BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Pola asuh 2.1.1 Definisi pola asuh Dalam keluarga terdapat pola pengasuhan anak, Wahyuning,et al.( (2005) mendefinisikan pola asuh sebagai cara atau perlakuan orang tua yang diterapkan kepada anak. Pola asuh menentukan bagaimana cara orang tua merespon kebutuhan dan keinginan anak, cara mereka mengatur anak dan akibat yang ditimbulkan bagi perkembangan anak selanjutnya (dalam Ijaz & Mahmood, 2009). Gunarsa (2002) menyatakan bahwa pola asuh orang tua adalah suatu interaksi antara orang tua dengan anak selama orang tua menerapkan pengasuhan, dalam hal ini orang tua mendidik, membimbing dan melindungi anak. Suami dan istri mungkin saja membawa pandangan yang berbeda mengenai pengasuhan ke dalam pernikahan (Santrock, 2007). Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua merupakan suatu cara yang digunakan oleh orang tua untuk mendidik, membimbing dan melindungi anak mereka, dimana cara pengasuhan ini akan mempengaruhi anak sepanjang hidupnya.
2.1.2 Dimensi pola asuh Baumrind (dalam Santrock, 2007) menyebutkan tiga jenis pola pengasuhan anak yang biasa diterapkan oleh orang tua. A. Pola Asuh Otoriter (Authoritarian) Merupakan pola asuh yang bersifat menghukum, memiliki kendali yang kuat dan memberikan batasan yang jelas. Orang tua yang otoriter cenderung bersikap memaksakan kehendak atau keinginan terhadap anak mereka. Remaja dengan penerapan pola asuh ini biasanya memiliki permasalahan dalam perilaku sosial, kemampuan komunikasi yang rendah dan mengalami kesulitan dalam memulai suatu ,hal ini dikarenakan anak tidak terbiasa melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri (Santrock, 2007) sedangkan menurut Steinberg (dalam Greening, Luebbe & Stoppelbein, 2010) orang tua dengan jenis pengasuhan
7
8
otoriter cenderung kurang sensitif, tidak fleksibel dan membuat banyak aturan serta mengaharapkan anak memiliki ketaatan dan kepatuhan yang tinggi. Anak dengan tipe pengasuhan ini memiliki prestasi akademik yang kurang baik, kepercayaan diri yang rendah dan menunjukan agresi serta rentan terhadap penggunaan obat-obatan terlarang. B. Pola Asuh Otoritatif (Authoritative) Orang tua memberikan kebebasan kepada anaknya namun tetap memberikan batasan agar anak dapat mengontrol perilakunya sendiri. Orang tua membangun komunikasi aktif serta hubungan timbal balik yang sesuai dengan anak. Remaja yang diasuh dengan tipe pengasuhan ini cenderung kompeten, bertanggung jawab, memiliki kepercayaan diri yang baik dan memiliki kesadaran diri yang tinggi dalam menunjukan perilakunya (Santrock, 2007). Anak dengan penerapan pola pengasuhan ini cenderung menunjukan prestasi akademik yang tinggi, berperilaku dengan baik, dan dapat menjalin hubungan interpersonal yang akrab serta memiliki banyak teman (Steinberg, dalam Greening, Luebbe & Stoppelbein, 2010) C. Pola Asuh Permisif (Permissive) Pola asuh ini terbagi menjadi dua jenis yaitu pertama, permisif mengabaikan (Neglectful Permissive). Orang tua memberikan kebebasan tanpa kontrol yang tepat dan tidak mencampuri hal-hal dalam kehidupan remaja. Penerapan pola asuh ini membuat remaja cenderung merasa tidak diperhatikan, tidak dapat mengendalikan kebebasan
dengan
baik
dan
berperilaku
tanpa
memikirikan
akibatnya,
mengembangkan suatu perasaan bahwa aspek-aspek lain kehidupan orang tua lebih penting dibandingkan mereka, tidak membangun kemandirian dengan baik. Kedua, permisif memanjakan (Indulgent Permissive). Pola pengasuhan ini menerapkan bahwa
orang tua sangat berperan dalam setiap aspek kehidupan
remaja, mengizinkan remaja melakukan apa saja yang di inginkannya dengan sedikit kontrol. Penerapan pola asuh ini membentuk remaja yang kurang memiliki kemampuan pengendalian diri, manja dan sulit diatur, berharap semua keinginannya dituruti. Orang tua dengan gaya ini menilai bahwa dengan memberikan anak keleluasaan dengan sedikit batasan akan membuat anak menjadi kreatif dan percaya diri. Anak jarang menaruh hormat kepada orang lain sehingga ia jarang disenangi dan sedikit memiliki teman sebaya.
9
2.2 Perilaku konsumtif 2.2.1 Definisi perilaku konsumtif Menurut Fromm (1995, dalam Arysa 2013) perilaku konsumtif
adalah
perilaku dimana individu mempunyai suatu barang dengan tujuan untuk menunjukan status dari pemiliknya dan tidak berorientasi pada fungsi atau manfaat dari barang itu sendiri. Sumartono (2002) mendefinisikan perilaku konsumtif sebagai perilaku yang disebabkan karena adanya keinginan yang didasari oleh pemikiran yang tidak rasional dan bukan berdasarkan kebutuhan pokok. Perilaku konsumtif merupakan kecenderungan untuk melakukan konsumsi tiada batas dan lebih mementingkan faktor keinginan daripada kebutuhan ( Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dalam Lina & Rosyid, 1997). Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli maka dapat peneliti simpulkan bahwa perilaku konsumtif adalah kegiatan menghabiskan barang atau jasa didasari oleh pemikiran yang tidak masuk akal dengan mementingkan aspek kepuasan yang tinggi dari pada kebutuhan.
2.2.2 Jenis perilaku konsumtif Menurut Rosyid dan lina (1997, dalam Arysa) terdapat tiga jenis perilaku konsumtif yaitu impulsive buying, non rational buying dan wasetful buying. A. Impulsive Buying Merupakan perilaku membeli yang berlebihan, perilaku ini ditandai dengan sikap senang berberlanja tanpa terencana, berfoya-foya dan menghamburkan uang untuk membeli barang yang tidak dibutuhkan. B. Non-Rational Buying Perilaku membeli yang tidak didasari oleh pemikiran yang rasional atau tidak masuk akal. Biasanya individu membeli barang dengan harga yang tidak sebanding dengan nilai manfaat dari barang/jasa tersebut. C. Wasteful Buying Merupakan perilaku membeli yang ditandai dengan pembelian barang yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan individu yang sesungguhnya.
10
2.2.3 Karakteristik perilaku konsumtif Sumartono
(2002)
menjelaskan
tentang
indikator-indikator
perilaku
konsumtif. Diantaranya adalah sebagai berikut : A. Membeli karena ingin menjaga penampilan dan gensi. Remaja memiliki kepedulian terhadap citra tubuhnya maka dari itu mereka akan menjaga penampilan mereka dengan sebaik-baiknya. Misalnya dengan mengikuti tren berpakaian yang sedang diminati remaja seusianya. B. Membeli bukan karena manfaat dari barang. C. Membeli dengan kepercayaan bahwa dengan membeli barang yang mahal maka akan meningkatkan rasa percaya diri. D. Mencoba lebih dari dua produk sejenis dengan merk yang berbeda. Misalnya remaja memiliki suatu produk dengan merk X namun ia membeli barang yang serupa dengan merk yang bebeda walaupun fungsi produk sebelumnya belum habis masa pemakaiannya . E. Membeli barang untuk menjaga symbol atau status. Hal ini dapat menunjang sifat eksklusif dari pemiliknya dan memberikan kesan bahwa pemilik berasal dari kelas sosial yang tinggi. F. Membeli karena tertarik pada hadiah. G. Membeli karena tertarik pada kemasan produk. H. Membeli karena tertarik dengan image dari model yang mengiklankan produk tersebut.
2.2.4 Dimensi perilaku konsumtif Fromm (1995, dalam Arysa 2013) menyebutkan empat dimensi perilaku konsumtif yaitu : A. Pemenuhan keinginan Individu memiliki rasa puas yang terus mengalami peningkatan maka dari itu ia menginginkan sesuatu yang lebih untuk memenuhi kepuasannya , walaupun sebenarnya individu tidak memiliki kebutuhan akan barang tersebut. B. Barang di luar jangkauan Ketika individu berperilaku konsumtif maka tindakan konsumsinya menjadi kompulsif dan tidak rasional. Individu tidak lagi memenuhi kebutuhan untuk
11
mencari kepuasan dengan mendapatkan barang-barang baru. Pada akhirnya individu mengeluarkan uang yang tidak sedikit demi memenuhi rasa puasnya dalam mengkonsumsi barang dan jasa tersebut. C. Barang tidak produktif Ketika individu mengkonsumsi barang/jasa secara berlebihan maka kegunaan konsumsi menjadi tidak jelas. Sehingga barang/produk yang telah dibeli menjadi tidak produktif. D. Status Termasuk kedalam perilaku konsumtif , jika perilaku individu dalam memiliki barang atau menggunakan jasa dengan alasan untuk mempertimbangkan ataupun untuk meningkatkan status yang dimiliki. Tindakan konsumsi ini sudah tidak memiliki makna yang berarti karena hanya untuk mencapai status semata.
2.2.5 Faktor yang memengaruhi perilaku konsumen Mangkunegara (2005) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen seseorang yaitu budaya, kelompok anutan dan keluarga. A. Pertama, faktor budaya dapat memprediksi perilaku konsumen seseorang berdasarkan nilai-nilai yang dipegangnya, dimana nilai tersebut didapatkannya dari generasi ke generasi. B. Kedua, faktor kelompok anutan yaitu unit masyarakat kecil yang perilakunya dapat mempengaruhi dan menentukan dalam pengambilan keputusan dalam mendapatkan atau menggunakan barang dan jasa. C. Terakhir adalah faktor keluarga yang merupakan suatu unit masyarakat terkecil dimana perilakunya sangat mempengaruhi dan menentukan dalam pengambilan keputusan membeli.
2.3 Persepsi 2.3.1 Definisi persepsi Persepsi adalah interpretasi tentang apa yang diinderakan atau dirasakan. Menurut Walgito (2004) perepsi merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui aat indera atau proses sensoris. Sedangkan definisi persepsi menurut Sunarto (2003) adalah suatu proses dimana individu mengorganisasikan
12
dan menginterpretasikan kesan inderaagar memberikan makna kepada lingkungan , apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan objektif.
2.3.2 Faktor yang mempengaruhi persepsi Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Widayatun (2005) yaitu faktor ideologi, politik, ekononomi, sosial-budaya, lingkungan, genetik, psikis dan proses mental individu. Walgito (2004) menyebutkan tiga faktor yang mempengaruhi persepsi individu yaitu : A. Perhatian Perhatian merupakan tahap pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka memulai suatu persepsi. Perhatian adalah pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditunjukan pada suatu objek. B. Objek yang dipersepsi Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi namun dapat juga datang dari dalam. Objek yang dipersepsi adalah objek yang menimbulkan stimulus dapat mengenai alat indera atau reseptor (kulit, telinga, mata) C. Alat indera, Syaraf dan pusat susunan syaraf Alat indera merupakan alat untuk menerima stimulus atau yang sering disebut dengan reseptor. Stimulus yang diterima oleh reseptor diteruskan kedalam syaraf dimana syaraf bertindak sebagai sensoris. Kemudian diteruskan kembali menuju otak sebagai susunan syaraf pusat. Sedangkan Wade & Tavris (2007) menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi persepsi individu. Keempat faktor tersebut adalah sebagai berikut : A. Faktor Kebutuhan Terjadi ketika individu membutuhkan, menginginkan dan tertarik terhadap suatu hal. Maka dari itu individu dapat mempersepsikan sesuai dengan kebutuhannya tersebut. B. Faktor Kepercayaan Merupakan sesuatu yang diyakini sebagai hal benar dan dapat dipertanggung jawabkan. Kepercayaan dapat mempengaruhi individu dalam menginterpretasikan sinyal sensorik terhadap suatu objek atau stimulus.
13
C. Faktor Emosi Mempengaruhi persespsi individu mengenai informasi sensorik. Emosi postif seperti perasaan bahagia dapat menghasilkan penilaian yang positif terhadap suatu stimulus. D. Faktor Ekspetansi Merupakan pengalaman di masa lalu yang dapat mempengaruhi cara individu dala mempersepsikan sesuatu. Individu cenderung mempersepsikan suatu hal sesuai dengan keinginannya.
2.4 Remaja akhir 2.4.1 Definisi Remaja Menurut Hurlock (dalam Farida, 2013)
adalah suatu proses
berkembangnya kematangan mental, emosional dan fisik dari individu. Sedangkan definisi menurut Papalia masa remaja adalah masa transisi perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dimana individu mengalami perubahan fisik, kognitif dan psikososial. Rumini dan Sundari (dalam Farida, 2013) menjelaskan remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional (Santrock, 2007). Dengan demikian masa trasisi remaja hingga dewasa dapat berlangsung cukup lama sampai remaja dapat mengembangkan berbagai keterampilan yang lebih efektif untuk menjadi anggota penuh dari suatu masyarakat (Santrock, 2007). Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditandai oleh pubertas dan berkembangnya fungsi-fungsi seksual, kognitif dan emosional dari individu. Pada masa remaja akhir minat pada karir, pacaran, dan eksploitasi identitas seringkali lebih nyata pada masa ini dibandingkan pada masa remaja akhir (Santrock, 2007). Idhami (dalam Farida, 2013) menyebutkan bahwa rentang masa remaja berkisar antara 10 hingga 21 tahun yang terbagi mejadi empat kelompok yaitu masa pra remaja (10-12 tahun), masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun) dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Santrock (2007)
14
membedakan masa remaja menjadi dua periode yaitu masa remaja awal antara 1013 tahun dan masa remaja akhir usia 18-22 tahun. WHO (World Health Organization) (dalam Farida, 2013) menetapkan bahwa usia remaja berkisar antara usia 12-24 tahun.
2.4.2 Perubahan pada masa remaja A. Perubahan biologis Meliputi perubahan-perubahan fisik individu yang ditandai dengan pubertas. Pubertas
merupakan perubahan cepat pada kematangan fisik yang meliputi
perubahan tubuh dan hormonal yang terutama terjadi selama masa remaja awal (Santrock, 2007). Sedangkan pubertas menurut Farida (2013) adalah perubahan dari fisik seorang anak menjadi fisik seorang dewasa yang terjadi secara bertahap. Pada remaja laki-laki masa pubertas ditandai dengan mimpi basah, perubahan suara, penis mulai membesar, testis mulai tumbuh, berat dan tinggi badan yang tumbuh secara signifikan dan tumbuh rambut disekitar daerah wajah, ketiak serta kemaluan. Pada remaja putri ditandai dengan datangnya menstruasi, payudara yang mulai membesar, tumbuh rambut disekitar daerah wajah, ketiak dan kemaluan. B. Perubahan kognitif Meliputi perubahan dalam pikiran, intelegensi dan bahasa, seperti kemampuan dalam memecahkan masalah dan kemampuan dalam penalaran mengenai hal-hal abstrak. Menurut Santrock (2007) remaja merasa bahwa mereka berfikir lebih banyak dari perkiraan orang dewasa. Remaja merasa mereka mengetahui alasan suatu hal terjadi, memiliki analisis yang tepat dan berfikir bahwa apa yang mereka lakukan merupakan suatu tindakan yang benar. C. Perubahan sosial-emosional Mencangkup perubahan emosi, kepribadian dan peran. Santrock (2007) mendefinisikan emosi sebagai perasaan yang timbul ketika seseorang berada dalam suatu situasi atau interaksi yang mempengaruhi kebahagiannya. Hurlock (dalam Farida, 2013) menyatakan bahwa masa remaja sebagai masa angin ribut dan badai emosional. Farida (2013) mengibaratkan kondisi emosi masa remaja seperti petasan yang dapat meledak kapan pun dan dimana pun tanpa diketahui sebelumnya. Seperti dua mata koin yang berbeda, keadaan emosi remaja terkadang merasa
15
sangat melankolis, bersikap minder, mudah tersingung, dan pesimis. Disisi lain terkadang remaja sangat antusias, merasa sangat bahagia dan optimis.
2.5 Kerangka berfikir Gambar 1 Kerangka Berfikir
Remaja
Perilaku Konsumtif
Pola Asuh
Hall (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa sejalan dengan perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional yang dialami oleh remaja, mereka menjadi cenderung menyimpang dan penuh konflik seperti menggunakan obat-obatan terlarang, pesta, seks bebas, tauran, dan gemar ikut-ikutan mode. Fenomena yang terjadi di Jakarta yaitu para remaja yang menjadi pekerja seks komersil (PSK) guna mencari uang tambahan untuk memenuhi desakan memiliki produk terbaru mulai dari gadget sampai produk kecantikan (Noor,2013). Menurut Mangkunegara (2005) salah faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen individu adalah keluarga. Dalam keluarga terdapat pola pengasuhan anak yang diterapkan oleh orang tua untuk mendidik dan mengendalikan anaknya, menurut Baumrind (dalam Santrock, 2007) terdapat 3 jenis pola asuh yaitu otoriter, otoritatif dan pola asuh permisif
yang memiliki sub-dimensi yakni mengabaikan dan
memanjakan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dananjoyo (2012) mengenai hubungan antara persepsi pola asuh orang tua permisif dengan perilaku konsumtif pada remaja sebanyak 80 orang, menunjukan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara persepsi pola asuh orang tua permisif dengan perilaku konsumtif pada remaja.
16
Berdasarkan literatur diatas, maka peneliti ingin melihat hubungan antara persepsi pola asuh secara keseluruhan yaitu pola asuh otoriter, otoritatif, memanjakan dan mengabaikan dengan perilaku konsumtif khususnya pada remaja di Jakarta.
2.6 Hipotesis Hipotesis merupakan asumsi sementara terhadap masalah penelitian dan tidak hanya disusun berdasarkan pengamatan pertama tetapi juga didasarkan pada hasil analisis dan literatur yang sesuai dengan bidang penelitian (Iskandar, 2013). Hipotesis menurut Singarimbun (dalam Iskandar, 2013) adalah instrumen kerja dan teori oleh karena itu hipotesis menjadi sangat penting dan tidak bisa ditinggalkan. a. Terdapat hubungan antara persepsi pola asuh otoriter dengan perilaku konsumtif pada remaja di Jakarta b. Terdapat hubungan persepsi antara antara pola asuh otoritatif dengan perilaku konsumtif pada remaja di Jakarta c. Terdapat hubungan antara persepsi antara pola asuh permisif memanjakan dengan perilaku konsumtif pada remaja di Jakarta d. Terdapat
hubungan antara persepsi pola asuh permisif mengabaikan dengan
perilaku konsumtif pada remaja di Jakarta