BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) 2.1.1. Definisi ISPA ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru. ISPA adalah suatu kelompok penyakit sebagai penyebab angka absensi tertinggi bila dibandingkan dengan kelompok penyakit lain. Lebih 50% dari absensi atau dari semua angka itu tidak masuk kerja/sekolah disebabkan penyakit ini. Angka kejadian ISPA tertinggi pada kelompokkelompok tertutup di masyarakat, misalnya penghuni asrama, kesatrian, sekolah yang juga menyelenggarakan pemondokan (Alsagaff, 2009). 2.1.2. Etiologi Mayoritas penyebab dari ISPA adalah oleh virus, dengan frekuensi lebih dari 90% untuk ISPA bagian atas, sedangkan untuk ISPA bagian bawah frekuensinya lebih kecil. Penyakit ISPA bagian atas mulai dari hidung, nasofaring, sinus paranasalis sampai dengan laring hampir 90% disebabkan oleh viral, sedangkan ISPA bagian bawah hampir 50% diakibatkan oleh bakteri. Saat ini telah diketahui bahwa penyakit ISPA melibatkan lebih dari 300 tipe antigen dari bakteri maupun virus tersebut (WHO, 1986). WHO (1986), juga mengemukakan bahwa kebanyakan penyebab ISPA disebabkan oleh virus dan mikoplasma, dengan pengecualian epiglotitis akut dan pneumonia dengan distribusi lobular. Adapun virus-virus (agen non bakterial) yang banyak ditemukan pada ISPA bagian bawah pada bayi dan anak-anak adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV), adenovirus, parainfluenza, dan virus influenza A & B.
Universitas Sumatera Utara
ISPA dapat disebabkan oleh virus, bakteria maupun riketsia, sedangkan infeksi bakterial sering merupakan penyulit ISPA yang disebabkan oleh virus, terutama bila ada epidemi atau pandemi. Penyulit bakterial umumnya disertai keradangan parenkim. Virus pernapasan merupakan penyebab terbesar ISPA. Hingga saat kini telah dikenal lebih dari 100 jenis virus penyebab ISPA. Infeksi virus memberikan gambaran klinik yang khas akan tetapi sebaliknya beberapa jenis virus bersamasama dapat pula memberikan gambaran yang hampir sama. Tabel 2.1. Enam kelompok besar virus pernapasan sebagai penyebab ISPA Group Virus Orthomyxorivus
Sub Group
Tipe
Influenza virus
A B C
Paramyxovirus
Para influenza virus
Metamyxovirus
Respiratory syncytial
1-4
Virus (RS-virus) Adenovirus Picornavirus
Coronavirus
1-31 Rhinovirus
1-55
Coxsackie virus A
1-21
Coxsackie virus B
1-6
Echovirus
1-32
?
Disadur dari Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru, 2009: 113
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Klasifikasi Menurut Depkes RI (2002), klasifikasi ISPA pada anak dibagi atas: 1) ISPA ringan Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk, pilek, dan sesak. 2) ISPA sedang ISPA sedang apabila timbul gejala-gejala sesak , suhu tubuh > 390C dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok. 3) ISPA berat Gejala meliputi : kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.
2.1.4. Gambaran Klinik Gambaran klinik secara umum yang sering didapat adalah : rinitis, nyeri tenggorokan, batuk-batuk dengan dahak, nyeri retrosternal dan konjungtivitis. Suhu badan meningkat antara 4-7 hari, disertai malaise, mialgia, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, insomnia dan kadang-kadang dapat juga terjadi diare. Bila peningkatan suhu berlangsung pada malam hari biasanya menunjukkan adanya penyulit (Alsagaff, 2009). 1. Enam gambaran sindroma ISPA yang disebabkan Virus a. Sindroma Korisa (Coryzal / Common Cold Syndrome) Sindroma ini ditandai dengan peningkatan sekresi hidung, bersinbersin, kadang-kadang disertai sekresi air mata dan konjungtivitis ringan. Sekresi hidung mula-mula cair kemudian mukoid dan selanjutnya menjadi purulen.
Universitas Sumatera Utara
Obstruksi sinus paranasalis dan tuba Eustachii disebabkan oleh sembab mukosa dan sering menimbulkan nyeri kepala dan nyeri setempat. Sindroma korisa biasanya diawali dengan suara serak dan rasa nyeri tenggorok. Kadangkadang disertai keluhan sistemik berupa nyeri kepala, mialgia, malaise, rasa lemah malas dan rasa dingin. Penyebab sindroma ini biasanya rhinovirus, parainfluenza I dan II, echovirus, coxcaskie.
b. Sindroma Faring (Pharyngeal Syndrome) Gambaran klinik yang menonjol adalah suara serak dan nyeri tenggorok dengan derajat ringan sampat berat. Selain itu, terdapat keradangan faring dan pembesaran adenoid serta tonsil, kadang-kadang adenoid sangat besar sehingga menimbulkan obstruksi pada hidung,
bercak-bercak serta
eksudasi berwarna di dapatkan pada permukaan tonsil disertai pembesaran kelenjar di leher, sering dijumpai penderita dengan batuk-batuk tanpa disertai korisa. Gejala umum sindroma faring berupa panas dingin, malaise, nyeri ataupegal seluruh badan, nyeri kepala dan terkadang suara parau. Penyebab utama sindroma ini adalah adenovirus, tetapi dapat juga disebabkan oleh virus influenza, parainfluenza, coxsazkie dan echovirus. Bila penyebab ISPA di dalam satu keluarga ialah adenovirus dan enterovirus, maka proses penyakit dapat berlangsung lama karena virus masih tetap ditemukan dalam tinja selama berminggu-minggu.
c. Sindroma Faringkonjungtiva Merupakan varian dari sindroma faring disebabkan oleh virus yang sama. Gejala klinik diawali dengan faringitis yang berat kemudian diikuti dengan konjungtivitis yang sering kali bilateral, dapat pula dimulai dengan konjungtivitis yang berlangsung selama 1-2 minggu sebelum gejala faringitis
Universitas Sumatera Utara
itu sendiri. Pada sindroma faringokonjungtiva didapatkan fotofobi dan nyeri pada bola mata. Sindroma ini banyak terdapat pada anak sekolah dan penggemar berkemah pada musim semi dan panas.
d. Sindroma Influenza Gambaran yang menonjol pada sindroma influenza adalah gangguan fisik cukup berat, dengan gejala batu, meriang, panas badan, lemah badan, nyeri kepala, nyeri tenggorok, nyeri retrosternal, nyeri seluruh tubuh, malaise dan anoreksia. Gejala-gejala ini terjadi secara mendadak dan dengan cepat dapat menular ke semua anggota keluarga dalam satu rumah. Pada proses penyakit yang ringan, sindroma influensa sering kali mempunyai gambaran klinik yang menyerupai sindroma korisa atau sindroma faring. Pada pandemi cenderung terjadi gambaran klinik yang lebih jelek yang disebabkan adanya infeksi sekunder oleh bakteri. Infeksi bakterial karena Stafilokokus piogenes menjadi penyebab trakeobronkitis nekrotikans. Infeksi bakterial lain juga dapat menimbulkan penyulit pada influenza.
e. Sindroma Herpangina Gambaran klinik sindroma herpangina berupa vasikel-vasikel yang terdapat di dalam mulut dan faring. Vesikel ini kemudian mengalami ulserasi dengan tepi yang membengkak, nyeri tenggorokan, nyeri kepala dan panas badan. Penyebab sindroma herpangina adalah virus Coxsackie A dan umumnya menyerang anak-anak.
Universitas Sumatera Utara
f. Sindroma
Laringotrakeobronkitis
Obstruktif
Akuta
(Croup
Syndrome) Pada anak-anak, gambaran klinik dari sindroma laringotrakeobronkitis obstruktif akutan tampak gawat dan berat berupa batuk-batuk, sesak napas yang disertai stridor inspirasi, sianosis serta gangguan-gangguan sistemik lain. Gejala awal sering ringan yaitu berupa sindroma korisa, kemudian cepat memburuk berupa obstruksi jalan napas yang hebat dengan penarikanpenarikan sela antar iga toraks bagian bawah serta penggunaan otot-otot napas bantu secara menonjol. Penyebab utama keadaan ini adalah virus parainfluenza, adenovirus dan virus influenza. Pada umumnya gejala tersebut menghilang dengan cepat, akan tetapi ada kalangnya berkembang menjadi kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan trakeostomi dengan segera. Hal ini disebabkan ada superinfeksi bakterial yang biasanya disebabkan oleh kuman Streptokokus hemolitikus dan stafilokokus. Pada keadaan gawat dapat diberikan antibiotika ampisilin atau eritromisin. Pemberian kotrikosteroid intervena sering juga diperlukan. Sindroma ini harus dibedakan dengan infeksi bakterial karena mempunyai gambaran klinis yang sama.
1. Tanda-tanda Klinis Pada sistem respiratorik adalah : tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang, dan wheezing. Pada sistem cardial adalah : tachycardia, bradycardia, hipertensi, hipotensi dan cardiac arrest. Pada sistem cerebral adalah ; gelisah, sakit kepala, bingung, kejang dan coma.
Universitas Sumatera Utara
Pada hal lain adalah : letih dan berkeringat banyak. Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah: kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari setengah volume yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing, demam dan dingin ( doktermoez, 2009 )
2.1.5.
Faktor Resiko ISPA
1. Faktor Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Bayi yang dilahirkan dengan BBLR mudah terserang ISPA.Ini karena, bayi BBLR memiliki sistem pertahanan tubuh yang rendah terhadap mikroorganisme patogen. Menurut penelitian Saleha, anak yang lahir dengan BBLR lebih rentan terkena infeksi.(Saleha, 2002). 2. Faktor Umur Faktor resiko ISPA juga sering disebutkan dalam literature adalah faktor umur. Adanya hubungan antara umur anak dengan ISPA mudah dipahami, karena semakin muda umur balita, semakin rendah daya tahan tubuhnya. Anak berumur kurang dari dua tahun memiliki resiko lebih tinggi untuk terserang ISPA. Depkes (2000), menyebutkan resiko terjadinya ISPA yaitu pneumonia terjadi pada umur lebih muda lagi yaitu kurang dari dua bulan. Anak dengan umur kurang dari 2 tahun merupakan anak yang sangat beresiko terkena penyakit pneumonia. Hal ini disebabkan karena anak di bawah umur 2 tahun imunisasai belum sempurna dan saluran pernafasan relative sempit (Naria et al, 2008).
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor Vitamin Diketahui adanya hubungan antara pemberian vitamin A dengan resiko terjadi ISPA. Anak dengan xerophthalmia ringan memiliki resiko 2 kali untuk menderita ISPA.Depkes (2000), menyebutkan bahwa keadaan defisiensi vitamin A merupakan salah satu faktor resiko ISPA. Defisiensi vitamin A dapat menghambat pertumbuhan balita dan mengakibatkan pengeringan jaringan epitel saluran pernafasan.Gangguan pada epitel ini juga menjadi penyebab mudahnya terjadi ISPA. 4. Faktor Gangguan Gizi (Malnutrisi) Malnutrisi dianggap bertanggungjawab terhadap ISPA pada balita terutama pada negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini mudah dipahami karena keadaan malnutrisi menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh anak. Hal tersebut memudahkan masukya agen penyakit ke dalam tubuh. Malnutrisi menyebabkan resistensi terhadap infeksi menurun oleh efek nutrisi yang buruk. Menurut WHO (2000), telah dibuktikan bahwa ada hubungan antara malnutrisi dengan episode ISPA. 5. Faktor Pendidikan Ibu Ibu dengan pendidikan yang baik akan memiliki akses informasi yang lebih luas sehingga berdampak positif terhadap cara merawat bayi. Kemampuan merawat bayi oleh seorang ibu ada hubungannya dengan tingkat kemampuan masyarakat. Itulah sebabnya sehingga Infant Mortality Rate (IMR) suatu negara dijadikan sebagai parameter terhadap kemajuan negara tersebut (Romelan, 2006). 6. Status Sosioekonomi Diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat sosioekonomi yang rendah mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan masyarakat. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa status ekonomi yang baik akan lebih baik
Universitas Sumatera Utara
dalam menurunkan Infeksi Saluran Pernafasan Akut dibandingkan dengan ekonomi yang rendah ( Yulihanday, 2000 ).
7. Polusi Udara Secara umum efek pencemaran udara terhadap saluran pernafasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernafasan. Akibat dari hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan. Hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan ( Prabu, 2009 ). Selain itu adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru, sehingga mempermudah timbulnya gangguan pada saluran pernafasan (Chahaya, 2005).
2.1.6
Patofisiologi Saluran pernapasan selama hidup selalu terpapar dengan dunia luar
sehingga guna mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien. Ketahanan saluran pernapasan terhadap infeksi maupun partikel dan gas yang ada di udara amat tergantung pada tiga unsur alami yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu : 1. Keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia 2. Makrofag alveol 3. Antibodi setempat
Universitas Sumatera Utara
Sudah menjadi suatu kecenderungan bahwa infeksi bakteri mudah terjadi pada saluran napas yang sel-sel epitel mukosanya telah rusak, akibat infeksi yang terdahulu. Selain itu, hal-hal yang dapat mengganggu keutuhan lapisan mukosa dan gerak silia adalah : 1. Asap rokok dan gas SO2, polutan utama dalam pencemaran udara 2. Sindroma imotil 3. Pengobatan dengan O2 kosentrasi tinggi (25% atau lebih) Makrofag banyak terdapat di alveol dan akan dimobilisasi ke tempat lain bila terjadi infeksi. Asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag membunuh bakteri, sedangkan alkohol akan menurunkan mobilitas sel-sel ini. Antibodi setempat yang ada pada saluran pernapasan ialah IgA. Antibodi ini banyak didapatkan di mukosa. Kekurangan antibodi ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan, seperti yang sering terjadi pada anak. Mereka dengan defisiensi IgA akan mengalami hal yang serupa dengan penderita yang mengalami imunodefisiensi lain, seperti penderita yang mendapat terapi sitostatik atau radiasi, penderita dengan neoplasma yang ganas, dan lain-lain. Walaupun saluran napas atas secara langsung terpajan ke lingkungan namun infeksi relatif jarang terjadi dan jarang berkembang menjadi infeksi saluran napas bawah yang mengenai bronkus atau alveolus. Terdapat banyak mekanisme protektif di sepanjang saluran napas untuk mencegah infeksi. Refleks batuk mengeluarkan benda asing dan mikro organisme, dan membuang mukus yang tertimbun. Terdapat lapisan mukosiliaris yang tediri dari sel-sel silia yang melapisi sel-sel penghasil mukus. Silia bergerak secara ritmis untuk mendorong muskus, dan semua mikro organisme yang terperangkap di dalam mukus, ke atas ke nasofaring tempat mukus tersebut dapat dikeluarkan sebagai sputum, dikeluarkan melalui hidung, atau ditelan. Proses kompleks ini kadang-kadang disebut sebagai sistem eskalator mukosiliaris.
Universitas Sumatera Utara
Apabila dapat lolos dari mekanisme pertahanan saluran nafas atas, maka mikroorganisme akan dihalang oleh lapisan pertahanan ketiga yang penting, sistem imun, untuk mencegah mikro organisme oleh limfosit, tetapi juga melibatkan sel-sel darah putih lainnya misalnya makrofag, neutrofil, dan sel mast yang tertarik ke daerah tempat proses peradangan berlangsung. Apabila terjadi gangguan mekanisme pertahanan di sistem pernapasan, atau apabila mikro organismenya sangat virulen, maka dapat timbul infeksi saluran napas bagian bawah ( Corwin, 2000 ).
2.1.7. Diagnosis Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Ada tiga cara pemeriksaan yang lazim dikerjakan : 1. Biakan Virus Bahan berasal dari sekret hidung atau hapusan dinding belakang faring kemudian dikirim dalam media galatine, lactalbumine dan ekstrak yeast (GLY) dalam suhu 40C.untuk enterovirus dan adenovirus selain bahan diambil dari dua tempat tersebut dapat juga diambil dari tinja dan hapusan rektum. Untuk pembiakan mikoplasma pneumonia digunakan media trypticase, soya boillon dan bovine albumine (TSB). 2. Reaksi serologis Reaksi serologis yang digunakan antara lain, pengikatan komplemen,reaksi hambatan hemadsorpsi, reaksi hambatan hemaglutinasi, reaksi netralisasi, RIA serta ELISA.
Universitas Sumatera Utara
3.
Diagnostik Virus Secara Langsung Dengan cara khusus yaitu imunofluoresensi RIA, ELISA dapat
diidentifikasi virus influenza dan mikoplasma pneumonia. Mikroskop elektron juga dipergunakan pada pemeriksaan virus corona. Selain dari ketiga cara di atas, dapat juga dilakukan cara yang lebih sederhana walaupun tidak khas yaitu pemeriksaan darah tepi, jumlah elukosit, dan hitung jenis. Jarang sekali terjadi leukositosis yang paling sering jumlah leukosit normal atau rendah. Bila terjadi leukopenia, berarti ada gambaran klinik yang berat. Pada hitung jenis dapat dijumpai eosinofilia, limfopenia dan netrofilia. Beberapa infeksi edngan bakteria dapat pula memberikan leukopenia seperti infeksi
karena
tifus
abdomilitis.
Leukositosis
dengan
peningkatan
sel
Polimorfonuklear di dalam darah maupun sputum mendandakan ada infeksi sekunder oleh karena bakteri ( Alsagaff , 2009 ).
2.1.8. Terapi Terapi ditujukan untuk : 1. Simtomatik - Antipiretik dan analgetik
: Asetosal, parasetamol, Metampiron
- Antitusif
: Kodein-HCL, Noskapin
- Hipnotika - Roboransia - Istirahat yang cukup
Universitas Sumatera Utara
2. Penyulit -
Bila terjadi peningkatan obstruksi bronkus pada asma bronkial dapat diberi kortikosteroid jangka pendek ditambah bronkodilator beta adrenergic
-
Antibiotika perlu ditambahkan bila terjadi infeksi sekunder bakteri. Terapi infeksi saluran nafas memang tidak hanya bergantung pada
antibiotika. Beberapa kasus infeksi saluran nafas atas akut disebabkan oleh virus yang tidak memerlukan terapi antibiotika, cukup dengan terapi suportif. Terapi suportif berperan besar dalam mendukung sukses terapi antibiotika, karena berdampak mengurangi gejala, meningkatkan perfoma pasien. (Direktorat, 2005).
2.1.9. Pencegahan Belum
ditemukan
vaksin
efektif
dan
memuaskan,
tetapi
telah
dikembangkan vaksin terhadap virus influenza dengan menggunakan virus yang telah dilemahkan atau dimatikan. Vaksinasi dilakukan dengan cara meneteskan vaksin pada mukosa hidung atau cara parenteral, yaitu dengan menyuntikkan vaksin yang telah dilarutkan di dalam air terlebih dahulu. Hati-hati pada orang yang alergi terhadap protein telur. Sasaran vaksinasi ialah kelompok masyakat yang mudah timbul penyulit bila terjadi wabah influenza, misalnya pada kelompok lanjut usia, bayi, anak-anak kecil. Vaksinasi tidak dianjurkan atau kontrak indikasi pada wanita hamil dan penderita dengan defisiensi sistem imun. Pencegahan dapat dilakukan dengan : -
Menjaga keadaan gizi agar tetap baik
-
Immunisasi
Universitas Sumatera Utara
-
Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
-
Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA
Selain itu, landasan pencegahan dan pengendalian infeksi untuk perawatan pasien ISPA meliputi pengenalan pasien secara dini dan cepat, penalaksanaan tindakan pengendalian infeksi rutin untuk semua pasien (WHO, 2007).
2.2.
Sistem Imun
2.2.1. Definisi Imun Imun adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang beperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinai sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnya terhadap mikroba disebut respon imun. Sistem imun diperlukan oleh tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja, 2009).
2.2.2. Tipe Sistem Imun Imunisasi terbagi kepada dua, yaitu imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri, misalnya imunisasi polio atau campak, sedangkan imunisasi pasif adalah penyuntikan sejumlah antibodi, sehingga kadar antibodi dalam tubuh meningkat, misalnya penyuntikan Anti Tetanus Serum (ATS) pada orang yang mengalami luka kecelakaan (Markum, 2000).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Reaksi Tubuh Terhadap Antigen Pada saat pertama kali antigen masuk ke dalam tubuh, maka sebagai reaksinya tubuh akan membuat zat anti yang disebut dengan antibodi. Pada umumnya, reaksi pertama tubuh untuk membentuk antibodi tidak terlalu kuat, karena tubuh belum mempunyai pengalaman tetapi pada reaksi yang ke-2, ke-3 dan seterusnya, tubuh sudah mempunyai memori untuk mengenali antigen tersebut sehingga pembentukan antibodi terjadi dalam waktu yang lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak. Oleh itu, pada beberapa jenis penyakit yang dianggap berbahaya, dilakukan tindakan imunisasi atau vaksinasi. Hal ini dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan agar tubuh tidak terjangkit penyakit tersebut, atau seandainya terkena pun, tidak akan menimbulkan akibat yang fatal (Bratawidjaja, 2009).
Universitas Sumatera Utara