BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Asma Menurut Nelson (2007) asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronis yang terjadi di salur pernafasan sehingga menyebabkan penyempitan pada salur pernafasan tersebut. Asma merupakan sindrom yang kompleks dengan karakteristik obstruksi jalan nafas, hiperresponsif bronkus dan inflamasi pada salur pernafasan (Busse dan Lemanske, 2001). Asma menyerang kesemua bangsa dan etnik di seluruh dunia dan pada semua peringkat usia, dengan prevalensi anak laki-laki lebih banyak berbanding anak perempuan dan setelah pubertas, asma lebih banyak menyerang wanita berbanding pria (Fanta, 2009).
2.2 Patogenesis Asma Asma secara konsistennya berhubungan dengan lokus yang pro-alergik dan proinflamatori. Sel inflamatori bisa menginflitrasi dan menyumbat salur pernafasan sehingga mengakibatkan kerusakan pada epitel dan deskuamasi pada lumen salur pernafasan. Inflamasi yang terjadi menyebabkan salur pernafasan menjadi hiperresponsif yaitu cenderung untuk berkonstriksi apabila terpapar kepada alergen. Batuk, rasa sesak di dada dan mengi adalah akibat dari obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus. Penyempitan saluran napas yang terjadi pada pasien asma merupakan suatu hal yang kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran basal. Bermacam faktor pencetus dapat mengaktifkan sel mast. Selain sel mast, sel lain yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel jalan napas, neutrofil, platelet, limfosit dan monosit. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang
Universitas Sumatera Utara
dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi. Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotrien. Tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas bronkus (Nelson, 2007).
2.3 Etiologi Asma Menurut Patino dan Martinez (2001) dalam Martinez (2003) faktor lingkungan dan faktor genetik memainkan peran terhadap kejadian asma. Menurut Strachan dan Cook (1998) dalam Eder et al (2006) pada kajian meta analisis yang dijalankan menyimpulkan bahwa orang tua yang merokok merupakan penyebab utama terjadinya mengi dan asma pada anak. Menurut Corne et al (2002) paparan terhadap infeksi juga bisa menjadi pencetus kepada asma. Infeksi virus terutamanya rhinovirus yang menyebabkan simptom infeksi salur pernafasan bagian atas memicu kepada eksaserbasi asma. Gejala ini merupakan petanda asma bagi semua peringkat usia (Eder et al, 2006). Terdapat juga teori yang menyatakan bahwa paparan lebih awal terhadap infeksi virus pada anak lebih memungkinkan untuk anak tersebut diserang asma (Cockrill et al, 2008). Selain faktor linkungan, faktor genetik juga turut berpengaruh terhadap kejadian asma. Kecenderungan seseorang untuk menghasilkan IgE diturunkan dalam keluarga (Abbas et al, 2007). Pasien yang alergi terhadap alergen sering mempunyai riwayat keluarga yang turut menderita asma dan ini membuktikan bahwa faktor genetik sebagai faktor predisposisi asma (Cockrill et al, 2008). Menurut Tatum dan Shapiro (2005) dalam Eder et al (2006) ada juga bukti yang menyatakan bahwa udara yang tercemar berperan dalam mengurangkan fungsi
Universitas Sumatera Utara
paru, mencetuskan eksaserbasi asma seterusnya meningkatkan populasi pasien yang dirawat di rumah sakit. Mekanisme
patogenik
yang
menyebabkan
bronkokonstriksi
adalah
disebabkan alergen yang memicu kepada serangan asma. Walaupun telah dikenal pasti alergen outdoor sebagai penyebab namun alergen indoor turut memainkan peran seperti house dust mites, hewan peliharaan dan kecoa. Apabila pasien asma terpapar dengan alergen, alergen tersebut akan menempel di sel mast. Sel mast yang telah teraktivasi akan melepaskan mediator. Mediator- mediator ini yang akan menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas epitel jalan nafas sehingga membolehkan antigen menempel ke IgE-spesifik yang mempunyai sel mast. Antara mediator yang paling utama dalam implikasi terhadap patogenesis asma alergi adalah histamin dan leukotrien (Cockrill et al, 2008). Histamin merupakan mediator yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, augmentasi permeabilitas vaskuler dan pembentukan edema salur pernafasan serta menstimulasi reseptor iritan yang bisa memicu bronkokonstriksi sekunder (Cockrill et al, 2008). Menurut Drazen et al (1999) dalam Kay A.B. (2001) sel mast turut memproduksi sisteinil leukotriene yaitu C4, D4 dan E4. Leukotriene ini akan menyebabkan kontraksi otot polos, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi mukus apabila berikatan dengan reseptor spesifik.
2.4 Klasifikasi Asma 2.4.1 Asma saat tanpa serangan Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) mengklasifikasikan derajat asma menjadi: 1) Asma episodik jarang 2) Asma episodik sering 3) Asma persisten
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 . Klasifikasi derajat asma pada anak Parameter klinis, kebutuhan obat dan faal paru asma 1 2
3 4 5 6
Asma jarang
episodik Asma sering
episodik Asma persisten
Frekuensi <1 kali/bulan serangan Lama serangan <1minggu
>1 kali/bulan
Sering
>1minggu
Intensitas serangan Diantara serangan Tidur dan aktifitas Pemeriksaan fisik diluar serangan
Biasanya ringan
Biasanya sedang
Hampir sepanjang tahun, tidak ada periode bebas serangan Biasanya berat
Tanpa gejala
Sering ada gejala
Tidak terganggu
Sering terganggu
Normal ( ditemukan kelainan)
7
tidak Mungkin tergganggu (ditemukan kelainan) Perlu
Gejala siang dan malam Sangat terganggu Tidak normal
pernah
Obat Tidak perlu Perlu pengendali(ant i inflamasi) 8 Uji faal PEFatauFEV1>80 PEFatauFEV1<60 PEVatauFEV<60 paru(diluar % -80% % serangan) 9 Variabilitas Variabilitas>15% Variabilitas>30% Variabilitas 20faal paru(bila 30%. ada serangan) Variabilitas >50% Keterangan : PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak), FEV1=Forced expiratory volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik) (Departemen Kesehatan, 2008 ) 2.4.2 Asma saat serangan Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Klasifikasi asma menurut derajat serangan
Parameter klinis, Ringan fungsi faal paru, laboratorium
Sedang
Berat
Ancaman henti napas
Sesak (breathless)
Berjalan Bayi : Menangis keras
Istirahat Bayi : Tidak mau makan/minum
Posisi
Bisa berbaring
Berbicara Bayi : -Tangis pendek dan lemah -Kesulitan minum/makan Lebih suka duduk
Bicara
Kalimat
Duduk bertopang lengan Kata-kata
Penggal kalimat Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya iritabel iritabel iritabel Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Wheezing Sedang, Nyaring, Sangat sering sepanjang nyaring, hanya pada ekspirasi ± terdengar akhir inspirasi tanpa ekspirasi stetoskop Penggunaan otot Biasanya Biasanya ada Ada bantu respiratorik tidak
Retraksi
Dangkal, retraksi interkostal
Frekuensi napas
Takipnea
Sedang, ditambah retraksi suprasternal Takipnea
Kebingungan Nyata Sulit/tidak terdengar
Gerakan paradok torakoabdominal Dangkal hilang
Dalam, ditambah napas cuping hidung Takipnea Bradipnea
/
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar : Usia Frekuensi napas normal per menit < 2 bulan <60 2-12 bulan < 50
Universitas Sumatera Utara
1-5 tahun 6-8 tahun Frekuensi nadi
Pulsus paradoksus (pemeriksaannya tidak praktis)
PEFR atau FEV1 (%nilai dugaan/%nilai terbaik) Pra bonkodilator Pasca bronkodilator SaO2 % PaO2
< 40 < 30
Normal
Takikardi Takikardi Bradikardi Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak Usia Frekuensi nadi normal per menit 2-12 bulan < 160 1-2 tahun < 120 6-8 tahun < 110 Tidak ada Ada Ada Tidak ada, (< 10 (10-20 mmHg) (>20mmHg) tanda mmHg) kelelahan otot respiratorik
>60% >80%
40-60% 60-80%
>95% 91-95% Normal >60 mmHg (biasanya tidak perlu diperiksa) PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg ( Departemen Kesehatan, 2008)
<40% <60%, respon<2 jam ≤ 90% <60 mmHg
>45 mmHg
2.5 Manifestasi klinis asma Batuk kering yang intermitten dan mengi merupakan gejala kronis yang sering dikeluhkan pasien. Pada anak yang lebih tua dan dewasa mengeluhkan sukar bernafas dan terasa sesak di dada. Pada anak yang lebih kecil sering merasakan nyeri yang nonfokal di bagian dada. Simptom respiratori ini bisa lebih parah pada waktu malam terutamanya apabila terpapar lebih lama dengan alergen. Orang tua sering mengeluhkan anak mereka yang asma mudah letih dan membatasi aktivitas fisik
Universitas Sumatera Utara
mereka (Nelson, 2007). Manakala menurut Boguniewicz (2007), mengi merupakan karakteristik yang utama pada pasien asma. Jika bronkokonstriksi bertambah parah, suara mengi akan lebih jelas kedengaran dan suara pernafasan menghilang. Menurutnya lagi, sianosis pada bibir dan nail beds akan terlihat disebabkan oleh hipoksia. Takikardia dan pulsus paradoxus juga bisa terjadi. Agitasi dan letargi merupakan tanda-tanda permasalahan pada pernafasan. Menurut Abbas et al (2007), pada pasien asma terjadi peningkatan produksi mukus. Hal ini dapat menyebabkan obstruksi bronkus dan pasien mengeluhkan sukar bernafas. Kebanyakan dari penderita asma juga mengalami alergi rinitis dan eksema (Sheffer, 2004). Alergi rinitis merupakan inflamasi pada mukosa nasal yang ditandai dengan nasal kongesti, rinorea, bersin dan iritasi konjuntiva. Rinorea, nasal kongesti, bersin paroxysmal dan pruritus pada mata, hidung, telinga dan palatum merupakan tanda yang sering dikeluhkan oleh pasien alergi rinitis. Anak yang alergi rinitis bisa juga terjadi gangguan tidur, aktivitas yang terbatas, irritabilitas dan gangguan mood dan kognitif yang bisa menggangu prestasi anak di sekolah. Hidung yang terasa gatal akan menyebabkan anak sering terlihat menggosok hidung dengan tangan (Nelson, 2007). Beberapa kajian telah menyatakan bahwa alergi rinitis merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya asma. Prevalensi alergi rinitis pada pasien asma diperkirakan sebanyak 80 % hingga 90% (B Leynaert, 2000). Menurut Akdis et al (2006) dalam Bieber (2008) dermatitis atopik atau eksema adalah penyakit kulit yang sering dideritai oleh pasien dengan penyakit atopik yang lain seperti asma dan alergi rinitis. Lesi kulit dermatitis atopik memperlihatkan adanya edema dan infiltrasi sel mononuklear dan eosinofil serta penimbunan cairan dalam kulit(membentuk vesikel yang jelas terlihat secara klinis). Pecahnya vesikel kecil dalam jumlah yang banyak ini mengakibatkan terbentuknya krusta dan kulit menjadi bersisik. Perubahan ini dan pruritus berat yang mendahului dan menyertai erupsi, terjadi karena kulit sangat kering. Pada keadaan ini, terjadi hambatan
Universitas Sumatera Utara
pengeluaran keringat dan retensi keringat seringkali menimbulkan gatal-gatal berat yang disebabkan oleh panas. Rasa gatal dan rasa sakit yang hebat akibat kulit yang pecah-pecah adalah keluhan utama pasien eksema ( Solomon, 2003). Eksema jarang terjadi pada orang dewasa. Eksema dimulai sejak usia 2 bulan sampai 6 bulan, sering terdapat pada wajah dan iritasi ini menyebabkan anak tidak dapat tidur. Hasil kajian juga menunjukkan 25% penderita eksema alergi terhadap telur, susu, kacang, tepung, ikan dan kerang (Pitaloka, 2002).
2.6 Penatalaksanaan Asma Sasaran utama sebagai strategi pertahanan terhadap asma adalah zat – zat iritan dan alergen. Keduanya bisa merangsang timbulnya reaksi pada salur pernafasan. Penghindaran terhadap faktor lingkungan adalah saran yang paling ampuh dalam usaha menghadapi asma. Cara ini sangat alami, tidak perlu mengkonsumsi obat-obatan, tiada akibat sampingannya serta udara dan lingkungan yang bersih membawa manfaat bagi seluruh anggota keluarga yang lain (Iwan dan Syamsir, 2006). Terdapat dua kategori obat untuk penyembuhan asma yaitu obat pelega yang bekerja dengan cepat (quick-relief) dan obat kontrol untuk jangka panjang (long-term control). Obat pelega yang digunakan adalah short-acting ß2 agonist (SABA), anti kolinergik dan kotikosteroid oral. SABA (seperti albuterol, levalbuterol dan pirbuterol) merupakan antara bronkodilator yang efektif. SABA bekerja dengan memberikan efek relaksasi pada otot polos bronkus dan mula bekerja 5 hingga 10 menit
setelah
administrasi.
Ipratropium
bromida
merupakan
antikolinergik
bronkodilator yang mengurangkan hipersekresi mukus dan irritabilitas reseptor batuk dengan mengikat asetilkolin di reseptor muskarinik yang terdapat pada otot polos bronkus. Anak asma dengan eksaserbasi akut diberikan kortikosteroid untuk 3 hingga 10 hari. Dosis awal diberikan 1-2 mg/kg/hari dengan Prednison untuk 2 hingga 5 hari yang berikutnya. Untuk obat kontrol jangka panjang pula digunakan obat long-acting ß2 agonist (LABA), kortikosteroid inhalasi, teofilin dan leukotrien modifiers. LABA
Universitas Sumatera Utara
(salmeterol, formoterol dan bambuterol) memberikan efek relaksasi otot polso bronkus dan bekerja selama 12 jam tapi obat ini tidak memberikan efek anti inflamatori yang signifikan. Leukotriene modifiers dibagi menjadi dua kelompok yaitu cysteinyl leukotriene reseptor antagonists(zafirlukast dan montelukast) dan leukotriene synthesis inhibitors (zileuton) (Nelson, 2006). Leukotriene modifiers bekerja sebagai anti inflamasi dan bronkodilator. Manakala teofilin bekerja dengan cara menghambat fosfodiesterase seterusnya menghambat pemecahan cyclic-AMP. Teofilin merupakan terapi tambahan bagi kortikosteroid inhalasi (Gwilt et al, 2008).
Universitas Sumatera Utara