1) gangguan fungsi endotel sebagai barier, (2) pelepasan sitokin-sitokin pro-inflamasi, (3) peningkatan produksi molekul adhesi yang berfungsi menarik leukosit, (4) pelepasan substansi vasoaktif (prostasiklin dan NO), (5) menganggu fungsi antitrombotik (Young dan Libby, 2007).
b.
Sebagai akibat gangguan fungsi barier oleh endotel, LDL akan masuk ke lapisan intima (difasilitasi oleh kadar LDL yang tinggi dalam darah). Kemudian LDL terakumulasi dan berikatan dengan proteoglikan (matriks ekstraseluler). Hal ini ditingkatkan oleh hipertensi, yang akan menambah
Universitas Sumatera Utara
produksi LDL-binding proteoglikan oleh sel-sel otot polos. Modifikasi terjadi melalui proses oksidasi dengan aktivitas oksigen reaktif dan enzim prooksidan yang dihasilkan endotel teraktivasi, serta dapat berasal dari makrofag yang masuk ke lapisan subdendotel. Pada pasien diabetes LDL dimodifikasi melalui reaksi glikosilasi, yaitu reaksi non-enzimatis antara glukosa dan protein. Semua modifikasi ini berperan dalam proses inflamasi, dimana mLDL (modified LDL) akan membantu influks dari leukosit dan pembentukan foam cell (Young dan Libby, 2007). c.
Endotel yang teraktivasi juga akan mengeluarkan beberapa sinyal seperti leukocyte adhesion molecules/LAM (VCAM-1, ICAM-1, E-Selectin, PSelectin), kemoreaktan (MCP-1, IL-8, IFN-inducible protein 10), dimana kedua faktor ini akan menyebabkan diapedesis sel-sel inflamasi terutama monosit dan limfosit T ke lapisan subintima. LDL yang telah dimodifikasi sebelumnya (mLDL) akan merangsang endotel dan sel-sel otot polos untuk menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi yang berperan dalam menginduksi pelepasan LAM dan sinyal-sinyal kemoreaktan tersebut (Young dan Libby, 2007).
d.
Setelah monosit masuk kelapisan subintima, maka sel ini akan berdiferensiasi menjadi makrofag dan meng-uptake mLDL melalui reseptor yang bernama scavenger receptors yang ada dipermukaan makrofag sehingga terbentuk foamy cell. Walaupun influks mLDL kedalam makrofag ini merupakan bentuk pertahanan (menghentikan pelepasan sitokin oleh mLDL bebas di subintima), tetapi sel-sel makrofag yang berisi kolestrol ini justru terperangkap dalam lokasi plak, yang akan menambah ukuran dari plak itu tersebut (Young dan Libby, 2007). Setelah pembentukan fatty streak yang diinisiasi kejadian disfungsi endotel,
maka tahapan selanjutnya adalah proses awal progresi plak yang diawali dari migrasi sel-sel otot polos dari lapisan media ke lapisan subintima (lokasi tempat proses inflamasi terjadi) hingga terjadi pembentukan fibrous cap yang mengelilingi foamy cel (Young dan Libby, 2007).
Universitas Sumatera Utara
a.
Foam Cells (menghasilkan PDGF, TNF-alfa, IL-1, FGF, TGF-beta), pletelet dan endotel yang teraktivasi, akan menghasilkan sinyal yang membantu Selsel otot polos untuk proses migrasi, proliferasi, dan sekresikan matriks ekstraselular di subintima (Young dan Libby, 2007). Kemudian sel-sel ototpolos juga akan meng-uptake mLDL yang akan menambah ukuran dari plak (Itrovic, 2009).
b.
Metabolisme matriks ektraselular (kolagen dan elastin), deposisi matriks yang berperan dalam proses pembentukan fibrous merupakan hasil keseimbangan sintesis (oleh sel otot polos) dan degradasi (oleh enzim proteolitik yaitu matrix metalloproteinase/MMP). Faktor pertumbuhan seperti PDGF dan TGF-beta yang berperan dalam stimulasi otot polos dan sekresi matriks, sementara IFN-gamma yang dihasilkan limfosit T berperan menekan produksi dari matriks ekstraselular ini, ditambah dengan sitokin-sitokin dan collagen-elastin-degrading
MMP
yang
dihasilkan
oleh
foam
cell
menyebabkan gangguan stabilitas plak dan mengakibatkan plak menjadi vulnerable (Young dan Libby, 2007). c.
Selanjutnya terjadi angiogenesis akibat perangsangan makrofag, endotel teraktivasi (VEGF, IL-8). Proses ini menambah ukuran plak melalui perdarahan intraplak dan menambah ukuran necrotic lipid-core yang berisi foam cell yang nekrosis akibat pelepasan enzim proteolitik dan sitokin dari proses inflamasi yang terjadi (Shah et al, 2008). Pada tahap awal progresi awal plak (remodeling) belum terjadi gangguan
aliran yang signifikan, karena pertumbuhan plak kearah luar lumen, namun apabila terus berlanjut remodeling akan menyebabkan penyempitan kearah lumen dan barulah muncul manifestasi klinis akibat gangguan aliran koroner (Shah et al, 2008). Teori terdahulu menyebutkan bahwa perkembangan plak ini terjadi secara gradual dan berlanjut terus-menerus, tetapi bukti terbaru menunjukan bahwa proses perkembangan ini dapat terhenti akibat ruptur dari plak, dengan atau tanpa manifestasi klinis. Manifestasi klinis dapat tidak terlihat akibat plak yang ruptur yang kecil membentuk trombus yang kecil pula, selanjutnya melalui platelet yang teraktivasi akan menghasilkan PDGF dan heparinase yang akan membantu proses
Universitas Sumatera Utara
penyembuhan plak yang ruptur. Kejadian sindroma koroner akut paling sering terjadi akibat ruptur dari plak, dan menyebabkan paparan molekul pro-trombotik intraplak ke darah, dan berujung pembentukan trombus yang akan menyumbat intralumen pembuluh darah (Young dan Libby, 2007) Proses selanjutnya yang dapat terjadi adalah proses rupturnya plak akibat degradasi dan penurunan matriks (integritas plak) oleh sel inflamasi dan nekrosis sel-sel otot polos, yang dapat berlanjut dengan pembentukan trombus sebagai mekanisme utama kejadian sindrom koroner akut. a.
Integritas plak, dalam perjalanan proses pembentukan aterosklerosis terjadi dinamika antara sintesis dan degradasi matriks ekstraselular yang bergfungsi sebagai determinan stabilitas dari suatu plak. Pada perjalanan penyakit, foam cell dan otot polos yang mati (baik akibat stimulasi berlebihan dari proses inflamasi ataupun jalur apoptosis) akan terakumulasi menambah proses penumpukan konstituen dari plak. Ukuran dari plak ini juga mempengaruhi stabilitas dari plak secara biomekanik, dengan bertambahnya ukuran plak maka akan terjadi protrusi plak ke lumen yang akan semakin memaparkan plak ke stres hemodinamik sirkulasi, ditambah dengan peran limfosit T dan foam cell aktif yang menghasilkan sitokin-sitokin yang menyebabkan degradasi matriks ektraselular. Jadi, ketika fibrous cap tebal (sintesis matriks ektraselular lebih besar daripada degradasi) maka akan terjadi penyempitan lumen pembuluh darah yang kronik dengan kecenderungan yang lebih rendah untuk ruptur, hal ini disebut dengan stable plaque (fibrous cap tebal dan lipid core yang tipis). Hal sebaliknya terjadi ketika degradasi matriks lebih besar daripada
sintesis,
mengakibatkan
fibrous
cap
yang
tipis
dengan
kecenderungan yang lebih besar untuk ruptur, hal ini disebut dengan vulnerable plaque (fibrous cap tipis dan lipid core yang tebal dan kaya akan sel-sel inflamasi). b.
Kecenderungan plak apabila ruptur menjadi oklusi total atau terjadi penyembuhan disebut dengan potensial trombogenik, kecenderungan ini merupakan hasil interaksi antara komponen koagulasi dan fibrinolitik. Proses inflamasi yang terjadi merangsang komponen koagulasi melalui peningkatan
Universitas Sumatera Utara
faktor pro-koagulasi dan anti-fibrinolotik. Aktivasi pro-koagulasi terjadi melalui jalur ekstrinsik yang dihasilkan komponen-komponen plak meliputi sel-sel otot polos, sel endotel, foam cells. Sedangkan aktivasi antifibrinolisisnya terjadi melalui ekspresi dari plasminogen activator inhibitor-1 atau PAI-1, aktivitas anti-fibrinolitik ini melebihi komponen antikoagulan (trombomodulin, heparin-like molecules, protein S) dan profibrinolitik (tPA dan uPA) seperti yang terangkum dalam tabel 2.1 dibawah. Selain aktivitas inflamasi yang pro-koagulasi, keadaan ini juga dipengaruhi oleh genetik (procoagulant prothrombin gene mutation), keadaan penyerta (diabetes), gaya hidup (merokok, obesitas viseral). Jadi konsep “vulnerable plaque” sudah berkembang menjadi konsep “vulnerable patient.”
Tabel 2.1 Komponen Hemostasis Meningkatkan Trombous Pro-coagulant : faktor jaringan
Menghambat Trombus Anti-koagulan : Trombomodulin, Protein S, Heparin-like molecules
Anti-fibrinolitik : PAI-1
Pro-fibrinolitik : tPA, uPA
Plak yang terbentuk pada prosesnya tidak tersebar merata untuk semua arteri yang ada di tubuh, plak ini cenderung berkembang pada mulanya terutama di aspek posterior aorta abdominalis dan bagian proksimal arteri koroner, diikuti di arteri popliteal, aorta torakalis, arteri karotis interna, dan arteri renalis. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dialiri oleh pembuluh darah tersebut paling rentan terjadi proses pembentukan plak (Young dan Libby, 2007)
2.1.5. Komplikasi Aterosklerosis Plak aterosklerosis dapat mengalami beberapa keadaan seperti : kalsifikasi, ruptur, perdarahan, dan embolisasi, yang semuanya dapat menyebabkan restriksi tiba-tiba aliran darah bersangkutan, ataupun gangguan integritas pembuluh darah terkait (Young dan Libby, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Kalsifikasi yang terjadi dapat mengakibatkan kekakuan pada dinding pembuluh darah dan akan meningkatkan fragilitasnya. Plak yang ruptur atau robek dapat mengakibatkan paparan komponen pro-koagulan intraplak ke sirkulasi yang menyebabkan pembentukan trombus yang menyumbat intralumen, sehingga terjadi proses infark, trombus juga dapat mengakibatkan embolisasi kebagian distal dan mengakibatkan oklusi. Selain itu proses lain yang dapat terjadi adalah proses penyembuhan dimana trombus dapat diserap kembali dalam plak dan akan semakin menambah ukuran plak yang telah ada. Perdarahan yang terjadi akan mengakibatkan proses pembentukan hematoma yang akan semakin menyebabkan penyempitan intralumen. Plak fibrous dapat menyebabkan bagian sekitar menjadi terdorong dan akan terjadi kehilangan komponen elastin yang berakibat dilatasi arteri yang berujung dengan pembentukan aneurisma (Young dan Libby, 2007). Konsekuensi klinis dari proses aterosklerosis ini bervariasi, tergantung sistem organ yang terlibat. Pada kasus penyakit jantung koroner, plak progresif yang stabil yang menyumbat (stenosis) pembuluh darah di jantung bermanifestasi dengan rasa tidak enak di dada yang intermittent saat aktivitas fisik (angina pektoris). Sebaliknya vulnerable plaque yang tidak secara signifikan membuat penyempitan (non-stenosis), dapat menjadi ruptur dan menyebabkan sindrom koroner akut. Karena sifatnya yang non-stenosis, gejala klinis jarang terlihat, dan pada pemeriksaan angiografi sering tidak terlihat (Young dan Libby, 2007).
2.1.6. Faktor Risiko Pada tahun 1948, Studi Framingham sudah mulai melakukan penelitianpenelitian yang berhubungan dengan kejadian penyakit kardiovaskular dan membuat
suatu
konsep
mengenai
faktor
risiko
aterosklerosis.
Studi
INTERHEART menyebutkan faktor risiko penyakit kardiovaskular terdiri dari yang dapat dimodifikasi (90%) termasuk : dislipidemia, merokok, hipertensi, diabetes melitus, inaktifitas fisik, dan yang tidak dapat dimodifikasi seperti usia tua, jenis kelamin laki-laki, dan keturunan. Selain daripada faktor-faktor risiko diatas yang disebut dengan traditional risk factors, ada pula yang disebut dengan “novel” risk factors yang termasuk diantaranya adalah peningkatan homosistein
Universitas Sumatera Utara
darah, Lp(a), dan penanda inflamasi termasuk C-reactive protein/CRP (Young dan Libby, 2007) a. Dyslipidemia Sebenarnya kolestrol bukanlah sesuatu yang merusak tubuh selama kadarnya tidak berlebihan, tetapi justru diperlukan dalam proses fisiologis seperti pembentukan membran sel, hormon steroid dan empedu. Studi framingham menyatakan bahwa risiko PJK meningkat dua kali pada kadar kolestrol total diatas 240 mg/dl dibanding dengan pasien dengan kadar kolestrol total dibawah 200 mg/dl. Tingginya kadar LDL (diet, kelainan kongenital reseptor LDL) dalam darah akan menyebabkan akumulasi LDL di subendotel dan akan terjadi modifikasi. HDL memiliki kemampuan untuk membawa kolestrol dari perifer ke hati ditambah dengan fungsi anti-oksidanya, sehingga memiliki fungsi protektif (Young dan Libby, 2007). b. Merokok Rokok dapat menyebabkan aterosklerosis melalui beberapa cara, diantaranya peningkatan modifikasi oksidasi LDL, penurunan HDL, disfungsi endotel akibat hipoksia dan stress oksidatif, peningkatan perlekatan platelet, peningkatan ekspresi CAM, aktifasi simpatis oleh nikotin. Jadi rokok tidak hanya bersifat aterogenesis tetapi juga aterotrombosis, yang keduanya menyebabkan keadaan pasien menjadi “Vulnerable patient.”(Young dan Libby, 2007). Stress oksidatif merupakan mekanisme utama yang menyebabkan disfungsi endotel, dan kemudian menyebabkan gangguan biosintesis NO oleh endotel. Selain itu rokok juga akan menurunkan HDL. Kedua efek ini ditambah dengan kandung CO yang akan menurunkan kapasitas angkutan oksigen, sehingga akan menurunkan ambang iskemia otot jantung (demand meningkat). Rokok juga akan menyebabkan peningkatan fibrinogen dan perlengketan platelet (Maron et al, 2008) c. Hipertensi Stress hemodinamik oleh hipertensi menyebabkan disfungsi endotel sehingga akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Selain itu akan terjadi peningkatan jumlah reseptor scavenger, produksi proteoglikan oleh sel-sel otot
Universitas Sumatera Utara
polos, dan angiotensin 2 (mediator hipertensi) bersifat pro-inflamasi yang menambah proses aterosklerosis itu sendiri (Young dan Libby, 2007). d. Diabetes Mellitus Dikatakan bahwa diabetes merupakan equivalent risk, artinya seseorang dengan diabetes itu sama dengan orang yang pernah mengalami serangan jantung. Hal ini karena kondisi hiperglikemia akan memicu reaksi non-enzimatis antara glukosa dan lipoprotein yang disebut dengan glikasi. Reaksi ini akan meningkatkan uptake kolestrol oleh makrofag, aktifitas pro-trombus dan antifibrinolitik (Young dan Libby, 2007). e. Inaktifitas fisik Kurangnya aktifitas fisik berhubungan erat dengan sindroma metabolik. Aktifitas fisik (latihan) dapat meringankan proses aterosklerosis melalui : memperbaiki profil lipid dan tekanan darah, meningkatkan sensitivitas insulin dan produksi NO oleh endotel (Young dan Libby, 2007). f. Keturunan g. Usia dan Jenis Kelamin Insidensi dan prevalensi PJK meningkat seiring bertambahnya usia, dimana laki-laki pada usia 55 tahun dan pada wanita usia 65 tahun (Maron et al, 2008). Faktor risiko lebih tinggi pada laki-laki akibat perbedaan kadar estrogen (bersifat kardioprotektif) dengan wanita, sehingga hal ini akan sama risikonya pada wanita pasca-menopause.
Dikatakan
bahwa
secara
fisiologis,
estrogen
akan
meningkatkan HDL dan menurunkan LDL (Young dan Libby, 2007) h. Homosistein Mekanisme homosistein merangsang aterosklerosis masih belum jelas, tetapi dikatakan kadar homosistein yang tinggi dalam darah menyebabkan peningkatan stress oksidatif, inflamasi vaskular, serta perlengketan platelet (Young dan Libby, 2007). i. Lp(a) Lipoprotein(a) atau yang disebut “L-P-little-a” merupakan bentuk khusus dari lipoprotein dengan APO B-100 yang berikatan dengan APO(a). Apo(a) mengikat plasminogen yang merupakan komponen penting untuk proses lisis daripada
Universitas Sumatera Utara
kompleks trombus-fibrin/aktivitas anti-koagulan). Jadi Lp(a) berhubungan dengan aterosklerosis melalui kompetisinya yang akan menurunkan aktifitas plasminogen (Young dan Libby, 2007). j. CRP Karena mekanisme aterosklerosis adalah inflamasi disetiap prosesya, jadi penanda inflamasi menjadi bahan evaluasi pada pasien kardiovaskular. Sel-sel imun yang teraktivasi pada proses aterosklerosis akan menghasilkan sitokinsitokin pro-inflamasi (IL-1, TNF) yang akan menginduksi produksi IL-6 (yang juga dihasilkan oleh sel adiposa), yang selanjutnya akan menstimulasi produksi sejumlah acute-phase reactants seperti CRP, amyloid-A, dan fibrinogen terutama di hati (Hansson, 2005).
Tabel 2.2 Faktor Risiko pembentukan aterosklerosis (Mitrovic, 2010) Kondisi Laki-laki
Mekanisme (post-menopause
pada Estrogen
perempuan)
berperan menurunkan LDL
melalui peningkatan resptor LDL di liver
Riwayat keluarga
Keterlibatan multigen
Hiperkolestrolemia/lipidemia Primer
Genetik, defisiensi LPL, reseptor LDL, abnormalitas ApoE, defisiensi ApoC
Hiperkolestrolemia/lipidemia Sekunder
Peningkatan
TG,
kolestrol
didapat
(asupan makanan, akibat obat) Merokok
CO merangsang jejas hipoksik pada sel endotel
Hipertensi
Peningkatan stress fisik pada endotel, yang akan sebabkan disfungsi endotel
Diabetes Mellitus
Penurunan klirens LDL oleh liver, reaksi
glikosilasi
yang
sebabkan
peningkatan adhesi LDL ke endotel Obesitas Abdominal
Belum
jelas,
tetapi
mungkin
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan DM
tipe
2,
dislipidemia, hipertensi yang semuanya merupakan faktor risiko aterosklerosis Sindrom Nefrotik
Peningkatan produksi lipid dan Lp(a) oleh hati
Hipotiroid
Penurunan reseptor LDL di hati
Lp(a) yang tinggi
Belum jelas
Hiperhomosisteinemia
Belum
jelas,
tetapi
mungkin
berhubungan dengan penghasilan H2O2 dan oksigen reaktif yang merangsang oksidasi/modifikasi LDL Tabel 2.2 Faktor Risiko pembentukan aterosklerosis (Itrovic, 2009)
2.1.7. Patofisiologi Iskemia Dalam memahami patofisiologi PJK sesuai dengan defenisinya maka perlu diketahui terlebih dahulu faktor yang mempengaruhi supply dan demand dari konsumsi oksigen miokardium. Aliran darah ke otot jantung (supply) bergantung pada kandungan oksigen dalam darah dan aliran darah koroner. Kandungan oksigen dalam darah ini ditentukan oleh kadar Hb dan tingkatan oksigenasi sistemik. Sedangkan aliran darah koroner ditentukan secara berbanding lurus dengan tekanan perfusi, dan berbanding terbalik dengan resistensi vaskular. Koroner, tidak seperti pembuluh darah lain, mendapat aliran darah saat fase diastolik. Hal ini disebabkan aliran koroner terhambat akibat kompreksi eksternal ventrikel saat fase sistolik, jadi tekanan perfusi koroner ditentukan oleh tekanan diastolik aorta. Sedangkan resistensi vaskular di koroner tergantung : (1) Faktor kompresi eksternal (kontraksi ventrikel/sistol) dan (2) Faktor intrinsik (Naik et al, 2007). Faktor intrinsik akan memengaruhi tonus koroner, dimana komponenya terdiri dari : metabolit lokal, faktor-faktor endotel, dan persarafan. Metabolit lokal memengaruhi tonus koroner secara lokal untuk meningkatkan supply oksigen miokardium untuk memenuhi kebutuhan metabolisme seluler, jadi ketika terjadi
Universitas Sumatera Utara
hipoksemia (akan terjadi pergeseran dari metabolisme aerob ke anaerob), ATP tidak cukup dihasilkan dan akibatnya terjadi akumulasi adenosin (hasil degradasi AMP dan ADP yang tidak dimodifikasi menjadi ATP), yang merupakan vasodilator poten, sehingga suplai oksigen ke jaringan masih dapat dipertahankan. Selain itu ada pula faktor-faktor yang diproduksi endotel yaitu : NO, prostasiklin, dan endothelium-derived hyperpolarizing factor (EDHF), yang ketiganya merupakan vasodilator dan Entothelin 1 yang merupakan vasokontriktor. Dalam keadaan normal koroner akan cenderung menjadi vasodilatasi (NO dan prostasiklin akan mendominasi endothelin1), hal ini tidak akan terjadi apabila terjadi disfungsi endotel akibat berbagai faktor. Dan yang terakhir adalah adanya persarafan dari simpatis dan parasimpatis, yang dalam keadaan normal simpatis mendominasi. Arteri koroner mempunyai reseptor alpha (vasokonstriksi) dan beta-2 (vasodilatasi). Jadi ketiga faktor (metabolit lokal, derivat/faktor endotel, dan innervasi autonom) menghasilkan suatu keseimbangan tonus vaskular, misalnya ketika terjadi respon stres (katekolamin) akan terjadi perangsangan reseptor alpha (vasokonstriksi), kemudian beta-1 (inotropik positif) yang keduanya akan meningkatkan demand yang nantinya akan merangsang pembentukan metabolit lokal berupa vasodilator sehingga akan tetap dalam keadaan vasodilatasi untuk menjamin aliran darah koroner/supply (Naik et al, 2007). Kebutuhan oksigen miokardium (demand) dipengaruhi oleh 3 komponen, yaitu : (1) stress dinding ventrikel, (2) Heart Rate/kronotropik (HR), dan (3) kontraktilitas/inotropik, dimana ketiga faktor ini akan meningkatkan kebutuhan terhadap oksigen, serta dalam jumlah kecil oksigen dibutuhkan untuk pembentukan energi metabolisme basal dan aktifitas listrik jantung. Stress dinding ventrikel dipengaruhi secara lurus oleh tekanan intraventrikel dan radius ventrikel, serta berbanding terbalik dengan ketebalan dinding ventrikel. Dalam keadaan normal ketiga kebutuhan ini difasilitasi oleh faktor penentu tonus koroner, sehingga akan tercapai keseimbangan agar miokardium mendapat cukup nutrisi dan oksigen. Tetapi ketika ada penyumbatan akibat plak aterosklerosis/stenosis, akan terjadi imbalans/mismatch antara supply dan demand oksigen terhadap
Universitas Sumatera Utara
miokardium, ditambah lagi dengan kondisi disfungsi endotel yang akan memperparah mekanisme kompensasi supply oksigen ke miokardium. Jadi patofisiologi iskemia pada PJK tidak hanya akibat penurunan aliran darah koroner akibat penyempitan (mekanikal) tetapi juga akibat gangguan keseimbangan tonus koroner (kimiawi) yang keduanya akibat proses aterosklerosis (Naik et al, 2007)
Tabel 2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi supply dan demand miokardium (Naik et al, 2007) Supply
Demand
Konten oksigen darah
Wall Stress
Tekanan Perfusi Koroner
HR dan Kontraktilitas
Resistensi vaskular koroner - Kompresi Eksternal - Regulasi intrinsik (metabolit lokal, derivat
endotel,
dan
innervasi
autonom)
2.2.
Rokok
2.2.1. Jenis dan Komponen Rokok Komponen utama rokok adalah tembakau, yang ditambahkan berbagai macam bahan lain yang nantinya akan menentukan jenis rokok. Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang memproduksi rokok dengan bahan baku tembakau dan cengkeh yang disebut dengan rokok kretek. Tembakau di Indonesia ada dua jenis, satu yang ditanam di Pulau Jawa dengan jenis Tembakau Virginia, sementara di Sumatera Utara terdapat tembakau deli. Selain itu terdapat rokok siong dimana terdapat bahan tambahan berupa kemenyan dan kelembak yang banyak dikonsumsi oleh orang Jawa. Diluar negeri bahan baku rokok hanya tembakau yang disebut dengan rokok putih. Adapula jenis rokok pipa, dimana tembakau dibakar dan dihisap melalui pipa, dan rokok cerutu dimana tembakau kering yang dirajang agak lebar disusun sedemikian rupa, kemudian dibalut dengan daun tembaku juga. (Sitepoe, 2000)
Universitas Sumatera Utara
Rokok digulung dengan berbagai jenis pembalut atau pembungkus. Ada yang menggunakan kertas, misalnya pada rokok kretek dan rokok putih ; menggunakan daun nipah ; pelepah tongkol jagung atau disebut rokok kelobot ; dan dengan menggunakan daun tembakau itu sendiri ; adapula yang tidak dibungkus tetapi dengan menggunakan pipa, misalnya rokok pipa. Pembalut rokok kretek bila dibuat dari kertas, maka minyak dari cengkeh akan keluar dan membuat warna rokok tidak menarik, hal ini dapat diatasi dengan menggunakan pembungkus yang disebut dengan twin wrap (Sitepoe, 2000)
2.2.2. Merokok dan Perokok Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian dihisap asapnya, baik menggunakan rokok ataupun pipa. Asap rokok yang dihisap atau dihirup masuk sebagai dua komponen, yaitu yang lekas menguap dalam bentuk gas, dan komponen yang bersama gas terkondensasi menjadi partikel (Sitepoe, 2000). Dimana dikatakan oleh Harrisons (1987) dalam Sitepoe (2000), komposisi ini terdiri dari 85% gas dan sisanya berupa partikel. Asap rokok yang dihisap melalui mulut disebut dengan mainstream smoke, sedangkan asap rokok yang berasal dari ujung rokok serta yang dihembuskan ke udara disebut dengan sidestream smoke. Yang terakhir apabila orang terkena asap jenis ini maka disebut dengan perokok pasif. Sedangkan yang menghisap asap mainstream disebut dengan perokok aktif (Sitepoe, 2000). Conrad dan Miller (1985) dalam Sitepoe (2000) menyatakan bahwa seseorang dapat menjadi perokok disebabkan oleh dorongan psikologis dan fisiologis. Dorongan psikologis seperti rangsangan seksual, sebagai suatu ritual, menunjukan kejantanan (kebanggan), sedangkan dorongan fisiologis akibat nikotin yang terkandung dalam rokok menyebabkan adiksi sehingga seseorang ingin terus merokok. Merokok tidak hanya pada orang tua, tetapi juga pada anakanak. Merokok pada anak disebabkan keinginan untuk menunjukan dirinya telah dewasa, umumnya bermula dari perokok pasif kemudian menjadi aktif, dan semula hanya coba-coba lambat laun menjadi ketagihan akibat nikotin. (Sitepoe, 2000)
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Zat yang Terkandung dalam Rokok Rokok merupakan suatu kompleks kimiawi dengan bentuk gas dan partikel. Lebih dari 4000 zat yang terkandung dalam rokok, tetapi beberapa komponen utama yang memiliki efek terhadap tubuh terdapat dalam tabel 2.4. Komponen gas termasuk karbon monoksida, nitrogen oksida (merupakan zat prooksidan dan iritan), hidrogen sianida (menganggu fungsi mukosilier saluran pernafasan), dan bahan karsinogenik seperti volatile nitrosamine, formaldehid (Benowitz & Hua, 2007).
Tabel 2.4 Komponen toksik utama dalam Rokok (Benowitz & Hua, 2007) Nicotine
Carbon Monoxide
Catechols
Acetaldehyde
N-Nitrosonornicotine
Nitrogen Oxides
Phenol
Hydrogen Cyanide
Polunuclear aromatic hydrocarbons
Acrolein
Benzene
Ammonia
Beta-Napthylamine
Formaldehyde
Nickel
Urethane
Cadmium
Hydrazine
Arsenic
Nitrosamines
Polonium 210
Komponen partikel termasuk diantaranya alkaloid terutama nikotin dan tar. Selain efek langsung ke saraf pusat, nikotin juga merupakan simpatomimetik dan stimulan, serta meningkatkan pelepasan asam lemak bebas. Nikotin menyebabkan pelepasan hormon stres seperti kortisol dan GH serta pelepasan vasopressin dan beta-endorphin. Tar merupakan kompleks yang terdiri dari benzo(a)pyrene dan dan senyawa aromatik lain yang bersifat karsinogenik (Benowitz & Hua, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.2.4. Efek Rokok Terhadap Tubuh Merokok merupakan faktor penyebab penyakit dan kematian yang paling dapat dicegah, rokok menempati urutan keempat diantara 20 penyebab penyakit di dunia, dan menempati urutan pertama di negara berkembang. Perilaku merokok merupakan bentuk ketergantungan, hal ini disebabkan nikotin yang terkandung dalam rokok. Beberapa diantara efek fisiologis dari nikotin termasuk euforia, penurunan kecemasan dan tekanan, menurunkan nafsu makan, meningkatkan mood, relaksasi. Merokok berhubungan dengan berbagai macam penyakit seperti yag tercantum pada tabel 2.5 (Benowitz dan Hua, 2007)
Tabel 2.5 Penyakit yang berhubungan dengan merokok (Benowitz dan Hua, 2007) Kanker
Berbagai macam kanker
Penyakit Kardiovaskular
Mati
mendadak,
MCI,
Stroke,
Peripheral
Angina,
Unstable Artery
Disease, Aneurisma Aorta Penyakit Respirasi
Bronkitis
kronik,
Bronkiolitis, Pemicu
Emfisema,
Fibrosis
serangan
Interstisial,
asma,
Risiko
Pneumonia dan TB Penyakit Gastrointestinal
Ulkus peptikum, Refluks esofagus
Penyakit Reproduksi
Infertilitas,
bayi
prematur,
BBLR,
aborsi, plasenta previa, ketuban pecah dini, kematian perinatal Lain-lain
DM
tipe
2,
menopause
dini,
osteoporosis, katarak, dll.
Setelah rokok dihisap, kadar nikotin dalam darah akan meningkat tajam dalam 11-15 detik. Nikotin akan merangsang reseptor asetilkolin (nikotinik) pada neuron yang berisi dopamin, kemuadian mengaktivasi suatu sistem bernama brain-reward system. Aktifasi ini akan menimbulkan perasaan senang seperti pada akifitas seksual dan makan, tetapi hal ini bersifat sementara sampai kadar nikotin
Universitas Sumatera Utara
turun dalam darah dan timbul gejala akibat tidak diaktifkanya sistem ini yang diistilahkan dengan withdrawal/gejala putus obat yang hanya dapat dihilangkan dengan konsumsi rokok kembali. Oleh karena itu hambatan untuk berhenti merokok adalah gejala putus nikotin. Gejala putus nikotin antara lain adalah iritabilitas, cemas, bradikardia, nafsu makan meningkat, gelisah, dan gangguan berkonsentrasi, gejala ini dapat terjadi selama 2-3 hari dan akan berkurang setelah 14 hari (Sadikin dan Louisa, 2008)
2.2.5. Hubungan Rokok dengan Penyakit Jantung Koroner Kebiasaan merokok sudah jelas merupakan dampak negatif bagi jantung, setiap tahun WHO mengajak untuk memperingati hari bebas tembakau Sedunia pada 31 Mei, hal yang mencerminkan terhadap dampak buruk kebiasaan merokok bagi kesehatan dunia (Yahya, 2010). Reaksi kimiawi yang menyertai pembakaran tembakau menghasilkan senyawa-senyawa yang akan diserap ke darah melalui proses difusi . Nikotin yang terkandung dalam darah akan merangsang katekolamin dan bersama dengan komponen rokok lainya akan menyebabkan stress oksidatif di endotel koroner sehingga akan memicu proses disfungsi endotel. Selain itu nikotin akan merangsang sistem saraf simpatis sehingga akan terjadi peningkatan demand koroner (Yahya, 2010). Karbon monoksida yang tersimpan dalam asap rokok akan mengikat hemoglobin dengan affinitas 200 kali melebihi oksigen, hal ini menyebabkan penurunan delivery oksigen ke jaringan. Pada orang yang sehat hal ini dikompensasi dengan peningkatan aliran darah dan pengambilan oksigen jaringan, cardiac output untuk memenuhi demand koroner, tetapi pada pasien PJK hal ini tidak dapat terjadi dan menyebabkan angina pektoris (Benowitz, 2007). Rokok akan meningkatkan aktifitas koagulasi, sebuah studi oleh Meade et al (1987) menyebutkan bahwa penghentian rokok akan menyebabkan penurunan kadar fibrinogen. Asap rokok juga terbukti menurunkan kadar anti-oksidan yang diperlukan untuk menetralisir radikal bebas yang akan memodifikasi LDL. Juga rokok akan menyebabkan penurunan TRAP (total peroxyl radical-trapping potential) dalam darah sampai 31% dalam waktu 30 menit saja. TRAP merupakan
Universitas Sumatera Utara
kapasitas gabungan semua antioksidan untuk menetralkan semua radikal bebas dalam darah. Kebiasaan merokok juga akan meningkatkan potensi faktor risiko PJK seperti hipertensi dan dislipidemia (Yahya, 2010) Racun dari rokok tidak hanya merusak jantung perokok, tetapi juga orangorang disekelilingnya atau yang diistilahkan dengan perokok pasif (Yahya, 2010). Studi dalam BMJ mencantumkan tentang efek samping rokok dan penyakit jantung koroner dimana 4.700 orang yang terpapar asap rokok, kemudian diukur kadar kotinin (hasil metabolisme nikotinin) dalam darah. Hasilnya menunjukan bahwa responden dengan kadar kotinin yang lebih banyak berisiko 50-60% lebih tinggi karena penyakit jantung (Whincup et al, 2004).
2.3.
Perilaku
2.3.1. Batasan Perilaku Secara biologis perilaku diartikan sebagai suatu kegiatan, baik kegiatan yang dapat diamati ataupun yang tidak dapat diamati. Berdasarkan teori “S-O-R” pula dapat dikelompokan perilaku manusia menjadi dua jenis, yaitu tertutup (covert) dan terbuka (overt). Perilaku tertutup dimaksudkan apabila respon yang timbul akibat stimulus tersebut belum dapat diamati secara jelas, termasuk disini komponen pengetahuan (knowledge) dan sikap (attitude). Sedangkan perilaku terbuka sebaliknya dapat diamati secara jelas, termasuk disini komponen tindakan (practice) (Notoadmodjo, 2010) Perilaku adalah totalitas pemahaman yang terjadi pada suatu individu, yang merupakan hasil bersama antara faktor internal dan eksternal. Perilaku seseorang sangat kompleks dan luas. Benyamin Bloom (1908) dalam Notoadmodjo (2010) membedakan perilaku menjadi 3 ranah (domain), yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam perkembanganya, domain perilaku ini dibedakan sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010) : a.
Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan merupakan hasil pengindraan manusia (telinga, mata, dsb)
terhadap suatu objek. Pengetahuan ini sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian
Universitas Sumatera Utara
dan persepsi terhadap objek serta mempunyai intensitas atau tingakatan tertentu, Secara garis besar ada 6 tingkatan, yaitu : (Notoatmodjo, 2010) 1) Tahu (know), diartikan sebagai memanggil (recall) memori yang sebelumnya sudah ada. Misalnya tahu bahwa penyakit jantung koroner disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah di jantung. Untuk mengukur bahwa orang tahu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan. 2) Memahami (comprehension), bukan sekedar tahu dan bisa menyebutkan tetapi juga dapat mengintepretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya orang memahami pencegahan demam berdarah (DBD), tidak hanya mampu menyebutkan 3 M (mengubur, menutup, dan menguras), tetapi bisa menjelaskan mengapa harus dilakukan hal tersebut. 3) Aplikasi (application), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan prinsip yang diketahui pada situasi yang lain. Misalnya orang telah paham tentang metodologi penelitian, dia akan mudah membuat proposal penelitian dimana saja. 4) Analisis (analysis), merupakan kemampuan untuk menjabarkan, memisahkan kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang diketahui dari suatu objek. Indikasi bahwa orang telah sampai pada tingkat analisis, ketika dia mampu membedakan, mengelompokan, membuat diagram terhadap pengetahuan atas objek tersebut. Misalnya dapat menjelaskan proses pembentukan plak aterosklerosis dengan suatu diagram. 5) Sintesis (synthesis), menunjukan kemampuan seseorang untuk merangkum dan meletakan satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Misalnya setelah membaca atau mendengar informasi, ia dapat merangkum dengan kata-kata sendiri serta mampu menyimpulkan tentang informasi yang didapat. 6) Evaluasi (evaluation), kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Misalnya seorang ibu dapat menentukan anaknya mengalami malnutrisi atau tidak, pasutri dapat menilai manfaat ikut KB.
Universitas Sumatera Utara
b.
Sikap (attitude) Sikap yang juga merupakan respon tertutup seperti pengetahuan, namun
disini sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi seperti setuju-tidak setuju, senang-tidak senang, baik-tidak baik, dsb. Campbell (1995) dalam Notoatmodjo (2010) menyebutkan bahwa sikap adalah suatu sindrom dalam merespon stimulus atau objek. Jadi sikap bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu (belum merupakan tindakan), melainkan predisposisi perilaku (tindakan) (Notoatmodjo, 2010).
Stimulus
Proses
Reaksi
Terbuka
Stimulus
(tindakan)
Reaksi Tertutup (pengetahuan dan sikap)
Gambar 2.3 Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Sumber : Notoatmodjo, 2010
Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2010) menyebutkan tiga komponen pokok sikap, yaitu keyakinan terhadap objek, emosional atau evaluasi terhadap objek, dan kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini bersama-sama membentuk sikap yang utuh ditambah dengan peran pengetahuan sehingga terbentuk suatu tindakan pada akhirnya. Contoh ibu yang mendengar tentang DBD (pengetahuan), pengetahuan ini membuatnya berfikir untuk
berusaha
terhindar dari penyakit ini (sikap), dalam hal ini komponen pendapat dan emosi sudah ikut berperan, kemudian dia melakukan pencegahan DBD melalui kegiatan 3 M (tindakan) (Notoatmodjo, 2010) Tingkatan sikap terdiri dari 4 komponen, yaitu : (Notoatmodjo, 2010)
Universitas Sumatera Utara
1) Menerima (receiving), diartikan bahwa seseorang mau menerima stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap seorang ibu terhadap kegiatan antenatal care (ANC), dapat diketahui dari kehadiran ibu dalam penyeluhan mengenai ANC di lingkunganya. 2) Menanggapi (responding), mampu memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. Misalnya seorang ibu yang ikut penyuluhan ANC ketika ditanyai oleh penyuluh, dia mampu menjawab atau menanggapinya, 3) Menghargai (valuing), maksudnya seseorang akan memberikan repon yang positif terhadap stimulus, misalnya membahasnya dengan orang lain dan menganjurkan orang lain untuk ikut merespon. 4) Bertanggung jawab (responsible), merupakan tingkatan sikap yang paling tinggi dimana seseorang berani
mempertaruhkan kepentinganya demi
keyakinanya terhadap suatu objek atau stimulus. Misalnya, seorang ibu yang rela mengorbankan waktunya demi mengikuti penyuluhan ANC Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi suatu objek. Sikap positif terhadap suatu nilai (misalnya tentang kesehatan) belum tentu terwujud dalam suatu tindakan yang nyata. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, yakni : situasi pada saat itu, acuan terhadap orang lain, pengalaman seseorang, nilai-nilai yang menjadi pegangan (Notoatmodjo, 2010). c.
Tindakan (practice) Seperti yang tertera dalam gambar 2.3 bahwa suatu sikap belum tentu
terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya suatu tindakan perlu faktor lain seperti sarana dan prasarana. Contoh, seorang ibu yang sudah ada niat (sikap) untuk melakukan ANC, namun hal tersebut harus didukung dengan fasilitas seperti bidan, posyandu, puskesmas dengan peralatan yang lengkap, agar bisa diwujudkan suatu tindakan. Tindakan dapat dibagi dalam 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu : (Notoatmodjo, 2010) 1) Praktik terpimpin, apabila seseorang melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntutan atau menggunakan paduan. Misalnya ibu hamil
Universitas Sumatera Utara
yang masih harus diingatkan bidanya untuk melakukan pemeriksaan kehamilan. 2) Praktik secara mekanisme, seseorang akan melakukan atau mempraktikan suatu tindakan secara otomatis. Misalnya seorang anak yang tanpa disuruh orang tuanya menggosok gigi setiap malam. 3) Adopsi, merupakan tindakan yang sudah berkembang. Artinya apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi. Misalnya seseorang yang selalu menggosok gigi dimalam hari, ditambah dengan teknik-teknik menggosok gigi yang benar dan standar. Jadi suatu perilaku dapat timbul, diawali dengan adanya pengalamanpengalaman (internal) dan faktor lingkungan baik sosial maupun budaya (eksternal). Kemudian pengalaman itu diketahui, dipersepsikan, diyakini, dan seterusnya hingga menimbulkan motivasi, niat, untuk bertindak, dan akhirnya diwujudkan dalam bentuk perilaku, seperti yang terangkum dalam gambar 2.4
Pengalaman,
Persepsi,
fasilitas,
pengetahuan,
sosial-budaya
keyakinan,
Perilaku
keinginan, motivasi,
niat,
sikap Ekternal
Internal
Respons
Gambar 2.4 Skema Perilaku Sumber : Notoatmodjo, 2010
2.3.2. Teori Perilaku Determinan perilaku sulit untuk dibatasi, karena perilaku merupakan resultan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Dari berbagai macam determinan ini, banyak ahli yang merumuskan teori-teori
Universitas Sumatera Utara
terbentuknya perilaku. Berbagai teori menyebutkan bahwa perilaku manusia merupakan suatu refleksi dari berbagai gejala kejiwaan (pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap), tetapi sulit ditentukan gejala kejiwaan yang mana yang menentukan terbentuknya perilaku seseorang. Lebih lanjut gejala kejiwaan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pengalaman, keyakinan, lingkungan fisik (sarana dan prasarana), sosio-budaya (kebiasaan , adat-istiadat), seperti yang digambarkan di gambar 2.4. (Notoatmodjo, 2010) Berikut beberapa teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli dalam Notoatmodjo (2010) : a.
Teori ABC oleh Sulzer, Azaroff, dan Mayer (1977), menyatakan bahwa perilaku merupakan suatu proses dan interaksi antara Antecedent yaitu pemicu yang menyebabkan perilaku, Behaviour sebagai reaksi terhadap adanya pemicu tadi dan Consequences kejadian selanjutnya yang mengikuti perilaku tadi. Konsekuensi ini dapat berupa menerima (positif) maupun menolak (negatif).
b.
Teori “Reason Action” oleh Fesbein dan Ajzen (1980) menekankan pentingnya suatu “intention” atau niat sebagai faktor penentu terhadap tindakan/perilaku yang akan diambil, dimana hal ini ditentukan oleh sikap (penilaian), norma subjektif (kepercayaan terhadap pendapat orang lain), dan pengendalian perilaku (persepsi terhadap konsekuensi dari suatu perilaku).
c.
Teori “Preced-Proceed” oleh Lawrence Green (1991) yang mencoba menganalisis perilaku dari tingkat kesehatan. Kesehatan dipengaruhi dua faktor pokok, yakni faktor perilaku dan faktor diluar perilaku. Selanjutnya perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni predisposisi (predisposing factors), pemungkin (enabling factors), dan penguat (reinforcing factors) yang kesemuanya
dirangkum
dalam
akronim
“PRECEDE”
(Predisposing,
enabling, and reinforcing causes in educational diagnosis and evaluation). Precede ini merupakan fase diagnosis masalah dalam hal promosi kesehatan. Sedangkan “PROCEED” (Policy, regulatory, organizational construct in educational and environmental development) merupakan fase perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dalam promosi kesehatan. Jadi dapat disimpulkan
Universitas Sumatera Utara
dalam teori ini perilaku seseorang tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dsb (faktor predisposisi), disamping itu ketersediaan fasilitas (faktor pemungkin), sikap, dan perilaku para petugas kesehatan (faktor penguat) juga mendukung terbentuknya perilaku. Misalnya, perilaku seorang ibu yang tidak mau mengimunisasi anaknya dapat disebabkan oleh tiga kemungkinan : pertama ketidaktahuan si ibu mengenai manfaat imunisasi, kedua tidak tersedianya imunisasi di fasilitas kesehatan tempat mereka tinggal, ataupun yang ketiga akibat petugas kesehatan atau figur referensi lain tidak pernah mengimunisasikan anaknya. d.
Teori “Behavior Intention” yang dikembangkan oleh Snehendu Kar (1980), menyatakan bahwa perilaku merupakan fungsi dari : niat, dukungan sosial, ada atau tidaknya informasi, otonomi pribadi, situasi yang memungkinkan untuk bertindak. Misalnya perilaku seorang ibu yang tidak mau ikut KB, mungkin akibat beberapa faktor : akibat tidak adanya minat dan niat terhadap KB,
tidak adanya dukungan dari penduduk sekitar, kurang memperoleh
informasi yang kuat tentang KB, atau mungkin juga tidak mempunyai kebebasan untuk bertindak seperti tunduk kepada suaminya, atau juga keadaan atau situasi yang tidak memungkinkan misalnya karena alasan kesehatan. e.
Teori “Thoughts and Feeling” dikembangkan oleh tim kerja dari WHO (1984) yang menyebutkan bahwa perilaku ditentukan oleh 4 faktor : 1) Personal Reference, perilaku seseorang terutama anak kecil sangat banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggapnya penting. Misalnya seorang murid SD seorang guru merupakan figur yang penting baginya, sehingga apa yang diakatakan oleh gurunya cenderung untuk dicontoh oleh si anak. 2) Resources, sumber daya mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dsb. 3) Thouhts and feeling, pemikiran dan perasaan yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, serta penilaian terhadap suatu objek. Pengetahuan dapat diperoleh dari diri sendiri ataupun dari orang lain. Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua dimana seorang
Universitas Sumatera Utara
menerima kepercayaan itu tanpa perlu pembuktian sebelumnya. Sikap menggambarkan suka-tidak suka seseorang terhadap objek, dapat diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain. 4) Culture, faktor budaya juga ikut menentukan dalam pembentukan suatu perilaku. Jadi disimpulkan bahwa perilaku kesehatan seseorang ditentukan oleh pemikiran dan perasaan seseorang (thought and feeling), adanya orang lain sebagai referensi atau contoh, dan sumber/fasilitas yang dapat mendukung perilaku dan kebudayaan masyarakat. Misalnya perilaku seorang ayah yang tidak mau membuat jamban keluarga, mungkin disebabkan karena ia memiliki perasaan dan pemikiran yang tidak enak kalau buang air besar di jamban, kemudian dapat disebabkan karena tokoh idolanya tidak membuat jamban keluarga sehingga tidak ada orang yang sebagai referensinya, bisa juga sumber-sumber yang diperlukan atau tidak adanya biaya untuk pembuatan jamban keluarga, atau faktor lain bahwa jamban keluarga belum merupakan budaya masyarakat (Notoatmodjo, 2010)
2.3.3. Perubahan Perilaku Dalam bidang kesehatan perilaku merupakan suatu determinan yang penting, yang menjadi sasaran dari promosi kesehatan atau pendidikan kesehatan. Dimana promosi kesehatan bertujuan untuk mengubah perilaku (behaviour change). Perubahan perilaku kesehatan yang diharapkan sekurang-kurangnya memiliki 3 dimensi, yaitu : Mengubah perilaku yang negatif menjadi positif, mengembangkan perilaku positif, serta memelihara perilaku yang sudah positif sesuai dengan norma/nilai kesehatan (Notoatmodjo, 2010) Adapun teori-teori yang membahas mengenai proses perubahan perilaku, sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010) : a.
Teori Stimulus Organisme (SOR), teori ini menyatakan bahwa perubahan perilaku tergantung pada kualitas rangsang (stimulus). Hosland, et al (1953) dalam Notoatmodjo (2010) mengatakan bahwa perubahan perilaku pada dasarnya sama dengan proses belajar yang terdiri dari :
Universitas Sumatera Utara
1) Diterima atau ditolaknya suatu rangsangan, yang bergantung efektif atau tidaknya stimulus yang diberikan. 2) Setelah diterima, maka proses selanjutnya adalah mengerti. 3) Kemudian pengertian seseorang akan diolah sehingga terbentuk suatu sikap. 4) Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan (eksternal) akan terbentuk suatu perilaku (perubahan perilaku) b.
Teori Festinger, yaitu teori disonansi yang sama dengan konsep imbalance (ketidakseimbangan).
Hal
ini
berarti
keadaan
cognitive
dissonance
merupakan ketidakseimbangan psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali. Ketidakseimbangan terjadi karena dalam diri seseorang terdapat
dua elemen kognisi
(pengetahuan, pendapat, keyakinan) yang saling bertentangan. Misalnya seorang ibu rumah tangga yang bekerja di kantor. Satu sisi, dia mendapat biaya tambahan dari pekerjaan, sedangkan di lain sisi dia merasa bersalah karena kurang dapat memberi perhatian kepada buah hatinya. Titik berat dari penyelesaian konflik yang timbul akibat ketidakseimbangan ini adalah : penyesuaian diri secara kognitif hingga tercapai keseimbangan kembali. Keberhasilan keseimbangan kembali ini dilihat dari perubahan sikap dan perilaku. c.
Teori Fungsi, teori ini beranggapan bahwa perubahan perilaku bergantung pada
kebutuhan
seorang
individu.
Artinya
stimulus
yang
dapat
mengakibatkan perubahan perilaku adalah stimulus yang dapat dimengerti dalam konteks kebutuhan seseorang. Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku mempunyai fungsi untuk menghadapi dunia luar individu, dan senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungan menurut kebutuhanya. Menurut Katz (1960) dalam Notoatmodjo (2010) bahwa perilaku memiliki beberapa fungsi yaitu : 1) Fungsi instrumental. Misalnya orang mau membuat jamban apabila jamban tersebut benar-benar sudah menjadi kebutuhanya.
Universitas Sumatera Utara
2) Sebagai mekanisme pertahanan ego (MPE). Misalnya orang dapat menghindari penyakit DBD, karena penyakit tersebut merupakan ancaman bagi dirinya. 3) Sebagai penerima objek dan pemberi arti. Misalnya, seorang merasa sakit kepala maka secara cepat ia akan bertindak untuk mengatasi rasa sakit tersebut dengan membeli obat di warung dan kemudian meminumnya. 4) Sebagai nilai ekspresif. Misalnya orang yang sedang marah, senang dapat dilihat dari perilaku atau tindakanya. d.
Teori Kurt Lewin (1970), yang berpendapat bahwa perilaku manusia itu adalah suatu keadaan seimbang. Dimana komponen-komponennya adalah kekuatan pendorong (driving forces), kekuatan penahan (restrining forces). Perilaku dapat berubah-ubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua komponen tersebut. Sehingga ada tiga kemungkinan yang terjadi : 1) Driving forces meningkat, sedangkan faktor yang berlawanan tetap. Misalnya perilaku seseorang yang belum mau mengikuti KB dapat berubah perilakunya menjadi mau ber-KB apbila diberikan stimulus (driving forces) berupa penyuluhan-penyuluhan yang tepat sasaran. 2) Restrining forces menurun, adanya stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut. Misalnya pada contoh diatas pemberian pengertian bahwa banyak anak banyak rezeki adalah kepercayaan yang salah, maka kekuatan penahan tersebut dapat melemah dan akan terjadi perubahan perilaku pada orang tersebut. 3) Driving forces meningkat dan Restrining forces menurun. Kombinasi keduanya merupakan cara yang paling nyata dalam perubahan perilaku. Seperti pada contoh juga bahwa dengan pemberian penyuluhan secara intensif mengenai manfaat KB dan pemberian pengertian tentang tidak benarnya kepercayaan banyak anak banyak rezekii akan meningkatkan kekuatan pendorong, dan sekaligus menurunkan kekuatan penahan. Berdasarkan konsep-konsep yang dijelaskan dalam teori mengenai
perubahan perilaku, maka terdapat 3 bentuk perubahan perilaku menurut WHO dalam Notoatmodjo (2010) sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a.
Perubahan Alamiah, apabila dalam masyarakat sekitar terjadi perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka elemen masyarakat di dalamnya juga akan mengalami perubahan.
b.
Perubahan Terencana, terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek. Misalnya seorang perokok berat yang berhenti setelah mendapat serangan jantung.
c.
Kesediaan untuk berubah, terjadi apabila ada suatu inovasi dalam lingkungan. Sehingga sebagian orang cepat beradaptasi dan sebagian lain lambat untuk menerima inovasi tersebut. Agar diperoleh perubahan perilaku yang sesuai dengan norma-norma
kesehatan, diperlukan strategi utuk memperoleh perubahan perilaku yang oleh WHO dikelompokan mejadi tiga, yaitu : (Notoatmodjo, 2010) a.
Menggunakan Kekuatan (enforcement), dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran, baik yang ditempuh dengan cara-cara fisik maupun psikis/mental. Cara ini menghasilkan perubahan perilaku yang cepat, namun cepat pula kembali seperti semula karena perubahan ini tidak didasarkan pada kesadaran sendiri.
b.
Menggunakan peraturan atau hukum (regulation), sering disebut juga “law enforcement” dimana masyarakat perilaku) seperti yang diatur
diharapkan berperilaku (perubahan
dalam peraturan pemerintah. Misalnya
Peraturan Daerah DKI Jakarta yang melarang merokok ditempat-tempat umum. c.
Pendidikan (education), atau dalam kesehatan diistilahkan dengan promosi kesehatan
diawali
(pengetahuan),
dengan
selanjutnya
pemberian
informasi-informasi
menghasilkan
kesadaran,
dan
kesehatan akhirnya
menyebabkan perubahan perilaku. Tentu saja cara ini membutuhkan waktu yang lama, tetapi bersifat langgeng karena didasari oleh kesadaran sendiri.
Universitas Sumatera Utara