BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Botani Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) bukanlah tanaman asli Indonesia tetapi berasal dari Afrika. Kelapa sawit diintroduksi ke Asia Tenggara pada tahun 1848 melalui Kebun Raya Bogor, Indonesia. Keturunan generasi kedua dan ketiga dari tanaman asli ini digunakan sebagai bahan tanam dan terbentuklah perkebunan pertama kelapa sawit di Sumatera sejak tahun 1911 dan di Malaysia sejak tahun 1917 kemudian berkembang menjadi varietas Deli Dura (Hetharie, 2008). Varietas dari Elaeis guineensis Jacq. cukup banyak dan biasanya diklasifikasikan dalam berbagai hal. Misalnya dibedakan atas tipe buah, bentuk luar, tebal cangkang, warna buah dan lain-lain. Tanaman kelapa sawit tumbuh tegak lurus dan dapat mencapai ketinggian pohon sampai
20 m. Tanaman ini berumah
satu atau monoecious yang artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon (Soehardjo et al., 1996). Bunga betina setelah penyerbukan akan berkembang menjadi buah. Buah mencapai kematangan dalam 24 minggu setelah penyerbukan dan minyak mulai diakumulasi dalam mesokarp 20 minggu setelah penyerbukan (Tandon et al., 2001). Menurut Hartley (1977) buah bervariasi dalam bentuk dari bentuk bola sampai panjang dan agak menonjol di bagian atas. Panjangnya bervariasi dari kira-kira 2 cm sampai lebih dari 5 cm dengan berat dari 3 g sampai lebih dari 30 g. Buah Deli dari Far East biasanya lebih besar dibandingkan buah Afrika, meskipun berbeda dengan buah yang umum. Pericarp buah terdiri atas (1) eksokarp terluar atau kulit buah, (2) mesokarp atau daging buah, dan (3) endokarp atau cangkang. Sering dijumpai buah mantel yaitu stamen yang rudimenter berkembang menjadi karpel tambahan pada bunga betina. Tipe buah abnormal mantel ini dikenal dengan berbagai istilah seperti Poissoni, Mantled dan Diwakkawakka. Pertumbuhan karpel tambahan ini mengelilingi bagian utama buah (Hartley, 1977).
Universitas Sumatera Utara
5
2.2. Pengadaan Bibit Kelapa Sawit Perbanyakan secara generatif akan menghasilkan tanaman yang beragam karena kelapa sawit merupakan tanaman yang menyerbuk silang. Dengan demikian harus dilakukan perbanyakan secara vegetatif. Teknologi perbanyakan klonal secara konvensional tidak mungkin dilakukan terutama untuk memenuhi kebutuhan bibit yang banyak dalam waktu yang singkat. Salah satu teknologi alternatif yang menjanjikan adalah teknologi kultur jaringan. Melalui teknologi tersebut telah banyak tanaman yang dapat diperbanyak secara masal, seragam dan dengan waktu yang relatif singkat (Badan Litbang Pertanian, 2013). Penggunaan teknik kultur jaringan menjanjikan harapan yang sangat besar. Dengan cara ini, akan dihasilkan tanaman kelapa sawit yang mampu berproduksi 30% lebih banyak dari tanaman biasa. Walaupun teknik kultur jaringan menjanjikan banyak harapan, penerapan teknik ini untuk perkebunan skala besar harus hati-hati. Perbanyakan dengan kultur jaringan memberikan keragaman genetik yang kecil. Keadaan ini dapat menimbulkan kerawanan genetik (genetic vulnerability) yang sangat berbahaya terhadap serangan hama dan penyakit (Pahan, 2006).
2.3. Kultur Jaringan Kultur jaringan adalah istilah umum yang ditujukan pada budi daya secara in vitro terhadap berbagai bagian tanaman yang meliputi batang, daun, akar, bunga, kalus, sel, protoplas, dan embrio. Bagian-bagian tersebut yang diistilahkan sebagai eksplan, diisolasi dari kondisi in vivo dan dikultur pada medium buatan yang steril sehingga dapat beregenerasi dan berdiferensiasi menjadi tanaman yang lengkap (Street, 1973). Cara kerja kultur jaringan adalah berdasarkan prinsip “totipotensi”. Berdasarkan prinsip ini sebuah sel atau jaringan tumbuhan yang diambil dari bagian manapun akan dapat tumbuh menjadi tumbuhan sempurna jika diletakkan pada media yang cocok. Perbanyakan dengan sistem kultur jaringan harus dilakukan dalam keadaan steril. Usaha pengembangan tanaman dengan kultur jaringan merupakan usaha perbanyakan vegetatif tanaman yang dapat dikatakan masih baru. Namun saat ini sudah banyak sekali penemuan-penemuan tentang ilmu
Universitas Sumatera Utara
6
pengetahuan kultur jaringan dalam bidang pertanian, biologi, farmasi, kedokteran, dan sebagainya (Hendaryono & Wijayani, 1994). Pemahaman terhadap istilah-istilah yang sering digunakan dalam kultur in vitro merupakan suatu hal yang sangat mendasar. Oleh karena itu, di samping kultur jaringan dan mikropropagasi, Hartman et al. (1990) mengemukakan lima istilah yang diterapkan untuk menunjukkan tipe-tipe dasar dari regenerasi tanaman secara vegetatif (regenerasi somatik). Kelima istilah tersebut didasarkan atas macam eksplan yang digunakan dalam kaitannya dengan siklus hidup tanaman, yaitu kultur meristem, poliferasi pucuk aksilar, induksi tunas adventif, organogenesis dan embriogenesis somatik (Zulkarnain, 2009). Embriogenesis somatik merupakan suatu proses di mana sel somatik (baik haploid maupun diploid) berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet. Istilah embrio somatik pertama kali digunakan oleh Tolkin pada tahun 1964 yang menggambarkan pembentukkan
organisme
dari
suatu
sel
atau
kumpulan
sel
somatik
(Purnamaningsih, 2002). Sama seperti embrio zigotik yang berkembang dari penyatuan gamet jantan dan gamet betina, embrio somatik pun tumbuh dan berkembang melewati tahapan-tahapan yang sama. Tahapan-tahapan tersebut adalah oktan, globular, awal hati, hati, torpedo dan embrio dewasa (Zulkarnain, 2009).
2.4. Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh merupakan substansi (bahan) organik (selain vitamin dan unsur mikro) yang dalam jumlah sedikit mampu merangsang, menghambat atau sebaliknya mengubah proses fisiologis. Zat pengatur tumbuh endogen diartikan sebagai hormon tumbuhan atau fitohormon (Gardner et al., 2008). Zat pengatur tumbuh yang telah banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah auksin dan sitokinin. Contoh auksin yang banyak digunakan pada kultur in vitro adalah indole-3-acetic acid (IAA), α-naphthalenaacetic acid (NAA) dan 2,4dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D). Para ahli kultur jaringan sering menganjurkan untuk membatasi penggunaan 2,4-D pada kultur in vitro
karena dapat
Universitas Sumatera Utara
7
meningkatkan peluang terjadinya mutasi genetik dan menghambat fotosintesis pada tanaman yang diregenerasikan (Zulkarnain, 2009).
2.5. Keragaman Somaklonal Tanaman Hasil Kultur Jaringan Salah satu masalah penting yang berkaitan dengan perbanyakan klon melalui kultur jaringan adalah terjadinya induksi keragaman somaklonal pada tanaman yang dihasilkan. Istilah keragaman somaklonal pertama kali diperkenalkan oleh Larkin & Scowcroft (1981) untuk menjelaskan keragaman yang ditimbulkan oleh prosesproses adventif. Debergh (1992) mengusulkan batasan keragaman somaklonal sebagai pengekspresian fenotip yang telah ada, namun belum ditampilkan oleh tanaman yang bersangkutan atau keragaman yang diinduksi oleh teknologi kultur jaringan. Larkin et al. (1985) menyatakan fenomena keragaman somaklonal sebagai suatu akumulasi modifikasi genetik dan sitogenetik pada sel-sel yang dikulturkan dan pada tanaman yang dihasilkan akibat kultur in vitro. Selanjutnya, Rice et al. (1992) menyatakan bahwa interaksi komponen-komponen genetik, fisiologis dan patologis eksplan dengan lingkungan kultur selama proses subkultur yang berkelanjutan, dapat menimbulkan keragaman pada laju perbanyakan dan sifat pertumbuhan eksplan. Hingga kini, istilah keragaman somaklonal digunakan terhadap serangkaian fenomena, seperti keragaman numerik dan struktur kromosom, perubahan pada genom inti ataupun genom organel, atau pemecahan struktur kimera dan perubahan-perubahan yang timbul akibat eliminasi penyakit (Zulkarnain, 2009). Secara umum ditemukan konsentrasi zat pengatur tumbuh dalam media berpengaruh terhadap keragaman somaklonal. Skirvin et al. (1994) mengatakan faktor-faktor penunjang terjadinya keragaman selama kultur jaringan adalah macam eksplan, pemilihan kultivar dan umur kultivar, level ploidi, metode dan kondisi spesifik dari kultur termasuk zat pengatur tumbuh, tekanan seleksi, lamanya waktu in vitro dan kecepatan proliferasi. Sedangkan menurut Karp (1995) terdapat empat faktor yang menyebabkan keragaman yaitu (1) derajat awal dari pertumbuhan meristematik, (2) konstitusi genetik dari material awal, (3) zat pengatur tumbuh pada media, serta (4) sumber jaringan.
Universitas Sumatera Utara
8
Penggunaan hormon 2,4-D dan subkultur yang berulang selama menginduksi kalus dari eksplan diduga sebagai penyebab gangguan kontrol seluler yang berperan terhadap sejumlah perubahan genomik yang ada pada tanaman kultur jaringan (Hetharie, 2010). Menurut Leroy et al. (2000) perubahan kromosom dapat terjadi dengan frekuensi yang tinggi pada tahap awal kalus atau kultur sel cair sebagi penyebab abnormalitas. Keragaman somaklonal secara luas dibagi ke dalam perubahan genetik dan epigenetik. Tipe keragaman berbeda-beda dari spesies ke spesies dan sering sulit menentukan salah satu keragaman genetik alami dari banyak tipe keragaman yang terjadi (Hetharie, 2008). Menurut Peschke & Philips (1992), beberapa tipe utama keragaman genetik dalam kultur jaringan adalah (1) aberasi kromosom, (2) aktivasi elemen transposon, dan (3) perubahan metilasi.
2.6. Keragaman Somaklonal Tanaman Kelapa Sawit Hasil Kultur Jaringan Penelitian perbanyakan melalui kultur jaringan sebenarnya telah mulai dirintis sejak lebih dari tiga dasawarsa yang lalu oleh ORSTORM-IRHO/CIRAD Perancis dan Unilever Inggris. Sejak itu teknologi perbanyakan kelapa sawit banyak dilakukan dengan regenerasi melalui jalur embriogenesis somatik (Badan Litbang Pertanian, 2013). Keberhasilan perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan ini tidak seperti yang diharapkan. Menurut Corley et al. (1986) dalam Hetharie (2008) mengatakan bahwa proporsi kelapa sawit yang berasal dari embrio somatik memperlihatkan fenotip varian somaklonal yang mempengaruhi struktur bunga. Fenomena varian kelapa sawit hasil kultur jaringan menghasilkan buah-buah yang abnormal yang ditunjukkan melalui adanya karpel tambahan (Gambar 2.1.). Karpel tersebut adalah perkembangan abnormal dari primordia staminodia (Matthes et al., 2001).
Universitas Sumatera Utara
9
Gambar 2.1. Bagian organ bunga betina normal (a dan b) dan abnormal (c dan d). (a1) daun pelindung, (a2) stamen, (a3) pelindung bunga, (a4) & (a5) perhiasan bunga, (a6) karpel utama, (a7) irisan melintang karpel utama, (b) posisi bagian organ bunga normal, (c1) daun pelindung, (c2) stamen, (c3) pelindung bunga, (c4) & (c5) perhiasan bunga, (c6) karpel tambahan, (c7) karpel utama, (c8) irisan melintang karpel abnormal, (d) posisi bagian organ bunga abnormal (c1-c7). (Sumber: Hetharie, 2008) Variasi somaklonal pada kelapa sawit berefek pada pembentukan organ pembungaan baik jantan maupun betina. Variasi ini disebut dengan “mantled” (Jaligot et al., 2004). Menurut Eeuwens et al. (2002) bahwa persentase bunga mantled meningkat dari 5% hingga 80% selama tiga sampai empat tahun proses regenerasi kultur. Masalah ini dapat diatasi apabila penyebab terjadinya abnormalitas dapat diidentifikasi atau tersedia teknologi untuk mendeteksi dan menyeleksi bibit kelapa sawit abnormal (Budiani & Febrimarsa, 2010). Namun demikian dapat terjadi pemulihan kembali seiring dengan waktu, dan kondisi ini disebut epigenetik. Untuk tingkat abnormalitas yang rendah pemulihan menjadi fenotip yang normal kembali dapat mencapai 100% dan 50% untuk tingkat abnormalitas yang berat dengan waktu pemulihan 9 tahun (Rival et al., 1998).
Universitas Sumatera Utara
10
2.7. Deteksi Variasi DNA dengan Penanda Molekuler Deteksi variasi DNA dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti Protein Markers dan Allozymes, DNA Sequencing, Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP), Amplified Fragment Length Polymophism (AFLP), Microsatellite dan Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) (Weising et al., 2005). Teknik RAPD didasarkan pada penggunaan primer sekuens nukleotida yang berubah-ubah untuk mengamplifikasi DNA melalui PCR sehingga menghasilkan polimorfisme. Primer untuk analisis RAPD mengandung 9-10 basa. Polimorfisme yang teramati diyakini disebabkan adanya perubahan basa tunggal yang mencegah menempelnya primer dengan sekuens target seperti delesi dan insersi yang memodifikasi sekuens DNA target (Azwin, 2007). Keuntungan utama dari teknik RAPD adalah penggunaannya yang sederhana dan primer yang sama mampu mengamplifikasi beberapa jenis DNA. Salah satu kelemahan dari teknik ini adalah polimorfisme yang dihasilkan sangat sensitif terhadap perubahan kondisi reaksi seperti peralatan PCR dan keadaan laboratorium (Weising et al., 2005).
Universitas Sumatera Utara