BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mobilisasi 2.1.1 Definisi Mobilisasi dalam konteks keperawatan mengacu pada tahapan kegiatan yang dilakukan segera pada pasien pasca operasi dimulai dari bangun dan duduk sampai pasien turun dari tempat tidur dan mulai berjalan dengan bantuan alat sesuai dengan kondisi pasien (Roper, 2002). Mobilisasi merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan oleh individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang berupa pergerakan sendi, sikap, gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas (Perry & Potter, 2010).
Mobilisasi dini dapat segera dilakukan pada kondisi pasien yang membaik. Pada pasien pasca pembedahan dianjurkan untuk segera menggerakkan anggota tubuhnya. Gerak tubuh yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, kaki dan jari-jarinya agar kerja organ pencernaan segera kembali normal (Kasdu, 2003). Mobilisasi dini adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi fisiologi (Carpenito, 2000). 2.1.2 Tahap - tahap Mobilisasi pada Pasien Pasca Operasi Tahap-tahap mobilisasi pada pasien pasca operasi menurut Cetrione (2009) meliputi: a. Melakukan mobilisasi pada 6-8 jam pertama pasca pembedahan dengan menggerakkan tangan dan kaki yang bisa ditekuk dan diluruskan,
5
5 Universitas Sumatera Utara
6
mengkontraksikan otot-otot kaki dan tangan dan mengajarkan miring ke kiri atau ke kanan. Latihan dilakukan selama 45 menit. i.
Pada 15 menit pertama setelah 6-8 jam pasca pembedahan pasien diajarkan menggerakkan kaki dan tangan dengan ditekuk dan diluruskan sebanyak 5 kali pada masing-masing ekstremitas.
ii.
Pada 15 menit kedua setelah 6-8 jam pasca pembedahan pasien diajarkan
mengkontraksikan
otot-otot
kaki
dan
tangan
sebanyak 5 kali pada masing-masing ekstremitas. iii.
Pada 15 menit ketiga setelah 6-8 jam pasca pembedahan pasien diajarkan miring ke kanan dan ke kiri.
b. Melakukan
mobilisasi
pada
12-24
jam
berikutnya
pasien
sudah diperbolehkan untuk duduk baik bersandar atau tidak dan fase selanjutnya duduk diatas tempat tidur dengan kaki dijatuhkan sambil digerak-gerakkan selama 15 menit. c. Pada hari kedua pasca operasi, pasien yang dirawat di kamar atau bangsal sudah tidak ada hambatan fisik untuk berjalan, pasien sudah bisa berdiri dan berjalan di sekitar kamar atau keluar kamar, misalnya ke toilet atau kamar mandi sendiri. Pasien harus diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin, hal ini perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien pasca operasi untuk mengembalikan fungsi pasien kembali normal.
Universitas Sumatera Utara
7
2.1.3 Manfaat Mobilisasi Manfaat yang dapat diperoleh dari mobilisasi bagi sistem tubuh menurut Kozier (2004 ) adalah sebagai berikut : a. Sistem Muskuloskeletal Ukuran, bentuk, tonus, dan kekuatan rangka dan otot jantung dapat dipertahankan dengan melakukan latihan yang ringan dan dapat ditingkatkan dengan melakukan latihan yang berat. Latihan yang dapat dilakukan adalah range of motion. b. Sistem Kardiovaskular Latihan atau mobilisasi yang adekuat dapat meningkatkan denyut jantung (heart rate), menguatkan kontraksi otot jantung, dan menyuplai darah ke jantung dan otot. Jumlah darah yang dipompa oleh jantung (cardiac output) meningkat karena aliran balik dari aliran darah. Jumlah darah yang dipompa oleh jantung (cardiac output) normal adalah 5 liter/menit, dengan mobilisasi dapat meningkatkan cardiac output sampai 30 liter/menit. c. Sistem Respirasi Latihan mengakibatkan jumlah udara yang dihirup dan dikeluarkan oleh
paru
(ventilasi)
meningkat.
Ventilasi
normal
sekitar
5-6 liter/menit. Pada mobilisasi yang berat, kebutuhan oksigen meningkat hingga mencapai 20x dari kebutuhan normal. Aktivitas yang adekuat juga dapat mencegah penumpukan sekret pada bronkus dan bronkiolus, menurunkan usaha pernapasan.
Universitas Sumatera Utara
8
d. Sistem Gastrointestinal Dengan beraktivitas dapat memperbaiki nafsu makan, meningkatkan tonus saluran pencernaan, memperbaiki pencernaan dan eliminasi seperti kembalinya pemulihan peristaltik usus dan mencegah terjadinya konstipasi serta menghilangkan distensi abdomen. e. Sistem Metabolik Latihan dapat meningkatkan kecepatan metabolisme sehingga dapat meningkatan produksi dari panas tubuh dan hasil pembuangan. Selama melakukan aktivitas berat, kecepatan metabolisme dapat meningkat sampai 20x dari kecepatan normal. Berbaring di tempat tidur dan makan dapat mengeluarkan 1.850 kalori per hari. Aktivitas juga dapat meningkatkan penggunaan trigliserid dan asam lemak, sehingga dapat mengurangi tingkat trigliserid serum dan kolesterol dalam tubuh. f. Sistem Urinary Aktifitas yang adekuat dapat menaikkan aliran darah dan tubuh dapat memisahkan sampah dengan lebih efektif, dengan demikian dapat mencegah terjadinya statis urinary. Kejadian retensi urin dapat dicegah dengan melakukan aktivitas. 2.1.4 Rentang Gerak dalam Mobilisasi Rentang gerak mobilisasi menurut Carpenito (2000) ada 3 jenis, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
9
a. Rentang gerak pasif Rentang gerak pasif berguna untuk menjaga kelenturan otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif, misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. b. Rentang gerak aktif Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan menggunakan otot-otot secara aktif, misalnya pasien berbaring sambil menggerakkan kakinya. c. Rentang gerak fungsional Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktivitas yang diperlukan. 2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi Dini Mobilisasi dini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, (Potter & Perry, 2006) mengemukakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mobilisasi dini adalah sebagai berikut : a. Faktor fisiologis Frekuensi penyakit atau operasi dalam 12 bulan terakhir, tipe penyakit, status kardiopulmonar, status muskuloskletal, pola tidur, keberadaan nyeri, frekuensi aktivitas dan kelainan hasil laboratorium. b. Faktor emosional Faktor emosional yang mempengaruhi mobilisasi adalah suasana hati, depresi, cemas, motivasi, ketergantungan zat kimia, dan gambaran diri.
Universitas Sumatera Utara
10
c. Faktor perkembangan Faktor perkembangan yang mempengaruhi mobilisasi adalah usia, jenis kelamin, kehamilan, perubahan masa otot karena perubahan perkembangan dan perubahan sistem skeletal.
2.2 Pemulihan peristaltik usus Pembedahan dengan anestesi umum akan melumpuhkan semua fungsi tubuh antara lain saluran pencernaan, yang disebut illeus pasca bedah. Illeus menyebabkan gangguan peristaltik hingga makanan yang seharusnya didorong ke bawah akan berhenti akibatnya usus meregang dan makanan itu dimuntahkan. Illeus segera sembuh dan usus mulai berjalan kembali tergantung jenis dan lamanya operasi (Bahar, 2012). Pengkajian dan manajemen
pada sistem gastrointestinal pasca
pembedahan adalah penting karena sistem gastrointestinal yang bermasalah akan menimbulkan
ketidaknyamanan
dan
komplikasi
bagi
pasien.
Disfungsi
gastrointestinal seperti distensi pasca operasi, penurunan peristaltik dan pengerasan feses dapat dicegah dengan meningkatkan hidrasi dan aktivitas yang adekuat (Smeltzer & Bare, 2001). Teori lain menurut Mochtar (1998) menyebutkan bahwa dengan bergerak akan merangsang peristaltik usus kembali normal. Aktifitas juga akan membantu mempercapat organ-organ tubuh bekerja seperti semula. Perawat di unit perawatan akan memantau dan mengkaji peristaltik usus setiap 4 sampai 8 jam. Auskultasi perut secara rutin untuk mendeteksi suara usus kembali normal, 5-30x/menit pada masing-masing kuadran yang menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
11
gerak peristaltik telah kembali. Suara denting tinggi disertai oleh distensi perut menunjukkan bahwa usus tidak berfungsi dengan baik. Tanyakan apakah pasien telah flatus (membuang gas) yang menandakan bahwa fungsi usus telah normal kembali (Potter & Perry, 2010). Mobilisasi pasca operasi dapat mempercepat fungsi peristaltik usus. Hal ini didasarkan pada struktur anatomi kolon di mana gelembung udara bergerak dari bagian kanan bawah ke atas menuju fleksus hepatik, mengarah ke fleksus spleen kiri dan turun kebagian kiri bawah menuju rektum. Mobilisasi dini yang dilakukan yaitu latihan di tempat tidur, berpindah ke tempat tidur lainnya dapat merangsang peristaltik dan kelancaran flatus (Doenges et al, (2000 dalam Kiik, 2012). Dampak mobilisasi terhadap sistem gastrointestinal yaitu adanya gerakan peristaltik usus sehingga dapat memudahkan terjadinya flatus, mencegah distensi abdomen dan nyeri akibat adanya gas dalam abdomen (Smeltzer & Bare, 2001). Di samping itu juga mencegah konstipasi serta mencegah illeus paralitik. Kembalinya fungsi peristaltik usus akan memungkinkan pemberian program diet, membantu pemenuhan kebutuhan eliminasi serta mempercepat proses penyembuhan. Program diet pasca bedah diberikan setelah kembalinya fungsi peristaltik usus yang menandakan saluran gastrointestinal telah normal (Prayitno, 2011).
Universitas Sumatera Utara
12
2.3 Konsep Pembedahan 2.3.1 Definisi Pembedahan Pembedahan adalah penyembuhan penyakit dengan jalan memotong, mengiris anggota tubuh yang sakit. Pembedahan dilakukan dengan anestesi, individu dengan masalah kesehatan yang memerlukan intervensi pembedahan mencakup pula pemberian anestesi atau pembiusan yang meliputi anestesi general, regional atau lokal (Smeltzer & Bare, 2001). Proses pembedahan memerlukan perawatan perioperatif yang terdiri dari pra-operasi, intra-operasi, pasca-operasi sehingga dapat memberi kenyamanan pada pasien setelah operasi dan tidak terjadi infeksi nosokomial. 2.3.2 Jenis Pembedahan Pembedahan dibagi menjadi 3 macam menurut Potter & Perry (2005), yaitu pembedahan menurut keseriusan, pembedahan menurut urgensinya dan pembedahan menurut tujuannya. a. Klasifikasi pembedahan menurut keseriusannya adalah sebagai berikut: 1). Mayor Melibatkan rekonstruksi atau perubahan yang luas pada bagian tubuh, menimbulkan risiko yang tinggi bagi kesehatan. Contoh: reseksi kolon, pengangkatan laring, reseksi lobus paru. 2). Minor Melibatkan perubahan yang kecil pada bagian tubuh, sering dilakukan untuk memperbaiki deformitas, mengandung risiko yang lebih rendah bila dibandingkan sengan prosedur mayor. Contoh: ekstraksi katarak, ekstraksi gigi.
Universitas Sumatera Utara
13
b. Pembedahan menurut urgensi dibagi menjadi: 1). Elektif Dilakukan berdasarkan pada pilihan klien, tidak penting dan mungkin tidak dibutuhkan untuk kesehatan. Contoh: perbaikan hernia, rekonstruksi payudara. 2). Gawat Perlu untuk kesehatan klien, dapat mencegah timbulnya mmasalah tambahan (mis, destruksi jaringan atau fungsi organ yang terganggu), tidak harus selalu bersifat darurat. Contoh: eksisi tumor ganas, pengangkatan batu kantung empedu. 3). Darurat Harus
dilakukan
segera
untuk
menyelamatkan
jiwa
atau
mempertahankan fungsi bagian tubuh. Contoh: memperbaiki perforasi appendiks, mengontrol perdarahan internal, memperbaiki amputasi traumatik. c. Klasifikasi pembedahan berdasarkan tujuan yaitu: 1). Diagnostik Bedah ekplorasi untuk memperkuat diagnosis dokter, termasuk pengangkatan jaringan untuk pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Contoh: laparotomi eksplorasi (insisi rongga peritoneal untuk menginspeksi organ abdomen), biopsi massa payudara. 2). Ablatif Eksisi atau pengangkatan bagian tubuh yang menderita penyakit. Contoh: amputasi, pengangkatan appendiks
Universitas Sumatera Utara
14
3). Paliatif Menghilangkan atau mengurangi intensitas gejala penyakit, tidak akan menyembuhkan penyakit. Contoh: kolostomi, debridemen jaringan nekrotik. 4). Rekonstruksi Mengembalikan fungsi atau penampilan jaringan yang mengalami trauma atau malfungsi. Contoh: fiksasi internal pada fraktur, perbaikan jaringan parut. 5). Transpalantasi Dilakukan untuk mengganti organ atau struktur yang mengalami malfungsi. Contoh: transplantasi ginjal, kornea atau hati. 6). Konstruksif Mengembalikan fungsi yang hilang atau berkurang akibat anomali kongenital. Contoh: memperbaiki bibir sumbing, penutupan defek katup atrium jantung.
2.4 Konsep Anestesi Umum 2.4.1 Definisi Anestesi Umum Anestesi adalah suatu keadaan narkosis, analgesia, relaksasi dan hilangnya refleks. Masukan dan eliminasi anestesi sangat dipengaruhi oleh ventilator pulmonari. Makin dalam (taraf) anestesi membutuhkan konsentrasi agens yang lebih kuat (Smeltzer & Bare, 2001). Anestesi general adalah anestesi
Universitas Sumatera Utara
15
yang dilakukan dengan memblok pusat kesadaran otak untuk menghilangkan kesadaran, menimbulkan relaksasi dan hilangnya rasa. Metode pemberian anestesi general adalah dengan inhalasi dan intravena.
Semua zat anestesi general
menghambat susunan saraf secara bertahap, mula-mula fungsi yang kompleks akan dihambat dan yang paling akhir adalah medula oblongata yang mengandung pusat vasomotor dan pusat pernapasan yang vital. 2.4.2 Tahapan Anestesi Umum Tahapan anestesi umum menurut Smeltzer & Bare (2001) dibagi menjadi 4 tahap, yaitu: a. Tahap I (anestesi awal) Pasien menghirup campuran anestetik, hangat, pening, dan perasaan terpisah dari lingkungan dirasakan oleh pasien. Pasien dapat mendengar bunyi deringan, auman, atau dengungan di telinganya dan meski sadar, ia sadar bahwa ia sudah tidak mampu lagi untuk menggerakkan ekstremitasnya dengan mudah. b. Tahap II (excitement) Pada fase ini ditandai dengan gerakan melawan, berteriak, berbicara, bernyayi, tertawa, atau bahkan menangis. Pupil berdilatasi tetapi berkontraksi jika dipanjankan terhadap cahaya, frekuensi nadi cepat dan pernapasan tidak teratur. c. Tahap III (anestesi bedah) Pada tahap ini pasien dalam keadaan tidak sadar, berbaring dengan tenang di atas meja operasi. Pupil mengecil tetapi akan lebih
Universitas Sumatera Utara
16
berkontraksi ketika dipajan terhadap cahaya. Pernapasan teratur, frekuensi dan nadi normal dan kulit berwarna merah muda dan kemerahan. d. Tahap IV (takarlajak) Pada tahap ini pernapasan menjadi dangkal, nadi lemah dan cepat, pupil menjadi melebar dan tidak berkontraksi saat terpajan cahaya. Pasien mengalami sianosis kecuali pertolongan pertama tidak segera dilakukan. Jika tahap ini terjadi, anestesi harus segera dihentikan dan dibutuhkan dukungan respiratori dan sirkulasi untuk mencegah kematian. 2.4.3 Teknik Anestesi Umum Teknik anestesi umum
di dunia kedokteran dapat dilakukan dengan
2 cara menurut Boulton & Blogg (1994), yaitu: a. Parenteral Obat anestesi masuk ke dalam darah dengan cara suntikan IV atau IM untuk selanjutnya dibawa darah ke otak dan menimbulkan keadaan narkose. Obat anestesi yang sering digunakan adalah: 1). Tiopental Tiopental (pentothal, tiopenton) dikemas dalam bentuk tepung atau bubuk berwarna kuning, berbau belerang, biasanya dalam ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1 ml=25 mg). Tiopental hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg dan disuntikkan
perlahan-lahan
dihabiskan
dalam
30-60
detik.
Universitas Sumatera Utara
17
Penggunaannya untuk induksi, selanjutnya diteruskan dengan inhalasi. Dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hipnosis, anestesi atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah ke otak, tekanan likutor, tekanan intrakranial dan diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan oksigen. Tiopental di dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya 30% dalam bentuk bebas, sehingga pada pasien dengan albumin rendah dosis harus dikurangi. Tiopental dapat diberikan secara kontinu pada kasus tertentu di unit perawatan intensif, tetapi jarang digunakan untuk anestesi intravena lokal. Cara pemberian larutan tiopental 2,5% dimasukkan secara IV pelan-pelan 4-8 cc sampai penderita tidur, pernapasan menjadi lambat dan dalam. Apabila penderita dicubit tidak bereaksi maka operasi dapat dimulai. Selanjutnya suntikan dapat ditambah secukupnya apabila perlu sampai 1 gram. Tiopental dengan dosis menengah memiliki efek pemulihan lebih cepat karena obat mengalami redistribusi di dalam tubuh namun untuk metabolisme nya berlangsung lambat dan efek sedatif dapat bertahan sampai 24 jam. 2). Propofol Propofol (dipprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml =10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri,
Universitas Sumatera Utara
18
sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-13 mg/kg per jam atau 100-200 mg/kgbb/menit dengan syringe pump dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg atau 25-50 mg/kgbb/menit syringe pump. Propofol menjadi obat pilihan induksi anestesi, khususnya untuk mempercepat pemulihan pasien. Kecepatan onset sama dengan barbiturat intravena, masa pemulihan lebih cepat dan pasie dapat pulang lebih cepat untuk segera berobat jalan . Kelebihan lainnya pasien merasa lebih nyaman setelah pemberian propofol pada periode pasca bedah dibandikan anestesi intravena lainnya. Mual dan muntah pasca bedah lebih jarang karena propofol memiliki efek anti muntah 3). Opioid Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Anestesi opioid menggunakan fentanil dengan dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit. Analgetik golongan opioid digunakan dalam mengatasi nyeri pasca pembedahan namun juga memberikan efek terjadinya illeus melalui aktivitas
reseptor
opioid
di
sistem
gastrointestinal
dengan
menurunkan motilitas usus.
Universitas Sumatera Utara
19
b. Inhalasi Anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestesi yang mudah menguap sebagai zat anestesi melalui udara pernapasan. Obat anestesi dihirup bersama udara pernapasan ke dalam paru-paru, masuk ke darah dan sampai di jaringan otak mengakibatkan narkose. Hampir semua anestesi mengakibatkan sejumlah efek samping misalnya, menekan pernapasan, paling kecil pada N2O, eter dan trikloretikan, mengurangi
kontraksi
jantung,
merusak
hati,
merusak
ginjal
(Boulton & Blogg, 1994). Obat-obat yang dipakai dalam anestesi inhalasi menurut Majid et al, (2011)adalah: 1). Nitrogen Monoksida (NO) Nirogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan lebih berat daripada udara. Gas ini tidak mudah terbakar, tetapi bila dikombinasikan dengan zat anestesi yang mudah terbakar akan memudahkan terjadinya ledakan misalnya, campuran eter dan N2O. Nitrogen monoksida sukar larut dalam darah. Relaksasi otot kurang baik sehingga untuk mendapatkan relaksasi yang cukup, sering ditambahkan obat pelumpuh otot. 2). Eter (dietileter) Eter merupakan cairan tidak berwarna yang mudah menguap berbau tidak enak, mengiritasi saluran napas, mudah terbakar, dan mudah meledak. Di udara terbuka eter teroksidasi menjadi peroksida dan bereaksi dengan alkohol membentuk asetaldehid, maka eter yang
Universitas Sumatera Utara
20
sudah terbuka beberapa hari sebaiknya tidak digunakan lagi. Eter merupakan anestesi yang sangat kuat. Kadar 10-15 mg dalam darah arteri sudah terjadi analgesia tetapi pasien masih sadar. Eter pada kadar tinggi dan sedang menimbulkan relaksasi otot dan hambatan neuromuskular yang tidak dapat dilawan oleh neostigmin. Zat ini meningkatkan hambatan neuromuskular oleh antibiotik seperti neomisin,
streptomisin,
polikmiksin,
dan
kanalmisin.
Eter
menyebabkan iritasi saluran napas dan merangsang sekresi kelenjar bronkus. Eter menekan kontraktilitas jantung. 3). Induksi halotan Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan. 4). Induksi sevofluran Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol % seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Universitas Sumatera Utara
21
2.4.4 Pengaruh Anestesi Umum pada tubuh Pengaruh anestesi umum pada tubuh menurut Katzung & Berkowitz (2001) antara lain: a. Pernapasan Pasien dengan keadaan tidak sadar dapat terjadi gangguan pernapasan dan peredaran darah. Bila hal ini terjadi pada waktu anestesi maka pertolongan
resusitasi
harus segera
diberikan untuk mencegah
kematian. Obat anestesi inhalasi menekan fungsi mukosilia saluran pernapasan menyebabkan hipersekresi ludah dan lendir sehingga terjadi penimbunan mukus di jalan napas. b. Kardiovaskuler Keadaan anestesi, jantung dapat berhenti secara tiba-tiba. Jantung dapat berhenti disebabkan oleh karena pemberian obat yang berlebihan, mekanisme reflek nervus yang terganggu, perubahan keseimbangan elektrolit dalam darah, hipoksia
dan anoksia, katekolamin darah
berlebihan, keracunan obat, emboli udara dan penyakit jantung. Perubahan tahanan vaskuler sistemik (misalnya peningkatan aliran darah serebral) menyebabkan penurunan curah jantung. c. Gastrointestinal Dapat terjadi regurgitasi yaitu suatu keadaan keluarnya isi lambung ke faring tanpa adanya tanda-tanda. Hal ini disebabkan oleh adanya cairan atau makanan dalam lambung, tingginya tekanan darah ke lambung dan letak lambung yang lebih tinggi
dari
letak faring.
Menurut
Universitas Sumatera Utara
22
Bahar
(2012)
pengaruh
lain
anestesi
umum
terhadap
sistem
gastrointestinal adalah dapat melumpuhkan fungsi saluran pencernaan, yang disebut illeus pasca bedah. Illeus menyebabkan gangguan peristaltik hingga makanan yang seharusnya didorong ke bawah akan berhenti akibatnya usus meregang dan makananitu dimuntahkan. Illeus segera sembuh dan usus mulai berjalan kembali tergantung jenis dan lamanya operasi. d. Ginjal Anestesi menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal yang dapat menurunkan filtrasi glomerulus sehingga diuresis juga menurun. e. Perdarahan Selama pembedahan pasien dapat mengalami perdarahan, perdarahan dapat
menyebabkan
menurunnya
tekanan
darah,
meningkatnya
kecepatan denyut jantung dan pernapasan, denyut nadi melemah, kulit dingin, lembab, pucat serta gelisah dapat memberi kenyamanan pada pasien setelah operasi dan tidak terjadi infeksi nosokomial.
Universitas Sumatera Utara