BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Landasan Teori
2.1.1
Tinjauan Bank Islam
2.1.1.1 PengertianBank Islam
Bank Islam adalah institusi keuangan yang menjalankan usaha dengan tujuan menerapkan prinsip ekonomi dan keuangan islam pada area perbankan. Bank islam bisa didefinisikan dengan berbagai cara. Definisi bank islam, yang disetujui oleh General Secretariat of the Organization of the Islamic Conference (OIC), sebagai berikut: 1. “…Bank Islam adalah institusi keuangan yang memiliki hukum, aturan dan prosedur sebagai wujud dari komitmen kepada prinsip syariah dan melarang menerima dan membayar bunga dalam proses operasi yang dijalankan…” (Ali & Sarkar, 1995) 2. Bank Islam adalah : “Bisnis bank Islam berarti bisnis bank yang memiliki tujuan dan operasi tidak memasukan elemen yang tidak diijinkan oleh agama Islam…” Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa institusi keuangan Islam adalah institusi yang berlandaskan prinsip Islam.Hal ini termasuk tetapi tidak terbatas dalam menerapkan prinsip Islam berikut. a. Menolak adanya bunga (riba) b. Melarang gharar (ketidakpastian, risiko, spekulasi) c. Fokus pada kegiatan-kegiatan yang halal (yang diizinkan oleh agama)
10
d. Secara umum mencari keadilan, dan sesuai etika dan tujuan keagamaan. e. Pembagian keuntungan dan kerugian antara bank dan konsumen/nasabah
Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (1) UU No.21 tentang Bank Syariah,
dinyatakan bahwa “Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
2.1.1.2 Fungsi Bank Islam
1. Sebagai lembaga penyimpan dana (tempat menabung) Bank Islam menerapkan sistem bagi hasil (mudharabah) kepada nasabah yang menabungkan uangnya di bank. Artinya, nasabah tidak akan pernah dapat menghitung dengan pasti berapa jumlah uangnya yang akan bertambah setiap bulannya bila mereka telah menabung dalam jumlah tertentu. Namun, nasabah dapat mengetahui porsi atau bagian yang menjadi haknya dan berapa porsi atau bagian yang menjadi hak pihak bank. 2. Sebagai lembaga pembiayaan (Investasi) Bank Islam tidak hanya menjalankan fungsi sebagai lembaga keuangan penghimpun dana, namun sebagai lembaga tempat masyarakat dapat memperoleh pembiayaan untuk keperluan peningkatan usaha ataupun untuk pemenuhan kebutuhan yang sifatnya konsumtif seperti rumah dan kendaraan bermotor. Bank Islam dalam hal ini, berperan sebagai lembaga pembiayaan atau investasi kepada masyarakat. Nasabah akan merasa tentram dengan pembiayaan di bank Islam karena transaksi yang dilakukan jelas terhindar dari unsur ribawi. Selain itu, penerapan prinsip keadilan dimana kedudukan antara pihak bank sebagai pemilik modal dan penjual, dengan nasabah sebagai pengelola modal atau pembeli adalah sama-sama
11
memiliki hak yang seimbang dalam menikmati keuntungan hasil usahanya, sehingga akan memunculkan rasa aman dan terpenuhi rasa keadilan bagi semua
pihak.
Pembiayaan di bank islam yang diberikan pada masyarakat untuk keperluan modal usaha, biayanya ditujukan untuk usaha-usaha yang produktif, jelas dan transparan, serta bersifat halal, baik dari segi pengelolaan hingga kepada hasil usaha yang akan diberikan kemanfaatannya untuk masyarakat.
Ada beberapa bentuk pembiayaan untuk keperluan peningkatan usaha atau
biasa dikenal dengan pembiayaan produktif islam yang diberikan oleh bank Islam, yaitu pembiayaan dengan prinsip jual beli, pembiayaan atas prinsip bagi hasil sesuai dengan kesepakatan, pembiayaan atau porsinya disesuaikan dengan proporsi penyertaan, dan pembiayaan yang berdasarkan prinsip sewa beli. Karakteristik pembiayaan dengan prinsip jual beli, bank islam sebagai penjual suatu barang harus memberi tahu kepada nasabah sebagai pembeli, tentang harga produk yang telah ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan (margin) sebagai tambahannya. Nasabah dapat melakukan pembayaran dengan diangsur atau dicicil sesuai dengan kesepakatan bersama. Pembiayaan atas prinsip jual beli cocok bagi nasabah yang membutuhkan asset, namun kekurangan dana untuk melunasinya sekaligus. Pembiayaan atas dasar prinsip bagi hasil sesuai dengan kesepakatan dapat disalurkan untuk berbagai jenis usaha perdagangan, perindustrian, pertanian dam jasa. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil yang porsinya disesuaikan dengan proporsi penyertaan sesuai bagian nasabah yang telah memiliki usaha dan bermaksud mengembangkannya, namun masih kekurangan dana. Pembiayaan berdasarkan prinsip sewa beli sesuai bagian nasabah yang menginginkan tambahan asset yang diperoleh melalui sewa yang pada akhirnya
12
bertujuan untuk pengalihan kepemilikan asset tersebut kepada nasabah.Asset yang disewa dapat berupa benda bergerak (kendaraan/alat transportasi darat, laut,
udara, dan alat berat/mesin konstruksi) ataupun barang yang tidak bergerak bangunan, dan peralatan di atas tanah tersebut). (tanah,
3. Sebagai lembaga pemberi jasa
Bank Islam sebagai lembaga keuangan tidak hanya fungsinya sebagai
tempat menyimpan atau melakukan memperoleh pembiayaan saja, bank Islam
juga melayani beberapa keperluan nasabah yang berkaitan dengan kebutuhan
nasabah akan jasa perbankan Islam. Salah satu bentuk pelayanan bank Islam dalam bentuk jasa adalah melayani kebutuhan nasabah dalam melakukan transaksi antarbank yang berbeda antarbank Islam dengan bank Islam, bank Islam dengan bank konvesional, maupun antarbank Islam yang sama.(Veitzal Rivai, 2010:219-223) 2.1.1.3 Tujuan Bank Islam Bank syariah secara umum memiliki tujuan yaitu ibadah (kepada Tuhan) dan muamalah (manusia-kemanusiaan).Tujuan bank syariah itu bersifat dua arah yaitu horizontal dan vertical. Dalam konsep islam disebutkan hablumminAllah dan habluminanaas. Tujuan ini mengajak kita untuk mencapai kebahagian di dunia dan akhirat dengan jalan syariah.Untuk mencapai tujuan ini, di bank syariah mengenal beberapa prinsip yang selalu di pegang. Prinsip yang menjadi pegangan yaitu: kesetaraan (equality), keadilan (fairness) dan keterbukaan (transparency). Prinsip-prinsip tersebut mengandung makna yang strategis dan memiliki kekuatan untuk memajukan bank syariah.Untuk menerapkan prinsip ini maka perlu di masukkan dalam visi misi bank syariah.
13
Beberapa pemrakarsa Bank Islam mengatakan “Don’t Call Islamic Banking, If Don’t Touch The Grass Roots” yang artinya jangan sebut Bank Islam
(syariah), jika tidak menyentuh lapisan bawah. Hal ini merupakan sebuah anjuran sekaligus prinsip yang harus dilaksanakan oleh semua Bank Islam (syariah) yaitu
lebih menyentuh lapisan bawah.Lapisan bawah terdiri dari masyarakat pesisir/nelayan, petani, usaha kecil menengah, pedagang informal.Seperti diketahui bahwa kegiatan masyarakat kelas bawah seringkali kesulitan
mendapatkan pinjaman modal untuk mengembangkan usahanya.Mereka biasanya memperoleh modal dari pihak renternir.Dengan meminjam dari renternir hanya
sebenarnya mereka sedang menghadapi permasalahan untuk pengembaliannya, karena pemberi pinjaman meminta bunga pengembalian yang cukup tinggi. Namun, nelayan, petani, UKM dan pedangan kecil lainnya terpaksa meminjam dari renternir karena tidak ada lagi pilihan lain. Kehadiran Bank Syariah di tengah-tengah lingkungan masyarakat tersebut menjadi suatu penawar
yang lebih humanis bagi masyarakat
lapisan
bawah.Berdasarkan prinsip diatas maka bank syariah seharusnya mampu memberikan pinjaman modal kepada masyarakat yang ingin berusaha di bidang riil.Disamping
itu,
lebih
jauh
Bank
Syariah
bisa
berperan
sebagai
penyalur/pemasar hasil usaha produksi masyarakat.Hal ini seperti fungsi koperasi yang menjadi penggerak ekonomi rakyat khususnya anggota dan masyarakat pada umumnya. Peran Bank syariah disini akan lebih terlihat sebagai bank yang mendekat dengan rakyatnya dan tentunya sebagai jalan keluar dari permasalahan masyarakat lokal dan negara. Dengan cara ini tentunya masyarakat menjadi semakin percaya dan yakin akan manfaat yang diterima dari Bank syariah. Kepercayaan masyarakat terhadap manfaat langsung yang diberikan bank syariah kepada mitranya menjadi sebuah citra positif yang bekelanjutan. Dengan kata lain, bahwa cara ini merupakan salah satu strategi sosialisasi yang efektif dan efisien dalam mewujudkan sinergis antara peran bank terhadap tumbuhnya pergerakan ekonomi di masyarakat.
14
2.1.2
Pembiayaan
Pengertian Pembiayaan 2.1.2.1
Istilah pembiayaan pada dasarnya lahir dari pengertian I believe, I trust,
yaitu „saya percaya‟, atau „saya menaruh kepercayaan‟. Perkataan pembiayaan
yang artinya kepercayaan (trust) yang berarti bank menaruh kepercayaan kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang diberikan oleh bank selaku shahibul maal. Dana tersebut harus digunakan dengan benar, adil dan harus disertai dengan
ikatan dan syarat-syarat yang jelas serta saling menguntungkan bagi kedua belah
pihak, sebagaimana tercantum dalam firman Allah Surat An-Nisa;29. Selain hal diatas, berikut ini dapat pula dikemukakan beberapa pengertian lain tentang pembiayaan atau kredit yang umum dikenal luas oleh masyarakat yaitu; Pembiayaan
adalah
penyediaan
uang
atau
tagihan
yang
dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan/atau lembaga keuangan lainnya dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Istilah lainpembiayaan adalah dain (debt). Pembiayaan dan wadiah adalah istilah untuk suatu perbuatan ekonomi (perbuatan yang menimbulkan akibat ekonomi) yang dilihat dari arah yang berlawanan. Pembiayaan dalam bank Islam adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam betuk mudharabah dan musyarakah b. transaksi sewa dalam bentuk ijarah atau sewa dengan opsi perpindahan hak milik dalam bentuk ijarah muntahiyah bit tamlik
15
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna d. transaksi pinjam meminjam dalm bentuk piutang qardh
e. transaksi multijasa dengan menggunakan akad ijarah dan kafalah.
Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank atau lembaga keuangan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Dengan demikian, dalam praktiknya pembiayaan adalah
a. penyerahan nilai ekonomi sekarang atas kepercayaan dengan harapan mendapatkan kembali suatu nilai ekonomi yang sama di kemudian hari. b. Suatu tindakan atas dasar perjanjian dimana dalm perjanjian tersebut terdapat jasa dan balas jasa (prestasi dan kontrasepsi) yang kedua-duanya dipisahkan oleh unsure waktu. c. Pembiayaan adalah suatu hak, dengan hak mana seseorang dapat menggunakannya untuk tujuan tertentu, dalam batas waktu tertentu, dan atas pertimbangan tertentu pula.(Veitzhal Rivai, 2010:698-700) 2.1.2.2 Fungsi Pembiayaan Pembiayaan
mempunyai
peranan
yang
sangat
penting
dalam
perekonomian. Secara garis besar fungsi pembiayaan di dalam perekonomian, perdagangan, dan keuangan dapat dikemukakan sebagai berikut:
16
1. Pembiayaan Dapat Meningkatkan Utility (Daya Guna) dari model/uang
Para penabung menyimpan uangnya di bank dalam bentuk giro, deposito,
ataupun tabungan.Uang tersebut
dalam persentase tertentu
ditingkatkan
kegunaannya oleh bank.Para pengusaha menikmati pembiayaan dari bank untuk memperluas/memperbesar
usahanya
baik
untuk
peningkatan
produksi,
perdagangan, maupun untuk usaha-usaha rehabilitasi ataupun usaha peningkatan produktivitas secara menyeluruh.
Dengan demikian, dana yang mengendap di bank (yang diperoleh dari
para penyimpan uang) tidaklah idle (diam) dan disalurkan untuk usaha-usaha yang bermanfaat, baik kemanfaatan bagi pengusaha maupun bermanfaat bagi masyarakat. 2. Pembiayaan Meningkatkan Utility (daya guna) Suatu Barang Produsen dengan bantuan pembiayaan bank dapat memproduksi bahan jadi sehingga utility dari bahan tersebut meningkat, misalnya peningkatan utility kelapa menjadi kopra dan selanjutnya menjadi minyak kelapa/minyak goreng.Produsen dengan bantuan pembiayaan dapat memindahkan barang dari suatu tempat yang kegunaannya kurang ke tempat yang lebih bermanfaat. Seluruh barang-barang yang dipindahkan dari suatu daerah ke daerah lain yang kemanfaatan barang itu lebih terasa pada dasarnya meningkatkan utility dari barang itu. Pemindahan barang-barang tersebut tidaklah dapat diatasi oleh keuangan pada distributor saja dan oleh karenanya mereka memerlukan bantuan permodalan dari bank berupa pembiayaan. 3. Pembiayaan Menimbulkan Kegairahan berusaha Masyarakat Manusia adalah mahluk yang selalu melakukan kegiatan ekonomi, yaitu selalu berusaha memenuhi kebutuhannya. Kegiatan usaha sesuai dengan dinamikanya akan selalu meningkat, akan tetapi peningkatan usaha tidaklah selalu diimbangi dengan
17
peningkatan kemampuan. Karena itu, manusia selalu berusaha dengan segala daya untuk memenuhi kekurangmampuaannya yang berhubungan dengan manusia lain
yang mempunyai kemampuan. Karena itu pulalah, maka pengusaha akan selalu berhubungan dengan bank untuk memperoleh bantuan permodalan guna
peningkatan usahanya. Bantuan pembiayaan yang diterima pengusaha dari bank inilah kemudian yang dapat memperbesar volume usaha dan produktivitasnya.
Ditinjau dari sisi hukum permintaan dan penawaran maka terhadap segala
macam dan ragamnya usaha, permintaan akan terus bertambah bilamana
masyarakat telah memulai melakukan penawaran. Timbullah kemudian efek kumulatif oleh semakin besarnya permintaan sehingga secara berantai kemudian menimbulkan kegairahan yang meluas dikalangan masyarakat untuk sedemikian rupa, sehingga meningkatkan produktivitas. Secara otomatis kemudian timbul pula kesan bahwa setiap usaha peningkatan produktivitas, masyarakat tidak perlu khawatir kekurangan oleh karena masalahnya dapat diatasi oleh bank dengan pembiayaan. 4. Pembiayaan Sebagai Alat Stabilitas Ekonomi Dalam keadaan ekonomi yang kurang sehat langkah-langkah stabilisasi pada dasarnya diarahkan pada usaha-usaha antara lain untuk: a. pengendalian inflasi b. peningkatan ekspor c. rehabilitasi sarana d. pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat(Veitzhal Rivai,2010:712-714) 2.1.2.3 Jenis-jenis Pembiayaan Di dalam Undang-undang perbankan syariah no. 21 tahun 2008 pasal 19 ayat disebutkan bahwa, pembiayaan yang dilakukan oleh bank umum syariah harus berdasarkan akad (kontrak) yang ditetapkan undang-undang atau akad-akad
18
yang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Beberapa literature menyebut istilah akad, dengan istilah jenis, sistem, skema, prinsip, dan lain-lain.
Akad atau prinsip yang menjadi dasar oprasional bank syariah dibagi
5 kelompok. Yaitu (1) prinsip simpanan murni (al wadi’ah) (2) prinsip bagi dalam
hasil / profit loss sharing (syirkah) (3)Prinsip Jual Beli (at-tijarah) (4) prinsip sewa (al-ijarah) dan (5) prinsip fee/jasa (al ajr walumullah).
2.1.2.4 Pembiayaan UMKM Murabahah
Untuk mendukung kinerja UMKM, maka penting untuk memberikan
akses bagi UMKM ke sumber-sumber pembiayaan.Termasuk Bank Islam ini yang memiliki focus utama untuk memenuhi kebutuhan sektor riil masyarakat.Adapun jenis pembiayaan perbankan syariah dalam operasial investasi yang paling popular adalah akad murabahah berbasis prinsip jual beli. Murabahah dalam istilah fiqh ialah akad jual beli atas barang tertentu.Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.Dalam transaksi jual beli tersebut, penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.Murabahah dalam teknis perbankan adalah akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang.Bank memperoleh keuntungan jual beli yang disepakati bersama.Harga jual bank adalah harga beli dari supplier ditambah keuntungan (mark up/margin) yang disepakati bersama.Jadi, nasabah mengetahui keuntungan yang diambil oleh bank. Selama akad belum berakhir, maka harga jual beli tidak boleh berubah, apabila terjadi perubahan, akad tersebut menjadi batal, cara pembayaran dan jangka
waktu
yang
disepakati
bersama,
angsuran.(Muhammad, 2005: 67)
19
dapat
langsung
atau
secara
Gambar 2.1
Skema Pembiayaan Murabahah
1.Negoisasi& persyaratan
2.akad jual beli
6.bayar
NASABAH
BANK
SUPPLIER/ PENJUAL
5.terima barang dan dokumen4.kirim 3.beli barang
Menurut Wiroso (2005:12), ada beberapa alasan transaksi jual beli murabahah mendominasi penyaluran dana bank syariah antara lain : 1. Mudah diimplementasikan Perubahan paradigma bukanlah hal yang mudah dilakukan, karena banyaknya pelaku bank syariah menjalankan bank syariah dengan pemahaman yang konvensional. Dan pada hasilnnya, jual beli murabahah dengan cepat mudah diimplementasikan dan dipahami, karena para pelaku bank syariah menyamakan murabahah ini sama dengan kredit investasi konsumtif seperti kredit kendaraan bermotor, rumah dan lain-lain. Ealaupun kedua jenis transaksi ini sangat berbeda, namun tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini banyak bank syariah yang menjalankan transaksi murabahah dengan pola yang tidak jauh berbeda dengan pemberian kredit pada bank konvensional. 2. Pendapatan bank dapat diprediksi Dalam transaksi murabahah, bank syariah sudah dapat melakukan estimasi pendapatan yang akan diterima, karena dalam transaksi murabahah hutang nasabah adalah harga jual sedangkan dalam harga jual terkandung porsi pokok
20
dan porsi keuntungan. Sehingga dalam keadaan yang normal, bank dapat memprediksi pendapatan yang akan diterima.
3. Tidak perlu mengenal nasabah Dengan adanya murabahah yang pembayarannnya dilakukan dengan
tanggguh, maka akan timbul hutang oleh nasabah. Dalam hal ini hubungan bank dan
nasabah
bagaimanapun
adalah
hubungan
nasabah
diperjualbelikan.Bank
harus
tidak
hutang-piutang.Sehingga membayar
perlu
hutang
menganalisa
dalam
harga dan
keadaan
barang
mencari
yang sumber
pengembaliannya secara khusus, tetapi secara singkat dan global.
4. Menganalogikan murabahah dengan pembiayaan konsumtif Jika diperhatikan, sepintas memang terdapat persamaan antara jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumtif, misalnya saja pembiayaan yang diberikan adalah komoditi (barang) bukan uang, dan pembayarannya dapat dilakukan dengan cara tangguh atau cicilan maupun cara lainnya. Namun jika diperhatikan ketentuan fatwa yang ada dan dijalankan sesuai dengan konsep syariahnya, keduanya mempunyai karakteristik berbeda. Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan perbedaan antara jual beli murabahah dan pembiayaan konsumtif.(Wiroso, 2005:54) Tabel 2.1 Perbedaan Jual Beli Murabahah dan Pembiayaan Konsumen No
Masalah
1
Akad
Jual Beli Murabahah -
Jual beli Harus ada barang
Pembiayaan Konsumen - Pinjam meminjam - Belum tentu ada barangnya
2
Obyek
-
Penyerahan -
Barang
- Uang yang akan
yangdiperjualbelikan harus
dipergunakan untuk membeli
ada barangnya
barang yang dibutuhkan
Barang dapat diserahkan
21
pada waktu akad
Barang berupa harta yang jelas harganya
-
Barang milik sendiri (bank) artinya terjaga
3
Hutang
-
nasabah
-
Sebesar harga jual yaitu
Pokok kredit ditambah
harga perolehan barang
dengan bunga (tergantung
ditambah keuntungan yang
sistem bunga yang
disepakati
dikenakan-tetap, floating,
Berkurang sebesar
dsb)
pembayaran angsuran yang
-
-
-
Berkurang sebesar
dilakukan (tidak
pembayaran angsuran
membedakan lagi unsur
pokok kredit dan
pokok dan keuntungan)
pembayaran bunga (pada
Bagi nasabah tidak
umumnya bank
mengenal hutang pokok
mempergunakan sistem
dan hutang margin
perhitungan anuitaspembayaran angsuran pokok kecil pada awalnya) -
Ada hutang pokok dan hutang bunga
4
Perhitungan
-
keuntungan -
Belum ditemukan metode
perhitungannya dari
perhitungan keuntungan
sisa/outstanding pokok
Keuntungan harus
kredit yang diberikan
disepakati
kepada nasabah (biasanya
dilakukan sekali dari harga
bank mempergunakan
perolehan barang setelah
sistem perhitungan anuitas-
22
-
-
dikurangi uang muka (jika
bunga besar pada awalnya,
ada). Jika telah disepakati
karena modalnya dipergunakan
tidak boleh berubah-ubah
juga besar
sampai akhir akad 5
Nasabah
-
sebesar sisa hutangnya
-
sebesar sisa pokok kredit
melunasi
(hutang awal dikurangi
dan biasanya bunga yang
sebelum
dengan pembayaran
belum diterima sebagai
angsuran)
potongan pelunasan
jatuh tempo
-
bank syariah
-
dengan cara perhitungan
diperkenankan untuk
anuitas, sisa pokok kredit
memberi potongan
pada awalnya tersisa besar
pelunasan dipercepat, yang
dan secara bertahap
besarnya merupakan
menurun
kebijakan bank 6
Pembagian
-
jika murabahah
pada umumnya bank
pokok dan
pembayarannya dilakukan
membedakan porsi pokok
keuntungan
secara tangguh, maka
dan bunga
pembagian pokok dan
-
-
pembagian dilakukan
margin harus dilakukan
secara anuitas, yaitu
secara profesional merata
dengan jumlah angsuran
dan tetap selama jangka
angsuran yang sama pada
waktu angsuran
awalnya porsi pokok lebih
tidak dikenal pembayaran
kecil dan porsi bunga lebih
pokok dulu atau margin
besar akhirnya sebaliknya
dulu, pembayaran angsuran
-
dimungkinkan untuk
adalah pengurang hutang
membayar bunga dulu, atau
nasabah
membayar pokok saja, dst.
23
-
Jika ditelaah dari hal-hal tersebut diatas, maka pengertian murabahah lebih lanjut adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada
pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih tinggi sebagai laba. syariah harus memberitahukan secara jujur harga pokok barang tersebut dan Bank
tambahan atas
besarnya biaya yang dikeluarkan. Dalam pengertian tersebut
mengandung hal-hal sebagai berikut: 1. Harga pokok barang adalah harga barang ditambah dengan beban-beban lain
yang dikeluarkan sehingga barang tersebut memiliki nilai ekonomis.
2. Keuntungan yang disepakati oleh kedua belah pihak dengan tidak menganiaya
salah satu pihak 3. Harga jual murabahah, yaitu harga yang disepakati yang meliputi harga perolehan ditambah dengan keuntungan yang disepakati. Dalam jual beli murabahah pada prinsipnya penyerahan barang dilakukan pada saat transaksi jual beli (akad) dan pembayarannya dapat dilakukan secara tunai atau angsuran.Sehingga pencatatan transaksi ini menggunakan perkiraan piutang dan secara khusus dikategorikan sebagai piutang dagang. Dari fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional dan ketentuan Bank Indonesia, perlu dicermati dan disamakan persepsi dalam memahami ketentuan yang terkait dengan komponen murabahah tersebut, sehingga dapat diwujudkan transaksi jual beli murabahah secara kafah, terutama dalam penentuan keuntungan.(Wiroso, 2005:60) 2.1.3
Tingkat Margin Murabahah Menurut Wiroso (2005:78-80), margin murabahahmerupakan pendapatan
marginyang ditangguhkan yang telah dapat diakui karena telah jatuh tempo atau telahdilunasi piutang murabahah-nya. Sampai saat ini belum ditemukan dan belum ada rumus yang baku atas perhitungan keuntungan murabahah ini. Perhitungan
keuntungan
murabahah
pendekatan antara lain:
24
dapat
dilakukan
dengan
beberapa
1. Pendekatan tukang sayur Yaitu melalui proses tawar menawar, dimana bank syariah harus
memberitahukan secara jujur harga perolehan barang (Cost of Good Sold), dan kemudian mula-mula menetapkan keuntungan yang paling besar, sedangkan
nasabah menetapkan keuntungan yang paling rendah, dan terjadilah proses tawar menawar agar keuntungan bersifat yang dipakati oleh kedua belah pihak. 2. Pendekatan lending rate bank konvensional (menggunakan persentase)
Pada saat ini bank syariah dalam menetapkan keuntungan murabahah
menggunakan pendekatan “Base lending rate” bank konvensional (yang
dinyatakan dalam bentuk persentase).Dalam melakukan perhitungan keuntungan pun dilakukan seperti bank konvensional. Banyak yang mengatakan bahwa perhitungan keuntungan dengan cara sistem flat, dengan sistem anuitas dan sistem lain yang dipergunakan oleh bank konvensional saat ini merupakan teknik matematik dan teknik ini digunakan dalam menghitung keuntungan murabahah. Yang sangat penting dan merupakan esensi dalam keuntungan murabahah adalah adanya kata sepakat antara penjual dan pembeli dan tidak merugikan satu dan yang
lain,
tidak
menimbulkan
kemudharatan
dan
tidak
menimbulkan
penganiayaan satu dengan yang lain. Penentuan keuntungan murabahah dengan pendekatan Lending Rate seperti bank konvensional bukanlah hal yang salah, namun yang perlu dicermati adalah data-data atau komponen yang dipergunakan dalam menentukan base lending rate tersebut. Jadi yang perlu dicermati bukan hasil akhir yang menghasikan persentase, namun komponen dan proses untuk menghasilkan persentase tersebut. Persentase bukanlah hal yang salah karena dalam menentukan besarnya zakat pun dilakukan dengan menggunakan persentase yaitu sebesar 2,5%, bahkan tidak berbeda dengan bunga apabila ada suatu jumlah yang merupakan pengembalikan dari suatu perhitungan yang diperoleh dari bunga. Adapun komponen keuntungan
yang terkandung dalam menghitung besaran
murabahah, dapat digambarkan dalam tabel berikut: (Wiroso,
2005:92)
25
Tabel 2.2
Komponen Besaran Keuntungan Murabahah
No
Komponen
1
Ekspektasi
Data yang dipergunakan bagi -
hasil
rata-rata bagi hasil yang lalu, yang diberikan oleh bank syariah kepada pemilik dana ditambah dengan kenaikan yang akan diharapkan
-
2
lebih akurat apabila data ini merupakan gabungan dari rata-rata bagi hasil dari beberapa bank.
Overhead cost
-
merupakan rata-rata beban overhead riil yang lalu, yang meliputi antara lain beban promosi,
beban administrasi, beban personalia, dsb. -
Beban ini tidak termasuk bagi hasil yang dibayar kepada nasabah (bagi hasil yang dibayar bukan beba syariah)
3
Keuntungan
-
Merupakan keuntungan normal dan layak yang diharapkan oleh bank syariah
-
Keuntungan ini bukan spread seperti yang dilakukan bank konvensional
4
Premi risiko
-
Jika risk cost ini untuk menutup kegagalan nasabah yang tidak membayar (PPAP), maka nasabah yang lancar harus dikembalikan (bukan sebagai pendapatan bank syariah)
Namun sistem anuitas tersebut harus dicari kembali apakah dapat bermaslahat bagi semua pihak atau sebagian kelompok saja.Menurut Wiroso (2005:127),berkaitan dengan pembagian pokok dan margin tersebut maslahat atau tidaknya dapat terlihat dari segi pengakuan pendapatan.
26
Dalam pembagian pokok dan margin secara anuitas, pengakuan pendapatan anuitas ini akan besar pada saat awal ekspansi penyaluran dana (dalam
periode tertentu), sehingga hal ini hanya maslahat terhadap manajemen bank pada saat terjadi atau awal ekspansi, manajemen berikutnya akan menanggung risiko
pendapatan yang terus menurun, lebih-lebih jika kolektibilitas aktiva produktifnya juga turun. Disamping itu bagi hasil juga cenderung turun (jika tidak diimbangi dengan ekspansi yang cukup besar)
Sedangkan dalam pembagian pokok dan margin merata, walaupun bank
dapat melakukan ekspansi, dengan asumsi kolektibilitasnya tetap tidak
pendapatan bank tidak akan berubah sehingga baik manajemen bank penerusnya dan nasabah tidak dirugikan. Salah satu factor pada saat ini para pejabat tinggi bank syariah enggan untuk melakukan metode ini adalah adanya factor ketakutan sementara para manajemen pejabat tinngi bank syariah seperti, pemimpin cabang, direksi dan komisaris bank syariah, karena selama ini perhitungan keuntungan dilakukan dengan cara efektif rate atau anuitas, sehingga jika dilakukan konversi dengan metode perhitungan metode merata tetap, pada saat konversi akan terjadi penurunan pendapatan yang sangat signifikan, walaupun hal ini sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan karena secara bertahap akan terjadi kenaikan dengan adanya kenaikan usaha penyaluran dana. Selain dari metode dan komponen tingkat margin yang harus diperhatikan oleh nasabah pada produk murabahah di bank syariah ini, yaitu mengenai beban administrasi.Hal itu mengingat adanya bank syariah yang berani untuk memperhitungkan keuntungan murabahah kecil, namun beban administrasi yang dikenakan kepada nasabah lebih besar dari normalnya, sehingga jika ditotal secara keseluruhan antara keuntungan dan biaya administrasi lebih besar daripada keuntungan yang normal. Hal inilah yang menjadikan kesan dipersamakan dengan tingkat bunga konvensional, dengan sikap yang terselubung.(Wiroso, 2005) Sementara menurut Slamet Wiyono (2005:88-89) dalam menentukan keuntungan ada beberapa cara, yakni sebagai berikut:
27
1. Bank menentukan keuntungan dari jumlah dana yang dipinjam oleh nasabah untuk membeli barang ke bank tersebut sebesar yang disepakati ke dua belah
pihak, misalnya 20% dari pokok pinjaman. Apabila yang ditambahkan adalah
2x keuntungan per tahun (20%) maka hasilnya sama dengan 40%. Cara seperti
ini mempunyai kelemahan, kalau dibayar lebih dari satu tahun maka keuntungannya ditambah sebesar keuntungan satu tahun dikalikan dengan jumlah tahun, hal ini seolah-olah sebagai “tambahan karena meminjami” yang
ditentukan di muka, sehingga mengarah kepada riba. Seandainya hal ini
dengan alasan untuk menstabilkan “daya beli” uang yang dipinjamkan bank
mestinya persentase yang ditambahkan adalah sebesar estimasi “inflasi” yang akan datang atau dikurangi sebesar estimasi deflasi seandainya terjadi. Rumus harga jual (cara pertama): Harga jual = Harga pokok aktiva murabahah/jumlah pembiayaan + (mark up/laba x n tahun) 2. Atas dasar dana yang dipinjam oleh nasabah, bank syariah menerapkan keuntungan transaksi misal 20%, kemudian kalau dibayar satu atau dua tahun maka untuk menstabilkan daya beli uang tersebut bank syariah dapat menambahkan sejumlah 2x inflasi dua tahun yang akan datang. Misal, diperkirakan inflasi 5% per tahun maka factor stabilizer daya beli untuk dua tahun =2 x 5% = 10%. Jadi, selama 2 tahun nasabah mengangsur pokok pinjaman ditambah keuntungan dan inflasi, yaitu 10% + 20% = 30%. Rumus harga jual (cara kedua): Harga jual = Harga pokok aktiva murabahah/jumlah pembiayaan + (Inflasi x n ) tahun + mark up/laba sekali
28
3. Dalam penentuan harga jual bank, bank dapat menerapkan metode penetapan harga jual berdasarkan cost, harga jual berdasarkan cost plus, harga jual dapat
dihitung dengan rumus, adalah sebagai berikut:
Rumus harga jual (cara ketiga):
Harga jual = Harga pokok aktiva murabahah/jumlah pembiayaan
+cost recovary + mark up/laba sekali Cost Recovary adalah bagian dari estimasi biaya operasi bank syariah yang
dibebankan kepada harga pokok aktiva murabahah/pembiayaan. Rumus perhitungan cost recovery: Cost Recovary = (Harga pokok aktiva murabahah atau pembiayaan/estimasi total pembiayaan) x estimasi biaya operasi 1 tahun Mark-up/laba
ditentukan
sekian
persen
dari
harga
pokok
aktiva
murabahah/pembiaayaan, misalnya 10%. Untuk menghitung margin murabahah maka kita dapat menghitung dengan rumus: Margin Murabahah = (Cost Recovary +mark up) / Harga pokok aktiva murabahah (pembiayaan) Dalam bab sebelumnya, telah dipaparkan bahwa adanya produk yang bisa dipersamakan dengan pembiayaan murabahah yaitu Bai Bithaman Ajil (BBA) yang dilakukan di Negara Malaysia, dan sebagian ekonom syariah bahwa BBA ini pada dasarnya adalah long term murabahah. Prof.Syaiful Azhar Rosly (2005) telah memformulasikan komponen BBA Margin keuntungan seperti berikut ini:
29
BBA marjinkeuntungan= cost of Islamic deposits + biaya overheads + premi risikoinflasi + premi risiko kegagalan nasabah pembiayaan(spread)
2.1.4
Premi Risiko Dalam Bank Konvensional premi risiko merupakan komponen dalam
perhitungan lending rate, yang besarnya sangat tergantung pada pengalaman
terhadap aktiva produktif yang harus dibentuk penyisihan penghapusan aktiva produktifnya.Dalam Bank Konvensional nasabahnya dalam kategori apapun, porsi ini diakui sebagai pendapatan bank. Apabila dalam bank syariah hal ini dikenakan, maka nasabah lancar dalam melakukan porsi ini seharusnya dikembalikan kepada nasabah, Bank syariah hendaknya harus dapat menghitung premi risiko bermasalah yang menanggung risiko yang dikenakan untuk masing-masing debitur. Dalam bank syariah, jika aktiva produktif bermasalah yang menanggung risiko tidak semata-mata bank syariah sendiri, tetapi juga nasabah pemilik dana, karena sebagai akibat aktiva produktif yang jelek akan membawa dampak kecilnya pendapatan yang diterima yang akhirnya akan mengakibatkan bagi hasil yang diterima juga kecil. (Wiroso, 2005:91) 2.1.5
Inflasi Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa
inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
30
Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya
menjadikan semua orang terutama orang miskin, bertambah miskin.
Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada
akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di Negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah. (www.bi.go.id) 2.1.5.1 Pengertian Inflasi Menurut Sukirno (2004;333), Inflasi yaitu kenaikan dalam harga barang dan jasa yang terjadi karena permintaan bertambah lebih besar dibandingkan dengan penawaran barang di pasar. 2.1.5.2 Penyebab Inflasi Menurut Adiwarman dalam bukunya Ekonomi Makro Islami (2006;138) jenis inflasi dapat dilihat segi penyebabnya, yaitu: 1. Natural inflation dan Human Error inflation. Natural inflation adalah inflasi yang terjadi karena sebab alamiah yang tidak dapat dicegah oleh manusia, sedangkan human error inflation adalah inflasi yang terjadi karena kesalahan manusia.
31
Kedua jenis inflasi ini sejalan dengan pendapat seorang ekonom Islam yaitu Al Maqrizi (1364M-1441M). Berikut penjelasan lebih jauh mengenai
Natural inflation dan Human Error inflation. a. Natural Inflation
Menurut Ibn Al Maqrizi, inflasi ini diakibatkan oleh turunnya penawaran
agregatif (AS) atau naiknya permintaan agregatif (AD). Natural inflation dapat diartikan sebagai berikut:
-
Gangguan terhadap jumlah barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu
perekonomian (T). Misalnya T sedangkan M ( Jumlah Uang Beredar) dan
V ( kecepatan peredaran uang) tetap, maka konsekuensinya P . -
Naiknya daya beli masyarakat secara riil. Misalnya, nilai ekspor lebih besar daripada nilai impor, sehingga secara netto terjadi impor uang yang mengakibatkan M sehingga jika V dan T tetap maka P . Lebih jauh dapat dianalisis dengan persamaan berikut: AD = AS AS = Y AD = C + I + G + (X – M) Dimana: Y
: pendapatan nasional
C
: konsumsi
I
: investasi
G
: pengeluaran pemerintah
(X-M): Net export maka: Y = C + I + G + (X – M)
32
Berdasarkan penyebabnya, natural inflation dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu:
a. Akibat uang yang masuk dari luar negeri terlalu banyak, dengan ekspor
X sedangkan impor menurun M . Nilai net export yang sangat besar menyebabkan naiknya permintaan agregatif AD .
meningkat
P AS
P2 P1 AD1
AD2
Q1 Q2
0
Gambar 2.2
Grafik 1. Demand Pull Inflation
Demand Full Inflation
b. Akibat turunnya tingkat produksi AS
karena paceklik, perang, embargo
dan boikot. Keadaan tersebut dapat digrafikan seperti pada gambar berikut. P
AS2 AS1
P2 P1 AD
0
Q2 Q1
Q
Gambar 2.3 Grafik 2. Cost Push Inflation Cost Plus Inflation
33
b. Human error Inflation
Di luar penyebab yang tergolong natural inflation, inflasi yang terjadi
tergolong human error inflation atau false inflation. Dalam hal ini yang
diakibatkan kesalahan manusia (sesuai dengan QS 30:41).Human error inflation
disebabkan dua hal berikut:
1.
Korupsi dan administrasi yang buruk (corruption and bad administration)
Jika merujuk pada persamaan AS=AD, terlihat korupsi dan administrasi
pemerintahan yang buruk menyebabkan kontraksi pada kurva penawaran agregatif
AS .
AS2
P
Rp ATC2
MC2
AS1
P2
MC1 ATC1
P1 AD
0
Q
Q2 Q1
Q
0
Macro Level
Micro Level
Gambar 2.4 Inflasi akibat Korupsi dan Administrasi yang buruk 2. Pencetakan uang dengan maksud menarik keuntungan secara berlebih (excessive seignorage). Arti tradisional seignorage adalah keuntungan yang didapat oleh percetakan dari pencetakan koin. Milton Friedman, seorang ekonom monetaris terkemuka mengatakan,”Inflation is always and everywhere a monetary phenomenon.” Para otoritas moneter di negara-negara Barat umumnya meyakini bahwa pencetakan uang akan menghasilkan keuntungan bagi pemerintah (inflation tax). Di pihak lain, ekonom Muslim Ibn Al Maqrizi berpendapat bahwa pencetakan uang yang berlebihan jelas akan mengakibatkan naiknya tingkat harga
P secara keseluruhan (inflasi).
34
2. Actual/anticipated/expected inflation dan unaticipated/unexpected inflation. Pada expected inflation, tingkat suku bunga pinjaman riil sama dengan
tingkat suku bunga pinjaman nominal dikurangi inflasi. Sedangkan pada unexpected inflation, tingkat suku bunga pinjaman nominal belum atau tidak
merefleksikan kompensasi terhadap efek inflasi. 1. Demand pullinflation Demand pull inflation diakibatkan oleh perubahan yang terjadi pada sisi
permintaan aggregat (AD) barang dan jasa pada suatu perekonomian, dimana permintaan masyarakat terhadap barang maupun jasa terlalu kuat sehingga
melebihi supply yang ditawarkan. 2. Cost pust inflation Cost push inflation terjadi karena adanya perubahan-perubahan pada sisi penawaran agregatif (AS) barang dan jasa pada suatu perekonomian, dimana biaya produksi mengalami kenaikan sehingga penawaran turun. Kenaikan produksi tersebut disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan hargaharga komoditi yang diatur pemerintah (administered price)i, dan terjadi negative supply shocksii akibat bencana alam dan terganggunya distribusi. Kedua Jenis inflasi ini sesuai dengan pendapat Boediono (1980;162) dalam bukunya Ekonomi Moneter. 3. Spiralling inflation, yaitu inflasi yang diakibatkan oleh inflasi yang terjadi sebelumnya, sementara inflasi yang sebelumnya itu terjadi sebagai akibat inflasi terdahulu, demikian seterusnya.
35
Imported inflation dan domestic inflation.
4.
Imported inflation adalah inflasi yang dialami oleh suatu negara karena
posisinya sebagai price taker dalam pasar perdagangan internasional.Inflasi ini disebabkan oleh kenaikan harga barang ekspor seperti teh dan kopi di luar negeri
(negara tujuan ekspor), harganya mengalami kenaikan dan ini membawa pengaruh terhadap harga di dalam negeri.Penyebab lainnya adalah naiknya harga barang impor yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap indeks biaya hidup
masyarakat dalam negeri.
Sementara Domestic inflation hanya terjadi di suatu negara tanpa
mempengaruhi negara-negara lain. Menurut Boediono, inflasi ini timbul misalnya karena terjadinya defisit anggaran belanja negara yang secara terus menerus di atasi dengan mencetak uang. Hal ini menyebabkan jumlah uang yang dibutuhkan di masyarakat melebihi transaksinya dan ini menyebabkan nilai uang menjadi rendah dan harga barang meningkat.Boediono menggolongkan jenis inflasi ini ke dalam inflasi yang berdasarkan pada asal dari inflasi tersebut. 2.1.5.3 Indikator Inflasi Menurut Hera Susanti (2000:43) dalam bukunya Indikator-Indikator Makro Ekonomi, tinggi rendahnya inflasi pada suatu Negara pada suatu waktu tertentu tergantung pada indikator yang digunakan dan tahun dasar yang digunakan yaitu: a. Perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Indeks Biaya Hidup (IBH). b. Perubahan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). c. Perubahan Deflator PDB/GDY Indeks harga Konsumen mengukur harga barang yang mencerminkan konsumsi masyarakat secara rata-rata, yang biasanya dihitung berdasarkan survey biaya hidup secara berkala. Perhitungan tingkat inflasi menurut IHK dilakukan dengan menggunakan formula sebagai berikut:
36
IHK dan IHPB mempunyai perhitungan yang praktis sama, namun terdapat perbedaan pada cakupan barang yang digunakan dan metode
pengambilan sampel barangnya dimana IHPB mencerminkan harga pada tingkat produsen.
Sementara pada IHK dan Deflator PDB terdapat tiga perbedaan mendasar.Pertama, dalam hal cakupan barang dan jasa.Dimana IHK hanya mencakup
sebagian
barang
dan
jasa
yang
dibeli
konsumen
dalam
perekonomian.Sedangkan Deflator PDB mencakup semua barang dan jasa yang
diproduksi perekonomian (yang dibeli oleh konsumen). Jadi barang yang dibeli oleh pemerintah atau perusahaan hanya akan tercermin dalam Deflator PDB. Perbedaan Kedua, Deflator PDB hanya mencakup barang-barang yang diproduksi dalam negeri. Imported final Goods tidak tercakup dalam Deflator PDB, sehingga perubahan barang-barang impor tidak akan terlihat dalam Deflator PDB dalam jangka pendek. Sementara, dalam Indeks Harga Konsumen atau Indeks Harga Perdagangan Besar, perubahan ini akan terlihat walaupun dampaknya sangat tergantung pada timbangan barang konsumsi final yang diimpor dalam IHK karena dalam kasus Indonesia pengaruh relative kecil. Perbedaan ketiga, adalah bagaimana cara harga-harga dari berbagai barang diagregatkan dalam dua indeks harga. IHK dan IHPB didasarkan pada suatu set keranjang barang dan jasa yang diindekskan dengan timbangan yang konstan sedangkan dalam Deflator PDB dibiarkan untuk berubah dari waktu ke waktu mengikuti perubahan komposisi barang dan jasa perekonomian. Dengan kata lain IHK dan IHPB menggunakan kuantitas tahun dasar sebagai timbangan sedangkan Deflator PDB menggunakan kuantitas tahun berlaku sebagai timbangan. Masing-masing indikator di atas mempunyai kelemahan dan kelebihan tergantung pada penggunaanya.Jika digunakan untuk melakukan penetapan upah riil, indicator yang lebih tepat adalah IHK atau IHB, sedangkan bila digunakan
37
untuk menetapkan riil kontrak kerja atau penyesuaian nilai kontrak kerja yang dilakukan oleh kontraktor besar maka lebih tepat digunakan indeks harga
perdagangan besar.
Analisis korelasi menunjukan ketiga indikator inflasi mempunyai
hubungan yang kuat satu dengan yang lainnya.Sehingga penggunaan salah satu
indikator saja sebagai dasar menentukan pergerakan tingkat harga telah memadai dan layak untuk menentukan tingkat inflasi di Indonesia (Hera Susanti, Moh. Ikhsan, Widyanti, 2000:43).
2.1.5.4 Hubungan Pembiayaan Bank Syariah dan Inflasi Menurut Amir dan Rukmana (2010:56), pengembangan bank syariah yang sehat dan dapat memberikan jasa pelayanan yang kompetitif harus ditingkatkan guna mendorong peningkatan aliran modal masuk internasional, khususnya dari lembaga-lembaga atau pihak-pihak yang mensyaratkan pola transaksi dengan prinsip syariah. Terutama karena pembiayaan bank syariah didasarkan investasi riil dan participationsystem, suplai uang dari sistem perbankan syariah sangat terkait erat dengan kebutuhan transaksi pelaku ekonomi sebab alokasi sumber daya keuangan juga merupakan respons langsung terhadap kapasitas produksi dan output sector.Di samping itu, dengan prinsip pelarangan kegiatan spekulasi dan transaksi keuangan yang tidak didasarkan pada kegiatan usaha.Hal ini dapat mengurangi kecenderungan arbitrase dan mengurangi kondisi pertumbuhan ekonomi semu (buble economic).Karakteristik ini secara langsung memberi dampak positif dalam mengatasi problem inflasi. Berkaitan dengan suplai dan demand uang, maka berkaitan juga dengan kebijakan
moneter.
Berdasarkan
teori
permintaan
akan
uang,
islam
mengelompokan ke dalam tiga Mazhab yaitu Mazhab Iqtishoduna, Mazhab Mainstream, dan Mazhab Alternatif. Untuk Mazhab alternatif sendiri, menyatakan bahwa permintaan uang terkait erat dengan konsep endogenous uang dalam Islam. Konsep ini dalam Islam secara sederhana diartikan sebagai: ”keberadaan uang pada hakikatnya adalah representatif dari volume transaksi yang ada dalam sector
38
riil”. Konsep ini menjembatani dan tidak mendikotomi antara pertumbuhan uang di sector moneter dan pertumbuhan nilai tambah uang di sector riil.
Hal ini juga berkaitan dengan masalah kebijakan moneter, secara prinsip
dalam kebijakan moneter syariah tidak berbeda dengan tujuan kebijakan moneter
konvensional, yaitu menjaga stabilitas dari mata uang (baik secara internal
maupun eksternal) sehingga pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat tercapai.Stabilitas dalam nilai uang tidak terlepas dari tujuan ketulusan dan keterbukaan dalam berhubungan dengan manusia. Hal ini disebutkan Al-Quran
Al-An‟am:152 yang artinya “ ……..dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil” Stabilitas nilai uang juga ditegaskan oleh Chapra (Al Quran Menuju Sistem Moneter yang Adil), kerangka kebijakan moneter dalam perekonomian Islam adalah stok uang.Sasarannya haruslah menjamin bahwa pengembangan moneter yang tidak berlebihan, melainkan cukup untuk sepenuhnya dapat mengeksploitasi kapasitas perekonomian untuk menawarkan barang dan jasa bagi kesejahteraan sosial umum. Walaupun
pencapaian
tujuan
akhirnya
tidak
berbeda,
dalam
pelaksanaannya secara prinsip berbeda dengan yang konvensional, terutama dalam pemilihan target dan instrumentnya. Perbedaan yang mendasar antara kedua jenis instrument tersebut adalah prinsip syariah tidak membolehkan adanya jaminan terhadap nilai nominal maupun rate return (suku bunga). Oleh karena itu apabila dikaitkan dengan target pelaksanaan kebijakan moneter, secara otomatis pelaksanaan kebijakan moneter berbasis syariah tidak memungkinkan menetapkan suku bunga sebagai target/sasaran operasionalnya.(Amir dan Rukmana, 2010:46) 2.1.6
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM), definisi UMKM adalah sebagai berikut:
39
1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usahaperorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur
dalamUndang-Undang ini.
2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaanatau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baiklangsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah
atau Usaha Besar yangmemenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini.
3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yangdilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anakperusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagianbaik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besardengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diaturdalam Undang-Undang ini. Adapun kriteria tersebut adalah sebagai berikut: (1) Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh jutarupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratusjuta rupiah). (2) Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidaktermasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
40
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus jutarupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar
lima ratusjuta rupiah).
(3) Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah)tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar limaratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00
(limapuluh milyar rupiah).(http://infoukm.wordpress.com) 2.1.7
Pengaruh Tingkat Margin Murabahah terhadap Alokasi Pembiayaan UMKM Murabahah Tingkat margin murabahah diartikan sebagai sebuah kewajiban yang harus
dibayar nasabah.Ketika tingkat margin yang ditawarkan oleh bank tinggi maka, nasabah pun semakin enggan untuk mengambil pembiayaan.Sementara itu UMKM cenderung untuk mencari pembiayaan dengan tingkat biaya yang relative kecil demi kemajuan usahanya.Sehingga diartikan bahwa tingkat margin murabahah terhadap alokasi pembiayaan UMKM Murabahah memiliki pengaruh negative. 2.1.8
Pengaruh Premi Risiko terhadap Alokasi Pembiayaan UMKM Pada bab sebelumnya di dalam tinjauan pustaka, telah dijelaskan
bagaimana komposisi margin terbentuk, dan premi risiko menjadi salah satu factor pembentuknya. Pada dasarnya komposisi ini hampir sama dengan komposisi konvensional. Sehingga ketika masyarakat menyadari tingginya margin murabahah, komposisi ini menjadi perhatian. Khususnya bagi UMKM ini, ketika premi risiko tinggi, sementara mereka menginginkan tingkat biaya atas pembiayaan yang rendah, jika mereka melakukan kemacetan pembiayaan maka
41
premi risiko tersebut akan menjadi pendapatan bagi bank. Selain itu juga dengan tingginya premi risiko akan meningkatkan tingkat margin dan masyarakat UMKM
enggan untuk mengambil pembiayaan tersebut, sehingga mempengaruhi alokasi pembiayaan UMKM Murabahahyang tersalurkan. Hal ini berarti premi risiko
memiliki pengaruh negative bagi alokasi pembiayaan UMKM Murabahah. 2.1.9
Pengaruh Inflasi terhadap Alokasi Pembiayaan UMKM Murabahah
Akibat pemisahan antara sektor finansial dan sektor riil sebagaimana yang
terjadi pada sistem ekonomi konvensional, ekonomi dunia rawan krisis, ditandai
dengan laju inflasi yang tinggi, sementara itu dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor riil, sehingga konsep ekonomi islam mendorong pertumbuhan sector riil. Meski demikian ketika inflasi berlangsung sektor riil biasanya dihadapi dengan dua kesulitan. Dari sisi produksi, biaya yang ditanggung perusahaan untuk berproduksi akan naik sehinggga harga jual outputnya akan ikut naik. Sedangkan dari sisi permintaan, inflasi menyebabkan pendapatan riil masyarakat berkurang, karena penurunan nilai uang, yang mengakibatkan orang enggan menabung. Yang mengakibatkan bank mengalami kekurangan dana dalam menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan. Sehingga pengaruh inflasi terhadap alokasi pembiayaan UMKM Murabahah yaitu negatif. 2.2
Penelitian Terdahulu Adapun penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya mengenaialokasi
Pembiayaan UMKM Murabahah, di bawah ini adalah penelitian yang penulis maksud.
42
Tabel 2.3
Matriks Penelitian Terdahulu
N o 1
2
Judul Penelitian
Tujuan
Variabel
Alat Analisis
Hasil Penelitian
Cokro Wahyu Sujati (2004) UIIS Yogyakarta “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alokasi KUK Pada BankBank Umum di Indonesia (Pada tahun 2004:022007:12)”
Untuk mengetahui apakah jumlah dana yang dihimpun oleh bank-bank umum di Indonesia berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi KUK pada bank umum di Indonesia. Untuk mengetahui apakah tingkat suku bunga riil kredit (pinjaman) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alokasi KUK pada bank umum di Indonesia
Y= Kredit Usaha Kecil (KUK) (Triliun Rp) X1= Jumlah Dana Pihak Ketiga (Triliun Rp) X2=Inflasi(%) X3=Suku Bunga Riil Pinjaman(%)
Analisis kuantitatif deskriptif
Variabel independen Jumlah dana yang dihimpun bank berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel dependen alokasi KUK Pada tingkat suku bunga deposito ternyata variabel inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume alokasi kredit usaha kecil ( KUK ). Tingkat laju Inflasi di Indonesia ternyata berpengaruh negatif dan signifikan terhadap volume alokasi kredit usaha kecil ( KUK )
Luluk Chorida (2009) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang “Pengaruh Jumlah Dana, Inflasi, dan Margin terhadap Pembiayaan UKM (Studi pada BankBank Syariah di Indonesia”
Untuk mengetahui pengaruh signifikansi jumlah dana pihak ketiga, inflasi dan tingkat margin secara bersama-sama dan secara individu terhadap alokasi pembiayaan UKM pada bank-bank syariah di Indonesia juga dari ketiga variabel manakah variabel yang berpengaruh dominan terhadap alokasi
Y= Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) (Triliun Rp). X1= Jumlah Dana Pihak Ketiga (Triliun Rp) X2= Inflasi (%) X3=Tingkat Margin Pinjaman (%)
Analisis kuantitatif deskriptif
Secara simultan terdapat pengaruh signifikansi dana pihak ketiga, inflasi dan tingkat margin terhadap alokasi pembiayaan UKM pada bankbank syariah di Indonesia. Dari ketiga variabel independent (jumlah dana pihak ketiga, inflasi, tingkat margin) yang mempunyai pengaruh dominan terhadap variabel dependen (Pembiayaan UKM) adalah Alokasi dana pihak ketiga dengan nilai statistik t hitung sebesar 16,619.
43
3
Amad (2006) Universitas Indonesia “Faktor-faktor yang mempengaruhi margin murabahah : Studi kasus pada bank Syariah "X"
2.2
bertujuan untuk memperoleh data empiris dan fakta yang sah (valid), benar dan dapat dipercaya mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penetapan margin pembiayaan murabahah yang dikaitkan dengan fluktuasi bunga kredit konsumtif Bank Indonesia
Y= X1= suku bunga kredit konsumtif X2=bagi hasil DPK X3=Volume pembiayaan X4=Target profit X5=Premi Risiko
observasi langsung dengan pendekatn aplikatif dan korelasion
1. Variabel suku bunga kredit konsumtif bank konvensional berpengaruh secara signifikan terhadap prosentase margin pembiayaan murabahah. 2. Variabel bagi hasil DPK porsi murabahah berpenaruh signifikan terhadap penetapan margin murabahah 4. Volume pembiayaan tidak terbukti berpengaruh signifikan terhadap penetapan margin murabahah namun mempunyai pengaruh positif pada tingkat keyakinan 83.2% ketika berubah menjadi recovery cost. 5. Premi risiko mempunyai pengaruh signifikan terhadap margin murabahah. 6. Target profit mempunyai pengaruh signifikan terhadap margin murabahah
Kerangka Pemikiran Ketika inflasi berlangsung sektor riil biasanya dihadapi dengan dua
kesulitan.dari sisi produksi dan sisi permintaan. Namun karena penelitian ini dilihat dari sudut pandang bank maka yang lebih mempengaruhi adalah dari sisi permintaan, dimana inflasi menyebabkan nilai uang menurun sehingga Pendapatan riil masyarakat (Y) menurun kemudian Marginal Propensity to save menurun dan Marginal to Consume naik. Namun ketika Marginal Propensity to Consume ini naik atau demand terhadap barang ini meningkat (Adiwarman:2006), kondisi UMKM yang membutuhkan pembiayaan (demand meningkat) tidak dapat terpenuhi oleh Bank. Karena Marginal Propensity to save yang menurun
44
mengakibatkan bank kekurangan dana dari pihak ketiga untuk disalurkan melalui Alokasi Pembiayaan UMKM Murabahah ini (suplai menurun).
Kondisi inflasi juga dapat mempengaruhi premi resiko. Suatu bank akan
dapat meminimalisir cadangan kerugiannya apabila alokasi pembiayaan yang diberikan berkualitas baik. Dan sebaliknya apabila kualitas pembiayaannya buruk maka aspek yang terkena dampak langsung akibat pembiayaan bermasalah karena inflasi ini adalah aspek modal, karena bank harus rela mengurangi modalnya
untuk menutupi kerugian yang terjadi. Aktiva produktif (Assets) yang dimiliki
ikut terimbas karena bank harus menyediakan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) sebagai cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu berdasar kualitas aktivasesuai kolektabilitasnya ( PBI No.9/9/PBI/2007). Dengan kata lain pembentukan PPAP yang besar (misalnya karena tingginya resiko inflasi) meskipun alokasi pembiayaan berjumlah besar (suplai pembiayaan ditingkatkan) namun jika alokasi pembiayaan berkualitas buruk, maka cadangan ini akan terpengaruh dan pendapatan yang merupakan dasar eksistensi suatu bank juga terpengaruh, karena pembiayaan bermasalah akan mengurangi profitabilitas bank yang digunakan untuk menjaga kesetabilan modalnya, sehingga pada periode setelahnya bank akan bersikap berhati-hati dalam mangalokasikan pembiayaannya. Telah disinggung pada paragraf diatas bahwa pendapatan bank akan terancam, dan pada kondisi inflasi yang meningkat tersebut pemerintah mengantisipasi agar tidak terjadi inflasi yang terus meningkat dengan cara melakukan kebijakan moneter salahsatunya melalui penetapan kenaikan Bi rate. Dan menurut Muhammad(2005) bahwa going rate ini sebagai rujukan penetapan tingkat margin pembiayaan, jadi ketika going rate meningkat maka tingkat margin pembiayaan murabahah ini meningkat. Dan tingkat margin pembiayaan ini mempengaruhi UMKM karena semakin tinggi tingkat margin maka akan menimbulkan keengganan masyarakat yaitu UMKM untuk meminjam dana jika
45
tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh UMKM, sehingga meskipun bank berharap pendapatan yang diterima tidak terancam oleh tingginya resiko
inflasi, namun alokasi pembiayaan justru menurun.
Gambar 2.5
Kerangka Pemikiran
Inflasi (X3) (Faktor Eksternal) Alokasi Pembiayaan UMKM Murabahah(Y)
Premi Risiko (X2) (Faktor Internal) Tingkat Margin Murabahah (X1) (Faktor Internal)
2.4
Hipotesis Penelitian Dari kerangka penelitian tersebut, dapat dihipotesiskan sebagai berikut :
1. Diduga variabel Tingkat Margin Murabahah, Premi Risiko, dan inflasi secara simultan mempunyai pengaruh signifikan terhadap Alokasi Pembiayaan UMKM Murabahah pada Bank Syariah Mega Indonesia periode 2008-2011. 2. Diduga variabel Tingkat Margin Murabahah, Premi Risiko, dan Inflasi secara parsial mempunyai pengaruh signifikan terhadap Alokasi Pembiayaan UMKM Murabahah pada Bank Syariah Mega Indonesia periode 2008-2011. 3. Diduga Tingkat Margin Murabahah sebagai variabel independen yang paling dominan mempengaruhi alokasi pembiayaan UMKM Murabahah pada Bank Syariah Mega Indonesia periode 2008-2011
46
47
48
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
1.900E12
3
6.332E11
Residual
1.604E11
43
3.730E9
Total
2.060E12
46
F
Sig.
169.764
a. Predictors: (Constant), Inflasi_, Prem_Risiko, P.Margin_Murabahah b. Dependent Variable: AlokasiPembiayaan_Murabahah
b
Model Summary
Model 1
R .960
R Square a
.922
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate .917
61071.51848
a. Predictors: (Constant), Inflasi_, Prem_Risiko, P.Margin_Murabahah b. Dependent Variable: AlokasiPembiayaan_Murabahah
49
Durbin-Watson 1.803
.000
a
Coefficients
a
Standardized
Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error
368512.759
57400.757
P.Margin_Murabahah
1.459
.113
Prem_Risiko
1.324 -12688.677
Inflasi_
Coefficients
Colline
Beta
t
Sig. 6.420
.000
.881
12.880
.000
1.176
.055
1.126
.266
11483.449
-.069
-1.105
.275
Toleran
a. Dependent Variable: AlokasiPembiayaan_Murabahah
Coefficient Correlations
a
P.Margin_Murab Model 1
Inflasi_ Correlations
ahah
Inflasi_
1.000
-.092
.704
Prem_Risiko
-.092
1.000
-.405
.704
-.405
1.000
1.319E8
-1247.477
916.076
-1247.477
1.384
-.054
916.076
-.054
.013
P.Margin_Murabahah Covariances
Prem_Risiko
Inflasi_ Prem_Risiko P.Margin_Murabahah
a. Dependent Variable: AlokasiPembiayaan_Murabahah
Collinearity Diagnostics
a
Variance Proportions Dimensi
P.Margin_Murab
Model
on
Eigenvalue
Condition Index
1
1
3.538
1.000
.00
.00
.01
.01
2
.349
3.186
.00
.02
.07
.20
3
.098
6.002
.03
.12
.90
.02
50
(Constant)
ahah
Prem_Risiko
Inflasi_
4
.015
15.418
.97
.85
.02
a. Dependent Variable: AlokasiPembiayaan_Murabahah
Residuals Statistics
Minimum Predicted Value
Std. Deviation
N
1.1089E6
881265.8436
2.03209E5
47
-1.30822E5
2.74120E5
.00000
59046.48241
47
Std. Predicted Value
-2.202
1.120
.000
1.000
47
Std. Residual
-2.142
4.489
.000
.967
47
a. Dependent Variable: AlokasiPembiayaan_Murabahah
51
Mean
433794.8438
Residual
Maximum
a
.78