BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daun Bangun-Bangun (Coleus amboinicus Lour). Menurut Heyne et al (1987), tanaman daun bangun-bangun ini termasuk dalam famili Lamiaceae, genus Coleus yang bermanfaat untuk menu sayuran sehari-hari terutama disajikan untuk ibu-ibu yang baru melahirkan. Menurut komposisi zat gizi pangan Indonesia dalam 1000 gram daun bangun-bangun mengandung lebih banyak kalsium, besi dan karoten total dibandingkan dengan daun katuk (sauropus androgynus). Data lengkap tentang komposisi zat gizi daun bangun-bangun tercantum dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Komposisi Zat Gizi Daun Bangun-bangun (Santosa et al,2002) Komposisi Zat Gizi
Jumlah
Energi
27.0 kal
Protein
1.3 g
Lemak
0.6 g
Hidrat Arang
40.0 g
Serat
1.0 g
Abu
1.6 g
Kalsium
279.0 g
Fosfor
40.0 g
Besi
13.6 g
Karoten Total
13288 mg
Vitamin A
0.0 g
Vitamin B1
0.16 mg
Vitamin C Air
5.1 g 92.5 g
Menurut Heyne (1987), secara makroskopis tanaman bangun-bangun memiliki ciri batang berkayu lunak, beruas-ruas dan berbentuk bulat, diameter pangkal + 15 mm, tengah + 10 mm dan ujung + 5 mm. Daun tanaman ini tunggal, helaiannya bundar telur, panjang helaiannya + 3.5 – 6 cm, pinggirnya agak berombak dengan panjang tangkai + 1.5-3 cm, dan tulang dalamnya menyirip. Tanaman daun bangun-bangun dapat dilihat pada Lampiran. Tanaman bangun-bangun tumbuh secara liar, jarang berbunga namun mudah sekali dikembangbiakkan dengan stek dan cepat berakar di dalam tanah yang gembur. Pemanfaatan bahan alam yang berasal dari tumbuhan sebagai obat tradisional telah lama dilakukan oleh masyarakat Indonesia khususnya untuk menangani berbagai masalah kesehatan. Hal ini cukup menguntungkan karena bahan bakunya mudah didapat atau dapat diramu sendiri di rumah bahkan jarang menimbulkan dampak negatif. Menurut Sarastani et al (2002), ada banyak bahan pangan yang dapat menjadi sumber antibakteri alami misalnya dedaunan dan sayur-sayuran. Kebanyakan sumber antibakteri alami adalah tumbuhan dan umumnya merupakan senyawa fenolik yang tersebar di seluruh bagian tumbuhan. Salah satu tumbuhan yang telah dimanfaatkan sebagai antibakteri turun temurun oleh masyarakat Indonesia khususnya suku Batak, Sumatera Utara adalah daun bangun-bangun. Menurut Kartasapoetra (1992), daunnya banyak digunakan untuk bahan obat, berbau aromatik dan rasanyapun enak. Khasiatnya bagi pengobatan yaitu untuk menyembuhkan batuk, mulas dan sariawan. Polisakarida, protein, lemak dan asam nukleat merupakan penyusun utama dari mahluk hidup, karena itu disebut metabolit primer. Keseluruhan proses sintesis dan perombakan zat-zat ini yang dilakukan organisme untuk kelangsungan hidupnya disebut proses-proses metabolisme primer. Metabolisme primer dari semua organisme sama, walaupun sangat berbeda genetiknya. Proses-proses kimia jenis lain terjadi hanya pada organisme tertentu sehingga memberikan produk yang berlainan sesuai dengan spesiesnya. Reaksi yang demikian disebut sebagai proses metabolisme sekunder. Meskipun tidak penting bagi eksistensi suatu individu, metabolit sekunder
sering berperan pada kelangsungan hidup suatu spesies dalam perjuangan menghadapi spesies-spesies lain (Manitto , 1992). Menurut Santosa et al (2002), daun bangun-bangun mengandung saponin, flavonoid, tanin, polifenol serta dapat meningkatkan hormon-hormon menyusui seperti prolaktin dan oksitosin oleh sebab itu dapat berpotensi sebagai laktagogum. Menurut Kartasapoetra (1992), metabolit sekunder dari tanaman daun bangun-bangun mengandung golongan senyawa kimia seperti fenol yang menunjukkan sifat antibakteri. Beberapa golongan fenol seperti flavonoid, tanin dan senyawa fenol lainnya berfungsi sebagai alat pertahanan bagi tumbuhan untuk melawan mikroorganisme patogen.
2.2. Senyawa Flavonoid Menurut Robinson (1995), senyawa flavonoid adalah senyawa-senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom karbon, terdiri dari dua cincin benzen yang dihubungkan menjadi satu oleh rantai linier yang terdiri dari tiga atom karbon. Senyawa flavonoid biasanya terdapat dalam sel-sel jaringan dalam bunga. Flavonoid terdapat secara universal pada tumbuhan sebagai kelompok tunggal senyawa cincin oksigen yang terbesar. Flavonoid terdapat dalam berbagai warna pada jaringan tumbuhan dan rotenoid misalnya, memiliki sifat insektisidal. Menurut Herbert (1995), fungsi flavonoid yang dikandung oleh tumbuhtumbuhan yaitu sebagai pengaturan fotosintesis, kerja antibakteri dan antivirus serta kerja terhadap serangga. Menurut Heinrich et al (2010), senyawa flavonoid sangat bermanfaat dalam makanan karena berupa senyawa fenolik dan bersifat antioksidan. Banyak kondisi penyakit yang diketahui bertambah parah oleh adanya radikal bebas seperti superoksida dan hidroksil, dan flavonoid memiliki kemampuan untuk menghilangkan dan secara efektif ‘menyapu’ spesies pengoksidasi yang merusak. Oleh sebab itu, makanan kaya flavonoid dianggap penting untuk mencegah timbulnya penyakit-penyakit, seperti kanker dan penyakit jantung yang dapat memburuk akibat oksidasi lipoprotein densitas-rendah.
Menurut Mojab et al (2008), kandungan flavonoid merupakan senyawa fenol yang dapat menyebabkan penghambatan terhadap sintesis dinding sel dan bersifat koagulator protein (Dwijoseputro, 1994). Protein yang menggumpal tidak akan dapat berfungsi lagi sehingga akan mengganggu pembentukan dinding sel bakteri (Jawetz et al, 2001). Oleh karena itu flavonoid merupakan komponen antibakteri yang potensial. Adapun struktur flavonoid yang mengandung gugus fenol yaitu seperti gambar dibawah ini : B.
B.
O
O A.
A.
C.
C. OH
OH O
O
Gambar 2.1. Flavonol
Gambar 2.2. Flavanonol
OH OH
O
B. O
HO A.
A.
B.
+
C.
C.
OH OH
HO
OH
Gambar 2.3. Leukoantosianidin
Gambar 2.4. Antosianidin
Sumber : Robinson (1995)
Menurut Markham (1988), aglikon flavonoid adalah polifenol sehingga flavonoid merupakan senyawa polar maka pada umumnya flavonoid larut dalam pelarut
polar
seperti
etanol,
metanol,
butanol,
aseton,
dimetilsulfoksida,
dimetilformadida, air dan lain-lain. Menurut Noor et al (2006), metanol banyak digunakan untuk ekstraksi tanaman obat dan dapat menarik zat aktif yang terkandung didalamnya.
2.3. Senyawa Tanin Menurut Robinson (1991), tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung silang protein. Kadar tanin yang tinggi mempunyai arti penting bagi tumbuhan yakni pertahanan bagi tumbuhan dan membantu mengusir hewan pemakan tumbuhan. Tanin terdapat luas pada tumbuhan berpembuluh, dalam Angiospermae terdapat khusus di jaringan kayu. Menurut Desmiaty et al (2008), tanin merupakan senyawa aktif metabolit sekunder yang diketahui mempunyai beberapa khasiat yaitu sebagai astringen, anti diare, antibakteri dan antioksidan. Menurut Harborne (2006), tanin berdasarkan tipe struktur dan aktivitasnya terhadap senyawa hidrolitik terutama asam dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terhidrolisis mengandung ikatan ester yang dapat terhidrolisis jika dididihkan dalam asam klorida encer. Bagian alkohol dari ester ini biasanya gula, dan seringkali glukosa tetapi dalam beberapa tanin mungkin saja gula lain. Inti molekulnya berupa senyawa dimer asam gallat, yaitu asam heksaoksidifenat yang berikatan dengan glukosa. Tanin terhidrolisis disebut juga elagitanin yang pada hidrolisis menghasilkan asam gallat. Struktur beberapa asam fenolat yang terdapat pada tanin terhidrolisis ditunjukkan pada gambar dibawah ini : HO O HO OH HO
Gambar 2.5. Asam gallat
OH
O
OH O HO O
OH
H
O
HO H
O HO
OH O
HO O
O
O
OH H
HO O
H
O
OH
HO OH
HO OH
Gambar 2.6. Gallotannin
Tanin terkondensasi terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal yang membentuk senyawa dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Ikatan karbon-karbon menghubungkan satu satuan flavon dengan satuan berikutnya melalui ikatan 4-8 atau 6-8. Kebanyakan flavon mempunyai 2-20 satuan flavon. Tanin terkondensasi disebut juga dengan proantosianidin karena bila direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin. Struktur beberapa asam fenolat yang terdapat pada tanin terkondensasi ditunjukkan pada gambar dibawah ini :
OH OH B. O
HO A.
C. OH
OH
Gambar 2.7. Katekin OH OH O
HO
R
OH OH
OH OH HO
O
R OH OH
OH OH HO
O
R OH
OH
Gambar 2.8. Catechol tannin
Menurut Desmiaty et al (2008), senyawa fenolik yang dimiliki tanin menyebabkan tanin sukar dipisahkan, sukar mengkristal, mengendapkan protein dari larutannya bahkan bersenyawa dengan protein tersebut sehingga dapat membentuk ikatan silang yang stabil dengan protein dan bipolimer yang lain. Menurut Harborne (1996), karena tanin merupakan senyawa aktif yang memiliki struktur polifenol sehingga mempunyai beberapa khasiat yaitu sebagai astringen, antidiare, antibakteri, antioksidan dan menghambat pertumbuhan tumor. Menurut Ajizah (2004), sifat astringen tanin berefek spasmolitik, yang dapat mengerutkan membran sel sehingga
mengganggu permeabilitas sel, akibatnya sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati. Menurut Trease dan Evan (1983), senyawa flavonoid dan tanin terdapat dalam satu tumbuhan secara bersamaan, oleh sebab itu kedua senyawa ini memiliki sifat yang sama yaitu bersifat polar dan memberikan reaksi positif terhadap FeCl3 yang bila ditetesi akan memberikan warna biru gelap sehingga sangat penting dilakukan pemisahan antara tanin dan flavonoid dimana pemisahan tersebut dilakukan berdasarkan perbedaan sifat kelarutannya dalam pelarut protik dan aprotik. Tanin hanya larut dalam pelarut protik yaitu metanol yang bersifat polar dan tidak larut dalam aprotik yaitu etil asetat yang bersifat semi polar. Berdasarkan persamaan kedua sifat inilah maka dilakukan skrining fitokimia. Menurut Harborne (2006), hal yang berperan penting dalam skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi.
2.4. Pemisahan Komponen dengan Ekstraksi Teknik pemisahan memiliki tujuan untuk memisahkan komponen yang akan ditentukan dalam keadaan murni, tidak tercampur dengan komponen-komponen lainnya. Pemisahan secara kimia merupakan suatu teknik pemisahan berdasarkan adanya perbedaan yang besar dari sifat-sifat fisika komponen dalam campuran yang akan dipisahkan sedangkan Pemisahan fisika merupakan suatu teknik pemisahan berdasarkan pada perbedaan-perbedaan kecil dari sifat-sifat antara senyawa-senyawa yang termasuk dalam satu golongan. Menurut Depkes RI (1995), ekstraksi adalah suatu proses pemisahan secara kimia yang dilakukan untuk memperoleh kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupun hewan. Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung, ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk. Cairan penyari yang digunakan air, metanol dan campuran air etanol.
Menurut Lenny (2006), ekstraksi suatu senyawa dalam tumbuhan dapat dilakukan dengan cara maserasi, perkolasi, sokletasi dan destilasi uap. Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut organik yang digunakan pada temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan karena dengan perendaman maka pada sampel tumbuhan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektifitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam tersebut. Menurut Heinrich et al (2010), keuntungan utama cara ini adalah merupakan metode ekstraksi yang mudah karena ekstrak tidak dipanaskan sehingga kemungkinan kecil bahan alam terurai. Menurut Seidel (2008), pemilihan pelarut ekstraksi sangat penting , pemilihan pelarut ekstraksi umumnya menggunakan prinsip likes dissolve likes, dimana senyawa yang non polar akan larut dalam pelarut non polar sedangkan senyawa yang polar akan larut pada pelarut polar. Menurut Heinrich et al (2010), penggunaan pelarut dengan peningkatan kepolaran secara berurutan memungkinkan pemisahan bahan alam berdasarkan kelarutan dan polaritasnya dalam ekstraksi. Hal ini sangat mempermudah proses isolasi. Ekstraksi dingin memungkinkan banyak senyawa terekstraksi, meskipun beberapa senyawa memiliki kelarutan terbatas dalam pelarut ekstraksi pada suhu kamar. Menurut Harborne (1996), ekstraksi dianggap selesai bila tetesan terakhir memberikan reaksi negatif terhadap senyawa yang diekstraksi. Untuk mendapatkan larutan ekstrak pekat, biasanya pelarut ekstrak diuapkan dengan menggunakan alat rotari evaporator. Menurut
Harborne
(2006),
uji
fitokimia
merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui senyawa-senyawa kimia yang terdapat di dalamnya. Tahapan pengujian flavonoid dan tanin dilakukan berdasarkan metode Harborne (2006) dimana pada pereaksi Besi (III) klorida 5% flavonoid dan tanin memberikan perubahan warna yang sama yaitu biru gelap.
2.5. Mekanisme Kerja Penghambatan Senyawa Antibakteri. Menurut Jawetz et al (2001) , suatu zat antibakteri yang ideal memiliki toksisitas selektif. Istilah ini secara tidak langsung menyatakan suatu obat berbahaya terhadap parasit tetapi tidak berbahaya bagi inangnya. Antibakteri adalah obat pembasmi bakteri, khususnya bakteri yang merugikan manusia. Menurut Jawetz et al (1998), mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh senyawa antibakteri dapat berlangsung dengan cara mengganggu pembentukan dinding sel dengan adanya akumulasi komponen lipofilat yang terdapat pada dinding atau membran sel akan menyebabkan perubahan komposisi penyusun dinding sel, penghambatan fungsi membran plasma dimana beberapa antibakteri merusak permeabilitas membran akibatnya terjadi kebocoran materi intraseluler seperti senyawa penol yang dapat mengakibatkan lisis sel dan denaturasi protein serta menghambat ikatan ATP-ase pada membran sel, penghambatan sintesa protein, asam nukleat dan aktivitas enzim dimana efek senyawa antibakteri dapat menghambat kerja enzim jika senyawa antibakteri mempunyai spesifitas yang sama dengan ikatan kompleks yang menyusun struktur enzim. Penghambatan ini dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme sel seperti sintesa protein dan asam nukleat. Menurut Jawetz et al (2001), antibakteri dapat bekerja secara bakteriostatik maupun bakterisidal. Bakteriostatik memiliki arti memiliki kemampuan menghambat multiplikasi bakteri. Multiplikasi akan berlangsung lagi jika unsur tersebut tidak ada. Bakterisidal memiliki sifat mematikan bakteri. Aksi bakterisidal berbeda dalam hal tidak dapat dipulihkan lagi, yaitu bakteri yang dimatikan tidak dapat lagi bermultiplikasi meskipun sudah tidak ada hubungan lagi dengan unsur itu. Menurut Sudjaswadi (2006), efektivitas senyawa antibakteri dipengaruhi oleh karakter dinding sel atau membran sel dari bakteri tersebut. Penetrasi obat melalui membran yang lebih cepat dan jumlah yang lebih besar segera menginisiasi efek menghambat reaksi sintesis protein dalam inti sel mikroorganisme. Menurut Tim Mikrobiologi Unibraw (2003), efektivitas antibakteri terhadap spesies bakteri atau suatu galur bakteri
berbeda antara yang satu dengan yang lain. Sensitivitas setiap bakteri patogen terhadap suatu antibakteri harus diuji dengan berbagai konsentrasi untuk menentukan tingkat konsentrasi yang menyebabkan pertumbuhan bakteri tersebut terhambat atau mati. Dengan pengujian tersebut dapat diketahui apakah bakteri tersebut masih sensitif atau telah resisten terhadap suatu antibiotik. Pengujian tersebut biasanya dilakukan dengan metode difusi atau metode dilusi. Menurut Kusmiyati (2007), metode difusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan dalam uji antibakteri. Metode difusi dapat dilakukan 3 cara yaitu metode silinder, lubang dan cakram kertas. Metode cakram kertas yaitu meletakkan cakram kertas yang telah direndam larutan uji di atas media padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Pengujian dilakukan dengan mengukur daerah hambat yang berwarna bening pada gel beserta kertas cakramnya. Menurut Davis dan Stout (1971), bila diameter hambatan 5 mm atau kurang maka aktifitas penghambatannya dikategorikan lemah, 5-10 mm dikategorikan sedang, 10-19 mm dikategorikan kuat dan 20 mm atau lebih dikategorikan sangat kuat. Menurut Rostinawati (2007), kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri dikenal dengan Kadar Hambat Minimal (KHM) atau Minimum Inhibitory Concentration (MIC). Nilai MIC ditentukan dengan melakukan suatu seri pengenceran senyawa yang akan diuji di dalam cawan petri, kemudian digoreskan bakteri yang akan diperiksa dengan dosis tertentu. Lalu ditentukan batas atau dosis terkecil yang dapat menghambat tumbuhnya bakteri, yang disebut MIC.
2.6. Bakteri Patogen Menurut Pelczar dan Chan (1988), patogenitas merupakan kemampuan organisme untuk menimbulkan penyakit. Jadi bakteri patogen merupakan bakteri yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan penyakit pada manusia. Menurut Tim Mikrobiologi Unibraw (2003), dinding sel adalah struktur bakteri yang berfungsi untuk mempertahankan bentuk bakteri. Adapun struktur penyusun bakteri dapat dilihat pada Tabel. 2.2.
Tabel 2.2. Komposisi Bakteri (Carpenter,L.P, 1967) Komposisi
Jumlah (%)
Air
70
Zat Padat, terdiri dari :
30 9
(M.W = 2.10 )
3%
-
DNA
-
RNA
12%
-
Protein, terdiri dari :
70%
•
Ribosom (M.W = 104)
•
RNA
(M.W = 3.106)
-
Polisakarida
5%
-
Lipid
6%
-
Pospolipid
4%
Secara kimiawi, dinding sel bakteri terdiri atas peptidoglikan yang tersusun dari N-asetil glukosamin dan N-asetil asam muramat. Selain berfungsi untuk mempertahankan bentuk bakteri, dinding sel juga berfungsi dalam menentukan sifat pewarnaan, antigenisitas maupun patogenisitas bakteri. Berdasarkan pewarnaan gram, bakteri dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Struktur dinding sel bakteri gram positif berbeda dengan bakteri Gram negatif. Menurut Tim Mikrobiologi Unibraw (2003), pada bakteri gram positif, dinding selnya mengandung polisakarida yang disebut asam teikhoat yang berperan pada proses transportasi ion-ion dari dalam maupun ke luar sel. Pada bakteri gram negatif, kandungan peptidoglikan pada dinding selnya lebih sedikit, oleh karenanya bakteri gram negatif lebih peka terhadap pengaruh mekanik. Selain peptidoglikan, dinding sel bakteri gram negatif juga mengandung lipopolisakarida, fosfolipid, lipoprotein yang berperan dalam proses masuknya bahan-bahan dari luar sel ke dalam sel. Selain itu lipopolisakarida juga akan menghalangi terjadinya proses fagositosis dan juga bersifat toksik. Bahan toksik dari dinding sel bakteri gram negatif disebut
endotoksin yang akan dilepas bila bakteri tersebut selnya rusak atau bakteri tersebut mati. Menurut Gibson (1996), infeksi saluran pencernaan disebabkan karena tertelannya mikroorganisme patogen contohnya bakteri gram negatif, yang dapat menimbulkan infeksi dan intoksikasi pada manusia dan menimbulkan penyakit seperti disentri, diare dan demam tifoid dimana bakteri patogennya seperti Shigella dysenteriae, Escherichia coli dan Salmonella typhi. Menurut Pelczar (1988), Shigella dysenteriae merupakan bakteri gram negatif, fakultatif anaerobik, berbentuk batang yang tidak bergerak, tidak membentuk spora. Bakteri ini berukuran sekitar 0,5-0,7 mikrometer dan tumbuh baik pada suhu 370C. Bakteri ini dapat menyebabkan disentri basiler. Disentri adalah salah satu dari berbagai gangguan pencernaan yang ditandai dengan peradangan usus terutama kolon, disertai nyeri perut dan buang air besar yang sering mengandung darah dan lendir. Menurut Anonim (2008), Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang dengan panjang sekitar 2 mikrometer dan diamater 0,5 mikrometer, bersifat anaerob fakultatif, biasanya dapat bergerak dan tidak membentuk spora. Bakteri ini umumnya hidup pada rentang 20400C, optimum pada 370C. Escherichia coli merupakan bakteri yang secara normal terdapat di dalam usus dan berperan dalam proses pembusukan sisa-sisa makanan. Keberadaan bakteri ini merupakan parameter ada tidaknya materi fekal di dalam suatu habitat khususnya air. Escherichia coli adalah salah satu jenis bakteri yang ada dalam tinja manusia dan dapat mengakibatkan gangguan pencernaan seperti diare. Escherichia coli yang menimbulkan diare dengan invasi langsung lapisan sel epitelium dinding usus yang disebabkan karena pengaruh beracun lipopolisakarida dinding sel (endotoksin). Menurut Gibson (1996), Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif, bersifat motil (bergerak), bakteri anaerob fakultatif. Berbentuk batang pendek berderet seperti rantai. Salmonella typhi tidak dapat menfermentasi glukosa dan laktosa, tidak menghasilkan asam dan gas dari glukosa. Bakteri ini tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 35-370C. Salmonella typhi biasanya ditemukan pada
jaringan limfa saluran pencernaan kemudian masuk ke dalam nodus limfa dan aliran darah. Salmonella typhi dapat menyebabkan penyakit demam tifoid. Menurut Pelczar (1988), Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang disebabkan karena salmonella tidak memfermentasi laktosa tetapi kebanyakan membentuk H2S dan gas dari karbohidrat dan akan mendekarboksilasi lisin.