4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Ikan Ikan adalah organisme air yang bernafas dengan insang dan dapat bergerak atau berenang dengan menggunakan sirip (fin). Untuk mengatur keseimbangan, tubuh ikan memiliki alat yang disebut sebagai gurat sisi atau garis lateral (lateral line). Selain itu ikan memiliki gelembung udara yang berfungsi sebagai alat mengapung, melayang atau membenamkan diri pada dasar perairan. Ikan tersebar diberbagai jenis perairan diseluruh permukaan bumi. Ikan mempunyai pola adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan, sehingga ikan mempunyai penyebaran yang luas. Hal ini terutama didukung oleh kemampuan mobilitas dari ikan yang tinggi (Barus, 2004). 2.2 Ikan nila (Oreocrhomis niloticus) Menurut sejarahnya, ikan nila pertama kali didatangkan dari Taiwan ke Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Bogor pada tahun 1969. Setahun kemudian ikan ini mulai disebarkan ke berbagai daerah (Amri dan Khairunman, 2003). Nila adalah nama khas yang diberikan oleh pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Perikanan pada tahun 1975. Nama tersebut diberikan bukan karena warnanya, melainkan karena mirip dengan nama latinnya yaitu Oreochromis niloticus, berasal dari sungai Nil disesuaikan bunyinya menjadi nila (Suyanto, 2010). Menurut Saanin (1984), ikan nila (Oreochromis niloticus) mempunyai klasifikasi sebagai berikut : Kingdom Phylum Class Sub-class Order Sub-order Family Genus Species
: Animalia : Chordata : Osteichthyes : Actinopterygii : Percomorphi : Percoidea : Cichlidae : Oreochromis : Oreochromis niloticus
Universitas Sumatera Utara
5
Gambar 1. Ikan nila jantan dan ikan nila betina (Suyanto, 2003).
Ikan Nila (Oreochromis sp) merupakan jenis ikan yang diintroduksikan dari luar negeri. Bibit ikan ini didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan air Tawar pada tahun 1969 (Djarijah, 1995). Setelah melalui masa penelitian dan adaptasi, barulah ikan ini disebarluaskan kepada petani ikan di seluruh Indonesia (Wahyudi, 2009). Ikan Nila (Oreochromis sp) disukai oleh berbagai bangsa karena dagingnya yang enak dan tebal seperti daging ikan kakap merah. Salah satu masalah terkait pengembangan budidaya ikan nila merah adalah penyakit yang menyerang ikan yang menghambat pertumbuhan ikan, namun ada salah satu masalah juga yang perlu diperhatikan yaitu masalah pakan yang berperan sangat penting bagi pertumbuhannya. Pada kondisi yang masih juvenile ikan ini membutuhkan pakan yang mempunyai kandungan protein yang tinggi (Wahyudi, 2009). Ikan nila cocok dipelihara di dataran rendah sampai dataran tinggi 500 m dari permukaan laut (Cahyono, 2001). Kini ikan nila banyak dibudidayakan diberbagai daerah di Indonesia karena kemampuan adaptasi yang bagus di berbagai jenis air. Ikan nila dapat hidup di air tawar, air payau, dan air asin. Ikan nila juga tahan terhadap perubahan lingkungan, bersifat omnivora, dan mampu mencerna makanan secara efisien (Suyanto, 2010). Pertumbuhan ikan nila secara umum dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal meliputi genetik dan kondisi fisiologis ikan serta faktor eksternal
Universitas Sumatera Utara
6
yang berhubungan dengan pakan dan lingkungan. Faktor lingkungan tersebut diantaranya kuantitas dan kualitas air yang meliputi komposisi kimia air, temperatur air, agen penyakit, dan tempat pemeliharaan (Hepper dan Prugnin, 1990).
2.3 Sistem Imun Ikan Ikan memiliki sistem imunitas untuk melawan berbagai macam penyakit, yang meliputi sistem imun spesifik dan sistem imun nonspesifik. Respon imun penginduksinya, keberadaannya dalam tubuh sangat berfluktuasi. Respon imun nonspesifik bersifat umum dan keberadaannya bersifat permanen dalam tubuh ikan (Anderson, 1974). Sistem imunitas seluler merupakan sistem pertahanan yang berifat nonspesifik, respon ini meliputi barier mekanik dan kimiawi (seperti: mukus, kulit, sisik dan insang) dan sistem imunitas seluler (seperti makrofag, leukosit: monosit, netrofil, eosinofil, dan basofil). Mukus ikan yang menyelimuti permukaan tubuh, insang, dan terdapat pada lapisan mukosa usus yang berperan sebagai pemerangkap antigen secara mekanik dan eleminasi patogen, secara kimiawi dengan lisosim dan enzim proteolitik lainnya (Anderson, 1974). Pertahanan tubuh spesifik dilakukan oleh antibodi yang merupakan respon imun humoral. Ikan
hanya memiliki satu kelas imunoglobulin
yakni
imunoglobulin M yang merupakan makroglubulin, kestabilan struktur molekulnya dilakukan oleh rantai J. Klasifikasi imunoglobulin tersebut didasarkan atas sifat fisika-kimia, kandungan karbohidrat dan komposisi asam amino molekul imunoglobulin (Nabib dan Pasaribu, 1989). Imunoglobulin ini selain terdapat dalam plasma darah juga ditemukan pada mukus, usus, cairan empedu dan dalam telur ikan mas (Ilmiah, 2012).
2.4 Imunostimulan Imunostimulan merupakan suatu senyawa biologi, sintesis atau bahan lainnya yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Raa et al, 1992). Galeotti 1998 mengemukakan bahwa imunostimulan dapat meningkatkan respon kekebalan spesifik
dan
non-spesifik
ikan.
Apabila
masuk
kedalam
tubuh
ikan,
Universitas Sumatera Utara
7
imunostimulan akan merangsang makrofag untuk memproduksi interleukin yang akan menggiatkan sel limfosit yng kemudian membelah menjadi limfosit T dan B (Raa et al, 1992). Limfosit T memproduksi interferon yang akan meningkatkan kemampuan makrofag sehingga dapat memfagositosis bakteri, virus, dan partikel asing lainnya yang masuk kedalam tubuh ikan. Masuknya imunostimulan akan merangsang makrofag untuk memproduksi lebih banyak lisozim dan kompelen. Interleukin menggiatkan limfosit B menjadi lebih banyak memproduksi antibodi. Bahan imunostimulan dapat bersal dari komponen bakteri, ekstrak tumbuhan dan hewan serta faktor nutrisi (Galeotti, 1998). Sistem kekebalan pada ikan sama halnya dengan sistem kekebalan pada mamalia meliputi barrier mekanik dan kimiawi (mukus, kulit, sisik dan insang), dan pertahana seluler (makrofag dan leukosit seperti monosit, netrofil, eosinofil dan basofil) (Ingram, 1980). Mukus yang menyelimuti permukaan tubuh ikan, insang dan juga terdapat pada lapisan mukosa usus berperan sebagai perangkap patogen secara mekanik dan mengeliminasi patogen secara kimiawi dengan lisosim dan enzim proteolitik lainnya. Kulit dan sisik ikan berperan dalam perlindungan mekanik terhadap invasi patogen melalui proses penebalan kutikel ataupun hiperplasia sel-sel malpighi. Mekanisme kerja sistem pertahanan ini saling menunjang satu sama lain melalui mediator dan komunikator seperti sitokin dan limfokin. Sistem pertahanan tersebut diperlukan untuk perlindungan tubuh terhadap serangan patogen seperti virus, bakteri, cendawan, dan parasit. (Robert,1989).
2.5 Kayu Manis (Cinnamomum burmannii) Kayu manis spesies Cinnamomum burmannii merupakan salah satu tanaman obat yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia (Gunawan, 2011). Kandungan yang terdapat dalam kayu manis adalah minyak atsiri, safrole, sinamadehid, eugenol, tanin, damar, kalsium oksanat, zat penyamak, flavanoid, saponin serta kandungan gizi lainnya seperti gula, protein, lemak kasar dan pektin yang diduga ikut membantu daya kerja dalam respon imun (Gunawan, 2004).
Universitas Sumatera Utara
8
2.5.1. Klasifikasi dan Morfologi Kayu Manis Sistematika kayu manis menurut Rismunandar dan Paimin (2001), sebagai berikut: Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Plantae : Gymnospermae : Spermatophyta : Dicotyledonae : Dialypetalae : Policarpicae : Lauraceae : Cinnamomum : Cinnamomum burmannii
Gambar 2. Kulit dan bubuk kayu manis (Rusli dan Abdullah, 1988).
Daun kayu manis duduknya bersilang atau dalam rangkaian spiral. Panjangnya sekitar 9–12 cm dan lebar 3,4–5,4 cm, tergantung jenisnya. Warna pucuknya kemerahan, sedangkan daun tuanya hijau tua. Bunganya berkelamin dua atau bunga sempurna dengan warna kuning, ukurannya kecil. Buahnya adalah buah buni, berbiji satu dan berdaging. Bentuknya bulat memanjang, buah muda berwarna hijau tua dan buah tua berwarna ungu tua (Rismunandar dan Paimin, 2001). Kandungan kimia kayu manis adalah minyak atsiri yang berasal dari kulit komponen terbesarnya ialah cinnaldehida 60–70% ditambah dengan eugenol, beberapa jenis aldehida, benzyl-benzoat, phelandrene dan lain–lainnya. Kadar eugenol rata–rata 66-80%. Dalam kulit masih banyak komponen–komponen kimiawi misalnya: damar, pelekat, tanin, zat penyamak, gula, kalsium, oksalat,
Universitas Sumatera Utara
9
dua jenis insektisida cinnzelanin dan cinnzelanol, cumarin dan sebagainya (Rismunandar, 1995). Minyak atsiri diperoleh dari penyulingan kulit maupun daun kayu manis. Komponen-komponen utama minyak kulit kayu manis adalah sinamaldehid, eugenol, aceteugenol dan beberapa aldehid lain dalam jumlah yang kecil. Di samping itu juga mengandung methyl-n-amyl ketone yang juga sangat menentukan dalam flavour khusus dari minyak kayu manis (Rusli dan Abdullah, 1988). Komponen terbesar minyak atsiri dari kulit kayu manis adalah sinamal aldehid dan eugenol yang menentukan kualitas minyaknya. Kadar komponen kimia kulit kayu manis sangat tergantung pada daerah asalnya atau tempat penanamannya (Rismunandar, 1993). Penelitian tentang penggunaan kayu manis dalam pakan telah dilakukan oleh Azima (2004) dan dari penelitian tersebut didapatkan bahwa penambahan kayu manis sebanyak 200 mg/kg dalam pakan dapat menurunkan kadar kolesterol dan kadar trigliserida dalam tubuh kelinci.
2.6. Pertumbuhan dan Mortalitas Ikan Pertumbuhan merupakan parameter yang mempunyai nilai ekonomi penting dalam budidaya. Parameter ini udah diukur sebagai bobot, panjang atau lingkaran pertumbuhan pada sisik. Pada umumnya pertumbuhan erat hubungannya dengan efisiensi koversi pakan. Pertumbuhan individu dari suatu populasi ikan bergantung pada keadaan lingkungan sekitarnya. Pertumbuhan sangat tergantung pada
lingkungan,
karena
terjadi
interaksi
antara
faktor
genetis
dan
lingkungan.Sifat mortalitas tidak diwariskan oleh induk, tetapi lebih banyak disebabkan oleh faktor lingkungan seperti kualitas air, makanan dan sebagainya. Oleh karena itu, mortalitas induk tidak dapat diketahui secara pasti (Sutisna & Sutarmanto, 1995). Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu bobot tubuh, sex, umur, kesuburan, kesehatan, pergerakan, aklimasi, aktivitas biomassa, dan konsumsi oksigen, sedangkan faktor eksternal terdiri dari faktor abiotik dan faktor biotik. Faktor abiotik terdiri dari suhu, salinitas, kandungan oksigen air, buangan metabolit (CO2, NH3), pH, cahaya, musim.
Universitas Sumatera Utara
10
Faktor nutrisi termasuk faktor biotik yang meliputi ketersedian pakan, komposisi pakan, kecernaan pakan, dan kompetisi pengalabilan pakan. Nutrisi merupakan faktor pengontrol, dadn ukuran ikan memperngaruhi potensi tumbuh suatu individu, sedangkan suhu air mempengaruhi seluruh kegiatan dan proses kehidupan ikan yang meliputi pernafasan, reproduksi, dan perrtumbuhan. Suhu air meningkat (sampai batas tertentu), maka laju metabolisme meningkat yang pada gilirannya meningkatkan konsumsi dan pertumbuhan ikan (Haetami et al., 2005). Pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan jumlah. Pertumbuhan itu merupakan proses bilogis yang kompleks dimana faktor yang memepengaruhinya (Efendi, 2002). Ketersediaan pakan dan oksigen sangat penting bagi ikan untuk keberlangsungan pertumbuhannya. Bahan buangan metabolik akan juga mengganggu pertumbuhan ikan, konsentrasi dan pengaruh dari faktor-faktor diatas terhadap ikan dapat dipengaruhi oleh tingkat kepadatan ikan. Pada kondisi kepadatan ikan yang tinggi, ketersediaan pakan dan oksigen bagi ikan akan berkurang, sedangkan bahan buangan metabolik ikan tinggi. Jika faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan maka peningkatan kepadatan akan mungkin dilakukan tanpa menurunkan laju pertumbuhan ikan (Hepher, 1978).
2.7 Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) adalah jumlah ikan yang hidup hingga akhir pemeliharaan. Untuk mengetahuinya digunakan rumus sederhana yaitu jumlah ikan yang hidup dibagi dengan jumlah ikan tebar awal dikali dengan seratus persen (Bactiar, 2006). Untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan, maka diperlukan makanan yang memenuhi kebutuhan nutrisi ikan. Makanan yang dimakan oleh ikan digunakan untuk kelangsungan hidup dan selebihnya akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Peningkatan padat tebar ikan akan berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan, artinya bahwa peningkatan padat tebar ikan belum tentu menurunkan tingkat kelangsungan hidup. Walaupun terlihat kecenderungan bahwa makin meningkat pada tebar ikan maka tingkat
Universitas Sumatera Utara
11
kelangsungan hidup akan makin kecil. Nilai tingkat kelangsungan hidup ikan ratarata yang baik berkisar antara 73,5-86,0 %. Kelangsungan hidup ikan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya kualitas air meliputi suhu, kadar amoniak dan nitrit, oksigen yang terlarut, dan tingkat keasaman (pH) perairan, serta rasio antara jumlah pakan dengan kepadatan (Gustav, 1998). Dalam budi daya, kelangsungan hidup ikan sangat erat kaitannya dengan tujuan akuakultur itu sendiri yaitu mendapatkan profit sebesar-besarnya. Bila kelangsungan hidup ikan semakin tinggi maka akan berbanding lurus dengan keuntungan yang didapat (Bactiar, 2006).
2.8 Faktor Fisik Kimia Air Menurut KPPL (1992) bahwa suhu perairan yang baik bagi kehidupan ikan kurang dari 30°C, kandungan oksigen terlarut (DO) > 5 ppm, kekeruhan < 50 mg/l, kesadahan < 60 mg/l, alkalinitas 25-40 mg/l, nitrat < 10, besi << 1 mg/l, merkuri < 0,002 mg/l (Haryono dan Subagja, 2008). Faktor-faktor kimia perairan dalam keadaan ekstrim mempunyai pengaruh hebat terhadap pertumbuhan, bahkan dapat menyebabkan fatal. Faktor luar yang terutama mempengaruhi pertumbuhan ialah makanan dan suhu perairan. Untuk daerah tropik suhu perairan berada dalam batas kisar optimum untuk pertumbuhan. Oleh karena itu apabila ada ikan dapat mencapai 30 cm dengan 1 kgdalam satu tahun dalam perairan tropik, maka ikan yang sama spesiesnya didaerah yang bermusim empat ukuran mungkin akan dicapai dalam waktu 2 atau 3 tahun (Efendi, 2002). Suhu merupakan salah satu variabel lingkungan yang sangat penting. Ikan sebagai hewan ektotermal (poikilotermal) sangat bergantung kepada suhu. Kenaikan suhu meningkatkan laju metabolisme dalam tubuh, yang pada hakekatnya adalah naikknya kecepatan reaksi kimiawi. Kenaikkan suhu akan meningkatkan laju pertumbuhan sampai batas tertentu, dan setelah itu kenaikkan suhu justru menurunkan laju pertumbuhan. Setiap ikan diketahui mempunyai kisaran suhu optimal yang pada suhu tersebut ikan tumbuh maksimal. Anakan ikan cod (gadus morpua) suhu optimal pertumbuhan menurun seiring dengan
Universitas Sumatera Utara
12
pertambahan bobot. Pertumbuhan ikan didaerah tropik lebih cepat dibandingkan pertumbuhan ikan diaderah dingin (Rahardjo et al., 2011) Toleransi untuk kehidupan aquatik terhadap pH bergantung kepada banyak faktor meliputi suhu, konsentrasi oksigen terlarut, adanya variasi bermacammacam anion dan kation, jenis dan daur hidup biota. Perairan basa (7-9) merupakan perairan yang produktif dan berperan mendorong proses perubahan bahan organik dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat diasimilasi oleh fitoplankton, ph air yang tidak optimal berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan, menyebabkan tidak efektinya pemupukan air di kolam dan meningkatkan daya racun hasil metabolisme seperti NH3, dan H2S, ph air berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut dan memiliki pola hubungan terbalik, semakin tinggi kandungan CO2 perairan, maka pH akan menurun dan demikian pula sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang apabila air mengandung garam CaCO3 (Haetami et al., 2005).
Universitas Sumatera Utara