26
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Komposit
Suatu komposit adalah suatu material yang dibentuk dari kombinasi dua atau lebih komponen yang berbeda. Defenisi ini termasuk kopolimer diperkuat plastik, hitam karbon pengisi karet, dan lainnya (Bhatnagar, 2004). Bahan komposit pada umumnya terdiri dari dua unsur, yaitu serat (fiber) sebagai pengisi dan bahan pengikat serat yang disebut matrik. Didalam komposit unsur utamanya serat, sedangkan bahan pengikatnya polimer yang mudah dibentuk. Penggunaan serat sendiri yang utama adalah menentukan karakteristik bahan komposit, seperti kekakuan, kekuatan serta sifat mekanik lainnya. Sebagai bahan pengisi, serat digunakan untuk menahan gaya yang bekerja pada bahan komposit, matrik berfungsi melindungi dan mengikat serat agar dapat bekerja dengan baik terhadap gaya-gaya yang terjadi. Oleh karena itu untuk bahan serat digunakan bahan yang kuat, kaku dan getas, sedangkan bahan matrik dipilih bahan-bahan yang liat, lunak dan tahan terhadap perlakuan kimia (Hadi, 2000).
2.1.1. Biokomposit Komposit terdiri dari dua penyusun utama yaitu reinforcement dan matriks. Biokomposit adalah material komposit dengan salah satu penyusunnya bersifat natural, misalnya menggunakan reinforcement serat alam atau matriks alam (Mujiyono, 2010). Komposit dari serat alam merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. Komposit serat alam diharapkan
Universitas Sumatera Utara
27
menjadi suatu material yang bersifat dapat diperbaharui sehingga mengurangi dan mencegah dampak kerusakan lingkungan dari bahan polimer seperti plastik yang tidak dapat diperbaharui. Disamping itu, komposit dari serat alam juga bertujuan untuk memanfaatkan limbah dari bahan serat alam seperti serat rami, sampah kulit pisang dan lain-lain agar dapat lebih memberikan daya guna (Mathur, 2005).
Banyak peneliti di bidang ilmu pengetahuan komposit secara kritis mempertimbangkan tentang penggunaan efektif dari serat alami untuk struktur komposit dan menyarankan mereka sebagai serat alternatif yang layak. Serat alami sebagai bahan pengisi memiliki banyak keuntungan, sebagai contoh, biaya rendah, kepadatan rendah, ketangguhan tinggi, sifat kemudahan pengolahan dan pemisahan, dan biodegradasi (Wang, 2006).
2.1.2. Komposit Berpenguat Serat Alam
Setelah diketemukannya berbagai macam serat sintetis yang dibuat secara kimiawi, kini para ilmuwan berlomba-lomba beralih melakukan penelitian pada serat alam. Para ilmuwan mulai meneliti sifat-sifat alami dan melakukan uji mekanis terhadap serat-serat alam yang ada. Penelitian dilakukan setelah diketahui kelemahankelemahan yang terdapat pada serat sintetis, yaitu diantaranya: harganya yang relatif mahal, tidak dapat terdegredasi secara alami, beracun dan jumlahnya yang terbatas. Oleh karena itu para ilmuwan berusaha meneliti dan menemukan serat alam pengganti serat sintetis yang memiliki sifat antara lain; mudah didapatkan, dapat terurai secara alami, harganya yang murah dan tidak beracun, namun memiliki kekuatan mekanis yang sama atau lebih baik dari serat sintetis (Yudo, 2008) Penggunaan bahan komposit tercatat dari abad yang lalu, ketika semuanya dimulai dengan serat alami. Di Mesir kuno sekitar 3.000 tahun yang lalu, tanah liat diperkuat oleh jerami untuk membangun dinding. Kemudian pada serat alami
Universitas Sumatera Utara
28
kehilangan banyak ketertarikannya. Dengan penggunaan industri plastik, kombinasi plastik dengan serat alami atau tepung kayu diperkenalkan. Badan mobil 'Trabant' di Jerman Timur (1950-1990) adalah salah satu contoh khas untuk aplikasi serat alami (kapas) tertanam dalam matriks poliester. Bahan konstruksi yang tahan lama lainnya yang dikembangkan saat serat kaca pada suatu kombinasi dengan sifat yang keras, resin kaku dapat diproduksi pada skala besar. Dekade terakhir menunjukkan ketertarikan baru dalam serat alami dan kayu sebagai pengganti serat kaca. Setelah dekade dari teknologi tinggi berkembang dari serat buatan seperti karbon, aramid dan kaca, itu itu merupakan hal yang luar biasa dimana pertumbuhan serat alami lebih diminati, terutama sebagai pengganti serat kaca dalam industri otomotif. Serat seperti rami, atau goni yang murah, memiliki kekakuan yang lebih baik per satuan berat dan memiliki dampak lebih rendah pada lingkungan. Meskipun otomotif memimpin dalam bangkitnya serat alami, aplikasi terutama dibatasi pada aplikasi jok dimana isolasi termal dan akustik, biaya rendah dan gambaran ramah lingkungan adalah keuntungan. Aplikasi struktural jarang terjadi karena teknik produksi yang ada tidak berlaku dan ketersediaan bahan setengah jadi dari kualitas yang konsisten masih masalah. Ada ketertarikan baru dalam penggunaan serat alami, juga dikenal sebagai agro berbasis sumber daya untuk komposit. Sumber daya ini termasuk kayu, tanaman pertanian dan residu, rumput, tanaman air, dan berbagai macam limbah agro-massa termasuk kayu daur ulang, kertas, dan produk kertas. Rowell dan rekan kerja telah menunjukkan jalur pengolahan mungkin untuk setiap fraksi tanaman mengarah ke produk komposit yang berbeda: •
Seluruh tanaman dapat dibuat serat dan digunakan untuk komposit struktural dan non struktural
Universitas Sumatera Utara
29
•
Empulur dapat digunakan untuk agen penyerap, pengepakan, komposit ringan dan isolasi
•
Serat panjang cocok untuk kombinasi dengan sumber daya lainnya
•
Tikar serat panjang dapat digunakan dalam filter, geotekstil, kemasan dan pembentuk komposit Penggunaan serat alam dan kayu dalam aplikasi komposit sedang diselidiki
secara intensif di Eropa. Hasilnya, komponen otomotif sekarang banyak diproduksi dengan komposit alami, terutama didasarkan pada poliester atau polipropilena dan serat seperti rami, jute atau kayu. Namun sampai sekarang, perkembangan dalam industri hanya berdasarkan pada harga dan spin pemasaran (pengolahan sumber daya terbarukan), daripada tuntutan teknis. Rentang produk dibatasi untuk komponen struktural dan non interior seperti pelapis pintu atau rak yang jarang, karena kekurangan secara tradisional komposit serat alami dan kayu
yaitu rendahnya
dampak kekuatan dan kurangnya ketahanan kelembaban.
Secara umum, serat alami dibagi untuk asal-usul mereka, yang berasal dari tumbuhan, hewan atau mineral. Serat tanaman mungkin kulit kayu serat, daun atau biji serat. Serat tanaman biasanya digunakan sebagai penguat dalam plastik. Dunia tanaman penuh dengan gambaran di mana sel-sel dan kelompok sel dirancang untuk kekuatan dan kekakuan. Sebuah penggunaan hemat sumber daya telah menghasilkan optimalisasi fungsi sel. Selulosa merupakan polimer alami dengan kekuatan tinggi dan kekakuan per berat dan itu adalah bahan bangunan dari sel berserat panjang. Sel ini dapat ditemukan di batang, daun atau biji tanaman. Serat kayu juga dimasukkan sebagai serat selulosa berbasis, namun berbeda dengan serat tanaman ( Bledzki, 2002).
Universitas Sumatera Utara
30
2.2.
Degradabilitas
Sebagian besar polimer mempunyai sifat sangat tahan lama; sesungguhnya ini merupakan sifat yang memungkinkannya berkompetisi dengan bahan-bahan awet lainnya seperti gelas dan logam. Akan tetapi, keawetan bisa menghasilkan masalahmasalah. Akhir-akhir ini para konservasionis makin meningkatkan perhatiannya terhadap sampah polimer yang merusak pemandangan. Meskipun saat ini polimerpolimer sintesis mewakili persentase yang relative kecil dari semua sampah yang berbentuk padat, mereka tetap sangat menusuk pemandangan, teristimewa jika dilihat dari segi pemakaiannya yang meluas dalam bidang pengemasan. Sebagai akibatnya, perhatian telah bergeser ke ujung yang berlawanan dari spektrum durabilitas ke sintesis-sintesis polimer yang dapat terurai (degradable) oleh efek-efek lingkungan sinar matahari dan mikroorganisme tanah (Stevens, 2001).
2.3.
Selulosa
Jaringan berserat dalam dinding sel mengandung polisakarida selulosa. Polisakarida ini adalah polimer alam yang paling banyak terdapat dan paling tersebar dialam. Jutaan ton selulosa digunakan setiap tahun untuk dibuat perabot kayu, tekstil, dan kertas. Sumber utama selulosa adalah kayu. Umumnya kayu mengandung 50% selulosa, bersama dengan penyusun lainnya seperti lignin. Pemisahan selulosa dari kayu melibatkan pencernaan kayu dengan larutan belerang dioksida dan hydrogen sulfit (bisulfit) dalam air dalam proses sulfit, atau larutan natrium hidroksida dan natrium sulfide dalam air pada proses sulfat (proses Kraft). Pada kedua proses ini lignin dilarutkan sehingga diperoleh selulosa. Rumus molekul selulosa adalah (C 6 H10 O 5 ) n , dan n dapat berupa angka ribuan ( Cowd, 1991). Struktur selulosa ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
31
CH2OH
C O
O H
C
H
H
H
C
OH
H
C
C
H
OH
O
OH
H C
C
C OH
H C
CH
O
H
O
CH2OH
Gambar 2.1. Struktur selulosa Selulosa adalah bahan yang bersumber dari tanaman yang diperoleh dengan cara tertentu yang dimanfaatkan sebagai bahan pembuat tali dan pakaian. Selama beberapa tahun terakhir, beberapa peneliti mulai mengembangkan manfaat dari selulosa yang dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam pembuatan komposit biodegradabel. Selulosa dipilih sebagai bahan pengisi dari matrisk polimer didasari beberapa alasan yaitu harganya yang relatif murah dibanding dengan bahan sintesis seperti serat kaca serta kemampuannya untuk dapat didaur ulang sehingga tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan (Eichhron, 2001).
2.3.1.
Pembagian Selulosa
Berdasarkan derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu : 1. α - Selulosa (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (Derajat Polimerisasi) 600 – 15000. α - selulosa dipakai sebagai penduga dan atau tingkat kemurnian selulosa. Selulosa dengan derajat kemurnian α > 92 % memenuhi syarat untuk bahan baku utama pembuatan propelan atau bahan peledak. Sedangkan selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas dan industri kain (serat rayon). Semakin tinggi kadar alfa selulosa, maka semakin baik mutu bahannya.
Universitas Sumatera Utara
32
2. Selulosa β (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP 15 - 90, dapat mengendap bila dinetralkan. 3. Selulosa µ (Gamma cellulose) adalah sama dengan selulosa β, tetapi DP nya kurang dari 15. Selain itu ada yang disebut Hemiselulosa dan Holoselulosa (Sumada, 2011)
2.3.2.
α-Selulosa Alfa selulosa biasanya diperoleh dengan metode gravimetrik dimana tidak
larut dalam NaOH 17,5% dingin, disaring dan ditimbang. Beta dan gamma selulosa juga dapat diperoleh dengan metode gravimetrik tetapi keduanya sangat sulit diperoleh karena dalam bentuk gel. Alfa selulosa secara empiris merupakan fraksi molekul selulosa dengan beda berat molekul. Jika alfa selulosa diambil dari kayu yang memiliki persentase lignin yang tinggi maka harus dihilangkan dahulu. Prosedur umum untuk penentuan alfa selulosa pada awalnya dengan penentuan holoselulosa dengan metode klorin dan klorit kemudian holoselulosa ditambah alkali untuk menghilangkan hemiselulosa. Residu yang diperoleh dari hasil prosedur tersebut adalah α-selulosa (Yusuf, 2004). 2.4.
Berat Molekul Berat molekul merupakan variable yang teristimewa penting sebab
berhubungan langsung dengan sifat-sifat fisika polimer. Pada umumnya, polmer dengan berat molekul yang lebih tinggi bersifat lebih kuat, tetapi berat molekul yang terlalu tinggi bias menyebabkan kesukaran-kesukaran dalam pemrosesannya. Bagaimana mendefinisikan suatu berat molekul dari polimer yang bersangkutan dan aplikasinya yang diharapkan.
Universitas Sumatera Utara
33
Disebutkan bahwa polimer merupakan senyawa-senyawa dengan berat molekul yang tinggi, namun kita harus mulai dengan pertanyaan, bagaimana kita mengartikan berat molekul yang tinggi. Sampai dimana batas berat molekul yang rendah dan mulai berapa berat molekul yang tinggi. Tidak mudah untuk menjawabnya, karena apa yang mengkonstitusi berat molekul “rendah”, misalnya untuk suatu sampel polietilena, mungkin menjadi ideal untuk sampel poliamida. Lagi pula, beberapa polimer dengan sengaja dibuat dengan berat molekul yang rendah (bahkan sebagai oligomer) untuk memudahkan proses awal, berat molekul bertambah pada tingkatan proses berikutnya. Namun pada umumnya polimer-polimer dianggap sebagai memiliki berat molekul yang berkisar antara ribuan hingga jutaan, dengan berat molekul optimum yang bergantung pada struktur kimia dan penerapannya. 2.4.1.
Penentuan Bobot Molekul Polimer
Banyak sekali bahan polimer yang tergantung pada massa molekulnya. Misalnya kelarutan, ketercetakan, larutan serta lelehan. Karena itu perlu diketahui cara menentukan bobot molekul polimer. Prinsip dasar penentuan bobot molekul polimer adalah dengan menghitung jumlah rantai per satuan berat, dengan cara analisis kimia langsung (analisis gugus ujung), pengukuran sifat koligatif larutan polimer yang berbanding langsung dengan jumlah polimer dalam larutan. Di samping itu, dapat ditentukan pula dengan cara pengamatan sifat fisik larutan yaitu menggunakan metode hamburan cahaya, ultrasentrifugasi, viskositas dan teknik kromatografi permeasi gel (Stevens, 2001).
2.4.1.1.
Metode Viskositas
Sebagai batasan, larutan polimer adalah yang mengandung tidak lebih dari 1 gram polimer tiap 100 ml larutan, yang pada kondisi ini larutan senyawa dengan berat molekul rendah tidak mengalami interaksi antara molekul zat terlarut.
Universitas Sumatera Utara
34
Viskositas larutan polimer dengan berat molekul tinggi yang sangat encer mencapai 10-20 kali lebih besar dari viskositas pelarutnya.
Salah satu karakteristik dari larutan polimer dengan berat molekul tinggi dibandingkan dengan pelarut murninya adalah kenaikan viskositas larutannya oleh pertambahan konsentrasi. Karena berat/ukurannya yang besar, molekul polimer dalam larutan akan menurunkan mobilitas dan mempengaruhi sifat aliran campuran yang sebanding dengan jumlah molekul terlarut. Karena itu, pengamatan perubahan viskositas ini dapat digunakan untuk berat molekul polimer terlarut (Wirjosentono, 1995). Metode viskositas mempunyai kelebihan daripada metode lain, yakni lebih cepat dan lebih mudah, alatnya sederhana, serta perhitungan hasilnya lebih sederhana. Metode yang biasa dipakai untuk mengukur viskositas pelarut dan larutan polimer adalah penggunaan viskometer Ostwald atau viskometer Ubbelohde.
Pada dasarnya kita mengukur waktu yang diperlukan pelarut atau larutan polimer untuk mengalir di antara dua tanda. Dalam viskometer Ostwald, volum cairan harus dibuat tetap karena ketika cairan mengalir ke bawah melalui pipa kapiler A, ia harus mendorong cairan naik ke kapiler B. Pada viskometer Ubbelohde pengukuran tidak tergantung pada volum cairan yang dipakai. Keunggulan viskometer, yakni untuk mencapai berbagai konsentrasi, larutan polimer dapat diencerkan dalam viskometer dengan menambahkan sejumlah pelarut. Pengukuran dilakukan dengan viskometer berada dalam penangas air bersuhu tetap untuk mencegah naik-turunnya viskositas akibat perubahan suhu (Cowd, 1991). Beberapa defenisi dari viskositas berdasarkan pada istilah umum dan IUPAC dapat ditunjukkan pada Tabel 2.1.
Universitas Sumatera Utara
35
Tabel 2.1. Definisi Viskositas dari Istilah Umum dan IUPAC
Istilah umum
Istilah IUPAC
Simbol dan definisi
Viskositas relatif
Nisbah viskositas
η r = η/η 0
Viskositas spesifik
-
η sp = η r – 1
Viskositas tereduksi
Bilangan viskositas
η red = η sp /c
Viskositas inheren
Logaritma bilangan viskositas
η inh = ln(η r )/c
Viskositas intrinsic
Limit bilangan viskositas
[η] = lim𝑐𝑐 →0 (η red ) R
Viskositas relatif adalah perbandingan viskositas larutan terhadap viskositas pelarut dengan pendekatan pertama untuk larutan-larutan encer ke perbandingan waktu-waktu aliran yang sesuai. Viskositas spesifik merupakan kenaikan fraksi (bagian) dalam viskositas. Baik η r maupun η sp kedua-duanya tidak berdimensi. Ketika konsentrasi bertambah, viskositas pun bertambah. Oleh karena itu, untuk menghilangkan efek konsentrasi, viskositas spesifik tersebut dibagi dengan konsentrasi dan diekstrapolasi ke konsentrasi nol untuk memberikan viskositas intrinsic, [η]. Kadang-kadang viskositas ditetapkan pada konsentrasi tunggal dan viskositas inheren (η inh ) digunakan sebagai indikasi pendekatan dari berat molekul. (Stevens, 1991) Di antara berbagai berbagai jenis viskositas tersebut, viskositas intrinsik paling bermanfaat dan mudah dipakai karena bisa dihubungkan ke berat molekul oleh persamaan Mark-Houwink-Sakurada: [η] = KMva Dimana M adalah berat molekul, sedangkan K dan a adalah tetapan yang khas untuk sistem polimer-pelarut tertentu. K dan a harus ditentukan dengan menggunakan paling sedikit dua sampel polimer yang mempunyai berat molekul berbeda (Cowd, 1991).
Universitas Sumatera Utara
36
2.5.
Tebu (Saccharum Officinarum)
Tebu (Saccharum Officinarum) merupakan tanaman perkebunan semusim yang mempunyai sifat tersendiri, sebab di dalam batangnya terdapat zat gula. Tebu termasuk keluarga rumput-rumputan (family Graminae). Akar tanaman adalah akar serabut dan tanaman ini termasuk dalam kelas monocotyledone.Tanaman tebu mempunyai batang yang tinggi kurus,tidak bercabang, dan tumbuh tegak. Tanaman yang tumbuh baik tinggi batangnya dapat mencapai 3-5 meter atau lebih. Pada batangnya beruas-ruas dengan panjang ruas 10-30 cm. Daun berpangkal pada buku batang dengan kedudukan yang berseling (Penebar Swadaya, 2000).
2.5.1. Ampas Tebu
Ampas tebu adalah hasil samping dari proses ekstraksi (pemerahan) cairan tebu. Dari satu pabrik dapat dihasilkan amapas tebu sekitar 35-40% dari berat tebu yang digiling. Mengingat begitu banyak jumlahnya, maka ampas tebu akan memberikan nilai tambah untuk pabrik, bila diberi perlakuan lebih lanjut.
Pada umumnya, pabrik gula di Indonesia memanfaatkan ampas tebu sebagai bahan bakar bagi pabrik yang bersangkutan, setelah ampas tersebut mengalami pengeringan. Disamping untuk bahan bakar, ampas tebu juga banyak digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas, particle board, fibre board, dan lain-lain. (Tim Penulis , 1992).
Pada umumnya, pabrik gula di Indonesia memanfaatkan ampas tebu sebagai bahan bakar bagi pabrik yang bersangkutan, setelah ampas tebu tersebut mengalami pengeringan. Disamping untuk bahan bakar, ampas tebu juga banyak digunakan
Universitas Sumatera Utara
37
sebagai bahan baku pada industri kertas, industri papan partikel, industri papan serat dan beberapa industri lain. Komposisi kimia ampas tebu ditunjukkan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Komposisi Kimia Ampas Tebu Kandungan Abu
Kadar (%) 3,82
Lignin
22,09
Selulosa
37,65
Sari
1,81
Pentosan
27,97
SiO 2
3,01
(Hidayani, 2012)
2.6.
Kelapa (Cocos Nucifera)
Buah kelapa berbentuk bulat panjang dengan ukuran kurang lebih sebesar kepala manusia. Buah terdiri dari sabut (eksokarp dan mesokarp), tempurung (endocarp), daging buah (endosperm) dan air buah. Tebal sabut kelapa kurang lebih 5 cm dan tebal daging buah 1 cm atau lebih. Permukaan dalam dan komposisi buah kelapa ditunjukkan pada Gambar 2.2. dan Tabel 2.3.
Air kelapa Daging buah Tempurung Sabut
Gambar 2.2. Permukaan dalam buah kelapa
Universitas Sumatera Utara
38
Tabel 2.3. Komposisi Buah Kelapa
Daging buah (buah tua)
Jumlah berat (%)
Sabut
35
Tempurung
12
Daging buah
28
Air buah
25
( Ketaren, 1986).
2.6.1.
Serat Sabut Kelapa Sabut kelapa merupakan bahan berserat dengan ketebalan sekitar 5 cm, dan
bagian terluar dari buah kelapa. Sabut kelapa terdiri atas kulit ari, serat dan sekam (dust). Di antara ketiga komponen penyusun sabut kelapa ini penggunaan serat adalah yang paling banyak dan telah berkembang. Menurut United Coconut Association of the Philippines (UCAP) dari satu buah kelapa dapat diperoleh rata-rata 0,4 kg sabut. Sabut ini mengandung 30% serat ( Suhardiyono, 1988). Sabut kelapa terdiri dari serat dan gabus yang menghubungkan satu serat dengan serat lainnya. Pengolahan lanjut sabut kelapa dalam rangka diversifikasi produk, adalah dengan mengadakan pemisahan serat sesuai dengan penggunaannya. Pemisahan serat sabut kelapa dapat dilakukan secara mekanis maupun biologis (perendaman dalam air tawar maupun air laut). Serat sabut kelapa sangat elastis dan tahan terhadap pembusukan . Komposisi kimia sabut dan serat sabut kelapa ditunjukkan pada Tabel 2.4.
Universitas Sumatera Utara
39
Tabel 2.4. Komposisi Kimia Sabut dan Serat Sabut Kelapa Komponen
Sabut (%)
Serat sabut (%)
Air
26.00
5.25
Pektin
14.25
3.00
Hemiselulosa
8.50
0.25
Lignin
29.23
45.84
Selulosa
21.07
43.44
(Tantri, 2007) 2.7.
Alang-alang (Imperata Cylindrica)
Nama ilmiahnya adalah Imperata cylindrica, dan ditempatkan dalam anak suku Panicoideae. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai bladygrass, cogongrass, speargrass, silver-spike atau secara umum disebut satintail, mengacu pada bunganya yang berambut putih halus. Orang Belanda menamainya snijgras, karena sisi daunnya yang tajam melukai. Alang-alang merupakan rumput liar yang tidak diinginkan ada di ladang karena tumpu-rumput ini merupakan saingan bagi tanaman budidaya dan tanaman yang menghambat penghutanan kembali. Pada masyarakat yang menjalankan sistem pertanian yang didasarkan pada padang rumput, alang-alang sering dianggap sebagai tanaman penutup tanah yang penting nilainya untuk memperbaiki kondisi tanah itu sendiri, sebagai sumber makanan yang murah bagi ternak peliharaan, sebagai tempat perburuan bagi binatang-binatang pemakan rumput yang masih liar, dan merupakan bahan yang sangat diperlukan untuk pembuatan atap (Martopo, 1987). Sampai saat ini, pemanfaatan alang-alang masih sangat terbatas, meskipun alang alang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku pulp dan kertas sebagai alternatif atau subtitusi bahan baku kayu. Dengan memanfaatkan alang-alang sebagai bahan baku pulp dan kertas maka penggunaan kayu akan berkurang sehingga kerusakan
Universitas Sumatera Utara
40
hutan pun dapat ditekan. Selain itu alang-alang yang semula hanya dianggap sebagai gulma bisa memberikan nilai ekonomis yang tinggi jika diolah menjadi lembaran pulp atau kertas yang bermanfaat. Komposisi kimia dari alang-alang ditunjukkan pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Komposisi kimia alang-alang Kandungan Kimia Alang-Alang
Persentase (%)
Kadar Air
93.76
Ekstraktif
8.09
Lignin
31.29
Holoselulosa
59.62
Alfa Selulosa
40.22
Pentosan/Hemiselulosa
18.40
(Sutiya, 2012)
2.8. Polipropilena Polimer didefinisikan sebagai suatu molekul yang besar yang terdiri atas susunan ulang unit kimia yang kecil dan sederhana yang disebut monomer. Monomer polipropilena (CH2 =CHCH 3 ) diperoleh dari hasil samping pemurnian minyak bumi. Polipropilena
(CH 2 -CHCH 3 )n merupakan suatu jenis polimer termoplastik yang
mempunyai sifat melunak dan meleleh jika dipanaskan (Billmeyer, 1971) Polipropilena merupakan polimer hidrokarbon yang termasuk kedalam polimer termoplastik yang dapat diolah pada suhu tinggi. Struktur molekul propilena dapat dilihat pada Gambar 2.3.
CH3
H C=C
H H Gambar 2.3. Struktur Propilena
Universitas Sumatera Utara
41
Karena keteraturan ruang polimer ini, rantai dapat dikemas lebih terjejal sehingga menghasilkan plastik yang kuat dan tahan panas. Pada suhu ruang, beberapa sifat, seperti daya regang dan kekakuan, sama dengan sifat polietena bermassa jenis tinggi, tetapi sifat itu berubah pada suhu yang lebih tinggi. Sifat kelarutan poli(propena) sama dengan sifat kelarutan yang dimiliki poli(etena), yakni tak larut pada suhu ruang (Cowd, 1991). Polipropilena merupakan jenis bahan baku plastik yang ringan, densitas 0,900,92, memiliki kekerasan dan kerapuhan yang paling tinggi dan bersifat kurang stabil terhadap panas dikarenakan adanya hidrogen tersier. Penggunaan bahan pengisi dan penguat memungkinkan polipropilena memiliki mutu kimia yang baik sebagai bahan polimer dan tahan terhadap pemecahan karena tekanan (stress-cracking) walaupun pada temperatur tinggi. Kerapuhan polipropilena di bawah 0oC dapat dihilangkan dengan penggunaan bahan pengisi (Gachter, 1990).
2.8.1.
Struktur Polipropilena
Dalam struktur polimer atom-atom karbon terikat secara tetrahedral dengan sudut antara ikatan C-C 109,5oC dan membentuk rantai zigzag planar. Untuk polipropilena struktur zigzag planar tiga dimensi dapat terjadi dalam tiga cara yang berbeda-beda tergantung pada posisi gugus metil satu sama lain. Ini menghasilkan struktur isotaktik, sindiotaktik atau ataktik. Ketiga struktur polipropilena tersebut pada pokoknya secara kimia berbeda satu sama lainnya. Pada polipropilena isotaktik semua gugus metil (CH 3 ) terletak pada sisi yang sama dari rantai utama karbonnya, pada sindiotaktik gugus metil terletak arah berlawanan selang-seling, sedangkan yang ataktik gugus metilnya acak (Hartomo, 1995). Struktur masing-masing polipropilena tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.4, Gambar 2.5, dan Gambar 2.6
Universitas Sumatera Utara
42
C H
H
H
H
CH3 C
CH3
C
C
H
C H
H CH3 C
CH3
C
C
H
H H H H Gambar 2.4. Polipropilena Isotaktik
H
H
H CH3
C
C
H
H
C
H
CH3
C
C
H
H
C
H
H
C
C
H
H
CH3
CH3
Gambar 2.5. Polipropilena Sindiotaktik
H C H
H
H CH3 C H
C
H
CH3 C H
C H
H H C
C H
CH3
CH3 C H
Gambar 2.6. Polipropilena Ataktik
2.8.2.
Kegunaan Polipropilena
Polipropilena adalah polimer ideal yang digunakan sebagai lembar kemasan. Daya tahannya yang baik terhadap kelembaban tetapi tidak efektif dalam penghambat lewatnya oksigen. Gas oksigen yang masuk ke dalam kemasan yang dibungkus dengan polipropilena dapat mempengaruhi makanan dan materi lainnya. Pelapisan hendaknya dilakukan dalam suasana vakum atau kedap udara untuk melindungi
Universitas Sumatera Utara
43
isinya. Modifikasi terhadap polipropilena dilakukan agar adanya pengembangan aplikasi dari polipropilena. Produk poli(propena) lebih tahan terhadap goresan daripada produk poli(etena) yang bersesuaian. Poli(propena) digunakan untuk bagian dalam mesin pencuci, komponen mobil, kursi, tangkai pegangan, kotak, keranjang, pipa,isolator listrik, kemasan (berupa lembaran tipis) makanan dan barang (Cowd, 1991).
2.9. Maleat Anhidrida
Maleat anhidrat adalah senyawa vinil tidak jenuh yang merupakan bahan mentah dalam sintesa resin poliester, bahan aditif dan minyak pelumas. Plastisiser dan kopolimer maleat anhidrida mempunyai sifat kimia yang khas yaitu adanya ikatan gugus karboksil di dalamnya. Ikatan ini berperan dalam reaksi adisi. Umumnya senyawanya dengan dua karbon ikatan rangkap mempunyai sifat yang karakteristik. Maleat anhidrida adalah senyawa vinil tidak jenuh merupakan bahan mentah dalam sintesis resin poliester pelapisan permukaan karet, deterjen, bahan aditif dan minyak pelumas, plastisizer dan kopolimer. Maleat anhidrida mempunyai sifat kimia khas yaitu adanya ikatan etilenik dengan gugus karbonil didalamnya, ikatan ini berperan dalam reaksi adisi (Arifin, 1996).
2.9.1. Maleat Anhidrida Sebagai Coupling Agent dengan Proses Grafting Peningkatan penggunaan bahan polimer khususnya plastik yang umumnya digunakan sebagai kemasan, telah menimbulkan masalah sampah domestik yang sukar terdegradasi. Sehingga saat ini telah banyak dilakukan penelitian untuk memodifikasi sifat polimer kemasan plastik sehingga memiliki sifat yang ramah lingkungan seperti mudahnya terdegradasi di alam (Adriana, 2001).
Universitas Sumatera Utara
44
Modifikasi polimer telah dipergunakan untuk meningkatkan kompatibilitas campuran polimer dengan cara memperkecil perbedaan sifat polaritas atau memperbesar
interaksi
fisika-kimia
dengan
bantuan
senyawa
penghubung.
Fungsionalisasi terhadap polimer termoplastik seperti polipropilena oleh monomermonomer polar merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan kepolaran polipropilena tersebut, yaitu dengan cara mengrafting maleat anhidrida pada polipropilena, sehingga memperbaiki adhesi permukaan antara komponen pada campuran polimer (Collar, 1996).
2.10.
Pencangkokan (grafting) kopolimerisasi
Grafting kopolimerisasi adalah suatu metode perangkaian kimia yang mana memanfaatkan polipropilena yang dicangkok (grafting) dengan maleat anhidrat (PPg-MA), yang mana membentuk suatu jembatan dari ikatan-ikatan kimia diantara serat-serat dan matriks. Juga, komposit yang dihasilkan dengan metode ini menunjukkan serapan air yang rendah, sifat mekanik yang lebih tinggi dan adhesi yang baik antara dua fase. Mekanisme dari proses grafting-kopolimerisasi ditunjukkan pada Gambar 2.7. Mekanisme reaksi dapat dibagi dalam dua langkah : O
H
HO
C
CH
HO
C
C
O
H
O C
Rantai PP
O
H
C
CH
C
C
O
H
+ H2O C
Rantai PP
(a) Aktivasi dari kopolimer dengan pemanasan (t = 1700C)
Universitas Sumatera Utara
45
OH OH
+
O
O
H
C
CH
C
C
O
H
O
H
O
C
CH
O
C
C
O
H
C
Serat selulosa
rantai PP
C O
O
H
C
CH
O
O
C
C
H
H
O
H
Serat selulosa
C
rantai PP
(b) esterifikasi dari selulosa Gambar 2.7. Mekanisme dari proses grafting-kopolimerisasi (Bledzki, 1999).
2.11.
Analisis dan Pengujian Bahan Polimer
Kecuali ukuran molekulnya yang besar, bahan polimer tidak berbeda dengan senyawa berbobot molekul rendah, yang dapat mengalami reaksi kimia atau gejala kimia-fisika lainnya. Demikian halnya dengan teknik analisis dan pengujian yang digunakan terhadap senyawa berbobot molekul rendah, dengan pertimbangan yang tertentu dapat pula diterapkan pada bahan polimer. Teknik karakterisasi bahan polimer mencakup teknik spektroskopi, analisis termal, pengujian sifat fisik dan sifat mekanis.
Universitas Sumatera Utara
46
2.11.1.
Kekuatan Tarik (Tensile Strength) dan Kemuluran
Uji tarik adalah salah satu uji stress-strain mekanik yang bertujuan mengetahui kekuatan bahan terhadap gaya tarik. Dengan melakukan uji tarik kita mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tenaga tarikan dan mengetahui sejauh mana material bertambah panjang. Bila kita terus menarik suatu bahan sampai putus, kita akan mendapatkan profil tarikan yang lengkap berupa kurva. Kurva ini menunjukkan hubungan antara gaya tarikan dengan perubahan panjang. Sifat mekanis biasanya biasanya dipelajari dengan mengamati sifat kekuatan tarik (σ ) menggunakan alat pengukuran tensometer atau dinamometer, bila terhadap t
bahan diberikan tegangan. Secara praktis kekuatan tarik diartikan sebagai besarnya beban maksimum (F
maks
) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan,
dibagi dengan luas penampang bahan. Karena selama dibawah pengaruh tegangan, spesimen mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka definisi kekuatan tarik dinyatakan dengan luas penampang semula (A 0 ) σ =F t
maks
/A
o
selama deformasi, dapat diasumsikan bahwa volum spesimen tidak berubah, sehingga perbandingan luas penampang semula dengan penampang setiap saat, A /A = l/l , o
o
dengan l dan l masing-masing adalah panjang spesimen setiap saat dan semula. Bila o
didefenisikan besaran kemuluran (ε) sebagai nisbah pertambahan panjang terhadap panjang spesimen semula (ε = Δl/l ) maka diperoleh hubungan: o
A = A / (l + ε) o
Hasil pengamatan sifat kekuatan tarik ini dinyatakan dalam bentuk kurva tegangan, yakni nisbah beban dengan luas penampang, terhadap perpanjangan bahan (regangan), yang disebut dengan kurva tegangan-regangan. Bentuk kurva teganganregangan ini merupakan karakteristik yang menunjukkan indikasi sifat mekanis bahan yang lunak, keras, kuat, lemah, rapuh atau liat (Wirjosentono, 1995).
Universitas Sumatera Utara
47
2.11.2.
Analisa Sifat Permukaan dengan Pengujian Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM adalah
alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen
secara makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen. Interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar X, elektron sekunder dan absorpsi elektron. Teknik SEM pada hakekatnya merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 μm dari permukaan. Gambar permukaan yang diperoleh merupakan tofografi dengan segala tonjolan, lekukan dan lubang pada permukaan. Gambar tofografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh detektor yang diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh gambar yang khas menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya gambar di monitor dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau dapat pula direkam ke dalam suatu disket. Sampel yang dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai permukaan dengan konduktivitas tinggi. Karena polimer mempunyai kondiktivitas rendah maka bahan perlu dilapisi dengan bahan konduktor (bahan pengantar) yang tipis. Bahan yang biasa digunakan adalah perak, tetapi juga dianalisa dalam waktu yang lama, lebih baik digunakan emas atas campuran emas dan palladium.
Observasi dengan SEM dilakukan untuk menyelidiki struktur mikro permukaan material (geopolimer) termasuk porositas dan pembentukan retakan, dan antar muka (interface) antara agregat matriks. Mikroskop elektron (SEM atau TEM) adalah mikroskop yang menggunakan berkas elektron sebagai sumber energi, dan lensa elektromagnetik sebagai pengganti
Universitas Sumatera Utara
48
lensa gelas. Penggunaan mikroskop elektron dilakukan terutama dengan alasan resolusi dan kedalaman fokus (depth of focus) yang lebih baik dibandingkan dengan mikroskop optik (Subaer, 2007).
2.11.3. Analisis Termal Diferensial (DTA) Cara analisis termal penting terhadap bahan polimer, apalagi dengan makin canggih dan jitunya intrumentasi. Kegunaannya antara lain untuk mengetahui kestabilan termalnya, waktu hidup dan waktu simpan (keawetan) pada kondisi tertentu, fasa dan perubahan fasa didalamnya, juga informasi tentang pengaruh aditif yang dimasukkan ke dalam bahan polimer tersebut. Ada berbagai cara simakan termal atas polimer, misalnya termogravimetri, termal diferensial (DTA), termomekanik dan lainnya. Pada analisis termal diferensial (DTA), sampel diprogram suhu dengan laju terkontrol, suhu terus dipantau. DTA berguna untuk pengukuran derajat kekristalan, penyimakan struktur beda-morfologis berbagai ionomer polimer, pengukuran titik transisi gelas, kajian puncak ganda titik leleh polimer isotaktik, transisi-transisi orde satu kopolimer, annealing polimorf, pengaruh riwayat termal atas sifat, kajian stabilitas polimer, kinetika pirolisis, pengaruh panjang/jenis gugus samping atas titik leleh, pengaruh laju pemanasan atas titik leleh, juga untuk penyidikan berbagai jenis polimer komersil (Hartomo, 1995). Analisis termal bukan saja mampu untuk memberikan informasi tentang perubahan fisik sampel (misalnya titik leleh dan penguapan), tetapi terjadinya proses kimia yang mencakup polimerisasi, degradasi, dekomposisi, dan sebagainya. Dalam bidang campuran polimer (poliblen) pengamatan suhu transisi kaca (T ) sangat g
penting untuk meramalkan interaksi antara rantai dan mekanisme pencampuran beberapa polimer. Campuran polimer yang homogen akan menunjukkan satu puncak T (eksotermis) yang tajam dan merupakan fungsi komposisi. T campuran biasanya g
g
Universitas Sumatera Utara
49
berada diantara T
g
dari kedua komponen, karena itu pencampuran homogen
digunakan untuk menurunkan T , seperti halnya plastisasi dengan pemlastis cair. g
Pencampuran polimer heterogen ditujukan untuk menaikkan ketahanan bentur bahan polimer, seperti modifikasi karet dengan resin ABS. campuran polimer heterogen ini ditandai dengan beberapa puncak T , karena disamping masing-masing komponen g
masih merupakan fase terpisah, daerah antarmuka mungkin memberikan T yang g
berbeda. Pengamatan termal campuran polimer juga dapat digunakan untuk menentukan parameter interaksi, yang merupakan faktor penurunan suhu leleh kristal (Wirjosentono, 1995).
2.11.4. Analisa Gugus Fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) Pada tahun 1965, Coley dan Turky mendemonstrasikan teknik spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy). Pada dasarnya teknik ini sama dengan spektroskopi inframerah biasa, kecuali dilengkapi dengan cara perhitungan Fourier Transform dan pengolahan data untuk mendapatkan resolusi dan kepekaan yang lebih tinggi. Teknik ini dilakukan dengan penambahan peralatan interferometer yang telah lama ditemukan oleh Michelson pada akhir abad 19. Michelson telah mendapatkan informasi spektrum dari suatu berkas radiasi dengan mengamati interferogram yang diperoleh dari interferometer tersebut. Penggunaan spektrometer FT-IR untuk analisa banyak diajukan untuk identifikasi suatu senyawa. Hal ini disebabkan spektrum FT-IR suatu senyawa (misalnya senyawa organik) bersifat khas, artinya senyawa yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda pula. Vibrasi ikatan kimia pada suatu molekul menyebabkan pita serapan hampir seluruhnya didaerah spektrum IR yakni 4000-400 cm-1.
Universitas Sumatera Utara
50
Pada temperatur biasa molekul organik frekuensi vibrasinya dalam keadaan tetap. Masing-masing ikatan mempunyai vibrasi regangan (stretching) dan vibrasi tekuk (bending) yang dapat mengabsorbsi energi radiasi pada frekuensi itu. Yang dimaksud vibrasi regangan adalah terjadinya terus menerus perubahan jarak antara dua atom didalam suatu molekul. Vibrasi regangan ini ada dua macam, yaitu regangan simetris dan tak simetris. Yang dimaksud vibrasi tekuk adalah terjadinya perubahan sudut antara dua ikatan kimia. Ada empat macam vibrasi tekuk, yakni vibrasi tekuk dalam bidang (implane bending) yang dapat berupa vibrasi scissoring (deformasi) atau vibrasi rocking dan vibrasi keluar bidang (out of plane bending) yang dapat berupa wagning atau berupa twisting (Seymour, 1984). Formulasi bahan polimer komersil dengan kandungan aditif bervariasi seperti pemplastis, pengisi, pemantap dan antioksidasi, memberikan kekhasan pada spektrum inframerahnya. Analisis inframerah memberikan informasi tentang kandungan aditif, panjang rantai, dan struktur rantai polimer. Disamping itu, analisis IR dapat digunakan untuk karakterisasi bahan polimer yang terdegradasi oksidatif dengan munculnya gugus karbonil dan pembentukan ikatan rangkap pada rantai polimer. Gugus lain yang menunjukan terjadinya degradasi oksidatif adalah gugus hidroksida dan karboksilat. Umumnya pita serapan polimer pada spektrum inframerah adalah adanya ikatan C-H regangan pada daerah 2880 cm-1- 2900 cm-1 dan regangan dari gugus fungsi lain yang mendukung untuk analisis suatu material (Hummel, 1985). Untuk memperoleh informasi struktur dari spektra inframerah lebih lanjut, kita harus terbiasa dengan frekuensi atau panjang gelombang dimana berbagai gugus fungsional menyerap. Sebagai pelengkap informasi tersebut, dipakai tabel, yang disebut tabel korelasi inframerah yang memuat informasi dimana berbagai gugus fungsional menyerap (Sastrohamidjojo, 1992).
Universitas Sumatera Utara