4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Markisa Markisa mula-mula disebut passion fruit. Menurut sejarah, tanaman markisa berasal dari daerah tropis Amerika Selatan, tepatnya di daerah Brazil, Venezuela, Kolumbia, dan Peru. Di Indonesia, markisa banyak ditanam di dataran tinggi di Goa, Malino, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara (Sunarjono, 1997). Buah markisa yang pertama kali dikenal ditempat asalnya adalah markisa kuning dan markisa ungu (Rukmana, 2003). Klasifikasi botani tanaman markisa adalah sebagai berikut (Sharma, 1993): Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyte
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotiledoneae
Ordo
: Paretales
Famili
: Passifloraceae
Genus
: Passiflora
Spesies
: Passiflora sp. Di Indonesia terdapat empat jenis markisa yang dibudidayakan, yaitu
markisa ungu (Passiflora edulis), markisa kuning (Passiflora edulis f. flavicarpa), markisa erbis (Passiflora quadrangularis), dan markisa konyal (Passiflora ligularis).
2.1.1. Markisa Asam (Siuh) Markisa asam (Passiflora edulis Sims.) mempunyai nama umum granadilla atau. Passion fruit yang termasuk dalam famili Passifloraceae. Diperkirakan ada 500 spesies Passiflora dalam famili ini, diantara ciri-ciri tersebut P. edulis Sims. memiliki ciri-ciri spesifik markisa. Menurut LITBANG (2010), dalam spesies ini terdapat 2 forma yang berbeda, yaitu:
5
a. Forma edulis atau forma ungu dikenal dengan markisa ungu. Yang termasuk dalam forma ini adalah markisa asam dengan kulit buah berwarna ungu (purple), merah (red), dan hitam (black granadilla) disebut juga siuh atau purple passion fruit (P. edulis f. edulis Sims.). Markisa ini merupakan bahan baku utama industri pengolahan sari buah markisa dan sirup konsentrat. b. Forma flavicarpa atau forma kuning dikenal dengan markisa kuning, yaitu markisa asam dengan kulit buah berwarna kuning disebut juga rola atau yellow passion fruit (P. edulis Sims f. flavicarpa Deg.). Markisa ungu berasal dari Brazil bagian Selatan yaitu Paraguay hingga Argentina bagian Utara, sedangkan asal markisa kuning tidak diketahui mungkin berasal dari Amazon wilayah Brazil, hibrid antara P. edulis dan P. ligularis, namun studi secara sitologi tidak menunjukkan teori hibrid. Pendapat lain menyatakan bahwa markisa kuning berasal dari Australia. Pada tahun 1930-1950 markisa ungu dan kuning telah menyebar ke berbagai negara di dunia. Di sebagian besar negara-negara penghasil markisa, kultivar-kultivar markisa kuning yang umumnya dibudidayakan. Di Indonesia markisa asam yang telah dibudidayakan secara komersial adalah markisa ungu. (LITBANG, 2010).
2.1.2. Markisa Manis (Konyal) Selain markisa asam, di Indonesia juga terdapat markisa manis yang sering disebut pula dengan markisa konyal (Passiflora ligularis). Markisa konyal merupakan spesies umum yang berasal dari Brazil dan menyebar ke daerah tropis dan subtropis, termasuk Indonesia. Markisa konyal banyak dijualbelikan sebagai buah segar di tempat-tempat tertentu karena rasanya manis walaupun aromanya relatif tidak ada. Sentra produksi markisa ini adalah di Kabupaten Solok, Sumatera Barat dengan lahan 2.710 ha dan produksi sebanyak l2.710 ton pada tahun 1997 (Karmila, 2013).
2.1.3. Markisa Giant (Erbis) Di Indonesia terdapat markisa dengan ukuran besar yang disebut juga dengan erbis (Passiflora quadrangularis L.) atau markisa sayur. Buah erbis ini umunya hanya ditanam di dataran rendah, tidak dibudidayakan secara komersial
6
dan buahnya hanya untuk sari buah segar (Sunarjono, 1997).
2.2. Morfologi dan Syarat Tumbuh Markisa 2.2.1. Morfologi Markisa Markisa merupakan tumbuhan semak atau pohon yang hidup menahun (perennial) dan bersifat merambat atau menjalar hingga sepanjang 20 meter atau lebih. Batang tanaman berkayu tipis, bersulur dan memiliki banyak percabangan yang kadang-kadang tumbuh timpang tindih, Pada stadium muda, cabang tanaman berwama hijau dan setelah tua berubah menjadi hijau kecoklatan. Daur, tanaman sangat rimbun, tumbuh secara bergantian pada batang atau cabang. Tiap helai daun bercaping tiga dan bergerigi, berwarna hijau mengkilap (Rukmana, 2003). Semua jenis markisa termasuk penyerbuk silang melalui lebah madu. Meskipun demikian, penyerbukan sendiri masih dapat berlangsung baik (Sunarjono, 1997). Tanaman markisa yang berasal dari buah mulai berbuah setelah umur 9-10 bulan, sedangkan yang berasal dari stek, mulai berbuah dari awal, yaitu sekitar 7 bulan. Buah markisa digolongkan kedalam buah klimaterik karena pola respirasi markisa meningkat seiring dengan perubahan pigmen warna dan gas volatile tertentu. Respirasi dan produk etilen akan menurun saat buah mencapai tingkat kematangan penuh dan mulai mengalami pembusukan (Karmila, 2013).
2.2.2. Syarat Tumbuh Markisa Menurut Danarto et al. (2012), untuk dapat tumbuh dan berproduktivitas baik, tanaman markisa mempunyai kekhususan persyaratan tumbuh. Faktor yang terpenting dalam menentukan pertumbuhan markisa adalah sebagai berikut: a. Lokasi Tanaman markisa merupakan tanaman subtropis, sehingga jika ditanam di Indonesia harus di daerah-daerah yang mempunyai ketinggian antara 800-1.500 m dpl dengan curah hujan minimal 1.200 mm/tahun, kelembaban nisbi antara 8090%, suhu lingkungan antara 20-30 °C, dan tidak banyak angin. b. Tanah Tanaman markisa dapat tumbuh diberbagai jenis tanah, terutama pada yang gembur, mempunyai cukup bahan organik, mempunyai pH antara 6,5-7,5 dan
7
berdrainase baik dengan ketinggian tanah antara 600-1.500 m dpl. Jika markisa ditanam pada ketinggian di bawah 600 dpl maka produktifitas tanaman markisa akan mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan daerah dengan ketinggian tersebut lama penyinaran matahari lebih rendah, serta suhu lingkungan juga kurang mendukung sehingga menghambat pembungaan.
2.3. Marka Molekuler Variasi teknik molekuler sangat beragam tergantung cara pelaksanaan untuk mendapatkan data maupun tingkatan target data yang diinginkan. Salah satu cara untuk mendapatkan data yang sering digunakan pada saat ini adalah dengan menggunakan marka/penanda. Dari sejarah perkembangannya, penanda/marka ini dapat dikelompokkan sebagai penanda morfologi, penanda sitologi, dan penanda molekular. Penanda molekular dapat dibedakan menjadi penanda isozim dan penanda DNA (Nuraida, 2012). Penggunaan penanda molekuler berupa DNA digunakan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan tentang biologi molekuler. Penanda ini telah digunakan sejak tahun 1980-an, merupakan pendekatan untuk lebih meningkatkan informasi genetik yang belum dapat diperoleh dengan penanda protein (Langga et al., 2012). Marka molekuler yang berbasis DNA jenisnya sangat banyak dan mempunyai variabilitas yang besar, sedangkan marka yang berbasis protein memiliki keragaman yang lebih rendah (Warta Biogen, 2008). Marka molekuler yang pertama kali dikenal adalah marka protein yang secara genetik dikenal sebagai marka isozim. (Yasminingsih, 2009). Menurut Nuraida (2012), suatu penanda (marker) adalah suatu karakter atau sifat yang dapat diturunkan atau diwariskan pada keturunannya dan dapat digunakan untuk mengkarakteristik/mendeteksi genotip tertentu. Penanda molekular merupakan teknik yang efektif dalam analisis genetik dan telah diaplikasi secara luas dalam program pemuliaan tanaman. Pemanfaatan marka DNA sebagai alat bantu seleksi Marker Assisted Selection (MAS) lebih menguntungkan dibandingkan dengan seleksi secara fenotipik. Seleksi dengan bantuan marka molekular didasarkan pada sifat genetik tanaman saja, tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Azrai, 2005). Pemilihan jenis marka molekuler yang akan digunakan dalam seleksi harus benar-benar dipertimbangkan
8
kesesuaiannya dengan fasilitas dan materi yang dimiliki untuk melakukan seleksi. Penyiapan atau purifikasi gen target juga sangat menentukan keberhasilan dari seleksi yang dilakukan (Syafaruddin & Santoso, 2011). Jenis marka molekular pada tanaman ada dua yaitu penanda mendasarkan teknik PCR dan yang tidak mendasarkan teknik PCR. Penanda molekular yang mendasarkan teknik PCR antara lain RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) dan SSR (Simple Sequence Repeats) yang lebih mendasarkan pada sequencing DNA. Sedangkan penanda molekuler yang tidak mendasarkan teknik PCR hanya ada satu jenis yaitu RLFP (Restriction Fragment Length Polymorphism) (Azrai, 2005). Setiap penanda molekuler memiliki teknik yang berbeda-beda baik dalam hal jumlah DNA
yang dibutuhkan, dana,
waktu, prosedur pelaksanaan, tingkatan
polimorfisme dan pengujian secara statistik. Penanda tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan, oleh karena itu kombinasi beberapa teknik akan memberikan data yang lebih komprehensif dan akurat. Penentuan teknik yang digunakan sangat penting untuk mendapatkan hasil sesuai dengan yang diinginkan. Umumnya strategi pemilihan teknik berdasarkan pada tujuan studi, ketersediaan dana dan fasilitas serta kemampuan sumber daya manusia (Afifah, 2012).
2.4. Penanda Molekuler RAPD Teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam analisis DNA tanaman dengan menggunakan alat Polymerase Chain Reaction (PCR). Alat ini berguna mengamplifikasi DNA hasil ekstraksi dalam jumlah kecil dan waktu singkat. Penanda molekular RAPD dihasilkan melalui proses amplifikasi DNA secara in vitro dengan PCR (William et al., 1990). Dasar polimorfisme DNA berdasarkan Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan primer tunggal dari urutan nukleotida acak dan terdeteksi sebagai produk amplifikasi segmen DNA acak. Polimorfisme, disebut juga dengan random amplified polymorphic DNA (RAPD marker) yang membedakan antara dua individu berdasarkan perbedaan kromosomal atau perbedaan basa
9
berdasarkan untaian primer (Javornik & Kump, 1993). Menurut Syafaruddin & Santoso (2011), RAPD adalah penanda berbasis PCR dengan menggunakan 10 basa primer acak. Teknik RAPD tidak memerlukan informasi awal tentang urutan basa suatu spesies. Yang diperlukan adalah DNA yang relatif murni dan dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan RFLP. Oleh karenanya RAPD dapat diterapkan pada hampir semua jenis tanaman. DNA sebagai pembawa informasi genetik terdapat dalam sel khususnya di dalam inti sel dan untuk mendapatkannya dapat dilakukan dengan proses ekstraksi, sehingga, memudahkan untuk mengidentifikasi DNA yang disebut isolasi DNA (Langga et al., 2012). Metode RAPD merupakan pengembangan teknik PCR untuk mendeteksi keanekaragaman genetik atau mengidentifikasi potongan DNA spesifik yang berkomplementer dengan DNA cetakan. RAPD bertujuan untuk menghasilkan banyak copy dari DNA eetakan. Potongan-potongan acak yang umumnya berukuran antara 250-2000 pasangan basa (bp) diamplifikasi menggunakan PCR dengan primer tunggal, yang pada umumnya berukuran 10 pasang basa. Reaksi RAPD umumnya menghasilkan 3-10 potongan DNA. Produk amplifikasi biasanya dianalisis dengan elektroforesis pada gel agarosa yang dilanjutkan pengecatan dengan ethidium bromide (Yasminingsih, 2009). PCR adalah suatu metode untuk melipat gandakan suatu pita DNA secara in vitro. Metode PCR dikembangkan oleh Kary Mullis pada tahun 1986 (Irawan, 2008). Proses terjadinya reaksi amplifikasi melalui tiga tahapan yaitu, (a) denaturasi, merupakan proses awal yang dilakukan dengan pemanasan hingga 96°C selama 30-60 detik. Pada suhu ini DNA utas ganda akan memisah menjadi utas tunggal, (b) annealing, setelah DNA menjadi utas tunggal, suhu diturunkan ke kisaran 40-60°C selama 20-40 detik untuk memberikan kesempatan bagi primer untuk menempel pada DNA template di tempat yang komplemen dengan sekuen primer, (c) ekstension/elongasi, merupakan proses akhir dimana dilakukan dengan menaikkan suhu ke kisaran suhu kerja optimum enzim DNA polymerase, biasanya 70-72°C. Pada tahap ini DNA polymerase akan memasangkan dNTP yang sesuai pada pasangannya. Jika basa pada template adalah A, maka akan dipasang dNTP T, begitu seterusnya (pasangan A adalah T, dan C dengan G). Enzim akan memperpanjang rantai basa ini hingga ke ujung. Lamanya waktu
10 10
ekstensi bergantung pada panjangnya daerah yang akan diamplifikasi, secara umumnya adalah 1 menit untuk setiap 1000 bp (Erlich, 1989). Tiga langkah tersebut merupakan satu siklus PCR. Proses ini disebut chain reaction atau reaksi berantai sebab hasil dari langkah ke tiga, yaitu dua pita ganda, masing-masing akan menjalani siklus PCR, mengalami denaturasi, annealing, dan pemanjangan lagi dan demikian seterusnya. Karena setiap hasil daur selalu melakukan reaksi ulang yang sama inilah maka disebut reaksi berantai (Irawan, 2008). Prosedur penggunaan RAPD ini mempunyai keutungan seperti sederhana, mudah dalam hal preparasi, dapat dilakukan secara maksimal untuk sampel dalam jumlah banyak, jumlah DNA yang diperlukan relatif sedikit, dan pengerjaannya tidak menggunakan senyawa radioaktif (Syafaruddin & Santoro, 2011). Menurut Anggraeni (2008), penanda RAPD memiliki beberapa kelebihan, diantaranya tidak membutuhkan latar belakang pengetahuan genom yang akan dianalisis, primer universal dapat digunakan untuk organisme prokariotik maupun eukariotik, mampu menghasilkan karakter yang relatif lebih murah, mudah dalam preparasi, dan memberikan hasil lebih cepat dibandingkan dengan analisis keragaman molekulernya. Kelebihan lain yang lebih spesifik adalah teknik RAPD lebih sederhana, yaitu: (1) DNA tidak perlu dipotong dengan enzim restrikasi, (2) sampel DNA yang diperlukan relatif sedikit, (3) tidak perlu memindahkan DNA ke membran nilon, (4) tidak memerlukan hibridisasi DNA dan (5) tidak memerlukan prosedur labeling. Penanda RAPD telah berhasil digunakan untuk tujuan dalam bidang pemuliaan tanaman antara lain: (1) penyusunan peta genetik, (2) analisis struktur genetik populasi, (3) sidik jari individu, (4) pemetaan sifat-sifat, dan (5) penanda khas pada bagian genom (Yasminingsih, 2009). Penanda RAPD telah banyak digunakan untuk mempelajari keanekaragaman genetik seperti, jeruk (Karsinah et al., 2002), jarak pagar (Yasminingsih, 2009), mentimun (Julisaniah et al., 2008) dan kelapa (Roslim, 2003).