BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Merokok 2.1.1. Epidemiologi Konsumsi Rokok Hampir 1 juta milyar laki-laki di dunia merokok, sekitar 35% dari mereka berada di negara maju dan 50% berada di negara berkembang. Sekitar 250 juta perempuan di dunia merupakan perokok. Sekitar 22% dari perempuan tersebut berada di negara maju dan 9% berada di negara berkembang. Rendahnya tingkat konsumsi tembakau pada perempuan di seluruh dunia tidak mencerminkan kesadaran akan kesehatan, namun lebih kepada tradisi sosial dan rendahnya sumber ekonomi pada perempuan. Jumlah perokok di dunia akan terus bertambah terutama karena terjadi pertambahan jumlah populasi. Pada tahun 2030 akan ada sekitar 2 milyar orang di dunia. Meskipun angka prevalensi ini salah, jumlah perokok akan tetap meningkat. Konsumsi tembakau telah mencapai proporsi epidemik global (Mackay & Eriksen, 2002). Indonesia adalah salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia. Secara nasional, konsumsi rokok di Indonesia pada tahun 2002 berjumlah 182 milyar batang yang merupakan urutan ke-5 diantara 10 negara di dunia dengan konsumsi tertinggi pada tahun yang sama (Depkes RI, 2004). Konsumsi rokok di Indonesia meningkat 7 kali lipat selama periode 1970-2000 dari 33 milyar batang pada tahun 1970 menjadi 217 milyar batang pada tahun 2000. Antara tahun 1970 dan 1980 konsumsi meningkat sebesar 159%, yaitu dari 33 milyar batang menjadi 84 milyar batang. Antara tahun 1990 dan 2000 peningkatan lebih jauh sebesar 54% terjadi dalam konsumsi tembakau walaupun terjadi krisis ekonomi. Prevalensi merokok di kalangan dewasa meningkat menjadi 31,5% pada tahun 2001 dari 26,9% pada tahun 1995 (Depkes RI, 2003). Prevalensi merokok penduduk usia 15 tahun ke atas adalah 31,5 %, lebih tinggi dibandingkan tahun 1995 yang sebesar 26,9%. Prevalensi ini berbeda menurut jenis kelamin, wilayah tempat tinggal, kelompok umur, tingkat pendapatan, dan tingkat pendidikan. Prevalensi merokok dewasa (umur 15 tahun
Universitas Sumatera Utara
ke atas) pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi pada perempuan. Pada tahun 2001, prevalensi merokok pada laki-laki sebesar 62,2% dan perempuan sebesar 1,3%. Penduduk yang tinggal di pedesaan mempunyai prevalensi merokok yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal di perkotaan. Prevalensi merokok di pedesaan adalah sebesar 34% dan di perkotaan sebesar 28,2%. Prevalensi merokok laki-laki umur 15 tahun ke atas yang tinggal di desa adalah sebesar 67% dan yang tinggal di kota 56,1% sedangkan prevalensi wanita umur 15 tahun ke atas di desa 1,5% dan di kota 1,1%. Di tingkat provinsi, angka tertinggi laki-laki yang merokok adalah di Gorontalo (69%) dibandingkan Bali (45,7%). Prevalensi merokok wanita meningkat menjadi lebih dari dua kali lipat antara tahun 1995 dan 2001 di Papua, Kalimantan timur, Jawa Tengah, dan Bali, meskipun secara menyeluruh prevalensinya masih tetap sangat rendah (Depkes RI, 2004). Menurut Surkesnas (2004), hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004 menunjukkan bahwa perokok umur≥ 1 5 tahun di Ind onesia sebesar 35%, kisaran menurut provinsi terendah di Nanggroe Aceh Darussalam (24%) dan tertinggi di Maluku Utara (42%), persentase di atas rata-rata angka nasional meliputi 13 provinsi. Perokok laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan (63% dibanding 4,5%). Sebanyak 63% perokok yang merokok ≥ 10 batang per hari, kisaran menurut provinsi terendah di Maluku (22%) dan tertinggi di Sumatera Utara (84%).
2.1.2. Merokok Menurut Sitepoe (2000), merokok adalah membakar tembakau yang kemudian diisap isinya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Temperatur pada sebatang rokok yang tengah dibakar adalah 900ºC untuk ujung rokok yang dibakar dan 30ºC untuk ujung rokok yang terselip di antara bibir perokok. Definisi perokok sekarang menurut WHO dalam Depkes (2004) adalah mereka yang merokok setiap hari untuk jangka waktu minimal 6 bulan selama hidupnya masih merokok saat survey dilakukan. Menurut Harrisons (1987) dalam Sitepoe (2000), asap rokok yang diisap atau asap rokok yang dihirup melalui dua
Universitas Sumatera Utara
komponen: komponen yang lekas menguap membentuk gas dan komponen yang bersama gas terkondensasi menjadi komponen partikulat. Dengan demikian, asap rokok yang diisap dapat berupa gas sejumlah 85% dan sisanya berupa partikel. Asap rokok yang diisap melalui mulut disebut mainstream smoke, sedangkan asap rokok yang terbentuk pada ujung rokok yang dihembuskan ke udara oleh perokok disebut sidestream smoke. Menurut Drastyawan et al (2001) dalam Nasution (2007), besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh jumlah rokok yang diisap dan pola pengisapan rokok tersebut. Menurut Kollapan dan Gopi (2002); Solak et al (2005) dalam Nasution (2007), faktor lain yang turut mempengaruhi akibat asap rokok antara lain usia mulai merokok, lama merokok, dalamnya isapan, dan lainlain. Berdasarkan lamanya, merokok dapat dikelompokkan sebagai berikut: merokok selama kurang dari 10 tahun, antara 10-20 tahun, dan lebih dari 20 tahun. Jumlah rokok yang dikonsumsi per hari dapat diklasifikasikan sebagai berikut: ringan (1-10 batang per hari), sedang (11-20 batang per hari), dan berat (lebih dari 20 batang per hari).
2.1.3. Jenis Rokok Menurut Sitepoe (2000), di luar negeri bahan baku rokok hanya tembakau, dikenal dengan istilah rokok putih, sedangkan di Indonesia bahan baku rokok adalah tembakau dan juga cengkeh atau disebut rokok kretek. Sebagai bahan baku, di samping tembakau juga ditambahkan kemenyan dan kelembak, atau disebut rokok kelembak atau rokok siong. Selain rokok yang khusus dijumpai di Indonesia, ada pula tembakau yang digunakan sebagai rokok pipa dan rokok cerutu yang tersebar luas di seluruh dunia. Pada rokok pipa, tembakau dibakar kemudian diisap melalui pipa. Khusus rokok cerutu, daun tembakau kering yang dirajang agak lebar disusun sedemikian rupa. Rokok digulung dengan berbagai jenis pembalut atau pembungkus. Ada yang menggunakan kertas, misalnya rokok kretek dan rokok putih; daun nipah; pelepah tongkol jagung atau disebut rokok kelobot; dan dengan tembakau sendiri
Universitas Sumatera Utara
atau disebut rokok cerutu; ada juga yang tidak menggunakan pembalut, misalnya rokok pipa (Sitepoe, 2000). Baik rokok putih maupun rokok kretek ‒demikian pun dengan rokok pipa‒ada yang menggunakan filter dan ada pula yang tanpa filter. Konsumsi rokok berfilter banyak dijumpai di kota, sedangkan perokok di pedesaan banyak menggunakan rokok tanpa filter (Sitepoe, 2000). Rokok kretek merupakan rokok khusus Indonesia yang hanya diproduksi di Indonesia. Jenis rokok ini diproduksi dengan mesin yang disebut rokok kretek mesin dan dapat pula diproduksi secara manual menggunakan tenaga kerja berjumlah banyak atau disebut rokok kretek tangan (Sitepoe, 2000).
2.1.4. Bahan Kimia yang Terkandung di dalam Rokok Menurut Mackay & Eriksen (2002), merokok tembakau terdiri dari 4.000 lebih bahan kimia, beberapa dari ini bersifat iritan dan 60 lainnya diketahui atau diduga bersifat karsinogenik. Bahan kimia tersebut antara lain: aseton, amonia, arsenik, butan, cadmium, karbonmonoksida (CO), DDT, hidrogen sianida, metanol, naftalen, toluen, dan vinil klorida. Menurut Sitepoe (2000), komposisi asap rokok yang diisap tergantung berbagai faktor, yaitu jenis tembakau; pemrosesan menjadi tembakau: khususnya kekeringan tembakau; berat bahan baku rokok: tembakau, termasuk cengkeh atau bahan tambahan lainnya; bahan pembalut rokok; serta ada tidaknya filter: termasuk panjang filter dan kerapatan filter pada rokok yang diisap. Filter yang terbuat dari asetat selulosa berfungsi untuk menahan beberapa tar dan partikel rokok yang berasal dari rokok yang diisap. Filter juga berfungsi untuk mendinginkan rokok sehingga menjadi mudah diisap (ASH, 2006). Nikotin terdapat di dalam asap rokok dan juga di dalam tembakau yang tidak dibakar. Satu-satunya sumber nikotin adalah tembakau. Nikotin memegang peranan penting dalam ketagihan merokok. Berat rata-rata rokok kretek adalah 1,14 gr/batang dengan komposisi 60% tembakau dan 40% cengkeh. Berat ratarata rokok putih adalah 1 gr/batang dengan komposisi seluruhnya tembakau. Berarti ada kemungkinan berat tembakau di dalam rokok kretek lebih rendah dari
Universitas Sumatera Utara
rokok putih. Tar hanya dijumpai pada rokok yang dibakar. Sumber tar adalah tembakau, cengkeh, pembalut rokok, dan bahan organik lain yang dibakar. Gas CO bersifat toksik karena mengganggu ikatan antara oksigen dengan hemoglobin. Kandungan kadar CO di dalam rokok kretek lebih rendah daripada kandungan CO di dalam rokok putih. Timah hitam (Pb) merupakan partikel asap rokok. Setiap satu batang rokok yang diisap diperhitungkan mengandung 0,5 mikrogram Pb. Batas bahaya kadar Pb dalam tubuh adalah 20 mikrogram/hari. Eugenol hanya dijumpai di dalam rokok kretek dan tidak dijumpai dalam rokok putih. Eugenol serupa halnya dengan nikotin, yakni dapat dijumpai dalam rokok yang dirokok (asap rokok) dan juga di dalam rokok yang tidak dirokok (tembakau) (Sitepoe, 2000).
2.1.5. Merokok dan Kesehatan Masalah kesehatan yang ada di Indonesia berhubungan dengan perubahan gaya hidup, seperti perubahan kebiasaan makan, merokok, penyalahgunaan zat, aktivitas yang kurang, dan lain-lain (WHO, 2006). Meskipun tembakau digunakan dengan cara mengisap, mengunyah, menghirup, dan lain-lain, tidak ada cara yang aman untuk menggunakan tembakau (Mackay & Eriksen, 2002). Berbagai jenis rokok yang diisap ataupun tembakau yang digunakan tanpa dibakar, dapat mengganggu kesehatan apabila digunakan di atas ambang tertentu serta digunakan secara berulang-ulang. Gangguan kesehatan akibat merokok disebabkan oleh bahan kimia yang terdapat di dalam rokok atau di dalam tembakau yang digunakan (Sitepoe, 2000). Menurut CDC (2004), merokok membahayakan setiap organ di dalam tubuh. Merokok menyebabkan penyakit dan memperburuk kesehatan. Berhenti merokok memberikan banyak keuntungan. Hal ini dapat menurunkan risiko penyakit dan kematian yang disebabkan oleh rokok dan dapat memperbaiki kesehatan. Penyakit-penyakit yang dapat disebabkan oleh rokok yaitu kanker serviks, pankreas, ginjal, lambung, aneurisma aorta, leukemia, katarak, pneumonia, dan penyakit gusi.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Lensa 2.2.1. Anatomi dan Histologi Lensa Menurut Khurana (2007), lensa transparan, bikonveks, terdiri dari struktur kristalin yang terletak antara iris dan badan vitreous. Diameter lensa 9-10 mm dan ketebalannya bervariasi bergantung pada umur. Pada saat lahir diameternya 3,5 mm, dan pada puncak umur diameternya 5 mm. Beratnya juga bervariasi mulai dari 135 mg (0-9 tahun) hingga 255 mg (40-80 tahun). Lensa mempunyai dua permukaan yaitu anterior dan posterior. Anterior mempunyai permukaan yang kurang konveks (jari-jari kurvatura 10 mm) daripada permukaan posterior (jari-jari kurvatura 6 mm). Kedua permukaan anterior dan posterior bertemu di ekuator. Lensa terikat dalam posisinya oleh zonula Zinn, yang terdiri dari serat-serat yang kuat yang menyokong dan berikatan dengan badan siliaris (Khurana, 2007). Lensa tidak memiliki suplai atau inervasi dari pembuluh darah setelah perkembangan fetal, hal ini menyebabkan lensa sangat bergantung pada aqueous humor untuk memperoleh kebutuhan metabolik dan untuk mengangkut sisa-sisa metabolisme (Rosenfeld, 2007). Lensa terus bertumbuh sepanjang hidup. Ketebalan relatif dari korteks bertambah sesuai umur. Pada waktu yang sama, kelengkungan lensa bertambah sehingga lensa yang tua lebih memiliki kekuatan refraksi. Meskipun demikian, indeks refraksi, yang memampukan lensa untuk merefraksi cahaya, semakin menurun seiring bertambahnya umur, hal ini mungkin disebabkan adanya peningkatan jumlah partikel protein yang tidak larut (Rosenfeld, 2007). Lensa dibungkus oleh suatu simpai tebal (10-20 µm), homogen, refraktil, dan kaya akan karbohidrat, yang meliputi permukaan luar sel-sel epitel. Kapsul ini merupakan suatu membran basal yang sangat tebal dan terutama terdiri atas kolagen tipe IV dan glikoprotein. Epitel subkapsular terdiri atas selapis sel kuboid yang hanya terdapat pada permukaan anterior lensa. Lensa bertambah besar dan tumbuh seumur hidup dengan terbentuknya serat lensa baru dari sel-sel yang terdapat di daerah ekuator lensa. Sel-sel epitel ini memiliki banyak interdigitasi dengan serat-serat lensa. Serat lensa tersusun memanjang dan tampak sebagai
Universitas Sumatera Utara
struktur tipis dan gepeng. Serat-serat ini merupakan sel-sel yang sangat terdiferensiasi dan berasal dari sel-sel subkapsular. Serat lensa akhirnya kehilangan inti serta organel lainnya dan menjadi sangat panjang, dan mencapai panjang 7-10 mm, lebar 8-10 mm, dan tebal 2 µm. Sel-sel ini berisikan sekelompok protein yang disebut kristalin. Serat lensa dihasilkan seumur hidup, namun kecepatan produksinya makin lama makin berkurang (Junqueira, 2004).
Gambar 2.1. Lensa Sumber: Lang (2000).
2.2.2. Biokimia Lensa Lensa manusia mempunyai konsentrasi protein 33% dari berat keringnya, 2 kali lebih besar daripada di jaringan lainnya. Protein lensa dibagi ke dalam dua kelompok berdasarkan kelarutannya di dalam air. Fraksi yang larut di dalam air berjumlah sekitar 80% dari protein lensa dan terdiri dari sekelompok protein yang disebut kristalin. Kristalin merupakan protein intraselular yang tersusun di dalam epitel dan membran plasma dari serat lensa. Kristalin dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: alfa, beta, dan gamma. Namun saat ini beta dan gamma dibuat menjadi satu kelompok yang disebut kristalin betagamma karena berasal dari
Universitas Sumatera Utara
famili yang sama. Fraksi yang tidak larut di dalam air dibagi lagi menjadi dua fraksi, yaitu yang larut dan tidak larut di dalam urea 8 molar. Fraksi yang larut dalam urea terdiri dari protein sitoskeletal yang menjadi penyusun strukturan sel lensa. Fraksi yang tidak larut di dalam urea menyusun membran plasma serat lensa (Rosenfeld, 2007). Lensa membutuhkan suplai energi (ATP) yang terus menerus untuk transport aktif ion dan asam amino, mempertahankan keadaan dehidrasi lensa, dan untuk sintesis protein dan glutation (GSH) secara terus menerus. Kebanyakan energi yang dihasilkan dipakai oleh epitel sebagai tempat utama proses transpor aktif. Hanya sekitar 10-20% ATP yang digunakan untuk sintesis protein (Khurana, 2007). Produksi energi sangat bergantung pada metabolisme glukosa. Glukosa memasuki lensa dari akueous humor secara difusi, baik yang sederhana maupun yang terfasilitasi. Pada lensa, 80% glukosa dimetabolisme secara anaerob oleh jalur glikolisis, 15% oleh HMP (hexose monophosphate) shunt, dan sebagian kecil melalui siklus Krebs (Khurana, 2007). Kebanyakan glukosa yang ditransport ke dalam lensa difosforilasi menjadi glukosa-6-fosfat (G6P) oleh enzim heksokinase. Sekali terbentuk, G6P akan memasuki dua jalur metabolisme: glikolosis anaerob atau HMP shunt (Rosenfeld, 2007). Jalur yang paling aktif adalah glikolosis anaerob, yang menyediakan ATP dalam jumlah yang banyak yang dibutuhkan untuk metabolisme lensa. Jalur ini kurang efektif dibandingkan glikolisis aerob, karena hanya menghasilkan dua molekul ATP dari setiap penggunaan satu molekul glukosa, sedangkan glikolisis aerob menghasilkan 36 ATP. Karena rendahnya tekanan oksigen di dalam lensa, hanya sekitar 3% dari glukosa lensa yang melalui jalur siklus Krebs untuk menghasilkan energi (Rosenfeld, 2007). Jalur yang kurang aktif dalam menggunakan G6P di dalam lensa adalah HMP shunt, atau yang biasa dikenal sebagai jalur pentosa fosfat. Aktivitas HMP shunt di dalam lensa lebih tinggi daripada jaringan tubuh lainnya. Sama seperti di jaringan lainnya, HMP shunt menghasilkan NADPH untuk biosintesis asam lemak
Universitas Sumatera Utara
dan biosintesis ribosa dari nukleotida. Juga menyediakan NADPH yang sangat penting untuk glutation reduktase dan untuk aktivitas aldose reduktase di dalam lensa. Produk karbohidrat dari HMP shunt memasuki jalur glikolisis dan dimetabolisme menjadi laktat (Rosenfeld, 2007). Jalur sorbitol relatif tidak tetap pada lensa normal, bagaimanapun jalur ini berperan penting dalam terjadinya katarak pada pasien diabetes dan galaktosemia. Aldose reduktase merupakan enzim kunci dalam jalur sorbitol. Ketika terjadi peningkatan kadar glukosa di dalam lensa, seperti yang terjadi pada keadaan hiperglikemia, jalur sorbitol lebih diaktifkan daripada glikolisis, dan sorbitol terakumulasi. Sorbitol dimetabolisme menjadi fruktosa oleh enzim polyol dehidrogenase. Enzim polyol dehidrogenase ini mempunyai afinitas yang relatif rendah, ini berarti sorbitol akan terakumulasi sebelum mengalami metabolisme lanjut. Hal ini, ditambah lagi dengan sifat lensa yang permeabilitasnya rendah, menyebabkan retensi sorbitol di dalam lensa (Rosenfeld, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Metabolisme Glukosa dalam Lensa Sumber: Rosenfeld (2007). Berdasarkan kelarutan di dalam air, ada satu hipotesis yang mengatakan bahwa dengan bertambahnya waktu, protein lensa menjadi tidak larut dalam air dan berkumpul membentuk partikel yang sangat besar yang menghamburkan cahaya sehingga lensa menjadi keruh. Perubahan protein larut air menjadi protein tidak larut air timbul sebagai proses alami di dalam maturasi serat lensa, tetapi hal ini dapat dipercepat atau terjadi secara berlebihan pada lensa yang katarak (Rosenfeld, 2007). Radikal bebas dihasilkan dalam aktivitas metabolik dan juga menghasilkan agen eksternal seperti energi radiasi. Radikal bebas yang reaktif tinggi dapat menyebabkan kerusakan serat lensa. Peroksidasi di dalam serat plasma atau membran lipid serat lensa plasma diduga sebagai faktor yang menyebabkan kekeruhan lensa. Di dalam proses peroksidasi lipid, agen pengoksidasi
Universitas Sumatera Utara
melepaskan atom hidrogen dari PUFA (polyunsaturated fatty acid), membentuk radikal asam lemak yang akan menyerang molekul oksigen untuk membentuk lipid peroksi radikal. Reaksi ini dapat menyebabkan terbentuknya peroksida lipid (LOOH) (Rosenfeld, 2007). Karena tekanan oksigen di dalam lensa rendah, reaksi radikal bebas tidak dapat melibatkan molekul oksigen; meskipun demikian radikal bebas dapat langsung bereaksi dengan molekul-molekul lain. DNA merupakan molekul yang mudah dirusak oleh radikal bebas. Beberapa kerusakan dari lensa dapat diperbaiki, namun beberapa kerusakan lain mungkin telah permanen. Radikal bebas juga dapat menyerang protein atau membran lipid di dalam korteks lensa. Tidak ada mekanisme perbaikan yang dapat mencegah kerusakan yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Pada serat lensa, dimana tidak terdapat sintesis protein, kerusakan akibat radikal bebas dapat menyebabkan polimerasi dan ikatan silang dari lipid dan protein sehingga meningkatkan jumlah protein yang tidak larut di dalam air. (Rosenfeld, 2007). Lensa mempunyai beberapa enzim yang berfungsi untuk melindungi lensa dari kerusakan akibat radikal bebas atau oksigen. Enzim-enzim ini termasuk glutation peroksidase, katalase, dan superoksida dismutase. Superoksida dismutase mengkatalisis superoksida (O 2 -) dan menghasilkan hidrogen peroksida: 2O 2 - + 2H+ → H 2 O 2 + O 2 . Katalase dapat memecah peroksida dengan reaksi: 2H 2 O 2 → 2H 2 O + O 2 . Glutation peroksidase mengkatalisis reaksi: 2GSH + LOOH → GSSG + LOH + H 2 O. Glutation disulfida (GSSG) kemudian dikonversi kembali menjadi glutation (GSH) oleh glutation reduktase dengan menggunakan nukleotida piridin NADPH yang disediakan oleh HMP shunt sebagai agen pereduksi: GSSG + NADPH + H+ → 2GSH + NADP+. Oleh karena itu, glutation bereaksi secara tidak langsung sebagai pemecah radikal bebas di dalam lensa (Rosenfeld, 2007). Vitamin E dan asam askorbat juga ada di dalam lensa. Kedua substansi ini dapat bekerja sebagai pemecah radikal bebas dan akhirnya melindungi dari kerusakan oksidatif (Rosenfeld, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Fisiologi Lensa Selama hidup, sel epitel lensa pada ekuator akan terus membelah dan berkembang menjadi serat lensa, menghasilkan pertumbuhan lanjut dari lensa. Area lensa dengan tingkat metabolisme paling tinggi adalah epitelium. Oksigen dan protein yang akan digunakan untuk sintesis protein serta transpor aktif elektrolit, karbohidrat, dan asam amino disediakan oleh epitelium lensa. Energi kimia ini dibutuhkan untuk memelihara pertumbuhan sel dan transparansi lensa. Karena lensa bersifat avaskular, aqueous humor berfungsi sebagai sumber nutrisi dan mengeluarkan produk sisa metabolik. Namun, hanya bagian anterior lensa saja yang dibasahi oleh aqueous humor (Rosenfeld, 2007). Fungsi lensa kristalin, yaitu memelihara kejernihan lensa, merefraksikan cahaya, dan berfungsi dalam proses akomodasi (Rosenfeld, 2007). Lensa manusia normal terdiri dari sekitar 66% air dan 33% protein, dan jumlah ini sedikit berubah dengan bertambahnya usia. Korteks lensa lebih terhidrasi daripada nukleus lensa. Kadar natrium di dalam lensa sekitar 20 mM, dan kadar kalium sekitar 120 mM. Kadar natrium dan kalium di sekitar aqueous humor dan vitreous humor sedikit berbeda: natrium lebih tinggi, sekitar 150 mM, sedangkan kalium sekitar 5 mM. Adanya keseimbangan kation antara di luar dan di dalam lensa menyebabkan permeabilitas dari membran lensa serta aktivitas pompa natrium (Na+,K+-ATPase) yang berada di dalam membran sel epitelium dan di setiap serat lensa. Pompa natrium berfungsi memompa ion natrium keluar, sedangkan ion kalium masuk. Mekanisme ini bergantung pada pemecahan ATP dan diatur oleh enzim Na+,K+-ATPase. Adanya hambatan pada Na+,K+-ATPase menyebabkan kehilangan keseimbangan kation dan peningkatan air di dalam lensa. Namun, penurunan kadar Na+,K+-ATPase di dalam perkembangan katarak kortikal masih belum diketahui (Rosenfeld, 2007). Akomodasi merupakan mekanisme mata untuk merubah fokus gambar dari jarak yang jauh ke jarak yang dekat. Mekanisme ini dihasilkan oleh perubahan bentuk lensa yang disebabkan oleh kerja otot siliar dalam serat zonular. Dengan bertambahnya usia, kemampuan akomodasi lensa semakin menghilang. Setelah berusia sekitar 40 tahun, kekakuan nukleus lensa secara klinis mengurangi
Universitas Sumatera Utara
akomodasi karena nukleus yang sklerotik tidak dapat merubah kurvatura anteriornya lagi seperti dulu. Berdasarkan teori klasik dari von Helmholtz, perubahan akomodasi di dalam bentuk lensa paling banyak terjadi di permukaan anterior tengah. Kapsul anterior tengah lebih tipis dibandingkan kapsul perifer, dan serat zonula anterior terletak lebih dekat pada aksis visual daripada serat zonula posterior, sehingga anterior tengah mencembung dengan akomodasi. Bagian posterior lensa sedikit mengalami perubahan saat akomodasi. Akomodasi lensa diperantarai oleh nervus III serabut saraf parasimpatis (Rosenfeld, 2007).
2.3. Katarak 2.3.1. Definisi Katarak berasal dari bahasa Yunani, Katarrhakies yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau terjadi akibat kedua-duanya (Ilyas, 2009)
2.3.2. Etiologi dan Faktor Risiko Penyebab utama katarak adalah proses penuaan, tapi ada banyak faktor yang dapat mempengaruhinya, antara lain: sinar ultraviolet B, trauma, toksin, penyakit sistemik (seperti diabetes), merokok, dan keturunan (Ilyas, 2003 dan Vaughan, 2007). Menurut Brian & Taylor (2001), meskipun banyak studi cross-sectional tentang faktor risiko katarak telah dilakukan dan hasil dari beberapa studi longitudinal telah tersedia, pemahaman tentang etiologi umur yang berhubungan dengan katarak masih belum jelas. Perkembangan terbaru tentang epidemiologi katarak telah mengidentifikasi adanya komponen genetik yang kuat. Umur secara jelas telah menunjukkan efek kumulatif dari interaksi yang kompleks antara paparan terhadap berbagai macam faktor dalam waktu yang lama yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan katarak. Beberapa dari faktor ini diketahui, sedangkan yang lainnya belum diketahui. Selain faktor risiko penting
Universitas Sumatera Utara
terjadinya katarak yang berhungan dengan umur seperti paparan radiasi sinar ultraviolet-B (UV-B), diabetes, penggunaan obat-obat untuk terapi seperti kortikosteroid, nikotin, dan alkohol, terdapat juga faktor risiko lainnya seperti BMI, vitamin A, vitamin C, dan vitamin E. Intervensi yang dapat dilakukan untuk mengurangi faktor risiko terjadinya katarak hanya dengan mengurangi paparan radiasi sinar UV-B terhadap mata dan berhenti merokok.
2.3.3. Klasifikasi Menurut Ilyas (2009), berdasarkan usia katarak diklasifikasikan dalam: 1. Katarak kongenital, katarak yang sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun. 2. Katarak juvenil, katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun. 3. Katarak senilis, katarak setelah usia 50 tahun. Katarak dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai macam kriteria. Berdasarkan waktu terjadinya, katarak dibagi menjadi katarak yang didapat dan katarak kongenital (Lang, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Klasifikasi Katarak Berdasarkan Waktu Terjadinya Acquired cataracts (over 99% of all cataracts)
Congenital cataracts (less than 1% of all cataracts)
1. Senile cataract (over 90% of all cataracts) 2. Cataract with systemic disease – Diabetes mellitus – Galactosemia – Renal insufficiency – Mannosidosis – Fabry’s disease – Lowe’s syndrome – Wilson’s disease – Myotonic dystrophy – Tetany – Skin disorders 3. Secondary and complicated cataracts – Cataract with heterochromia – Cataract with chronic iridocyclitis – Cataract with retinal vasculitis – Cataract with retinitis pigmentosa 4. Postoperative cataracts – Most frequently following vitrectomy and silicone oil retinal tamponade – Following filtering operations 5. Traumatic cataracts – Contusion or perforation rosette – Infrared radiation (glassblower’s cataract) – Electrical injury – Ionizing radiation 6. Toxic cataract – Corticosteroid-induced cataract (most frequent) – Less frequently from chlorpromazine, miotic agents, or busulfan 1. Hereditary cataracts – Autosomal dominant – Recessive – Sporadic – X-linked 2. Cataracts due to (transplacental) damage – Rubella (40–60%) – Mumps (10–22%) – Hepatitis (16%) – Toxoplasmosis (5%)
early
embryonic
Sumber: Lang (2000).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Khurana (2007), katarak dibagi berdasarkan etiologi dan morfologi. A. Klasifikasi berdasarkan etiologi I. II.
Congenital and developmental cataract Acquired cataract 1. Senile cataract 2. Traumatic cataract 3. Complicated cataract 4. Metabolic cataract 5. Electric cataract 6. Radiational cataract 7. Toxic catarart, e.g: corticosteroids, miotics, copper, iron 8. Cataract associated with skin diseases (Dermatogenis cataract) 9. Cataract associated with osseous diseases 10. Cataract with miscellaneous syndromes
B. Klasifikasi berdasarkan morfologi I.
Capsular cataract Katarak ini melibatkan kapsul lensa baik anterior maupun posterior.
II.
Subcapsular cataract Katarak ini melibatkan bagian permukaan dari korteks lensa (di bawah kapsul) baik anterior maupun posterior.
III.
Cortical cataract Katarak ini melibatkan bagian utama dari korteks lensa.
IV.
Supranuclear cataract Katarak ini hanya melibatkan bagian dalam dari korteks (di luar dari nukleus lensa).
V.
Nuclear cataract Katarak ini melibakan nukleus dari lensa.
VI.
Polar cataract Katarak ini hanya melibatkan bagian permukaan dari korteks di bagian polar lensa.
Universitas Sumatera Utara
2.3.4. Katarak Kongenital dan Katarak Juvenil Menurut Ilyas (2009), katarak kongenital adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera setelah lahir dan bayi berusia kurang dari 1 tahun. Katarak kongenital merupakan penyebab kebutaan pada bayi yang cukup berarti terutama akibat penanganan yang kurang tepat. Katarak kongenital sering ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang menderita penyakit rubela, galaktosemia, homosisteinuri, diabetes melitus, hipoparatiroidisme, toksoplasmosis, inklusi sitomegalik, dan histoplasmosis. Penyakit lain yang menyertai katarak kongenital biasanya merupakan penyakit-penyakit herediter seperti mikroftalmus, aniridia, koloboma iris, keratokonus, iris, heterokromia, lensa ektopik, displasia, retina, dan megalo kornea. Kekeruhan pada katarak kongenital dapat dijumpai dalam berbagai bentuk dan gambaran morfologik. Katarak juvenil merupakan katarak yang lembek dan terdapat pada orang muda, yang mulai terbentuk pada usia kurang dari 9 tahun dan lebih dari 3 bulan. Katarak juvenil biasanya merupakan kelanjutan katarak kongenital (Ilyas, 2009).
2.3.5. Katarak yang Didapat (Acquired Cataract) Pada katarak yang didapat, kekeruhan akibat degenerasi terjadi pada serat lensa normal yang sudah terbentuk. Mekanisme dan penyebab pasti terjadinya degenerasi lensa pada katarak ini masih belum jelas. Meskipun demikian, faktorfaktor secara umum seperti faktor fisik, kimia, atau biologi yang mempengaruhi keseimbangan air dan elektrolit dalam intra dan ekstraselular atau yang dapat mengganggu sistem koloid dalam serat lensa dapat menyebabkan kekeruhan (Khurana, 2007).
2.3.5.1. Katarak Senilis a) Definisi Menurut Khurana (2007), katarak senilis yang disebut juga katarak terkait usia merupakan katarak didapat yang paling sering terjadi pada orang yang berusia lebih dari 50 tahun. Saat berusia 70 tahun, lebih dari 90% individu
Universitas Sumatera Utara
menderita katarak senilis. Keadaan ini biasanya bilateral, namun mata yang satu biasanya dipengaruhi lebih awal daripada mata yang lainnya. Secara morfologi, katarak senilis terdiri dari 3 bentuk, yaitu katarak nuklear, kortikal, dan subkapsular posterior (Rosenfeld, 2007).
b) Etiologi (Khurana, 2007) i.
Faktor yang mempengaruhi onset usia, tipe, dan maturasi dari katarak senilis
ii.
-
Keturunan
-
Radiasi ultraviolet
-
Faktor diet
-
Krisis dehidrasi
-
Merokok
Penyebab katarak presenilis Istilah katarak presenilis digunakan ketika perubahan terjadinya katarak
yang serupa dengan katarak senilis terjadi sebelum usia 50 tahun. Penyebab yang paling sering antara lain: -
Keturunan
-
Diabetes melitus
-
Distrofi miotonik
-
Dermatitis atopik
c) Mekanisme kehilangan transparansi lensa Menurut Khurana (2007), mekanisme ini berbeda antara katarak senilis kortikal dan nuklear. Pada katarak senilis kortikal, penurunan total protein, asam amino, dan potasium berhubungan dengan peningkatan konsentrasi sodium dan hidrasi dari lensa, diikuti dengan koagulasi protein. Dengan bertambahnya usia, ada dua hal yang terjadi. Pertama, penurunan fungsi dari mekanisme pompa transportasi aktif lensa mengakibatkan rasio Na+ dan K+ terbalik. Hal ini menyebabkan hidrasi dari serat lensa. Kedua, penurunan reaksi oksidatif akibat bertambahnya umur menyebabkan penurunan kadar asam amino sehingga sintesis
Universitas Sumatera Utara
protein di dalam lensa juga akan menurun. Kedua hal ini akan menyebabkan kekeruhan dari serat lensa kortikal akibat denaturasi protein lensa. Proses degeneratif yang terjadi pada katarak nuklear berhubungan dengan dehidrasi dan pemadatan nukleus lensa yang mengakibatkan katarak keras. Hal ini berhubungan dengan peningkatan signifikan protein yang tidak larut dalam air. Meskipun demikian, jumlah isi protein dan distribusi kation di dalam lenasa tetap normal (Khurana, 2007).
d) Stadium Maturasi Menurut Ilyas (2009), katarak senilis secara klinik dikenal dalam 4 stadium, yaitu insipien, imatur, intumesen, matur, dan hipermatur. Pada katarak insipien akan terlihat kekeruhan mulai dari ekuator berbentuk jeriji menuju korteks, anterior, dan posterior (katarak kortikal). Vakuol juga mulai terlihat di dalam korteks. Pada katarak intumesen, kekeruhan lensa disertai pembengkakan lensa akibat lensa yang degeneratif menyerap air. Masuknya air ke dalam celah lensa mengakibatkan lensa menjadi bengkak dan besar yang akan mendorong iris sehingga bilik mata menjadi dangkal dibanding dengan keadaan normal (Ilyas, 2009). Pada katarak imatur sebagian lensa keruh atau katarak. Katarak belum mengenai seluruh lapis lensa. Pada katarak imatur volume lensa dapat bertambah akibat meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang degeneratif (Ilyas, 2009). Pada katarak matur, kekeruhan telah mengenai seluruh lensa. Bila katarak imatur atau intumesen tidak dikeluarkan maka cairan lensa akan keluar, sehingga lensa kembali pada ukuran yang normal (Ilyas, 2009). Katarak hipermatur merupakan katarak yang mengalami proses degenerasi lanjut, dapat menjadi keras atau lembek dan mencair. Massa lensa yang berdegenerasi keluar dari kapsul lensa sehingga lensa menjadi mengecil, berwarna kuning, dan kering. Pada pemeriksaan terlihat bilik mata dalam dan lipatan kapsul lensa. Kadang-kadang pengerutan berjalan terus sehingga hubungan dengan zonula Zinn menjadi kendor. Bila proses katarak terus berlanjut disertai dengan
Universitas Sumatera Utara
kapsul yang tebal, maka korteks yang berdegenerasi dan cair tidak dapat keluar sehingga korteks akan memperlihatkan bentuk seperti sekantong susu disertai dengan nukleus yang terbenam di dalam korteks lensa karena lebih berat. Keadaan ini disebut katarak Morgagni (Ilyas, 2009). Menurut Khurana (2007), pada katarak nuklear, proses sklerotik menyebabkan lensa tidak elastis dan keras, menurunkan kemampuan akomodasi, dan menghalangi masuknya cahaya. Perubahan ini terjadi dimulai dari tengah, kemudian menyebar ke perifer dengan lambat, dan mencapai kapsul lensa ketika telah matang. Nukleus dapat menjadi berawan (keabu-abuan) atau berbercak (kuning atau hitam) karena deposisi dari pigmen. Katarak nuklear berpigmentasi yang sering dijumpai meliputi coklat (katarak brunesen), hitam (katarak nigra), atau yang jarang dijumpai merah (katarak rubra).
Tabel 2.2. Perbedaan Stadium Katarak Senilis Insipien Imatur Matur Hipermatur Kekeruhan
Ringan
Sebagian
Seluruh
Masif
Cairan lensa
Normal
Bertambah
Normal
Berkurang
(air masuk)
(air + massa lensa keluar)
Iris
Normal
Terdorong
Normal
Tremulans
Bilik mata depan
Normal
Dangkal
Normal
Dalam
Sudut bilik mata
Normal
Sempit
Normal
Terbuka
Shadow test
Negatif
Positif
Negatif
Pseudopos
Penyulit
-
Glauko ma
-
Uveitis + glauko ma
Sumber: Ilyas (2009).
e) Gejala Klinis Menurut Khurana (2007), kekeruhan lensa dapat terjadi dengan atau tanpa gejala, dan mungkin tidak terlihat dalam pemeriksan okular rutin. Gejala katarak yang sering muncul antara lain:
Universitas Sumatera Utara
-
Silau (glare) Salah satu dari gejala awal gangguan penglihatan pada katarak adalah silau atau intoleransi terhadap cahaya yang terang, seperti cahaya matahari atau cahaya dari lampu kendaraan bermotor.
-
Poliopia uniokular (misalnya objek yang terlihat dua atau lebih) Ini juga merupakan salah satu dari gejala awal katarak. Hal ini terjadi karena refraksi yang iregular oleh lensa yang bervariasi sesuai indeks refraksi sebagai akibat dari proses terbentuknya katarak.
-
Halo Ini dapat dialami oleh pasien katarak yang mengalami pemecahan cahaya putih menjadi spektrum warna karena adanya tetesan air di dalam lensa.
-
Titik hitam (black spots) di depan mata dapat terjadi pada beberapa pasien.
-
Bayangan kabur, distorsi bayangan, dan bayangan yang berawan/berasap mungkin terjadi pada stadium awal katarak.
-
Kehilangan penglihatan Kehilangan penglihatan pasien katarak bersifat tidak nyeri dan menurun secara progresif bertahap. Pasien dengan kekeruhan di sentral mengalami kehilangan penglihatan lebih awal. Pasien ini melihat dengan baik ketika pupil berdilatasi karena cahaya yang remang di malam hari. Pada pasien dengan kekeruhan perifer, hilangnya penglihatan tertunda dan penglihatan semakin membaik dengan adanya cahaya yang terang ketika pupil berkontraksi. Pada pasien dengan sklerosis nuklear, penglihatan jauh semakin memburuk karena terjadi miopia indeks progresif. Pasien ini mampu membaca tanpa kacamata presbiopi. Perbaikan penglihatan dekat ini disebut sebagai “second sight”. Penglihatan semakin menurun seiiring dengan bertambahnya kekeruhan lensa.
f) Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien katarak adalah pemeriksaan sinar celah (slitlamp), funduskopi pada kedua mata bila mungkin, dan tonometer selain daripada pemeriksaan prabedah yang diperlukan lainnya seperti adanya infeksi
Universitas Sumatera Utara
pada kelopak mata, konjungtiva, karena dapat penyulit yang berat berupa panoftalmitis pascabedah dan fisik umum (Ilyas, 2009). Pada katarak sebaiknya dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan sebelum dilakukan pembedahan untuk melihat apakah kekeruhan sebanding dengan turunnya tajam penglihatan yang tidak sesuai, sehingga mungkin penglihatan yang turun akibat kelainan pada retina dan bila dilakukan pembedahan memberikan hasil tajam penglihatan yang tidak memuaskan (Ilyas, 2009). Menurut Khurana (2007), pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain: -
Pemeriksaan tajam penglihatan
-
Oblique illumination examination
-
Tes bayangan iris (shadow test)
-
Distant direct ophthalmoscopic examination
-
Slit-lamp examination Pada oblique illumination examination dapat dijumpai warna lensa di daerah
pupil yang bervariasi sesuai dengan tipe katarak (Khurana, 2007). Tes bayangan iris (shadow test) dilakukan untuk mengetahui derajat kekeruhan lensa. Dasar dari pemeriksaan ini adalah makin sedikit lensa keruh pada bagian posterior, maka makin besar bayangan iris pada lensa yang keruh tersebut, sedangkan makin tebal kekeruhan lensa, maka makin kecil bayangan iris pada lensa yang keruh (Ilyas, 2009).
g) Penatalaksanaan Walaupun telah berkembang berbagai teknologi bedah katarak, sampai sekarang belum ditemukan pengobatan katarak dalam bentuk tablet, salep, tetes mata, dan gizi tertentu untuk mencegah perkembangan katarak. Tidak satu pun obat yang dikenal yang dapat menyembuhkan katarak (Ilyas, 2003). Katarak hanya dapat diangkat dengan cara pembedahan. Setelah pembedahan lensa diganti dengan kacamata afakia, lensa kontak, atau lensa tanam intraokular. Pembedahan dilakukan apabila tajam penglihatan telah menurun sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari dan bila katarak ini
Universitas Sumatera Utara
telah menimbulkan penyulit seperti glaukoma dan uveitis. Pembedahan lensa dengan katarak dilakukan bila mengganggu kehidupan sosial atau atas indikasi medis lainnya (Ilyas, 2003). Ekstraksi katarak adalah cara pembedahan dengan mengangkat lensa katarak dapat dilakukan dengan intrakapsular atau ekstrakapsular. Tindakan bedah ini pada saat ini dianggap lebih baik karena mengurangi beberapa penyulit (Ilyas, 2009). Operasi katarak intrakapsular atau ekstraksi katarak intrakapsular (EKIK) merupakan pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul. Pembedahan ini dapat dilakukan pada zonula Zinn telah rapuh atau berdegenerasi dan mudah putus. Pada EKIK, tidak akan terjadi katarak sekunder dan merupakan tindakan pembedahan yang sangat lama populer. EKIK tidak boleh dilakukan pada pasien berusia kurang dari 40 tahun yang masih mempunyai ligamen hialoidea kapsular. Penyulit yang dapat terjadi pada pembedahan ini antara lain: astigmatisme, glaukoma, uveitis, endoftalmitis, dan perdarahan (Ilyas, 2009). Operasi katarak ekstrakapsular atau ekstraksi katarak ekstrakapsular (EKEK) merupakan tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kasul lensa anterior (kapsulotomi anterior) dengan meninggalkan kapsul posterior sehingga massa lensa dan korteks lensa dapat keluar melalui robekan tersebut. Pembedahan ini dilakukan pada pasien katarak muda, pasien dengan kelainan endotel, bersamasama keratoplasti, implantasi lensa intraokular posterior, perencanaan implantasi sekunder lensa intraokular, kemungkinan akan dilakukan bedah glaukoma, mata dengan predisposisi untuk terjadinya prolaps badan kaca, sebelumnya mata mengalami bedah ablasi, untuk mencegah penyulit pada saat melakukan pembedahan katarak seperti prolaps badan kaca. Penyulit yang dapat timbul pada pembedahan ini, yaitu terjadinya katarak sekunder (Ilyas, 2009).
2.3.5.2.Katarak Metabolik Diabetes melitus merupakan salah satu etiologi katarak metabolik. Katarak terkait umur terjadi lebih awal pada penderita diabetes. Katarak nuklear lebih
Universitas Sumatera Utara
sering terjadi dan mempunyai kemungkinan untuk berkembang dengan cepat (Khurana,2007). Diabetes melitus dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks refraksi lensa, dan amplitudo akomodasi lensa. Jika kadar glukosa di dalam darah meningkat, kadar glukosa di dalam aqueous humor juga meningkat. Karena glukosa yang berasal dari aqueous humor masuk ke dalam lensa secara difusi, kadar glukosa di dalam lensa pun akan meningkat. Beberapa dari glukosa tersebut akan dimetabolisme oleh enzim aldose reduktase menjadi sorbitol yang tidak dapat dimetabolisme lagi, tetapi menetap di dalam lensa. Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan osmotik di dalam lensa yang mengakibatkan serat lensa membengkak. Hidrasi lentikular tersebut dapat mengganggu kekuatan refraksi lensa (Rosenfeld, 2007)
2.3.5.3.Katarak Toksik Menurut Rosenfeld (2007), penggunaan jangka panjang kortikosteroid dapat menyebabkan katarak subkapsular posterior. Insiden ini berhubungan dengan dosis dan lama pengobatan, serta ada variasi kerentanan individu terhadap terjadinya katarak yang diinduksi kortikosteroid. Phenothiazine, golongan utama obat psikotropik, dapat menyebabkan penumpukan pigmen pada epitelium lensa anterior. Penumpukan pigmen tersebut bergantung pada dosis dan lama pengobatan (Rosenfeld, 2007). Penggunaan
miotik,
antikolinesterase,
dapat
menyebabkan
katarak.
Pembentukan katarak mungkin terjadi pada pasien yang menerima terapi antikolinesterase dalam jangka waktu yang lama dan yang sering menerima dosis. Amiodaron, obat antiaritmia, pernah dilaporkan menyebabkan penumpukan pigmen stellate anterior axial. Pada keadaan ini, kondisi signifikan jarang terjadi (Rosenfeld, 2007). Penggunaan statin pada manusia menunjukkan tidak adanya hubungan dengan peningkatan risiko terjadinya katarak Meskipun demikian, penggunaan bersama simvastatin dan eritromisin mungkin berhubungan dengan dua sampai tiga kali peningkatan resiko terjadinya katarak (Rosenfeld, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.3.5.4.Katarak Akibat Radiasi Menurut Khurana (2007), paparan terhadap berbagai jenis energi radiasi dapat menyebabkan terjadinya katarak akibat kerusakan pada epitelium lensa. Paparan berlebih (bertahun-tahun) terhadap sinar inframerah dapat menyebabkan kekeruhan lensa subkapsular posterior dan pengelupasan kapsul anterior lensa. Hal ini sering terjadi pada orang-orang yang bekerja pada industri kaca, sehingga sering disebut sebagai “glass-blower’s atau glass-worker’s cataract”. Paparan terhadap sinar X, sinar γ, atau neutron mungkin berhubungan dengan katarak iradiasi. Dalam berbagai penelitian, radiasi ultraviolet berhubungan dengan terjadinya katarak senilis.
2.3.5.5.Katarak Elektrik Katarak elektrik diketahui terjadi setelah lewatnya listrik yang kuat di dalam tubuh (Khurana, 2007). Syok elektrik dapat menyebabkan koagulasi protein dan pembentukan katarak. Awalnya vakuol lensa muncul pada bagian pertengahan perifer anterior lensa, diikuti dengan kekeruhan linier korteks subkapsular anterior (Rosenfeld, 2007).
2.4.
Merokok dan Katarak Faktor utama yang menyebabkan gangguan penglihatan akibat penyakit
mata adalah umur, jenis kelamin, status sosioekonomi, penggunaan tembakau, paparan terhadap radiasi ultraviolet, defisiensi vitamin A, peningkatan massa indeks tubuh (body mass index/BMI), dan gangguan metabolik. Gangguan penglihatan paling banyak terjadi pada orang yang berusia 50 tahun atau lebih. Hasil studi secara konsisten menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan menunjukkan risiko tinggi yang signifikan untuk menderita gangguan penglihatan dibandingkan dengan laki-laki, hal ini kebanyakan disebabkan oleh tingginya angka harapan hidup, serta karena jangkauan pelayanan kesehatan yang masih kurang pada orang-orang dengan sosial ekonomi yang rendah (WHO, 2007). Merokok merupakan salah satu faktor resiko terjadinya katarak. Menurut Tana (2009), dalam penelitian "Determinan Kejadian Katarak di Indonesia, Riset
Universitas Sumatera Utara
Kesehatan Dasar, 2007” yang bertujuan menentukan determinan kejadian katarak pada masyarakat Indonesia, salah satu determinan yang paling berperan terhadap kejadian katarak di Indonesia pada usia 30 tahun ke atas adalah merokok (OR= 1,21; CI 95% 1,16-1,26). Menurut Brian & Taylor (2001), salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk mengurangi faktor risiko terjadinya katarak berhenti merokok. Data dari Australia menunjukkan bahwa resiko terjadinya katarak nuklear dengan merokok adalah sebesar 17% (McCarty, 2000). Menurut Cheng (2000), hasil studi prospektif selama 30 tahun menunjukkan bahwa orang yang merokok ≥20 batang rokok per hari mempunyai resiko perkembangan kekeruhan nuklear lensa lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang tidak merokok (OR=2,84; CI 95% 1,46-5,51) dan dengan yang merokok <20 batang per hari (p<0,002). Pada penelitian terhadap populasi Cina di Taiwan, merokok berhubungan dengan katarak nuklear (OR= 1,3%, CI 95% 1,0-1,7). Penelitian yang dilakukan selanjutnya juga mendukung hasil yang didapat dari penelitian tersebut. Adanya temuan yang konsisten tersebut menimbulkan pendapat tentang adanya hubungan antara merokok dengan katarak nuklear (Foster et al, 2003).
Pada perokok,
diperkirakan terdapat peningkatan risiko sebesar 9% setiap merokok 10 bungkus per tahun (pack-years) untuk menderita katarak nuklear berdasarkan studi mata di Beaver Dam (Klein, 2007). Hasil penelitian observasional analitik dengan desain kasus kontrol (case control) yang dilakukan oleh Aradea (2008), menunjukkan bahwa kebiasaan merokok merupakan faktor risiko katarak (OR=3,368; Cl 95% 1,494-7,596). Besar risiko katarak menurut lamanya merokok <10 tahun (OR=1,88; Cl 95% 0,342–10,355), >10 tahun (OR=3,65; Cl 95% 1,570–8,470) dibandingkan dengan yang tidak merokok. Risiko terjadi katarak menurut jenis rokok putih (OR=2,8; Cl 95% 0,429–18,567), rokok kretek berfilter (OR=3,01; CI 95% 1,125–8,065), dan rokok kretek tanpa filter (OR=4,03; Cl 95% 1,380–11,792). Besar risiko katarak menurut umur mulai merokok >15 tahun (OR=3,33; Cl 95% 1,355–8,185) dan umur ≤15 tahun (OR=3,45 Cl 95% 1,087 –10,960). Risiko katarak pada perokok
Universitas Sumatera Utara
ringan (OR=2,51; Cl 95% 0,882–7,140), perokok sedang (OR=3,76; CI 95% 1,277–11,100), dan perokok berat (OR=5,02; CI 95% 1,176–21, 430). Kesimpulan dari dalam penelitian tersebut adalah umur dan kebiasaan merokok merupakan faktor risiko meningkatkan kejadian katarak. Meskipun terdapat berbagai macam faktor yang menyebabkan terjadinya katarak, merokok merupakan faktor risiko yang mempunyai efek dose-response. Merokok menyebabkan perubahan morfologi dan fungsional pada lensa dan retina karena efek aterosklerosis dan trombotik pada kapiler okular (Krishnaiah, 2005). Menurut Christen et al (1992) dan Hankinson et al (1992) dalam Krishnaiah (2005), terdapat bukti yang menunjukkan bahwa perokok mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami pembentukan katarak dibandingkan yang bukan perokok. Merokok
dianggap
meningkatkan
risiko
merokok
dengan
cara
meningkatkan stres oksidatif di dalam lensa. Stres oksidatif dapat disebabkan oleh radikal bebas yang dihasilkan dari reaksi yang terdapat di dalam tembakau rokok atau polutan udara lainnya; radikal bebas ini dapat merusak protein lensa dan serat membran sel di dalam lensa secara langsung. Pengggunaan antioksidan telah menunjukkan penurunan insiden katarak dalam sejumlah penelitian. Berhenti merokok dapat menghentikan atau memperlambat perkembangan katarak melalui menghilangkan stres oksidatif atau memperbaiki aktivitas antioksidan (Weintraub, 2002). Menurut
Spector (1995) dalam Lindblad (2004), merokok dapat
meningkatkan stres oksidatif yang ditimbulkan radikal bebas di dalam lensa dan mengurangi beberapa konsentrasi antioksidan serta enzim proteolisis di dalam plasma. Enzim tersebut berfungsi membuang protein yang rusak dari dalam lensa. Sedangkan menurut Cekic (1998) dan Ramakrishnan et al (1995), cadmium juga ditemukan terakumulasi di dalam lensa perokok yang menderita katarak. Cadmium dapat mempercepat terjadinya katarak melalui pengaruhnya terhadap enzim lensa seperti superoksida dismutase dan glutation peroksidase sehingga memperlemah pertahanan lensa melawan kerusakan oksidatif. Menurut Sulochana (2002), stres oksidatif yang dibawa oleh Reactive Oxygen Species (ROS) yang ada di dalam rokok telah diduga terlibat dalam
Universitas Sumatera Utara
patogenesis katarak. Stres oksidatif juga dapat dibawa oleh beberapa elemen seperti iron (Fe) dan copper (Cu) melalui glikosidasi dan produksi radikal bebas anion superoksida (O 2 -) dan hidoksil (OH-) yang dapat mengoksidasi protein dan lipid membran lensa. Selain itu, terdapat akumulasi dari cadmium (Cd) seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Ditemukan terdapat akumulasi Fe dan Cu bersama dengan Cd pada lensa tikus ketika tikus tersebut terpapar dengan rokok tembakau. Daun tembakau terdiri dari sejumlah Cd yang signifikan yang diabsorbsi ke dalam tubuh saat seseorang merokok atau mengunyah tembakau. Cd tersebut dapat mengganti logam bivalen seperti zink (Zn), Cu, dan magnesium (Mg) dari superoksida dismutase yang berfungsi sebagai antioksidan yang kuat. Terdapat penurunan kadar Zn yang signifikan secara statistik di dalam darah dan lensa pada perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. Selain itu terdapat juga penurunan aktivitas superoksida dismutase pada perokok. Penurunan aktivitas superoksida dismutase mungkin disebabkan ketersediaan Zn di dalam darah dan lensa tidak adekuat. Pernah dilaporkan juga bahwa Cd dapat menurunkan
bioavalabilitas
selenium
(Se)
sehingga
aktivitas
glutation
peroksidase menjadi terganggu. Namun, hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan kadar Se. Hai ini mengindikasikan bahwa penurunan aktivitas glutation peroksidase mungkin tidak disebabkan oleh kekurangan Se.
Universitas Sumatera Utara