4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Diabetes Mellitus
2.1.1 Defenisi Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia yang dihasilkan dari cacat sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronis pada pasien diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. DM disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara genetika, faktor lingkungan, dan pilihan gaya hidup (ADA,2014).
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus Menurut American Diabetes Association, DM diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu: a.
Diabetes Mellitus tipe 1 DM tipe 1 sering dikatakan sebagai diabetes “Juvenile onset” atau “Insulin
dependent” atau “Ketosis prone”. Istilah “juvenile onset” sendiri diberikan karena onset DM tipe 1 dapat terjadi mulai dari usia 4 tahun dan memuncak pada usia 1113 tahun, selain itu dapat juga terjadi pada akhir usia 30 atau menjelang 40. Karakteristik dari DM tipe 1 adalah insulin yang beredar di sirkulasi sangat rendah, kadar glukagon plasma yang meningkat, dan sel beta pankreas gagal berespons terhadap stimulus yang meningkatkan sekresi insulin (Husain, 2010). b.
Diabetes Mellitus tipe 2 DM tipe 2 merupakan bentuk DM yang lebih ringan, terutama terjadi pada
orang dewasa. Sirkulasi insulin endogen sering dalam keadaan kurang dari normal atau secara relatif tidak mencukupi. Obesitas pada umumnya penyebab gangguan kerja insulin, merupakan faktor resiko yang biasa terjadi pada DM tipe ini dan sebagian besar pasien dengan DM tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadinya
5
penurunan kepekaan jaringan terhadap insulin, juga terjadi defisiensi respons sel ß pankreas terhadap glukosa. Gejala DM tipe 2 mirip dengan tipe 1, hanya dengan gejala yang samar. Gejala bisa diketahui setelah beberapa tahun, kadang‐kadang komplikasi dapat terjadi. Tipe DM ini umumnya terjadi pada orang dewasa dan anak‐anak yang obesitas (Ligaray, 2010). c.
Gestational Diabetes DM ini terjadi akibat kenaikan kadar gula darah pada kehamilan (WHO,
2008). Wanita hamil yang belum pernah mengalami DM sebelumnya namun memiliki kadar gula yang tinggi ketika hamil dikatakan menderita DM gestasional. DM gestasional biasanya terdeteksi pertama kali pada usia kehamilan trimester II atau III (setelah usia kehamilan 3 atau 6 bulan) dan umumnya hilang dengan sendirinya setelah melahirkan. Diabetes gestasional terjadi pada 3‐5% wanita hamil (Adam, 2009). d.
Diabetes Mellitus tipe lain
Diabetes mellitus tipe lain terdiri dari: 1. Defek genetik fungsi sel beta akibat mutasi di : a) kromosom 12, HNF-α b) kromosom 7, glukokinase c) kromosom 20, HNF-α d) kromosom 13,insulin promoter factor e) kromosom 17, HNF-1β f) kromosom 2, Neuro D DNA mitokondria 2. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, Eprechaunism, Sindrom Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, dan lainnya. 3. Penyakit eksokrin pankreas : pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemikromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, dan lainnya. 4.
Endokrinopati:
akromegali,
Sindrom
Cushing,
feokromositoma,
hipertiroidisme, somatostatinoma, aldosteronoma, dan lainnya.
6
5. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid, dan lainnya. 6. Infeksi : rubella kongenital, CMV. 7. Immunologi : sindrom Stiffman, antibodi antireseptor insulin. 8. Sindrom genetik lain : sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram’s ataksia Friedreich’s, chorea Huntington, porfiria, sindrom Prader Willi, dan lainnya(ADA, 2014).
2.1.3 Patofisiologi Diabetes Mellitus Diabetes mellitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu : a.
Rusaknya sel-sel β pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia tertentu, dll).
b.
Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas.
c.
Desensitasi/kerusakan reseptor insulin (down regulation) di jaringan perifer (Manaf, 2009).
Aktivitas insulin yang rendah akan menyebabkan : a.
Penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel tubuh, disertai peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati melalui proses glukoneogenesis dan glikogenolisis. Karena sebagian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa tanpa bantuan insulin, timbul keadaan ironis, yakni terjadi kelebihan glukosa ekstrasel sementara terjadi defisiensi glukosa intrasel.
b.
Kadar glukosa yang meninggi ke tingkat dimana jumlah glukosa yang difiltrasi melebihi kapasitas glomerulus serta kapasitas reabsorbsi sel-sel tubulus akan menyebabkan glukosa muncul pada urin, keadaan ini dinamakan glukosuria.
7
c.
Glukosa pada urin menimbulkan efek osmotik yang menarik cairan bersamanya. Keadaan ini menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai oleh poliuria (sering berkemih).
d.
Cairan yang keluar dari tubuh secara berlebihan akan menyebabkan dehidrasi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer karena volume darah turun mencolok. Kegagalan sirkulasi, apabila tidak diperbaiki dapat menyebabkan kematian karena penurunan aliran darah ke otak atau menimbulkan gagal ginjal sekunder akibat tekanan filtrasi yang tidak adekuat.
e.
Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik. Akibatnya timbul polidipsia (rasa haus berlebihan) sebagai mekanisme kompensasi untuk mengatasi dehidrasi.
f.
Defisiensi glukosa intrasel menyebabkan “sel kelaparan” akibatnya nafsu makan (appetite) meningkat sehingga timbul polifagia (pemasukan makanan yang berlebihan).
g.
Efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak menyebabkan penurunan sintesis trigliserida dan peningkatan lipolisis. Hal ini akan menyebabkan mobilisasi
besar-besaran
asam
lemak
dari
simpanan
trigliserida.
Peningkatan asam lemak dalam darah sebagian besar digunakan oleh sel sebagai sumber energi alternatif karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel. h.
Efek insulin pada metabolisme protein menyebabkan pergeseran netto kearah katabolisme protein. Penguraian protein-protein otot menyebabkan otot rangka lisut dan melemah sehingga terjadi penurunan berat badan (Sherwood, 2001).
8
2.1.4 Kriteria diagnostik Diabetes Mellitus Kriteria untuk diagnosis diabetes mellitus adalah : Tabel 2.1. Kriteria diagnostik Diabetes Mellitus (ADA, 2014) 1. Gejala klasik diabetes ditambah konsentrasi glukosa darah sewaktu 200 mg / dl ( 11,1 mmol /l ). Sewaktu didefinisikan sebagai setiap saat sepanjang hari tanpa memperhatikan waktu sejak makanan terakhir. Gejala klasik diabetes meliputi poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan. Atau 2. Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl (7,0 mmol/l). Puasa didefinisikan sebagai tidak asupan kalori selama minimal 8 jam. Atau 3. Konsentrasi glukosa darah dua jam post-prandial
200 mg/dl (11,1
mmol/l) selama tes toleransi glukosa oral. Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskanoleh WHO , menggunakan beban glukosa yang mengandung setara dengan 75g glukosa anhidrat dilarutkan dalam air. Dengan tidak adanya hiperglikemia tegas , kriteria ini harus dikonfirmasi oleh tes ulang pada hari yang berbeda. Ukuran ketiga (TTGO) tidak dianjurkan untuk penggunaan klinis rutin Atau 4. Kadar HbA1c ≥6,5% dan dilakukan sesuai dengan metode yang ditetapkan dan disertifikasi oleh NGSP. HbA1c merupakan parameter mengenai kadar glukosa darah rata-rata seseorang selama tiga bulan terakhir pada pasien SKA yang mengalami DM.
2.1.5 Komplikasi Diabetes Mellitus Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Berikut ini akan diuraikan beberapa komplikasi yang sering terjadi dan harus diwaspadai (DEPKES RI, 2005).
9
a.
Hipoglikemia Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa
pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap), keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran. Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian. Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dl, walaupun pada orang-orang tertentu sudah menunjukkan gejala hipoglikemia pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat rusak. b.
Hiperglikemia Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara
tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi, dan konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur. c.
Komplikasi makrovaskuler Terdapat tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada
penderita diabetes, yaitu: penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer. Walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya juga menderita hipertensi, dislipidemia dan atau obesitas. d.
Komplikasi mikrovaskuler Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1.
Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain retinopati, nefropati, dan neuropati .
2.1.6 Terapi farmakologi Diabetes Mellitus
10
a.
Insulin Insulin tergolong hormon polipeptida yang awalnya diekstraksi dari
pankreas babi maupun sapi, tetapi kini telah dapat disintesis dengan teknologi rekombinan DNA menggunakan E. Coli. Hormon ini dimetabolisme terutama di hati, ginjal, dan otot (DEPKES RI, 2007). b.
Obat hipoglikemia oral (OHO) Secara umum DM dapat diatasi dengan obat-obat antidiabetes yang secara
medis disebut obat hipoglikemia oral (OHO). Obat ini tidak boleh sembarangan dikonsumsi karena dikhawatirkan penderita menjadi hipoglikemia. Pasien yang mungkin berespon terhadap obat hipoglikemik oral adalah mereka yang diabetesnya berkembang kurang dari 5 tahun. Pasien yang sudah lama menderita diabetes mungkin memerlukan suatu kombinasi obat hipoglikemik dan insulin untuk mengontrol hiperglikemiknya. Obat-obat hipoglikemik oral dibagi atas 5 golongan: Golongan sulfonilurea Sulfonilurea menstimulasi sel-sel beta dari pulau Langerhans, sehingga sekresi insulin ditingkatkan. Di samping itu kepekaan sel-sel beta bagi kadar glukosa darah juga diperbesar melalui pengaruhnya atas protein transport glukosa. Ada indikasi bahwa obat-obat ini juga memperbaiki kepekaan organ tujuan bagi insulin dan menurunkan absorbsi insulin oleh hati (Tjay, 2007). Golongan Biguanide Metformin adalah satu-satunya golongan biguanide yang tersedia, bekerja menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan. Obat ini hanya efektif bila terdapat insulin endogen. Kelebihan dari golongan biguanide adalah tidak menaikkan berat badan, dapat menurunkan kadar insulin plasma, dan tidak menimbulkan masalah hipoglikemia (DEPKES RI, 2007). Golongan penghambat alfa glukosida Obat ini menghambat alfa-glukosidase, suatu enzim pada lapisan sel usus, yang mempengaruhi digesti sukrose dan karbohidrat kompleks. Akarbose
11
bekerja
menghambat
alfa-glukosidase
sehingga
memperlambat
dan
menghambat penyerapan karbohidrat (DEPKES RI, 2007). Thiazolidindion Thiazolidindion merupakan obat baru yang efek farmakologinya berupa penurunan kadar glukosa darah dan insulin dengan cara meningkatkan kepekaan insulin dari otot, jaringan lemak, dan hati. Zat ini tidak mendorong pankreas untuk meningkatkan pelepasan insulin seperti pada sulfonilurea (Tjay, 2007). Meglitinida Kelompok obat terbaru ini bekerja menurunkan suatu mekanisme khusus, yaitu mencetuskan pelepasan insulin dari pankreas segera sesudah makan. Meglitinida harus diminum cepat sebelum makan, dan karena reabsorpsinya cepat maka mencapai kadar puncak dalam satu jam. Insulin yang dilepaskan menurunkan glukosa darah secukupnya. Ekskresinya juga cepat, dalam 1 jam sudah dikeluarkan tubuh (Tjay, 2007).
2.2
Sindroma Koroner Akut
2.2.1 Defenisi Sindroma Koroner Akut SKA adalah suatu terminologi yang digunakan untuk menggambarkan klasifikasi keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil (APTS), infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction/ STEMI). APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui petanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila pertanda biokimia ini tidak meninggi, maka diagnosis adalah APTS (DEPKES RI, 2007). Pada APTS dan NSTEMI pembuluh darah terlibat hanya mengalami oklusi tidak total (patency), sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, trombosis dan vasokonstriksi. Penentuan troponin I/T ciri paling sensitif dan
12
spesifik
untuk
nekrose
miosit
dan
penentuan
patogenesis
serta
alur
pengobatannya. Penyebab utamanya adalah stenosis koroner akibat trombus nonoklusif yang terjadi pada plak aterosklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau ruptur. Ketiga jenis kejadian koroner itu sesungguhnya merupakan suatu proses berjenjang: dari fenomena yang ringan sampai yang terberat. Dan jenjang itu terutama dipengaruhi oleh kolateralisasi, tingkat oklusinya, akut tidaknya dan lamanya iskemia miokard berlangsung(DEPKES RI, 2007).
2.2.2 Patogenesis Sindroma Koroner Akut SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari PJK akibat utama dari proses aterotrombosis selain stroke iskemik serta penyakit arteri perifer. Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat kompleks dan multifaktor serta saling terkait. Aterotrombosis terdiri dari aterosklerosis dan trombosis. Sindrom koroner akut biasanya disebabkan karena oklusi mendadak dari arteri koroner bila ada ruptur plaque, yang akan mengaktivasi sistem pembekuan. Interaksi antara ateroma dengan bekuan akan mengisi lumen arteri, sehingga menutup lumen pembuluh darah koroner yang sudah mengalami aterosklerosis. Hipoksemia pada daerah distal dari sumbatan menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis miokard. Kematian sel miokardium akibat iskemia disebut infark miokard, dimana terjadi kerusakan, kematian otot jantung, dan terbentuk jaringan parut tanpa adanya pertumbuhan kembali otot jantung (Setianto, 2001). Secara morfologik infark miokard dapat terjadi pada transmural atau subendokardial. Transmural mengenai seluruh dinding miokard yang mendapat distribusi suatu arteri koroner yang mengalami oklusi, sedangkan infark miokard pada subendokardial nekrosis hanya terjadi pada bagian dalam dinding ventrikel dan umumnya bercak-bercak dan tidak merata seperti pada transmural. Lebih 90 % penderita infark miokard akut transmural berkaitan dengan trombosis koroner (Santoso, 1991). Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak (plak aterosklerotik) akibat akumulasi beberapa bahan seperti lipid-filled macrophages (foam cells),
13
massive extracellular lipid dan plak fibrous yang mengandung sel otot polos dan kolagen. Perkembangan terkini menjelaskan aterosklerosis adalah suatu proses inflamasi/infeksi, dimana awalnya ditandai dengan adanya kelainan dini pada lapisan endotel, pembentukan sel busa dan fatty streks, pembentukan fibrous cups dan lesi lebih lanjut, dan proses pecahnya plak aterosklerotik yang tidak stabil (DEPKES RI, 2007). Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerosis dipahami bukan merupakan proses sederhana karena penumpukan kolesterol, tetapi telah diketahui bahwa disfungsi endotel dan proses inflamasi juga berperan penting. Proses pembentukan plak dimulai dengan adanya disfungsi endotel karena faktorfaktor tertentu. Pada tingkat seluler, plak terbentuk karena adanya sinyal-sinyal yang menyebabkan sel darah, seperti monosit, melekat ke lumen pembuluh darah (Kleinschmidt, 2006). Trombosis merupakan proses pembentukan atau adanya trombus yang terdapat di dalam pembuluh darah atau kavitas jantung. Ada dua macam trombosis, yaitu trombosis arterial (trombus putih) yang ditemukan pada arteri, dimana pada trombus tersebut ditemukan lebih banyak platelet, dan trombosis vena (trombus merah) yang ditemukan pada pembuluh darah vena dan mengandung lebih banyak sel darah merah dan lebih sedikit platelet (DEPKES RI, 2006). Dari sumber lain juga di katakan, terdapat dua macam trombus yang dapat terbentuk, yaitu trombus putih yang merupakan bekuan kaya trombosit, trombus ini hanya menyebabkan oklusi sebagian. Dan trombus merah yang merupakan bekuan yang kaya fibrin, terbentuk karena aktivasi kaskade koagulasi dan penurunan perfusi pada arteri, bekuan ini bersuperimposisi dengan trombus putih, menybabkan terjadinya oklusi total (Kumar dan Cannon, 2009). Komponen-komponen yang berperan dalam proses trombosis adalah dinding pembuluh darah, aliran darah dan darah sendiri yang mencakup platelet, sistem koagulasi, sistem fibrinolitik, dan antikoagulan alamiah (Ismantri, 2009). Faktor resiko untuk trombosis arteri adalah keadaan-keadaan yang menyebabkan kerusakan endotel atau yang disertai kelainan trombosit. Bila terjadi kerusakan endotel, maka jaringan subendotel akan terpapar, hal ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah diaktifkan dan trombosit melekat pada
14
jaringan subendotel terutama serat kolagen, membran basalis dan mikrofibril. Trombosit ini akan melepaskan adenosine diphosphate (ADP) dari granula padat dan menghasilkan tromboksan A2 (TxA2). Kedua macam zat ini akan merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan kemudian saling melekat yang disebut agregasi. Trombosit yang beragregasi ini akan melepaskan lagi ADP dan TxA2 yang akan merangsang agregasi lebih lanjut. Kerusakan endotel juga akan mengaktifkan sistem pembekuan darah baik melalui jalur intrinsik maupun ekstrinsik yang akan menghasilkan trombin. Trombin ini akan berperan dalam merubah fibrinogen menjadi fibrin yang akan menstabilkan massa trombosit sehingga terbentuk trombus. Bila kerusakan endotel terjadi sekali dan dalam waktu singkat, maka lapisan endotel normal terbentuk kembali, proliferasi sel otot polos berkurang dan tunika intima menjadi tipis kembali. Sebaliknya bila kerusakan endotel terjadi berulang-ulang atau berlangsung lama, maka proliferasi sel otot polos dan penumpukan jaringan ikat serta lipid berlangsung terus sehingga dinding arteri akan menebal dan terbentuklah bercak aterosklerosis. Bila bercak ini robek maka jaringan yang bersifat trombogenik akan terpapar dan terjadi pembentukan trombus (Gambar 2.1.).
. Gambar 2.1. Trombus pada pembuluh darah (NEMJ, 2008)
15
Patogenesis terkini SKA menjelaskan, SKA disebabkan oleh obstruksi dan oklusi trombotik pembuluh darah koroner, yang disebabkan oleh plak aterosklerosis yang rentan mengalami erosi, fisur, atau ruptur. Tebalnya plak dapat dilihat dengan persentase penyempitan pembuluh koroner pada pemeriksaan angiografi koroner, namun tebalnya plak tidak berarti apa-apa selama plak tersebut dalam keadaan stabil. Dengan kata lain, resiko terjadinya ruptur pada plak aterosklerosis bukan ditentukan oleh besarnya plak (derajat penyempitan) tetapi oleh kerentanan plak (Muchid et al, 2006).
2.2.3 Faktor Resiko Sindroma Koroner Akut Faktor resiko dibagi menjadi menjadi dua kelompok besar yaitu faktor resiko konvensional dan faktor resiko yang baru diketahui berhubungan dengan proses aterotrombosis. Faktor resiko yang sudah kita kenal antara lain merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes mellitus, aktifitas fisik, dan obesitas. Termasuk di dalamnya bukti keterlibatan tekanan mental, depresi. Sedangkan beberapa faktor yang baru antara lain CRP, homocystein dan Lipoprotein(a) (Ridker dan Libby, 2007). Di antara faktor resiko konvensional, ada empat faktor resiko biologis yang tak dapat diubah, yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor aterogenik. Faktor-faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan kadar lipid serum, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa dan diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori. SKA umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40 tahun. Walaupun begitu, usia yang lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita penyakit tersebut. Banyak penelitian yang telah menggunakan batasan usia 40-45 tahun untuk mendefenisikan “pasien usia muda” dengan penyakit kardiovaskuler. Penyakit kardiovaskuler mempunyai insidensi yang rendah pada usia muda (Brown, 2006). 2.2.4 Kriteria diagnosis Sindroma Koroner Akut
16
Untuk diagnosis angina tidak stabil , nyeri dada khas infark, EKG normal / tidak ada perubahan dengan EKG sebelumnya serta tidak ada kenaikan enzim jantung. Diagnosis pasti sindrom koroner akut khususnya untuk infark miokar (STEMI / NSTEMI), dua dari tiga kriteria dibawah ini harus dipenuhi : a.
Gejala klinik nyeri dada lebih dari 20 menit
b.
Perubahan khas pada EKG serial,antara lain dengan segmen ST
c.
Pemeriksaan serial penanda gangguan pada jantung positif atau meningkat antara lain troponin I atau T,myoglobin dan creatine kinase MB.
Secara umum, STEMI menggambarkan oklusi koroner total akut (Foo & De Bono,2000). Bukti oklusi arteri koroner dapat dinilai secara intervensi dengan angiografi koroner. Tujuan terapi adalah tindakan reperfusi segera, komplit dan menetap dengan angioplasti primer atau terapi fibrinolitik (Antman et al.,2008). Sedangkan pada pasien NSTEMI, strategi awal pada pasien ini adalah meredakan iskemia dan gejala, memantau pasien dengan EKG serial dan mengulangi pengukuran penanda nekrosis miokard.
2.3
Hubungan Diabetes Mellitus dengan Sindroma Koroner Akut 1. Penyebab kematian dan kesakitan utama pada penderita DM (baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2) adalah Penyakit Jantung Koroner, yang merupakan salah satu penyulit makrovaskular pada diabetes mellitus.
Penyulit
makrovaskular
ini
bermanifestasi
sebagai
aterosklerosis yang dapat mengenai organ-organ vital (jantung dan otak). Penyebab aterosklerosis pada penderita DM tipe 2 bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks dari berbagai keadaan seperti hiperglikemi, hiperlipidemi, stres oksidatif, penuaan dini, hiperinsulinemi
dan/atau hiperproinsulinemi
serta
perubahan-
perubahan dalam proses koagulasi dan fibrinolisis (Shahab, 2006).
17
Dasar terjadinya peningkatan resiko penyakit jantung koroner pada penderita DM belum diketahui secara pasti. Dari hasil penelitian didapatkan kenyataan bahwa : 1.
Angka kejadian aterosklerosis lebih tinggi pada penderita DM dibanding populasi non DM.
2.
Penderita DM mempunyai resiko tinggi untuk mengalami trombosis, penurunan fibrinolisis dan peningkatan respons inflamasi.
3.
Pada penderita DM terjadi glikosilasi protein yang akan mempengaruh integritas dinding pembuluh darah. Haffner dan kawan-kawan, membuktikan bahwa aterosklerosis pada
penderita DM mulai terjadi sebelum timbul onset klinis DM (Haffner et al., 1998). Studi epidemiologik juga menunjukkan terjadinya peningkatan resiko payah jantung pada penderita DM dibandingkan populasi non DM, yang ternyata disebabkan karena kontrol gula darah yang buruk dalam waktu yang lama. Disamping itu berbagai faktor turut pula memperberat resiko terjadinya payah jantung dan stroke pada penderita DM, antara lain hipertensi, resistensi insulin, hiperinsulinemi, hiperamilinemi, dislipidemi, dan gangguan sistem koagulasi serta hiperhomosisteinemi (Shahab, 2006). Semua faktor resiko ini kadang-kadang dapat terjadi pada satu individu dan merupakan suatu kumpulan gejala yang dikenal dengan istilah sindrom resistensi insulin atau sindrom metabolik. Lesi aterosklerosis pada penderita DM dapat terjadi akibat : 1.
Hiperglikemi Hiperglikemi kronik menyebabkan disfungsi endotel melalui berbagai
mekanisme antara lain :
Hiperglikemi kronik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari protein dan makromolekul seperti DNA, yang akan mengakibatkan perubahan sifat antigenik dari protein dan DNA. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan tekanan intravaskular akibat gangguan keseimbangan Nitrat Oksida (NO) dan prostaglandin.
Overekspresi growth factors meningkatkan proliferasi sel endotel dan otot polos pembuluh darah sehingga akan terjadi neovaskularisasi.
18
Hiperglikemi akan meningkatkan sintesis diacylglycerol (DAG) melalui jalur glikolitik. Peningkatan kadar DAG berperan dalam memodulasi terjadinya vasokonstriksi.
Sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stres oksidatif. Keadaan hiperglikemi akan meningkatkan tendensi untuk terjadinya stres oksidatif dan peningkatan oxidized lipoprotein, terutama small dense LDL-cholesterol (oxidized LDL) yang lebih bersifat aterogenik. Disamping itu peningkatan kadar asam lemak bebas dan keadaan hiperglikemi dapat meningkatkan oksidasi fosfolipid dan protein.
Hiperglikemi akan disertai dengan tendensi protrombotik dan agregasi platelet. Keadaan ini berhubungan dengan beberapa faktor antara lain penurunan produksi NO dan penurunan aktivitas fibrinolitik akibat peningkatan kadar PAI-1. Disamping itu pada DM tipe 2 terjadi peningkatan aktivitas koagulasi akibat pengaruh berbagai faktor seperti pembentukan advanced glycosylation end products (AGEs) dan penurunan sintesis heparan sulfat. Walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi koagulasi dengan
disfungsi endotel, namun aktivasi koagulasi yang berulang dapat menyebabkan overstimulasi dari sel-sel endotel sehingga akan terjadi disfungsi endotel (Shahab, 2006). 2.
Resistensi insulin dan hiperinsulinemi Jialal dan kawan-kawan menemukan adanya reseptor terhadap insulin yaitu
IGF-I dan IGF-II pada sel-sel dari pembuluh darah besar dan kecil dengan karakteristik ikatan yang sama dengan yang ada pada sel-sel lain. Peneliti ini menyatakan bahwa reseptor IGF-I dan IGF-II pada sel endotel terbukti berperan secara fisiologik dalam proses terjadinya komplikasi vaskular pada penderita DM (Jialal et al.,1985). Defisiensi insulin dan hiperglikemi kronik dapat meningkatkan kadar total protein kinase C (PKC) dan diacylglycerol (DAG). Toksisitas insulin (hiperinsulinemi / hiperproinsulinemi) dapat menyertai keadaan resistensi insulin/ sindrom metabolik dan stadium awal dari DM tipe 2. Insulin meningkatkan
19
jumlah reseptor AT-1 dan mengaktifkan Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS) (Shahab, 2006). 3.
Inflamasi Dalam beberapa tahun terakhir, terbukti bahwa inflamasi tidak hanya
menimbulkan komplikasi SKA, tetapi juga merupakan penyebab utama dalam proses terjadinya dan progresivitas aterosklerosis. Berbagai pertanda inflamasi telah ditemukan didalam lesi aterosklerosis, antara lain sitokin dan growth factors yang dilepaskan oleh makrofag dan T cells. Sitokin akan meningkatkan sintesis Platelet Activating Factor (PAF), merangsang lipolisis, ekspresi molekul-molekul adhesi dan upregulasi sintesis serta ekspresi aktivitas prokoagulan didalam sel-sel endotel. Jadi sitokin memainkan peran penting tidak hanya dalam proses awal terbentuknya lesi aterosklerosis, melainkan juga progresivitasnya. Pelepasan sitokin lebih banyak terjadi pada penderita DM, karena peningkatan dari berbagai proses yang mengaktivasi makrofag (dan pelepasan sitokin), antara lain oksidasi dan glikoksidasi protein dan lipid. Pelepasan sitokin yang dipicu oleh terbentuknya Advanced Glycosylation Endproducts (AGEs) akan disertai dengan over produksi berbagai growth factors seperti : - PDGF (Platelet Derived Growth Factor) - IGF I (Insulin Like Growth Factor I) - GMCSF (Granulocyte/Monocyte Colony Stimulating Factor) - TGF-α (Transforming Growth Factor-α) Semua faktor ini mempunyai pengaruh besar terhadap fungsi sel-sel pembuluh darah. Disamping itu terjadi pula peningkatan pembentukan kompleks imun yang mengandung modified lipoprotein. Tingginya kadar kompleks imun yang mengandung modified LDL, akan meningkatkan resiko komplikasi makrovaskular pada penderita DM baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2. Kompleks imun ini tidak hanya merangsang pelepasan sejumlah besar sitokin tetapi juga merangsang ekspresi dan pelepasan matrix metalloproteinase-1 (MMP-1) tanpa merangsang sintesis inhibitornya. Aktivasi makrofag oleh kompleks imun tersebut akan merangsang pelepasan Tumor Necrosis Factor α (TNF α), yang menyebabkan upregulasi sintesis C-reactive protein. Baru-baru ini telah ditemukan C-reactive
20
protein dengan kadar yang cukup tinggi pada penderita dengan resistensi insulin. Peningkatan kadar kompleks imun pada penderita DM tidak hanya menyebabkan timbulnya aterosklerosis dan progresivitasnya, melainkan juga berperan dalam proses rupturnya plak aterosklerotik dan komplikasi jantung koroner selanjutnya. Kandungan makrofag didalam lesi aterosklerosis pada penderita DM mengalami peningkatan, sebagai akibat dari peningkatan rekrutmen makrofag kedalam dinding pembuluh darah karena pengaruh tingginya kadar sitokin. Peningkatan oxidized LDL pada penderita DM akan meningkatkan aktivasi sel T yang akan meningkatkan pelepasan interferon γ. Pelepasan interferon γ akan menyebabkan gangguan homeostasis sel-sel pembuluh darah. Aktivasi sel T juga akan menghambat proliferasi sel-sel otot polos pembuluh darah dan biosintesis kolagen, yang akan menimbulkan vulnerable plaque, sehingga menimbulkan komplikasi SKA (Shahab, 2006). Sampai sekarang masih terdapat kontroversi tentang mengapa pada pemeriksaan patologi anatomi, plak pada DM tipe 1 bersifat lebih fibrous dan calcified, sedangkan pada DM tipe 2 lebih seluler dan lebih banyak mengandung lipid. Dalam suatu seri pemeriksaan arteri koroner pada penderita DM tipe 2 setelah sudden death, didapatkan area nekrosis, kalsifikasi dan ruptur plak yang luas. Sedangkan pada penderita DM tipe 1 ditemukan peningkatan kandungan jaringan ikat dengan sedikit foam cells didalam plak yang memungkinkan lesi aterosklerosisnya relatif lebih stabil (Shahab, 2006). 3.
Trombosis/Fibrinolisis Hiperkoagulasi kemungkinan berkontribusi terhadap peningkatan resiko
vaskular pada pasien diabetes. Resistensi insulin dan peningkatan level dari protein-protein prokoagulan (seperti; fibrinogen, faktor VII, faktor von Willebrand) dan penurunan fibrinolisis akibat peningkatan konsentrasi PAI-1 (Vague et al., 1996).