ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 LANDASAN TEORI 2.1.1. Pengalaman Auditor Pengalaman merupakan suatu tindakan pembelajaran dari peristiwa masa lalu agar di masa yang akan datang tidak melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pengalaman sebagai sesuatu yang pernah dijalani, dirasakan, ditanggung. Pengalaman dapat diartikan juga sebagai memori episodik, yaitu memori yang menerima dan menyimpan peristiwa-peristiwa yang terjadi atau dialami individu pada waktu dan tempat tertentu, yang berfungsi sebagai referensi otobiografi (Syah, 2003). Auditor dalam menjalankan tugasnya dituntut selalu menjaga integritas dan meningkatkan kompetensi untuk menghasilkan kualitas audit yang baik. Pengalaman dapat digunakan oleh auditor sebagai sarana pembelajaran untuk meningkatkan kompetensinya selain dengan pelatihan maupun kursus yang telah tersedia. Pengalaman terjun ke pengerjaan lapangan sangat penting bagi auditor terlebih dalam mendeteksi adanya kecurangan (fraud). Dengan menghadapi klien-klien yang memiliki berbagai karakteristik berbeda, auditor dapat membaca adanya indikasi tindakan kecurangan. 11 SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
12
Abdolmohammadi dan Wright (1987), Tubbs (1992), Suartana dan Kartana (2009) menyatakan bahwa auditor yang mempunyai lebih banyak pengalaman akan mempunyai pertimbangan yang lebih baik dalam mengumpulkan bukti-bukti untuk mendeteksi terjadinya tindak kecurangan akuntansi Gusnardi (2003:8) mengemukakan bahwa pengalaman audit (audit experience) dapat diukur dari jenjang jabatan dalam struktur tempat auditor bekerja, tahun pengalaman, gabungan antara jenjang jabatan dan tahun pengalaman, keahlian yang dimiliki auditor yang berhubungan dengan audit, serta pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti oleh auditor tentang audit. Masalah penting yang berhubungan dengan pengalaman auditor akan berkaitan dengan tingkat ketelitian auditor. Shelton (1999) menyatakan bahwa pengalaman akan mengurangi pengaruh informasi yang tidak relevan dalam pertimbangan (judgment) auditor. Auditor yang berpengalaman (partner dan manajer) dalam membuat pertimbangan (judgment) mengenai going concern tidak dipengaruhi oleh kehadiran informasi yang tidak relevan. Sedangkan auditor yang kurang pengalamannya dalam membuat pertimbangan (judgment) mengenai going concern dipengaruhi oleh kehadiran informasi yang tidak relevan Pengalaman membentuk seorang akuntan publik menjadi terbiasa dengan situasi dan keadaan dalam setiap penugasan. Pengalaman yang dimaksud disini adalah pengalaman auditor dalam melakukan audit laporan
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
13
keuangan baik dari segi lamanya waktu maupun banyaknya penugasan yang pernah ditangani. Libby and Frederick (1990) dalam Suraida (2005) menemukan bahwa semakin banyak pengalaman auditor semakin dapat menghasilkan berbagai macam dugaan dalam menjelaskan temuan audit. Jeffrey (1996) dalam Suraida (2005) memperlihatkan bahwa seseorang yang lebih banyak pengalaman dalam suatu bidang substantif memiliki lebih banyak hal yang tersimpan dalam ingatannya dan dapat mengembangkan suatu pemahaman yang baik mengenai peristiwa – peristiwa. Butt (1988) dalam Suraida (2005) mengungkapkan bahwa akuntan pemeriksa yang berpengalaman akan membuat judgement yang relatif baik dalam tugas – tugas profesional ketimbang akuntan pemeriksa yang belum berpengalaman. Marchant G A (1989) dalam Suraida (2005) menemukan bahwa akuntan pemeriksa yang berpengalaman mampu mengidentifikasi secara lebih baik mengenai kesalahan – kesalahan dalam telaah analitik. Davis (1996) dalam Suraida (2005) menyatakan bahwa akuntan pemeriksa yang berpengalaman juga memperlihatkan tingkat perhatian selektif yang lebih tinggi terhadap informasi yang relevan . Tubbs (1992) dalam Suraida (2005) menemukan
dalam
penelitiannya
bahwa
akuntan
pemeriksa
yang
berpengalaman menjadi sadar mengenai kekeliruan–kekeliruan yang tidak lazim.
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
14
Abdolmohammadi
dan
Wright
(1987)
menemukan
bahwa
pertimbangan auditor yang tidak berpengalaman mempunyai tingkat kesalahan yang lebih besar dibandingkan auditor berpengalaman. Tubbs (1992) menunjukkan bahwa ketika auditor menjadi lebih berpengalaman, maka auditor menjadi sadar terhadap kekeliruan, memiliki salah pengertian yang lebih sedikit tentang kekeliruan dan auditor menjadi sadar mengenai kekeliruan yang tidak lazim. Suartana dan Kartana (2009) menyatakan bahwa auditor yang berpengalaman juga memperlihatkan tingkat selektif
yang lebih tinggi
terhadap bukti yang relevan.
2.1.2. Skeptisisme Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) mendefinisikan skeptisme sebagai aliran atau paham yang memandang sesuatu selalu tidak pasti (meragukan/mencurigakan).
Dalam
SAS
No.99
AICPA
menekankan
skeptisisme dan tanggung jawab auditor untuk mempertimbangkan secara eksplisit kemungkinan terjadinya kecurangan dalam setiap pekerjaan auditnya. SPAP (2010) menyatakan bahwa skeptisisme professional auditor sebagai suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Literatur psikologi menyatakan bahwa skeptisisme mempengaruhi pengevaluasian bukti. Kruglanski (1990) menyatakan teori lay epistemic yang
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
15
menyatakan bahwa pengevaluasian bukti yang lebih kritis akan mencegah penerimaan informasi yang tidak valid. Sehingga individu yang mempunyai skeptisisme tinggi akan dapat melihat sebuah fenomena terjadinya kecurangan dengan lebih kritis dibandingkan dengan individu yang mempunyai skeptisisme rendah. Shaub dan Lawrence (1996) dalam Charron dkk. (2008) menunjukkan adanya faktor-faktor yang menjadi indikator terjadinya kecurangan ditemukan dalam seiring bertambahnya skeptisisme para auditor. Nelson (2007) merangkum definisi skeptisisme profesional yang ada pada literatur audit, yaitu pertimbangan dan keputusan auditor yang merefleksikan sebuah penilaian yang berkualitas tinggi tentang risiko ketidakbenaran asersi, kondisional pada informasi yang diperoleh auditor. Para peneliti menemukan bahwa auditorauditor yang meningkatkan skeptisisme profesionalnya akan meningkatkan jam pengauditannya dan menunjukkan kualitas audit yang lebih baik Salah satu penyebab dari suatu kegagalan audit adalah rendahnya skeptisisme professional, sehingga akan mengurangi kepekaan auditor terhadap kecurangan baik yang nyata maupun yang berupa potensi, atau terhadap tanda-tanda bahaya (red flags) yang akan mengindikasikan adanya kesalahan maupun kecurangan.
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
16
Walaupun banyak diperhatikan dalam profesi akuntansi, tetapi belum ada cara yang universal untuk mengukur konstruk dari skeptisisme auditor tersebut. Dalam penelitian ini menggunakan skala skeptisisme yang digunakan oleh Hurtt (2010) untuk mengukur tingkat skeptisisme yang menghasilkan sebuah pengukuran konstruk yang komprehensif. Skala tersebut diturunkan dari filsafat seperti pada riset akuntansi dan disiplin ilmu lainnya. Skala yang dikembangkan Hurtt (2010) tersebut berdasar pada karakteristik dan perilakuperilaku yang berhubungan dengan skeptisisme. Hal tersebut menggambarkan bahwa skeptisisme professional merupakan sebuah konstruk multidimensi yang terdiri dari enam karakteristik individu yang melekat pada tiga kategori umum yaitu pengujian fakta, pemahaman perolehan fakta, dan tindakan terhadap fakta. Enam karakteristik tersebut yaitu : a. Pikiran yang selalu bertanya (Questioning Mind) Indikatornya yaitu menolak statement tanpa disertai bukti, dan sering bertanya. b. Suspensi pada penilaian (Suspension on judgement) Indikatornya
yaitu
membutuhkan
informasi
lebih,
membutuhkan waktu untuk membuat keputusan, dan membuat keputusan jika telah mendapat informasi. c. Pencarian pengetahuan (Search for knowledge)
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
17
Indikatornya yaitu menemukan informasi baru, mempelajari hal baru adalah menyenangkan, membuktikan sesuatu adalah hal yang menyenangkan. d. Pemahaman interpersonal (Interpersonal Understanding) Indikatornya yaitu memahami alasan mengapa seseorang berperilaku, memahami perilaku orang lain. e. Percaya diri (Self Confidence) Indikatornya yaitu percaya akan diri sendiri, percaya kepada kemampuan sendiri. f. Penentuan sendiri (Self determination) Indikatornya yaitu mempertimbangkan penjelasan orang lain, memecahkan informasi yang tidak konsisten, tidak langsung menerima alasan orang lain, tidak mudah dipengaruhi orang lain. 2.1.3. Kecurangan (Fraud) Kecurangan (fraud) dapat dikatakan sebagai tindakan penipuan yang disengaja, kebohongan, penjiplakan, atau pencurian. G.Jack Bologna, Robert J.Lindquist dan Joseph T.Well (1993:3) menjelaskan definisi dari kecurangan yaitu “Fraud is criminal deception intended to financially benefit the deceiver” yaitu kecurangan adalah penipuan kriminal yang bermaksud untuk memberi manfaat keuangan kepada si penipu. Kriminal disini berarti setiap tindakan kesalahan serius yang dilakukan dengan maksud jahat. Dan dari tindakan jahat
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
18
tersebut ia memperoleh manfaat dan merugikan korbannya secara financial. Biasanya kecurangan mencakup tiga langkah yaitu tindakan (the act), penyembunyian (the concealment) dan konversi (the conversion). Misalnya pencurian atas harta persediaan adalah tindakan, kemudian pelaku akan menyembunyikan kecurangan tersebut misalnya dengan membuat bukti transaksi pengeluaran fiktif. Selanjutnya setelah perbuatan pencurian dan penyembunyian dilakukan, pelaku akan melakukan konversi dengan cara memakai sendiri atau menjual persediaan tersebut. Menurut Black Law Dictionary definisi kecurangan (fraud) adalah “a knowing misrepresentation of the truth or concealment of a material fact to induce another to act to his or her detriment, is usual a tort, but some in cases (esp when the conduct is willful) it may be a crime”. Definisi tersebut dapat diartikan bahwa kecurangan adalah sesuatu yang secara sadar atau sengaja atas kekeliruan dari sebuah kebenaran atau penyembunyian fakta yang material untuk mempengaruhi orang lain untuk berbuat hal yang merugikan, biasanya merupakan kesalahan, namun dalam kasus tertentu (khususnya dilakukan secara sengaja) mungkin suatu kejahatan. Fraud dapat dibagi menjadi tiga kategori (ACFE, 2009), yaitu : 1.Asset misappropriation, merupakan penyalahgunaan yang mencakup pencurian atau penyelewengan asset perusahaan. Salah satu contoh penyalahgunaan asset yaitu pencurian persediaan atau kas
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
19
2.Fraudulent Financial Statement, secara umum mencakup manipulasi laporan keuangan perusahaan atau dokumen keuangan lainnya. Kecurangan dalam pelaporan keuangan ini merupakan kecurangan yang paling merugikan dilihat dari sisi finansial. ACFE melakukan studi yang menyebutkan bahwa telah terjadi kerugian sebesar 2 juta USD yang disebabkan oleh kecurangan dalam laporan keuangan di sepanjang tahun 2008. 3.Corruption, merupakan kecurangan yang paling sering terjadi. ACFE mencatat corruption terjadi sekitar 27% dalam semua kasus fraud. Tindak korupsi termasuk penggunaan suap, penyalahgunaan informasi rahasia, serta kolusi tender. Penyebab/faktor pemicu fraud dibedakan atas 3 (tiga) hal (Efendi, 2006), yaitu: 1.Tekanan (Unshareable pressure/incentive) yang merupakan motivasi seseorang untuk melakukan fraud. Motivasi melakukan fraud, antara lain motivasi ekonomi, alasan emosional (iri/cemburu, balas dendam, kekuasaan, gengsi) dan nilai (values). 2.Adanya kesempatan/peluang (Perceived Opportunity) yaitu kondisi atau situasi yang memungkinkan seseorang melakukan atau menutupi tindakan tidak jujur.
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
20
3.Rasionalisasi (Rationalization) atau sikap (Attitude), yang paling banyak digunakan adalah hanya meminjam (borrowing) asset yang dicuri. 2.1.4.1 Fraudulent Financial Reporting Fraudulent financial reporting (Efendi, 2006) adalah perilaku yang disengaja atau ceroboh,baik dengan tindakan atau penghapusan, yang menghasilkan laporan keuangan yang menyesatkan (bias).
Fraudulent
financial reporting yang terjadi disuatu perusahaan memerlukan perhatian khusus dari auditor independen. Arens (2005: 310) dalam bukunya yang berjudul “Auditing & Assurance Services: An Integrated Approach” edisi ke-10 pada bab 11 tentang fraud auditing, antara lain menyebutkan: Fraudulent financial reporting is an intentional misstatement or omission of amounts or disclosure with the intent to deceive users. Most cases of fraudulent financial reporting involve the intentional misstatement of amounts not disclosures. For example, worldcom is reported to have capitalized as fixed asset, billions dollars that should have been expensed. Omission of amounts are less common, but a company can overstate income by omittingaccount payable and other liabilities. Although less frequent, several notable cases of fraudulent financial reporting involved adequate disclosure. For example, a central issue in the enron case was whether the company had adequately disclosed obligations to affiliates known as special purpose entities. Penyebab fraudulent financial reporting umumnya 3 (tiga) hal sebagai berikut:
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
21
1.Manipulasi, falsifikasi, alterasi atas catatan akuntansi dan dokumen pendukung atas laporan keuangan yang disajikan. 2.Salah penyajian (misrepresentation) atau kesalahan informasi yang signifikan dalam laporan keuangan. 3.Salah penerapan (misapplication) dari prinsip akuntansi yang berhubungan dengan jumlah, klasifikasi, penyajian (presentation) dan pengungkapan (disclosure). Fraudulent financial reporting juga dapat disebabkan adanya kolusi antara manajemen dengan auditor independen. Salah satu upaya untuk mencegah adanya kolusi tersbut, maka perlu dilakukan rotasi auditor independen dalam melakukan audit suatu perusahaan. Berkaitan dengan hal ini Carcello (2004) dalam artikelnya yang berjudul
”Audit firm tenure and
fraudulent financial reporting ”, menyatakan: The Sarbanes-Oxley Act (U.S. House of Representatives 2002) required the U.S. Comptroller General to study the potential effects of requiring mandatory audit firm rotation. The U.S. General Accounting Office (GAO) concludes in its recently released study of mandatory audit firm rotation that "mandatory audit firm rotation may not be the most efficient way to strengthen auditor independence" (GAO 2003, Highlights). However, the GAO also suggests that mandatory audit firm rotation could be necessary if the Sarbanes-Oxley Act's requirements do not lead to improved audit quality (GAO 2003, 5). Berdasarkan penelitian COSO (1999) yang berjudul “Fraudulent Financial Reporting: 1987 – 1997, An Analysis of U.S. Public Company”, bahwa dari hasil analisa perusahaan yang listing di Securities Exchange Commission (SEC) selama periode Januari 1987 sampai dengan Desember
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
22
1997 (11 tahun) dapat disimpulkan: Teridentifikasi sejumlah 300 perusahaan yang terdapat fraudulent financial reporting yang memiliki karakteristik yaitu memiliki permasalahan bidang keuangan (experiencing financial distress), lax oversight dan terdapat fraud dengan jumah uang yang besar (Ongoing, largedollar frauds). Contoh kasus Fraudulent Financial Reporting antara lain Enron, Tyco, Adelphia dan WorldCom. SAS No. 99 tahun 2002 mengenai:
consideration of fraud in a
financial statement menggariskan empat prosedur pokok dalam pendeteksian fraud: 1.Increasing Profesional Skepticism: SAS No. 99 mengharuskan para auditor untuk mengedepankan skeptisme profesional dan tidak begitu saja
mengasumsikan
kejujuran
manajemen
klien.
Sebelum
kesimpulan mengenai integritas manajemen dirumuskan, anggota tim audit bertukar pikiran dan mendiskusikan celah-celah dalam laporan keuangan yang memungkinkan terjadinya
fraud. Diskusi ini
ditujukan untuk mengidentifikasi risiko fraud dan dilakukan dengan mempertimbangkan karateristik yang memungkinkan terjadinya fraud, yaitu adanya insentif, kesempatan, dan kemampuan untuk menutupi fraud tersebut. Demikian pula sepanjang penugasan audit, tim audit harus memikirkan dan mengeksplorasi pertanyaan, “jika seseorang ingin melakukan kecurangan, bagaimana kecurangan itu akan dirancang?”. Dari diskusi-diskusi ini, tim audit akan memiliki
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
23
perspektif yang lebih baik dalam mendesai test audit yang lebih responsif terhadap risiko fraud. 2.Discussing fraud risks with management and other in an organization: diskusi dilakukan dengan manajemen serta pihak didalam maupun diluar perusahaan klien untuk mengidentifikasi risiko-risiko fraud dan apakah mereka mengetahui keberadaan fraud dalam organisasi. Kesempatan diskusi ini akan memberikan peluang bagi para whistle blowers untuk mengungkapkan fraud yang mereka ketahui serta menekan dorongan untuk melakukan fraud karena adanya mekanisme pengawasan oleh rekan kerja melalui whistle blowers tersebut. Prosedur pendahuluan ini kemudian dapat diikuti langkah-langkah selanjutnya seperti memeriksa jurnal untuk mendapatkan bukti adanya salah saji yang material, mereview estimasi akuntansi untuk mendeteksi bias dan mengevaluasi rasionalitas bisnis untuk transaksi-transaksi yang tidak biasa. 3.Performing unpredictble audit test: mengharuskan tim audit untuk merancang pengujian terhadap area, lokasi, dan perkiraan-perkiraan maupun pencatatan akuntansi yang biasanya tidak diperiksa dengan desain tes audit yang tidak dapat diduga atau diprediksi klien. 4.Responding to management override of controls: karena fraud terhadap laporan keuangan biasanya dilakukan pihak manajemen dengan mengesampingkan internal kontrol perusahaan, maka dalam
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
24
SAS No. 99 terdapat prosedur untuk menguji keberadaan management override of control dalam setiap audit. 2.1.4.2 Red Flags Romney dan Albrecht (1980) mendefinisikan red flags yaitu merupakan tanda bahaya yang mengindikasikan terjadinya kecurangan pada sebuah lingkungan.
Red
flags merupakan kumpulan tanda-tanda bahaya yang
memberikan peringatan bagi auditor bahwa ada kemungkinan terjadinya kecurangan dalam perusahaan. Auditor dalam menjalankan tugasnya hendaknya menjadi lebih waspada ketika melihat tanda bahaya ini. Red flags ini disusun untuk membantu tugas auditor dalam mengidentifikasi terjadinya kecurangan dalam perusahaan, sehingga auditor dapat menentukan tingkat risiko kecurangan dalam melaksanakan tugas pengauditan. SAS No.99 paragraf 31 menyatakan bahwa indikator-indikator risiko kecurangan tidak selalu menunjukkan adanya kecurangan, namun sering muncul dalam situasi dimana fraud memang terjadi. Dengan demikian, red flags dapat membuat auditor lebih menyadari kemungkinan adanya fraud. Burns (1997) menyatakan bahwa semakin banyak red flags yang muncul dalam suatu bisnis, semakin besar kemungkinan terjadinya kecurangan (fraud). NACD Blue Ribbon Commission on Audit Committee Report, AICPA (2002) melaporkan bahwa ada kemungkinan 16 red flags yang muncul sebelum runtuhnya Enron. Keterseidaan red flags memberikan peringatan kepada
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
25
auditor terhadap kemungkinan terjadinya fraud. Risiko tidak terdeteksinya suatu kecurangan (fraud) akan menurun jika auditor dapat memahami red flags dan mengaplikasikan skeptisisme professional auditor. Pemahaman auditor terhadap faktor risiko kecurangan juga dapat membantu auditor dalam efisiensi waktu dan biaya dalam penugasan audit. Tanda-tanda kecurangan (red flags) yang berkaitan dengan salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan tertuang dalam SPAP SA Seksi 316 (PSA No. 70) yang digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Karakteristik dan pengaruh manajemen atas lingkungan pengendalian. Faktor risiko ini berkaitan dengan kemampuan, tekanan, gaya, dan sikap manajemen atas pengendalian intern dan proses pelaporan keuangan.
2. Kondisi industri. Faktor risiko ini mencakup lingkungan ekonomi dan peraturan dalam industri yang menjadi tempat beroperasinya entitas
3. Karakteristik operasi dan stabilitas keuangan. Faktor risiko ini berkaitan dengan sifat dan kekompleksan entitas dan transaksinya, keadaan keuangan entitas, dan kemampuan entitas dalam menghasilkan laba.
2.2 Penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian mengenai pengaruh pengalaman, tipe kantor akuntan, dan skeptisisme terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan. Penelitian sebelumnya antara lain Hegazy dan Kassem (2010), Smith, Omar, Idris, dan Baharuddin (2005), Hariyanto, Sudibyo, dan Bawono (2011).
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
26
2.2.1 Hegazy dan Kassem (2010) Penelitian yang pertama dilakukan oleh Hegazy dan Kassem (2010) dengan judul Fraudulent Financial Reporting : Do Red Flags Really Help?. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pengalaman auditor dan tipe kantor akuntan publik, variabel dependen dalam penelitian ini adalah red flags. Persamaan penelitian Hegazy dan Kassem (2010) dengan penelitian ini adalah penggunaan variabel independen yaitu pengalaman auditor. Perbedaan penelitian ini adalah terdapat variable independen yaitu skeptisisme. Kemudian pada populasi penelitian yaitu auditor eksternal yang bekerja di Mesir sedangkan penelitian ini menggunakan auditor eksternal yang berkerja di Surabaya. Adapun hasil penelitian ini adalah red flags sangat membantu dalam mendeteksi kecurangan. Tidak ada pengaruh signifikan dari pengalaman auditor dan tipe kantor akuntan publik terhadap persepsi tentang red flags untuk mendeteksi kecurangan. 2.2.2 Smith, Omar, Idris, dan Baharuddin (2005) Penelitian yang kedua dilakukan oleh Smith, Omar, Idris, dan Baharuddin (2005) dengan judul Auditor’s Perception of Fraud Risk Indicators : Malaysian Evidence. Variabel independen dalam penelitian ini adalah gender, pengalaman auditor dan tipe kantor akuntan publik, variabel dependen dalam penelitian ini adalah red flags. Persamaan penelitian Smith, Omar, Idris, dan
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
27
Baharuddin (2005) dengan penelitian ini adalah penggunaan variabel independen yaitu pengalaman auditor. Perbedaan penelitian ini adalah menggunakan variabel independen skeptisisme dan tidak menggunakan variable independen gender dan pada populasi penelitian yaitu auditor eksternal yang bekerja di Malaysia sedangkan penelitian ini menggunakan auditor eksternal yang berkerja di Surabaya. Adapun hasil penelitian ini adalah tidak ditemuinya pengaruh dari gender, pengalaman, maupun tipe kantor akuntan terhadap persepsi tentang pentingnya red flags dalam mendeteksi kecurangan 2.2.3 Hariyanto, Sudibyo, dan Bawono (2011) Penelitian yang dilakukan oleh Hariyanto, Sudibyo, dan Bawono (2011) dengan judul Pengaruh Pengalaman dan Skeptisisme terhadap pemahaman Auditor tentang Red Flags. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pengalaman auditor dan skeptisisme, variabel dependen dalam penelitian ini adalah red flags. Persamaan penelitian Hariyanto, Sudibyo, dan Bawono (2011) dengan penelitian ini adalah penggunaan variabel independen yaitu pengalaman auditor dan skeptisisme. Perbedaan penelitian ini adalah populasi penelitian yaitu auditor eksternal yang bekerja di Jawa Tengah dan Yogyakarta sedangkan penelitian ini menggunakan auditor eksternal yang berkerja di Surabaya. Adapun hasil penelitian ini adalah skeptisisme berpengaruh positif terhadap persepsi tentang keefektifan red flags. Sedangkan pengalaman belum terdukung secara statistik.
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
28
2.3 Hipotesis Hipotesis merupakan proposisi yang dirumuskan dengan maksud untuk diuji secara empiris (Copper dan Emory, 1997). Dalam penelitian ini terdapat hipotesis yang dibuat untuk diuji kebenarannya. Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah : H1 :Pengalaman berpengaruh terhadap red flags dalam mendeteksi kecurangan. H2 :Skeptisisme secara parsial berpengaruh terhadap red flags dalam mendeteksi kecurangan.
2.4 Kerangka Konseptual Kerangka konseptual dalam penelitian ini menjelaskan hubungan antar variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pengalaman dan skeptisisme terhadap red flags. Kerangka koneptual dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1.
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
29
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Pengalaman (X1)
Red Flags (Y)
Skeptisisme (X2)
SKRIPSI
PENGARUH PENGALAMANARDIYAN ... EKA PUTRA SURYANSYAH