BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi Makroalga Alga (tumbuhan ganggang) merupakan tumbuhan thallus yang hidup di air, baik air tawar maupun air laut, setidak-tidaknya selalu menempati habitat yang lembab atau basah. Alga yang hidup di air ada yang bergerak aktif, ada yang tidak. Jenisjenis yang hidup di air, terutama yang tubuhnya ber sel tunggal dan dapat bergerak aktif merupakan penyusun plankton, tepatnya fitoplankton. Walaupun tubuh ganggang menunjukkan keanekaragaman yang sangat besar, tetapi semua selnya selalu jelas mempunyai inti dan plastida, dan dalam plastidnya terdapat zatzat warna derivat klorofil, yaitu klorofil-a atau klorofil-b atau kedua-duanya selain derivat klorofil terdapat pula zat warna lain inilah yang justru kadang-kadang lebih menonjol dan menyebabkan kelompok ganggang tertentu diberi nama menurut warna tersebut. Zat warna tersebut berupa fikosianin (berwarna biru), fikosantin (berwarna pirang), fikoeritrin (berwarna merah). Di samping itu juga dapat ditemukan zat-zat warna santofil, dan karoten (Tjitrosoepomo, 2005). Perkembangbiakan makroalga dapat terjadi melalui dua cara, yaitu secara vegetatif dengan thallus
dan secara generatif dengan thallus
diploid yang
menghasilkan spora. Perbanyakan secara vegetatif dikembangkan dengan cara setek, yaitu potongan thallus yang kemudian tumbuh menjadi tanaman baru. Sementara perbanyakan secara generatif dikembangkan melalui spora, baik alamiah maupun budidaya. Pertemuan dua gamet membentuk zigot yang selanjutnya
berkembang
menjadi
sporofit.
Individu
baru
inilah
yang
mengeluarkan spora dan berkembang melalui pembelahan dalam sporogenesis menjadi gametofit (Anggadiredja et al., 2009). Pada thallophyta spora benar-benar merupakan alat reproduksi, yaitu sebagai calon-calon individu baru. Sifat gamet yang beranekaragam, demikian pula gametangiumnya, menyebabkan perbedaan-perbedaan pula dalam terjadinya peleburan sel-sel kelamin itu. Istilah-istilah yang bertalian dengan cara perkembangbiakan seksual pada tumbuhan thallus seperti misalnya: isogami,
5
anisogami, gametangiogami, dan oogami, mencerminkan adanya perbedaanperbedaan tersebut (Tjitrosoepomo, 2005). Alga dimasukkan ke dalam divisi Thallophyta (tumbuhan berthallus) karena mempunyai kerangka tubuh (morfologi) yang tidak berdaun, berbatang, dan berakar, semuanya terdiri dari thallus (batang) saja. Sampai kini Thallophyta memiliki 7 fila yaitu Euglenophyta, Chlorophyta, Chrysophyta, Pyrrophyta, Phaeophyta, Rhodophyta, dan Cryptophyta. Untuk menentukan divisi dan mencirikan kemungkinan hubungan filogenetik di antara kelas secara khas dipakai komposisi plastida pigmen, persediaan karbohidrat, dan komposisi dinding sel (Aslan, 1991). Makroalga yang berukuran besar tergolong dalam tiga kelompok besar, yaitu Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat) dan Rhodophyceae (alga merah). Sebagai produsen primer, kelompok alga ini juga menfiksasi bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan cahaya matahari yang dimanfaatkan langsung oleh herbivor (Asriyana dan Yuliana, 2012).
2.2. Chlorophyceae (Alga Hijau) Kelompok ini merupakan kelompok dengan vegetasi terbesar dibanding kelompok lainnya. Chlorophyceae disebut juga alga hijau yang tergolong ke dalam divisi Chlorophyta. Sel-selnya
memiliki kloroplas yang berwarna hijau yang jelas
seperti pada tumbuhan tingkat tinggi karena mengandung pigmen klorofil a dan b, karotenoid. Pada kloroplas terdapat pirenoid, hasil asimilasi berupa tepung dan lemak. Perkembangbiakan terjadi secara aseksual dan seksual. Secara aseksual dengan membentuk zoospora, sedangkan secara seksual dengan anisogami. Chlorophyceae terdiri atas sel-sel kecil yang merupakan koloni berbentuk benang bercabang-cabang atau tidak, dan menyerupai kormus tumbuhan tingkat tinggi (Tjitrosoepomo, 1994). Menurut Romimohtarto dan Juwana (2009), alga hijau atau kelas Chlorophyceae terdapat berlimpah di perairan hangat (trofik) dan tercatat sedikitnya 12 genus alga hijau yang banyak diantaranya sering dijumpai di perairan pantai Indonesia diantaranya adalah:
6
a. Caulerpa yang dikenal beberapa penduduk pulau sebagai anggur laut yang terdiri dari 15 jenis dan lima varietas. b. Ulva mempunyai thallus berbentuk lembaran tipis seperti sla, oleh karenanya dinamakan sla laut. Ada tiga jenis yang tercatat, satu diantaranya, U. reticulata. Alga ini biasanya melekat dengan menggunakan alat pelekat berbentuk cakram pada batu atau pada substrat lain. c. Valonia (V. ventricosa) mempunyai thallus yang membentuk gelembung berisi cairan berwarna ungu atau hijau mengkilat, menempel pada karang atau karang mati. d. Dictyosphaera (D. caversona) dan jenis-jenis dari marga ini di Nusa Tenggara Barat dinamakan bulung dan dimanfatkan sebagai sayuran. e. Halimeda terdiri dari 18 jenis. Marga ini berkapur dan menjadi salah satu penyumbang endapan kapur di laut. H. tuna terdiri dari rantai bercabang dari potongan tipis berbentuk kipas. Alga ini terdapat di bawah air surut, pada pantai berbatu dan paparan terumbu, tetapi potongan-potongannya dapat tersapu ke bagian atas pantai setelah terjadi badai. f. Chaetomorpha
mempunyai thallus atau daunnya berbentuk benang yang
mengumpal. Jenis yang diketahui adalah C. crassa yang sering terjadi gulma bagi budidaya laut. g. Codium hidup menempel pada batu atau batu karang, tercatat ada enam jenis. h. Dari marga
Udotea
tercatat dua jenis dan banyak terdapat di perairan
Sulawesi, seperti di Kepulauan Spermonde dan Selat Makasar. Alga
ini
tumbuh di pasir dan terumbu karang. i. Tydemania (T. expeditionis) tumbuh di paparan terumbu karang yang dangkal dan di daerah tubir pada kedalaman 5 – 30 m di perairan jernih. j. Burnetella (B. nitida) menempel pada karang mati dan pecahan karang di paparan terumbu. k. Burgenesia (B. forbisii)
mempunyai thallus membentuk kantung silindris
berisi cairan warna hijau tua atau hijau kekuning-kuningan, menempel di batu karang atau pada tumbuh-tumbuhan lain. l. Neomeris (N. annulata), tumbuh menempel pada substrat pada karang mati di dasar laut. N. annulata hidup di daerah pasut di seluruh perairan Indonesia.
7
2.3. Phaeophyceae (Alga Coklat) Phaeophyceae
adalah
ganggang
yang
berwarna
coklat/pirang.
Dalam
kromatoforanya terkandung klorofil a, karotin dan xanthofil tetapi yang terutama adalah fikosantin yang menutupi warna lainnya dan menyebabkan ganggang itu kelihatan berwarna pirang. Sebagai hasil asimilasi dan sebagai zat makanan cadangan tidak pernah ditemukan zat tepung, tetapi sampai 50 % dari berat keringnya terdiri atas laminarin, sejenis karbohidrat yang menyerupai dekstrin dan lebih dekat dengan selulosa daripada zat tepung. Selain laminarin,
juga
ditemukan manit, minyak dan zat-zat lainnya. Dinding selnya sebelah dalam terdiri atas selulosa, yang sebelah luar dari pektin dan di bawah pektin terdapat algin. Sel-selnya hanya mempunyai satu inti. Perkembangbiakannya dapat berupa zoospora dan gamet. Kebanyakan phaeophyceae hidup dalam air laut dan hanya beberapa jenis saja yang dapat hidup di air tawar. Di laut dan samudera di daerah iklim sedang dan dingin, thallusnya dapat mencapai ukuran yang amat besar dan sangat berbeda-beda bentuknya (Tjitrosoepomo, 1994). Menurut Romimohtarto dan Juwana (2009), alga coklat berukuran besar, alga ini sangat berkembang di perairan yang sangat dingin karena alga ini adalah khas tumbuh-tumbuhan pantai berbatu. Terdapat beberapa kelompok alga coklat ini yang hidupnya bersifat epifit yakni menempel pada makroalga lainnya. Terdapat delapan marga alga coklat yang sering ditemukan di Indonesia. Berikut ini adalah marga-marga alga coklat adalah: a. Cystoseira sp. hidup menempel pada batu di daerah rataan terumbu dengan alat pelekatnya yang berbentuk cakram kecil. Alga ini mengelompok bersama dengan komunitas Sargassum dan Turbinaria. Alga ini mempunyai dua atau tiga sayap longitudinal dengan pinggiran bergerigi. Sayap ini mencapai lebih dari 0,5 cm lebarnya. Kantung udaranya terdapat di sepanjang thallus. b. Dictyopteris sp. hidup melekat pada batu di pinggiran luar rataan terumbu jarang dijumpai. Jenis alga ini banyak ditemukan di Selatan Jawa, Selat Sunda dan Bali. c. Dictyota (D. bartayresiana), tumbuh menempel pada batu dan karang mati di daerah rataan terumbu. Warnanya coklat tua dan mempunyai thallus bercabang yang terbagi dua. Thallus yang pipih, lebarnya 2 mm.
8
d. Hormophysa (H. triquesa), hidup menempel pada batu dengan alat pelekatnya berbentuk cakram kecil. Alga ini hidup bercampur dengan Sargassum dan Turbinaria dan hidup di rataan terumbu. e. Hydroclathrus (H. clatratus), tumbuh melekat pada batu atau pasir di daerah rataan terumbu dan tersebar agak luas di perairan Indonesia. f. Padina (P. australis), tumbuh menempel pada batu di daerah rataan terumbu, baik di tempat terbuka, di laut maupun di tempat terlindung. Alat pelekatnya yang melekat pada batu atau pada pasir, terdiri dari cakram pipih, biasanya terbagi menjadi cuping-cuping pipih 5 – 8 cm lebarnya. Tangkai yang pipih dan pendek menghubungkan alat pelekat ini dengan ujung meruncing dari selusin daun berbentuk kipas. Setiap daun mempunyai jari-jari 5 cm atau lebih. g. Sargassum terdapat teramat melimpah mulai dari air surut pada pasang-surut bulan setengah ke bawah. Alga ini hidup melekat pada batu atau bongkahan karang dan dapat terlepas dari substratnya selama ombak besar dan menghanyut ke permukaan laut atau terdampar di bagian atas pantai. Warnanya bermacam-macam dari coklat muda sampai coklat tua. Alat pelekatnnya terdiri dari cakram pipih. Di perairan Indonesia tercatat tujuh jenis, yakni: S. polycystum, S. plagiophyllum, S. duplicatum, S. crassifolium, S. binderi, S. echinocarpum, dan S. cinereum. h. Turbinaria terdiri dari tiga jenis yang tercatat, yakni T. conoides, T. decurrens, dan T. ornate. Alga ini mempunyai cabang-cabang silindris dengan diameter 2 – 3 mm dan mempunyai cabang lateral pendek dari 1 - 1,5 cm panjangnya. Alga ini terdapat di pantai berbatu dan paparan terumbu.
2.4. Ekologi Pesisir Pantai Kawasan pesisir pantai merupakan tempat peralihan antara daratan dan laut, kawasan pesisir pantai ini ditandai oleh kelandaian (gradient) perubahan ekologi yang tajam. Menurut Pariwono (1996 ), dalam Fachrul (2007), Kawasan ini juga berfungsi sebagai zona penyangga (buffer zone) bagi banyak hewan bermigrasi (ikan, udang, ataupun burung) untuk tempat mencari makan, berkembangbiak, dan membesarkan anaknya. Wilayah pesisir mencakup berbagai jenis habitat dan menjadi tempat berkumpulnya beranekaragam genetik dan spesies, menyimpan
9
dan mengedarkan nutrien, menyaring bahan pencemar dari daratan dan melindungi pantai dari erosi dan badai. Selain itu, wilayah pesisir menjadi daya tarik bagi manusia untuk menghuninya dan menggunakannya sebagai area rekreasi dan pariwisata (Tahir, 2012). Wilayah pesisir yang dimaksud di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang dan angin laut. Sebagai ekosistem yang unik wilayah pesisir merupakan wilayah yang mempunyai daya dukung yang tinggi, sehingga wilayah ini menjadi tempat terkonsentrasinya berbagai kegiatan manusia. Akibat aktivitas manusia yang tinggi dan akibat posisi geografisnya, maka wilayah pesisir rentan terhadap kerusakan lingkungan. Kerusakan wilayah pesisir akan berpengaruh besar pada wilayah lainya (Fachrul, 2007). Ekosistem pesisir menyediakan pilihan yang sangat beragam terhadap barang (komoditas) dan jasa, menjadi lokasi pelabuhan niaga, penghasil ikan, kerang-kerangan, krustase dan makroalga. Wilayah pesisir didefenisikan mencakup area pasang surut, berada tepat di atas atau pada paparan benua (continental shelf) hingga kedalaman 200 meter, yang selalu mendapat aliran air laut dan merupakan daerah setelah daratan ke arah laut (Tahir, 2012). Pada kawasan pesisir terdapat zona pantai yang merupakan daerah terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudera dunia, berupa pinggiran yang sempit. Wilayah ini disebut zona intertidal (Nybakken, 1992). Dalam wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem dan sumber daya. Kisaran tentang geografis intertidal seperti yang dikemukakan oleh Nybakken (1992) adalah: pantai berbatu, pantai berpasir dan pantai berlumpur.
2.4.1. Pantai berbatu Zona pesisir yang tersusun dari bahan keras, mengandung keragaman flora dan fauna serta organisma monoseluler lainnya. Zona ini bersifat khas dan kekhasannya tergantung pada geografis. Tumbuhan vertikal dan zona intertidal saling berkaitan bentuk dan sifatnya. Fenomena pesisir dan proses terjadinya zona ini dapat menjadi refleksi toleransi organisme terhadap peningkatan keterbukaan komponen abiotik seperti udara terbuka, suhu yang ekstrim dan kekeringan.
10
Selain itu terdapat faktor biologis yang dominan diantaranya persaingan dan pemangsa.
2.4.2. Pantai berpasir Zona ini bukan zona habitat tetapi tidak terpisahkan dari keseluruhan zona pesisir. Pantai pasir intertidal terdapat di seluruh zona pesisir seluruh dunia.
2.4.3. Pantai berlumpur Pantai berlumpur terbatas pada zona pesisir yang terlindung dari aktivitas gelombang laut. Pantai berlumpur adalah habitat bagi makrofauna yang secara dominan terdiri dari mollusca dan crustacea diantaranya adalah udang. Daerah ini sangat subur bagi tumbuhan pantai seperti pohon bakau (mangrove). Guguran daun dan ranting sebagai bahan organik mempersubur perairan pantai sehingga banyak dihuni hewan antara lain jenis ikan dan udang. Habitat ini rentan terhadap pencemaran yang di lakukan oleh aktivitas manusia di daratan yang membuang limbah ke sungai diteruskan ke pantai dan secara signifikan mencemari perairan laut pada kawasan pesisir.
2.5. Pencemaran Pesisir Perairan pesisir adalah zona daratan yang paling akhir dan zona lautan paling awal (transisi). Seperti sebuah keranjang sampah, setiap limbah yang diangkut oleh sungai dari daratan dimuntahkan di kawasan ini. Pencemaran pesisir mempunyai dampak negatif bagi kehidupan biota, sumber daya dan kenyamanan (amanities) ekosistem laut serta kesehatan manusia (Nontji, 1993). Estetika dan kualitas biotik pasti menurun dan terancam sebagai akibat pencemaran dan aktivitas (ekploitasi) yang tidak terkontrol. Kerugian besar sesungguhnya mengancam kehidupan manusia jika kelestarian dan keseimbangan dalam keseluruhan zona diabaikan. Bentuk dampak dari pencemaran adalah berupa sedimentasi, eutrofikasi, anoxia (kekurangan oksigen), masalah kesehatan umum, kontaminasi elemen berbahaya dalam rantai makanan, keberadaan spesies asing, dan kerusakan fisik habitat (Dahuri, et al., 2004).
11
Menurut UNEP (1990) dalam Dahuri, et al., (2004), sebagian besar (± 80%) pencemaran darat oleh aktivitas manusia berpengaruh besar terhadap pencemaran di pesisir dan lautan. Limbah dan pencemaran oleh aktivitas penduduk dan limbah rumah tangga yang terdistribusi secara sembarangan ternyata mengandung mikroorganisme, diantaranya bakteri, virus, fungi dan protozoa yang bersifat patogen. Mikroorganisme patogen ini menyebar dengan cepat dapat bertahan pada perubahan faktor kimia dan fisik yang ekstrim. Menurut Eisherth (1990), mengelompokkan empat kategori limbah yang dapat mencemari wilayah pesisir, yaitu: (1) pencemaran limbah industri, (2) limbah sampah domestik (swage pollution) yang umumnya mengandung bahan organik, (3) pencemaran sedimentasi (sedimentation pollution) akibat erosi di daerah hulu sungai, (4) pencemaran oleh aktivitas pertanian yakni oleh penggunaan pestisida.
2.6. Faktor Fisik dan Kimia Perairan Pengaruh faktor-faktor lingkungan tersebut baik secara tersendiri maupun berkombinasi terhadap vegetasi tumbuhan alga makro akan tercermin dari kondisi keanekaragaman dan kelimpahan jenis, produktivitas dan reproduksitivitas pertumbuhannya. Faktor-faktor pencahayaan (kecerahan) , suhu, substrat (kondisi dasar perairan), arus (gerakan air), salinitas dan pencemaran merupakan faktor penting dalam penentuan diversitas dan kualitas pertumbuhan alga makro (Atmadja, 1999). Pada suatu perairan hidup bermacam-macam organisme, dari yang berukuran kecil sampai besar. Kehidupan organisme air sangat tergantung pada faktor fisik dan kimia air. Faktor fisik dan kimia air yang sangat berpengaruh terhadap organisme air berbeda dengan faktor iklim dan faktor fisik-kimia tanah. Perubahan faktor fisik-kimia air dapat menyebabkan kematian bagi organisme air. Perubahan yang terjadi dapat disebabkan karena limbah pabrik dan industri di sekitar perairan yang mempengaruhi faktor fisik dan kimia (Suin, 2002).
12
2.6.1. Suhu Menurut Nybakken (1988), suhu adalah ukuran energi gerakan molekul. Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Tetapi ada juga organisme yang mampu mentolerir suhu sedikit di atas dan sedikit di bawah batas-batas tersebut, misalnya ganggang hijau-biru. Menurut Brehm dan Meijering (1990) dalam Barus (2004) menyatakan bahwa suhu perairan dipengaruhi oleh aktivitas manusia seperti pembuangan limbah panas yang berasal dari mesin suatu pabrik yang menyebabkan hilangnya perlindungan, sehingga badan air langsung terkena cahaya matahari secara langsung. Direktorat Jendaral Perikanan Budidaya (2009) mengatakan bahwa suhu yang baik untuk pertumbuhan alga berkisar 20 - 300 C. Semakin naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Hal ini dapat menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan respirasi (Barus, 2004).
2.6.2. Salinitas Salinitas pada berbagai tempat di lautan terbuka yang jauh dari daerah pantai variasinya sempit saja, biasanya antara 34-37 o/oo, dengan rata-rata 35 o/oo. Perbedaan salinitas terjadi karena perbedaan dalam penguapan dan presipitasi. Salinitas lautan di daerah tropik lebih tinggi karena evaporasi lebih tinggi, sedangkan pada lautan di daerah beriklim sedang salinitasnya rendah karena evaporasi lebih rendah (Nybakken, 1988). Halimeda macroloba adalah salah satu jenis alga yang bersifat stenohaline. Ia tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi. Salinitas yang baik terhadap kehidupan makroalga berkisar antara 28-35 ppt (Direktorat Jendaral Perikanan Budidaya, 2009). Salinitas juga mempengaruhi penyebaran makroalga di lautan. Makroalga yang mempunyai toleransi yang besar terhadap salinitas (eurihalin) akan tersebar lebih luas dibandingkan dengan alga makro yang mempunyai toleransi yang kecil terhadap salinitas (stenohalin) (Alam, 2011).
13
2.6.3. Intensitas Cahaya Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air maka intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Barus, 2004). Mutu dan kuantitas cahaya dapat berpengaruh terhadap produksi spora dan pertumbuhannya. Spora gelidium dapat dirangsang oleh cahaya hijau, sedangkan cahaya biru menghambat pembentukan zoospora, misalnya pada protosiphon. Pembentukan zoospora dan pembelahan sel dapat terangsang oleh cahaya merah berintensitas tinggi. Intensitas cahaya tinggi misalnya merangsang persporaan Eucheuma. Kebutuhan cahaya pada alga merah agak rendah dibanding alga coklat. Persporaan Gracilaria verrucosa misalnya berkembang biak pada intensitas cahaya 400 lux, sedangkan Ectocarpus tumbuh cepat pada intensitas cahaya antara 6500-7500 lux (Aslan, 1991).
2.6.4. Penetrasi Cahaya Penetrasi cahaya yang terbentuk akan berbeda pada sistem ekosistem air berbeda. Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air, cahaya matahari mencapai nilai minimum menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan (Barus, 2004). Penetrasi cahaya matahari yang terbatas akan membatasi kemampuan makro alga
dalam
melakukan
fotosintesis.
Kecerahan
mempengaruhi
tingkat
produktifitas perairan, semakin rendah tingkat kecerahan semakin kecil proses fotosintesis yang terjadi pada organisme produsen. Kehadiran dan kelimpahan alga akan berkurang pada tempat-tempat yang lebih dalam dibandingkan dengan daerah yang lebih dangkal. Kehadiran dan kelimpahan alga makro di daerah terumbu karang, tampaknya berkurang pada tempat-tempat yang lebih banyak cahaya menembus dan memperlancar proses fotosintesis yang mengakibatkan akan bertambah baik dan berlimpahnya alga yang tumbuh di tempat tersebut (Atmadja, 1999).
14
2.6.5. Derajat Keasaman (pH) Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hydrogen dalam suatu larutan. Kemampuan air untuk mengikat dan melepaskan sejumlah ion hydrogen akan menunjukkan apakah larutan bersifat asam atau basa (Wibisono, 2005). Derajat keasaman perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan makroalga. Nilai pH sangat menentukan molekul karbon yang dapat digunakan makro alga untuk fotosintesis. pH yang baik untuk pertumbuhan alga hijau dan alga coklat berkisar antara 6 hingga 9. Beberapa jenis alga toleran terhadap kondisi pH yang demikian (Bold et al., 1985).
2.6.6. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen/DO) Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam ekosistem akuatik, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme (Suin, 2002). Umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas. Dibandingkan dengan kadar oksigen di udara yang sangat mempunyai konsentrasi sebanyak 21% volume air hanya mampu menyerap oksigen sebanyak 1% volum saja. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara, dan dari proses fotosintesis. Nilai oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman yang dipengaruhi oleh temperatur dan juga aktivitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen (Barus, 2004).
2.6.7. BOD5 (Biologycal Oxygen Demand) Nilai BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut dalam air, maka dapat dikatakan bahwa kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi (Kristanto, 2002 ). Bahan-bahan buangan yang memerlukan oksigen terutama terdiri dari bahan-bahan organik seperti limbah rumah tangga yang dapat diuraikan secara biologis dan mungkin beberapa bahan anorganik. Polutan semacam ini berasal
15
dari berbagai sumber seperti kotoran hewan maupun manusia, tanaman-tanaman mati atau sampah organik, bahan-bahan buangan industri dan sebagainya (Agusnar, 2007).
2.7. Substrat Perairan yang mempunyai dasar pecahan-pecahan karang dan pasir kasar, dipandang baik untuk kehidupan alga makro. Kondisi dasar perairan yang demikian merupakan petunjuk adanya gerakan air yang baik. Jenis substrat dapat dijadikan sebagai indikator gerakan air laut. Dasar perairan yang terdiri dari karang yang keras menunjukkan dasar itu dipengaruhi oleh gerakan air yang besar sebaliknya bila substratnya lumpur menunjukkan gerakan air yang kurang (Direktorat Jendaral Perikanan Budidaya, 2009).
2.8. Pencemaran Pencemaran wilayah pesisir mempunyai dampak negatif bagi kehidupan biota, sumber daya dan kenyamanan ekosistem laut serta kesehatan manusia (Nontji, 1993). Perairan yang telah tercemar oleh limbah rumah tangga , industri, maupun limbah kapal laut dapat menghambat pertumbuhan makro alga (Direktorat Jendaral Perikanan Budidaya, 2009).
2.9. Kandungan Dan Manfaat Alga Hijau dan Alga Coklat Dalam Kehidupan Chlorophyta (alga hijau) dan Phaeophyta (alga coklat) telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan makanan dan obat. Sebagai bahan makanan, alga ini dapat dikonsumsi dalam bentuk lalapan (dimakan mentah), dibuat acar dengan bumbu cuka. Sebagai sumber gizi alga hijau dan alga coklat memiliki kandungan karbohidrat (gula atau vegetable-gum), protein, sedikit lemak, dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam natrium dan kalium. Selain itu, makroalga mengandung vitamin-vitamin, seperti vitamin A, B1, B2, B6, B12, dan C; betakaroten, serta mineral, seperti kalium, kalsium, fosfor, natrium, zat besi, dan yodium. Beberapa diantaranya mengandung lebih banyak vitamin dan mineral penting dibandingkan sayuran dan buah-buahan (Anggadiredja et al., 2009).