5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Askariasis Askariasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh A.lumbricoides (cacing gelang) yang hidup di usus halus manusia dan penularannya melalui tanah. Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit yaitu tersebar di seluruh dunia, frekuensi terbesar berada di negara tropis yang lembab, dengan angka prevalensi di atas 50%. Di Indonesia frekuensinya tinggi berkisar antara 20-90%. Pada umumnya lebih banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5-10 tahun sebagai host (penjamu). 2.1.1. Ascaris lumbricoides Ascaris lumbricoides merupakan cacing usus yang terbesar, mampu membesar hingga 35cm panjang dan 0,5cm garis tengah. Ascaris hidup di dalam usus dan telurnya terdapat dalam feses orang yang terinfeksi. Jika orang yang terinfeksi defekasi di luar atau feses orang yang terinfeksi digunakan sebagai pupuk, maka telur akan berada di tanah, lalu menjadi matang dan berada dalam bentuk infeksius. Askariasis disebabkan oleh telur yang tertelan. Hal ini bisa terjadi apabila jari atau tangan yang terkontaminasi dengan tanah yang mengandung telur cacing dimasukkan ke dalam mulut atau terjadi akibat kontaminasi sayuran atau buah yang tidak dicuci, tidak dibuang kulit atau tidak dimasak dengan cara yang benar (CDC,2010) Adanya cacing didalam usus penderita akan mengadakan gangguan keseimbangan fisiologi yang normal dalam usus, mengadakan iritasi setempat sehingga mengganggu gerakan peristaltik dan penyerapan makanan. Cacing dapat mempertahankan posisinya didalam usus halus karena aktivitas otot-otot somatik. Jika otot-otot somatik dilumpuhkan dengan obat-obat antihelmintik, cacing akan dikeluarkan dengan gerakan peristaltik normal.
Universitas Sumatera Utara
6
2.1.1.1. Morfologi Ascaris lumbricoides merupakan salah satu jenis dari soil transmitted helminthes, yaitu cacing yang memerlukan perkembangan di dalam tanah untuk menjadi infektif. Ascaris lumbricoides merupakan nematoda parasit yang paling banyak menyerang manusia dan cacing ini disebut juga cacing bulat atau cacing gelang. Cacing dewasa berwarna agak kemerahan atau putih kekuningan, bentuknya silindris memanjang, ujung anterior tumpul memipih dan ujung posteriornya agak meruncing. Terdapat garis-garis lateral yang biasanya mudah dilihat, ada sepasang, warnanya memutih sepanjang tubuhnya. Bagian kepala dilengkapi dengan tiga buah bibir yaitu satu dibagian mediodorsal dan dua lagi berpasangan dibagian latero ventral. Terdapat sepasang papilla, di bagian pusat di antara ketiga bibir terdapat lubang mulut (bukal kaviti) yang terbentuk segitiga dan kecil. Pada bagian posterior terdapat anusnya yang melintang. Cacing dewasa yang jantan berukuran panjang 15 cm – 31 cm dengan diameter 2 mm – 4 mm. Adapun cacing betina panjangnya berukuran 20 cm – 35 cm, kadang-kadang sampai mencapai 49 cm, dengan diameter 3 mm – 6 mm. Untuk membedakan cacing betina dengan cacing jantan dapat dilihat pada bagian ekornya (ujung posterior), dimana cacing jantan ujung ekornya leelengkung ke arah ventral. Cacing jantan mempunyai sepasang spikula yang bentuknya sederhana dan silindris, sebagai alat kopulasi, dengan ukuran panjang 2 mm – 3,5 mm dan ujungnya meruncing. Cacing betina memiliki vulva yang letaknya di bagian ventral sepertiga dari panjang tubuh dari ujung kepala. Vagina bercabang membentuk pasangan saluran genital. Saluran genital terdiri dari seminal reseptakulum, oviduk, ovarium dan saluran-salurannya berkelok-kelok menuju bagian posterior tubuhnya yang dapat berisi 27 juta telur. Seekor cacing betina dapat bertelur sampai 200.000 butir sehari, yang dapat berlangsung selama masa hidupnya yaitu kira-kira 1 tahun.
Universitas Sumatera Utara
7
Telur ini tidak menetas di dalam tubuh manusia, tapi dikeluarkan bersama tinja hospes. Telur cacing ini ada yang dibuahi, disebut Fertilized. Bentuk ini ada dua macam, yaitu yang mempunyai cortex, disebut Fertilized-corticated dan yang lain tidak mempunyai cortex, disebut Fertilized-decorticated. Ukuran telur ini 60 x 45 mikron. Telur yang tidak dibuahi disebut unfertilized, ukurannya lebih lonjong : 90 x 40 mikron dan tidak mengandung embrio di dalamnya. Telur yang dibuahi ketika keluar bersama tinja manusia tidak infektif. Di tanah pada suhu 20˚C-30˚C, dalam waktu 2-3 minggu menjadi matang yang disebut telur infektif dan di dalam telur ini sudah terdapat larva. Telur infektif ini dapat hidup lama dan tahan terhadap pengaruh buruk. 2.1.1.2. Siklus hidup Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides, jika tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan pecah dan melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus halus masuk ke dalam vena porta hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju jantung kanan dan selanjutnya melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan masa migrasi berlangsung selama sekitar 15 hari. Dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit selama 2 kali, kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya larva masuk sampai ke bronkus, trakea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke esofagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglotis masuk ke dalam traktus digestivus. Terakhir larva sampai ke dalam usus halus bagian atas, larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa kira-kira 1 tahun, dan kemudian keluar secara spontan. Siklus hidup cacing ascaris mempunyai masa yang cukup panjang, 2 bulan sejak infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu mengeluarkan 200.000-250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang diperlukan adalah 3-4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif. Menurut penelitian
Universitas Sumatera Utara
8
stadium ini merupakan stadium larva, dimana telur tersebut keluar bersama tinja manusia dan di luar akan mengalami perubahan dari stadium larva I – stadium III yang bersifat infektif. Telur-telur ini tahan terhadap berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup bertahun-tahun di tempat yang lembab. Di daerah hiperendemik, anak-anak terkena infeksi secara terus-menerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang lain menjadi dewasa dan menggantikannya. Jumlah telur ascaris yang cukup besar dan dapat hidup selama beberapa tahun maka larvanya dapat tersebar dimana-mana, meyebar melalui tanah, air, ataupun melalui binatang. Jika makanan atau minuman yang mengandung telur ascaris infektif masuk ke dalam tubuh maka siklus hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing ascaris hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak dimasak ataupun melalui kontak langsung dengan kulit.
Universitas Sumatera Utara
9
Gambar 2.1 Siklus hidup Ascaris lumbricoides. 1)Cacing dewasa 2) telur infertil dan telur fertil 5) larva yang telah menetas 7) larva matur (Sumber : http://www.dpd.cdc.gov/dpdx)
Universitas Sumatera Utara
10
2.1.1.3. Cara penularan Penularan Askariasis dapat terjadi melalui beberapa jalan yaitu masuknya telur yang infektif ke dalam mulut bersama makanan atau minuman yang tercemar, tertelan telur melalui tangan yang kotor dan terhirupnya telur infektif bersama debu udara dimana telur infektif tersebut akan menetas pada saluran pernapasan bagian atas, untuk kemudian menembus pembuluh darah dan memasuki aliran darah.
Gambar 2.2 Sumber : Safar, Rosdiana Parasitologi Kedokteran.2009
Universitas Sumatera Utara
11
2.1.1.4. Patologi dan Patogenitas Infeksi yang disebabkan oleh Ascaris merupakan infeksi yang sangat umum.
Kebanyakan
penderitanya
adalah
anak-anak.
Infeksi
ini
dapat
menimbulkan kematian, baik dikarenakan larva maupun cacing dewasanya. Larva cacing Ascaris lumbricoides dapat menimbulkan hepatitis, askariasis pneumonia, juga kutaneus edema yaitu edema pada kulit, terhadap anak-anak dapat mengakibatkan nausea (rasa mual), kolik (mulas), diare, urtikaria (gatal-gatal), kejang-kejang,
meningitis
(radang
selaput
otak)
juga
kadang-kadang
menimbulkan demam, apatis, rasa mengantuk, strabismus (mata juling), dan paralisis (kelumpuhan) dari anggota badan. Terjadi hepatitis dikarenakan larva cacing menembus dinding usus dan terbawa aliran darah vena ke dalam hati sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada hati. Stadium dewasa, biasanya terjadi gejala usus ringan. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi malabsorbsi yang memperberat malnutrisi karena perampasan makanan oleh cacing dewasa. Bila cacing dewasa menumpuk dapat menimbulkan ileus obstruksi. Bila cacing nyasar ke tempat lain dapat terjadi infeksi ektopik pada apendiks dan ductus choledochus. Ascaris lumbricoides dapat menghasilkan telur setiap harinya 20.000 butir atau kira-kira 2-3 buah telur tiap detik. Hal ini dapat menimbulkan anemia, dan dalam jumlah yang sangat banyak dapat juga menyebabkan toksaemia (karena toksin dari ascaris) dan apendisitis yaitu disebabkan cacing dewasa masuk ke dalam lumen apendiks. 2.1.1.5. Diagnosis Untuk mengetahui apakah seseorang Ascaris dapat dilakukan dengan memeriksa ada tidaknya telur ascaris pada tinja. Diagnosis dapat dilakukan pula dengan mengidentifikasikan cacing dewasa yang keluar dari tubuh hospes setelah hospes memakan obat. Untuk mendiagnosis adanya larva pada paru-paru dapat dilakukan dengan Rontgenologis (hasil foto Rontgen pada rongga dada), dan dapat pula memeriksa dahak yang dikeluarkan. Untuk anak kecil sukar untuk dapat memeriksa dahaknya karena biasanya ditelan lagi. Dapat juga penderita Askariasis diketahui dengan cara serologi melalui uji penggumpalan (tes presipitasi).
Universitas Sumatera Utara
12
2.1.1.6. Pencegahan Penularan Ascaris dapat terjadi secara oral, maka untuk pencegahannya hindari tangan dalam keadaan kotor karena dapat menimbulkan adanya kontaminasi dari telur-telur Ascaris. Oleh karena itu, biasakan mencuci tangan sebelum makan. Selain hal di atas, hindari juga sayuran mentah yang tidak dimasak terlebih dahulu dan jangan membiarkan makanan terbuka begitu saja, sehingga debu-debu yang berterbangan dapat mengontaminasi makanan tersebut ataupun dihinggapi serangga yang membawa telur-telur tersebut. Untuk menekan volume dan lokasi dari aliran telur-telur melalui jalan ke penduduk, maka pencegahannya dengan mengadakan penyaluran pembuangan feses yang teratur dan sesuai dengan syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan dan tidak boleh mengotori air permukaan untuk mencegah agar tanah tidak terkontaminasi telur ascaris. Mengingat prevalensi yang tinggi pada golongan anak-anak, maka perlu diadakan pendidikan di sekolah-sekolah mengenai cacing ascaris ini. Dianjurkan pula untuk membiasakan mencuci tangan sebelum makan, mencuci makanan dan memasaknya dengan baik, memakai alas kaki terutama di luar rumah. Ada baiknya di desa-desa diberi pendidikan dengan cara peragaan secara audio visual, sehingga dengan cara ini mudah dapat dimengerti oleh mereka. Untuk melengkapi hal di atas perlu ditambah dengan penyediaan sarana air minum dan jamban keluarga, sehingga telah menjadi program nasional, rehabilitasi sarana perumahan juga merupakam salah satu perbaikan keadaan sosial ekonomi yang menjurus kepada perbaikan hygiene dan sanitasi.
Universitas Sumatera Utara
13
Cara-cara perbaikan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Buang air selalu di jamban dan menggunakan air untuk membersihkannya 2. Memakan makanan yang sudah dicuci dan dipanaskan serta menggunakan sendok garpu dalam waktu makan dapat mencegah infeksi oleh telur cacing 3. Anak-anak dianjurkan tidak bermain di tanah yang lembab dan kotor, serta selalu memotong kuku secara teratur 4. Halaman rumah selalu dibersihkan 2.2. Sistem imun Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, moleku-molekul dan bahan lainnya terhadap mikroba disebut respons imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan kebutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah atau nonspesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired). Respon imun diperantarai oleh berbagai sel dan molekul larut yang disekresi oleh sel-sel tersebut. Sel-sel utama yang terlibat dalam reaksi imun adalah limfosit (sel B, sel T, dan sel NK), fagosit (neutrofil, eosinofil, monosit, dan makrofag), sel asesori (basofil, sel mast, dan trombosit), sel-sel jaringan dan lain-lain. Bahan larut yang disekresi dapat berupa antibodi, komplemen, mediator radang, dan sitokin. Walaupun bukan merupakan bagian utama dari respon imun, sel-sel lain dalam jaringan juga dapat berperan serta dengan memberi isyarat pada limfosit atau berespons terhadap sitokin yang dilepaskan oleh limfosit dan makrofag.
Universitas Sumatera Utara
14
2.2.1. Sistem imun nonspesifik Imunitas nonspesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh, selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkannya. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi, misalnya jumlah sel darah putih meningkat selama fase akut pada banyak penyakit. Disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifisitas terhadap benda asing dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial. Sistem tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respons langsung. a. Pertahanan fisik/mekanik Kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin, merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi. b. Pertahanan biokimia pH asam keringat, sekresi sebaseus, berbagai asam lemak yang dilepas kulit, lizosim dalam keringat, saliva, air mata, dan air susu ibu, enzim saliva, asam lambung, enzim proteolitik, antibodi, dan empedu dalam usus halus, mukosa saluran nafas, gerakan silia. c. Pertahanan humoral Pertahanan humoral terdiri dari komplemen, protein fase akut, mediator asal fosfolipid, sitokin IL-1, IL-6, TNF-α. Komplemen terdiri atas sejumlah besar perotein yang bila diaktifkan akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respons inflamasi. Komplemen berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, sebagai faktor kemotaktik dan juga menimbulkan destruksi/lisis bakteri dan parasit. Protein fase akut terdiri dari CRP, lektin, dan protein fase akut lain α1antitripsin, amyloid serum A, haptoglobin, C9, faktor B dan fibrinogen. Mediator
Universitas Sumatera Utara
15
asal fosfolipid diperlukan untuk produksi prostaglandin dan leukotrien. Keduanya meningkatkan respons inflamasi melalui peningkatan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi. d. Pertahanan seluler Fagosit, sel NK, sel mast, dan eosinofil berperan dalam sistem imun nonspesifik seluler. Sel-sel imun tersebut dapat ditemukan dalam sirkulasi atau jaringan. Contoh sel yang dapat ditemukan dalam sirkulasi adalah neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, sel T, sel B, sel NK, sel darah merah, dan trombosit. Contoh sel-sel dalam jaringan adalah eosinofil, sel mast, makrofag, sel T, sel plasma, dan sel NK. 2.2.2. Sistem Imun Spesifik Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali terpajan dengan tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik. Pajanan tersebut menimbulkan sensitisasi, sehingga antigen yang sama dan masuk tubuh untuk kedua kali akan dikenal lebih cepat dan kemudian dihancurkan. Oleh karena itu, sistem tersebut
disebut
spesifik untuk
menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi tubuh, sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun nonspesifik. Namun pada umumnya terjalin kerjasama yang baik antara sistem imun nonspesifik dan spesifik seperti antara komplemen-fagosit-dan antara makrofag-sel T. Sistem imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem selular. Pada imunitas humoral, sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba ekstraselular. Pada imunitas selular, sel T mengaktifkan makrofag sebagai efektor untuk menghancurkan mikroba atau mengaktifkan sel CTC/Tc sebagai efektor yang menghancurkan sel terinfeksi.
Universitas Sumatera Utara
16
a. Sistem imun spesifik humoral Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Humor berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari sel asal multipoten di sumsum tulang. Sel B yang dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi, berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibodi ialah pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralkan toksinnya. b. Sistem imun spesifik selular Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular. Sel tersebut juga berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. Pada orang dewasa, sel T dibentuk di dalam sumsum tulang, tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi di dalam kelenjar timus atas pengaruh berbagai faktor asal timus. 90-95% dari semua sel T dalam timus tersebut mati dan hanya 5-10% menjadi matang dan selanjutnya meninggalkan timus untuk masuk ke dalam sirkulasi. Faktor timus yang disebut timosin dapat ditemukan dalam peredaran darah sebagai hormon asli dan dapat mempengaruhi diferensiasi sel T di perifer. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas beberapa subset sel dengan fungsi yang berlainan yaitu sel 𝐶𝐷4+ (Th1, Th2), 𝐶𝐷8+ atau CTL atau Tc dan Ts atau sel Tr atau Th3. Fungsi utama sistem imun spesifik selular ialah pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraselular, virus, jamur, parasit dan keganasan. Sel 𝐶𝐷4+ mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba. Sel 𝐶𝐷8+ memusnahkan sel terinfeksi. 2.3. Imunitas terhadap infeksi parasit Akibat dari infeksi parasit dapat disebabkan oleh tidak adanya reaksi imun sehingga terjadi superinfeksi berat di satu pihak dan di pihak lain terjadi reaksi imunopatologik yang berlebihan sehingga mengancam jiwa. Parasit harus berada di antara kedua ekstrem ini untuk menghindari kematian pejamu dan pada saat yang sama menghindar dari reaski imun, supaya ia sendiri tetap hidup. Pada
Universitas Sumatera Utara
17
kenyataannya, setiap parasit mempunyai mekanisme yang sangat kompleks sampai terjadinya kematian. 2.3.1. Imunitas nonspesifik Meskipun
berbagai
protozoa
dan
cacing
mengaktifkan
imunitas
nonspesifik melalui mekanisme yang berbeda, mikroba tersebut biasanya dapat tetap hidup dan berkembang biak dalam pejamu oleh karena dapat beradaptasi dan menjadi resisten terhadap sistem imun pejamu. Respon imun nonspesifik utama terhadap protozoa adalah fagositosis, tetapi banyak parasit tersebut yang resisten terhadap efek bakterisidal makrofag, bahkan beberapa diantaranya dapat hidup dalam makrofag. Fagosit juga menyerang cacing dan melepas bahan mikrobisidal untuk membunuh mikroba yang terlalu besar untuk dimakan. Beberapa cacing mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif, tetapi ternyata banyak parasit memiliki lapisan permukaan tebal sehingga resisten terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag. Banyak parasit ternyata mengembangkan resistensi terhadap efek lisis komplemen. 2.3.2. Imunitas spesifik 2.3.2.1. Respon imun yang berbeda Berbagai protozoa dan cacing berbeda dalam besar, struktur, sifat biokimiawi, siklus hidup dan patogenisitasnya. Hal itu menimbulkan respon imun spesifik yang berbeda pula. Infeksi cacing biasanya terjadi kronik dan kematian pejamu akan merugikan parasit sendiri. Infeksi yang kronik itu akan menimbulkan rangsangan antigen persisten yang meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun. Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen poliklonal sel B yang T independen.
Universitas Sumatera Utara
18
2.3.2.2. Infeksi cacing Respons pejamu terhadap infeksi cacing pada umumnya lebih kompleks oleh karena patogen lebih besar dan tidak bisa ditelan oleh fagosit. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit. Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain oleh karena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan ROI yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi inflamasi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna.
Universitas Sumatera Utara
19
Gambar 2.3 Respon imun cacing Sumber : Imunologi Dasar Fakultas Kedokteran UI, 2012
Parasit yang masuk ke dalam lumen saluran cerna, pertama dirusak oleh IgG, IgE dan juga mungkin dibantu oleh ADCC. Sitokin yang dilepas sel T yang dipacu antigen spesifik merangsang proliferasi sel goblet dan sekresi bahan mukus yang menyelubungi cacing yang rusak. Hal itu memungkinkan cacing dapat dikeluarkan dari tubuh melalui peningkatan gerakan usus yang diinduksi mediator sel mast seperti LTD4 dan diare akibat pencegahan absorbsi natrium yang tergantung glukosa oleh histamin dan prostaglandin asal sel mast. Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel mast/ basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui
Universitas Sumatera Utara
20
IgG/IgA dan melepas protein kationik, MBP dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing. IgE parasit diduga banyak ahli hanya merupakan bagian dari peningkatan masif IgE yan
g diinduksi IL-4 oleh sel Th2 dan eksesnya diduga untuk
memenuhi IgER pada permukaan sel mast untuk dijadikan refrakter terhadap rangsangan antigen parasit.
Gambar 2.4. Respon Imun terhadap cacing Sumber : Imunologi Dasar Fakultas Kedokteran UI,2012
Universitas Sumatera Utara
21
2.4. Eosinofilia Eosinofilia adalah tingginya rasio eosinofil di dalam plasma darah. Eosinofilia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan respon terhadap suatu penyakit. Peningkatan jumlah eosinofil dalam darah di picu sekresi interleukin-5 oleh sel T, mastosit dan makrofag, menunjukkan respon yang tepat terhadap sel-sel abnormal, parasit atau bahan-bahan penyebab reaksi alergi (alergen). Setelah diproduksi dalam sumsum tulang, eosinofil akan memasuki aliran darah dan tinggal dalam darah hanya beberapa jam, kemudian masuk ke dalam jaringan di seluruh tubuh. Jika suatu bahan asing masuk ke dalam tubuh, akan terdeteksi oleh limfosit dan neutrofil, yang akan melepaskan bahan untuk menarik eosinofil ke daerah ini. Eosinofil kemudian melepaskan bahan racun yang dapat membunuh parasit dan menghancurkan sel-sel yang abnormal. Eosinofil mengandung sejumlah zat kimiawi antara lain histamin, eosinofil peroksidase, ribonuklease, deoksiribonuklease, lipase, plasminogen dan beberapa asam amino yang dirilis melalui proses granulasi setelah eosinofil teraktivasi. Eosinofil merupakan sel substrat peradangan dalam reaksi alergi. Eosinofil dapat bertahan dalam sirkulasi darah selama 8-12 jam, dan bertahan lebih lama sekitar 8-12 hari di dalam jaringan apabila tidak terdapat stimulasi. Sel ini mirip dengan neutrofil kecuali granula sitoplasmanya lebih kasar dan berwarna lebih merah gelap (karena mengandung protein basa) dan jarang terdapat lebih dari 3 lobus inti. Mieloit eosinofil dapat dikenali tetapi stadium sebelumnya tidak dapat dibedakan dari prekursor neutrofil. Waktu perjalanan dalam darah untuk eosinofil lebih lama darpada untuk neutrofil. Eosinofil memasuki eksudat peradangan dan berperan terhadap respon alergi, pada pertahanan melawan parasit dan dalam pengeluaran fibrin yang terbentuk selama peradangan. Kadar eosinofil dalam kondisi normal berkisar antara 1-3 %, kadar eosinofilia rendah berkisar 4-5%, kadar eosinofilia sedang berkisar 6-9 % dan kadar eosinofilia tinggi lebih dari 9 %.
Universitas Sumatera Utara