BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Stroke 2. 1. 1. Defenisi Stroke Berdasarkan defenisi WHO (World Health Organization) stroke adalah gangguan fungsi serebral yang terjadi baik fokal maupun global yang terjadi mendadak dan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam atau meninggal disebabkan oleh gangguan pembuluh darah.
2. 1. 2. Epidemologi Stroke Stroke adalah penyebab kematian terbesar ketiga di negara-negara industri setelah penyakit jantung dan kanker. Prevalensi stroke pada populasi kulit putih berkisar antara 500-600 per 100.000 penduduk. Dilaporkan di Selandia baru 793 per 100.000 penduduk, di Perancis 1445 per 100.000 penduduk. Rentang pada Negara sedang berkembang juga bervariasi. Di China, prevalensi stroke 620 per 100.000 penduduk, dan Thailand 690 per 100.000 penduduk (WHO, 2006) Stroke adalah penyebab neurologis utama pasien datang ke rumah sakit dan penyebab kematian tertinggi ketiga di Amerika Serikat setelah penyakit jantung dan kanker (Purve, 2004). Setiap tahunnya 500.000 orang di negara ini mengalami stroke dan 150.000 meninggal. Prevalensi secara keseluruhan adalah 750/ 100.000 (Davis, 2005). Di Indonesia, penyebab kematian utama pada semua umur adalah stroke (15,4%), yang disusul oleh TB (7,5%), Hipertensi (6,8%), dan cedera (6,5%). Hasil Riskesdas 2007, prevalensi stroke di Indonesia ditemukan sebesar 8,3 per 1.000 penduduk, dan yang telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 6 per 1.000. Prevalensi stroke tertinggi Indonesia dijumpai di Nanggroe Aceh Darussalam (16,6 per 1.000 penduduk) dan terendah di Papua (3,8 per 1.000 penduduk) (Depkes, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2. 1. 3. Klasifikasi Stroke Berdasarkan atas jenisnya, stoke dibagi atas: 1. Stroke Non hemoragik Stroke jenis ini pada dasarnya disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak. Stroke ini sering diakibatkan oleh trombosis akibat plak aterosklerosis arteri otak atau suatu emboli dari pembuluh darah di luar otak yang tersangkut di arteri otak. Jenis stroke ini merupakan jenis stroke yang tersering didapatkan, sekitar 80% dari semua stroke. Stroke jenis ini juga bisa disebabkan oleh berbagai hal yang menyebabkan terhentinya aliran darah otak antara lain, syok, hipovolemia, dan berbagai penyakit lain. 2. Stroke Hemoragik Stroke jenis ini merupakan sekitar 20% dari semua stroke. Stroke jenis ini diakibatkan oleh pecahnya suatu mikro aneurisma di otak. Stroke ini dibedakan atas: perdarahan intraserebral, subdural, dan subaraknoid (Sudoyo, 2007).
2. 1. 4. Faktor Risiko Stroke a. Usia Usia adalah faktor risiko tunggal terpenting. Sekitar 30% stroke terjadi pada usia 65 tahun dan 70% terjadi pada usia 65 tahun atau lebih. Faktor risiko meningkat dua kali lipat untuk setiap dekade setelah usia 55 tahun. b. Hipertensi Setelah usia, hipertensi adalah faktor risiko stroke terkuat. Faktor risiko meningkat seiring dengan peningkatan tekanan darah. Di Framingham, faktor risiko relatif stroke untuk peningkatan 10 mmHg sistolik adalah 1,9 untuk pria dan 1,7 untuk wanita setelah faktor risiko stroke yang lain dikontrol. Peningkatan tekanan
sistolik
dan
diastolik
atau
keduanya
mempercepat
terjadinya
aterosklerosis (Houston, 2000).
Universitas Sumatera Utara
c. Jenis kelamin Infark dan stroke terjadi 30% lebih sering pada pria dibandingkan pada wanita. Perbedaan ini terjadi terutama pada usia kurang dari 65 tahun. d. Riwayat keluarga Prevalensi stroke meningkat lima kali lipat pada kondisi kembar monozigot dibandingkan dengan kembar dizigot yang secara genetik memiliki predisposisi terhadap stroke. Study cohort pada kelahiran di Swedia pada tahun 1913 menunjukkan peningkatan tiga kali lipat insidensi stroke pada orang yang ibunya meninggal karena stroke, dibandingkan dengan orang tanpa riwayat maternal seperti itu. e. Diabetes Melitus Setelah faktor-faktor risiko stroke lainnya telah terkontrol, diabetes meningkatkan risiko stroke tromboembolik sekitar dua hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. Diabetes merupakan predisposisi terhadap iskemik serebral dengan mempercepat aterosklerosis pada pembuluh darah besar seperti arteri koroner atau karotis atau dengan efek lokal pada mikrosirkulasi serebral. f. Penyakit jantung Individu dengan penyakit jantung jenis yang mana saja mempunyai risiko lebih dari dua kali terkena stroke dibandingkan dengan orang dengan fungsi jantung normal. Penyakit arteri koroner merupakan indikator kuat keberadaan penyakit vaskular aterosklerotik dan berpotensi menjadi sumber emboli. Penyakit jantung kongestif, Penyakit jantung hipertensi Berhubungan dengan peningkatan stroke. Fibrilasi atrial berperan kuat dalam stroke emboli dan fibrilasi atrial meningkatkan risiko stroke hingga 17 kali. g. Merokok Beberapa laporan termasuk sejumlah meta analisis menunjukkan bahwa merokok sigaret meningkatkan risiko stroke pada semua usia dan kedua jenis kelamin. Derajat risiko berkorelasi dengan jumlah komsumsi rokok sigaret (Tsementzis, 2000).
Universitas Sumatera Utara
h. Obstructive sleep apnea syndrome Obstructive sleep apnea syndrome secara bermakna meningkatkan risiko stroke dan kematian serta menjadi faktor dependen risiko lain seperti hipertensi (Yaggi, 2005). i. Peningkatan hematokrit Peningkatan viskositas menyebabkan simptom stroke ketika hematokrit melebihi 55%. Penentu utama viskositas whole blood adalah sel darah merah, protein plasma, serta fibrinogen. Ketika viskositas meningkat akibat dari polisitemia, hiperfibrinogenemia atau paraproteinemia, biasanya akan terjadi simptom seperti sakit kepala, letargi, tinitus, dan penglihatan kabur. Infark serebral fokal dan oklusi vena retina serta disfungsi platelet dapat menyebabkan perdarahan intraserebral dan subaraknoid. j. Peningkatan kadar fibrinogen dan abnormalitas sistem pembekuan darah Peningkatan kadar fibrinogen berpengaruh pada peningkatan risiko stroke trombotik. Abnormalitas sistem pembekuan darah seperti defisiensi antitrombin III dan defisiensi protein C dan S pernah dilaporkan berhubungan dengan venous thrombotic. k. Sickle-cell disease Sickle-cell disease dapat menyebabkan infark iskemik maupun hemoragik, perdarahan intraserebral dan subaraknoid, trombosis sinus venous dan cortical vein. Secara keseluruhan insidensi stroke pada sickle-cell disease adalah 6 – 15%. l. Penyalahgunaan obat Obat-obat yang dihubungkan dengan stroke di antaranya adalah methamphetamine, norepinephrine, LSD, heroin, dan kokain. Amfetamin meningkatkan necrotizing vasculitis yang berakibat pada perdarahan petekie difus atau terbentuknya area iskemik dan infark fokal. Heroin dapat menyebabkan hipersentisitas vascular berupa alergi yang membawa ke infark. Perdarahan subaraknoid dan infark serebral pernah dilaporkan setelah penggunaan kokain. m. Hiperlipidemia Peningkatan kolesterol menjadi faktor risiko terjadinya aterosklerosis terutama pada pria di bawah usia 55 tahun (Tsementzis, 2000). Penurunan kadar
Universitas Sumatera Utara
LDL kolesterol menurunkan risiko stroke 10% untuk pengurangan 1 mmol/L dan 17% untuk pengurangan 1,8 mmol/L (Law, 2003). Kenaikan kadar kolesterol yang terdapat pada LDL berkaitan dengan penyakit aterosklerosis, sedangkan kadar HDL yang tinggi mempunyai efek protektif (Murray, 2003). Di samping itu keadaan hipertrigliserida juga dianggap berkorelasi dengan peningkatan kadar LDL dan penurunan kadar HDL yang akan meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis (Brunzell, 2007). n. Kontrasepsi oral Kontrasepsi oral high-estrogen telah dilaporkan meningkatkan risiko terjadinya stroke pada wanita muda. Pengurangan jumlah kandungan estrogen telah menurunkan masalah ini, tetapi tidak dapat mengeliminasinya. Faktor risiko ini sangat besar pengaruhnya pada wanita berusia lebih dari 35 tahun yang disertai dengan kebiasaan merokok. Mekanismenya diperkirakan akibat peningkatan koagulasi karena stimulasi estrogen terhadap produksi protein oleh hati. o. Komsumsi alkohol Alkohol juga dapat meningkatkan tekanan darah dan risiko stroke hemoragik (Brunzell, 2007). Adanya peningkatan resiko infark serebral dan perdarahan subaraknoid yang telah dihubungkan dengan penyalahgunaan alkohol pada dewasa muda. Mekanisme etanol menyebabkan stroke dengan pengaruh pada tekanan darah, platelet, osmolalitas plasma, hematokrit, dan sel darah merah. Di samping itu, alkohol dapat menyebabkan miokardiopati, aritmia, dan perubahan pada aliran darah serebral (Tsementzis, 2000). p. Obesitas Obesitas, terutama abdominal obesity, dihubungkan dengan peningkatan risiko hipertensi, diabetes, hiperlipidemia, sleep apnea, penyakit jantung koroner, dan stroke (DeMaria, 2007). Berat relatif lebih dari 30% di atas rata-rata merupakan kontributor independen terhadap aterosklerosis (Tsementzis, 2000). q. Infeksi Infeksi meningeal dapat menyebabkan infark serebral melalui perubahan dinding pembuluh darah akibat inflamasi. Menigovascular syphilis dan Mucormycosis dapat menyebabkan artritis dan infark serebral.
Universitas Sumatera Utara
r. Homosistinemia atau homosistinuria (bentuk homozigot) Homosistinemia atau homosistinuria Predisposisi terhadap trombosis arteri dan vena serebral. Risiko stroke pada usia muda sekitar 10 – 16%. s. Etnis African-Americans mempunyai risiko tinggi terhadap stroke dibandingkan etnis lain (Tsementzis, 2000). 2. 1. 5. Patofisiologi Stroke Dalam keadaan fisiologis, jumlah darah yang mengalir ke otak adalah 50– 60 ml per 100 gram otak per menit. Jadi jumlah darah untuk seluruh otak, yang kira-kira beratnya antara 1200-1400 gram adalah 700-840 ml per menit. Dari jumlah darah itu, satu pertiganya disalurkan melalui tiap arteri karotis interna dan satu pertiga sisanya disalurkan melalui susunan vertebrobasilar. Daerah otak tidak berfungsi bisa karena secara tiba-tiba tidak menerima suplai darah lagi karena arteri yang memperdarahi daerah tersebut putus atau tersumbat. Penyumbatan itu bisa terjadi secara mendadak atau secara berangsur-angsur (Mardjono, 2008). Oklusi akut pembuluh darah intrakranial menyebabkan penurunan aliran darah ke regio otak sesuai dengan kebutuhannya. Penurunan aliran ini akan berpengaruh pada aliran darah kolateral dan ini sangat tergantung pada anatomi vaskular individual dan lokasi oklusi. Apabila aliran darah serebral tidak ada sama sekali, akan terjadi kematian pada jaringan otak dalam 4 hingga 10 menit. Apabila aliran darah ke otak kurang dari 16-18 ml/ 100 gram jaringan otak per menit maka akan menyebabkan infark dalam satu jam. Apabila kurang dari 20 ml/ 100 gram jaringan otak per menit menyebabkan iskemik tanpa infark kecuali jika berlangsung selama beberapa jam atau hari. Jika aliran darah dikembalikan dengan cepat sesuai dengan kebutuhannya, sehingga jaringan otak dapat pulih penuh dan simptom pada pasien hanya transien dan ini disebut transient ischemic attack (TIA). Tanda dan gejala TIA biasanya berlangsung dalam 5-15 menit tetapi secara defenisi harus kurang dari 24 jam. Kematian sel pada otak terjadi melalui dua jalur yaitu: (1) jalur nekrosis di mana pemecahan sitoskletal seluler berlangsung cepat yang berakibat pada
Universitas Sumatera Utara
kegagalan energi sel, dan (2) jalur apoptosis di mana sel terprogram untuk mati. Iskemik menyebabkan nekrosis karena sel-sel neuron mengalami kekurangan glukosa yang berakibat pada kegagalan mitokondria dalam menghasilkan ATP. Tanpa ATP, pompa ion pada membran akan berhenti berfungsi dan neuron mengalami depolarisasi dan disertai dengan peningkatan kalsium intraselular. Depolarisasi selular juga menyebabkan pelepasan glutamat dari terminal sinapsis (Kasper, 2005). Di samping itu, penurunan ATP akan menyebabkan penumpukan asam laktat dan menyebabkan terjadinya asidosis selular (Ropper, 2005). Radikal bebas juga dihasilkan oleh degradasi membran lipid dan mitokondria yang mengalami disfungsi. Radikal bebas ini menyebabkan kerusakan pada membran dan fungsi vital lain sel. Di samping itu, demam akan memperparah iskemik begitu juga dengan hiperglikemia, oleh karena itu demam dan hiperglikemia harus diatasi dan jika bisa dicegah (Kasper, 2005). Penurunan suhu setidaknya 2 – 3 0C dapat menurunkan kebutuhan metabolik neuron dan meningkatkan toleransi terhadap hipoksia sebesar 25-30 % (Ropper, 2005).
2. 1. 6. Gejala dan Tanda Stroke Gejala stroke dapat dibedakan atas gejala/ tanda akibat lesi dan gejala/ tanda yang diakibatkan oleh komplikasinya. Gejala akibat lesi bisa sangat jelas dan mudah untuk didiagnosis akan tetapi dapat sedemikian tidak jelas sehingga diperlukan kecermatan tinggi untuk mengenalinya. Pasien dapat datang dalam keadaan sadar dengan keluhan lemah separuh badan pada saat bangun tidur atau sedang bekerja akan tetapi tidak jarang pasien datang dalam keadaan koma sehingga memerlukan penyingkiran diagnosis banding sebelum mengarah ke stroke. Secara umum gejala tergantung pada besar dan letak lesi di otak yang menyebabkan gejala dan tanda organ yang dipersarafi oleh bagian tersebut. Jenis patologi (hemoragik atau nonhemoragik) secara umum tidak menyebabkan perbedaan dari tampilan gejala, kecuali bahwa pada jenis hemoragik sering kali ditandai dengan nyeri kepala hebat terutama terjadi saat bekerja. Beberapa perbedaan yang terdapat pada stroke hemisfer kiri dan kanan dapat dilihat dari
Universitas Sumatera Utara
tanda-tanda yang didapatkan dan dengan pemeriksaan neurologis sederhana dapat diketahui kira-kira letak lesi seperti yang terlihat di bawah ini. Lesi di korteks: Gejala terlokalisasi dan mengenai daerah kontralateral dari letak lesi. Hilangnya sensasi kortikal (diskriminasi dua titik) ambang sensorik yang bervasiasi. Kurang perhatian terhadap rangsang sensorik. Bicara dan penglihatan mungkin terkena. Lesi di kapsula: Lebih luas dan mengenai daerah kontra lateral dari letak lesi. Sensasi primer menghilang. Bicara dan penglihan mungkin terganggu. Lesi di batang otak: Luas dan bertentangan dengan letak lesi Mengenai saraf kepala sesisi dengan letak lesi (III-IV otak tengah), (V,VI,VII, di pons), (IX, X, XI, XII di medula) Lesi di medula spinalis: Neuron motorik bawah di daerah lesi, sesisi Neuron motorik atas di bawah lesi, berlawan dengan letak lesi Gangguan sensorik Gejala akibat komplikasi akut menyebabkan kematian lima kali lebih banyak dibanding akibat lesi, dan bersama-sama keduanya menyebabkan sekitar 20% kematian pada hari pertama. Komplikasi akut yang terjadi adalah: Kenaikan tekanan darah. Keadaan ini biasanya merupakan mekanisme kompensasi sebagai upaya mengejar kekurangan pasokan darah di tempat lesi. Oleh karena itu, kecuali bila menunjukkan nilai yang sangat tinggi (sistolik > 220/ diastolik > 130) tekanan darah tidak perlu diturunkan karena akan turun sendiri selama 48 jam. Pada pasien hipertensi kronis, tekanan darah juga tidak perlu diturunkan segera.
Universitas Sumatera Utara
Kadar gula darah. Pasien stroke sering kali merupakan pasien DM, sehingga kadar gula darah pasca stroke tinggi. Akan tetapi sering kali terjadi kenaikan kadar gula darah pasien sebagi reaksi kompensasi atau mekanisme stres. Gangguan jantung baik sebagai penyebab maupun sebagai komplikasi. Keadaan ini memerlukan perhatian khusus, sering kali memperburuk keaadn stroke, bahkan sering merupakan penyebab kematian. Gangguan respirasi, baik akibat infeksi maupun akibat penekanan di pusat nafas. Infeksi dan sepsis, merupakan komplikasi stroke yang serius Gangguan ginjal dan hati. Ulcer stres, yang sering menyebabkan terjadinya hematemesis dan melena (Sudoyo, 2007).
2. 1. 7. Anamnesa Stroke Pokok manifestasi dari stroke adalah hemiparesis, hemiparestesia, afasia, disartria, dan hemianopia. Hemiparesis yang ringan dapat dirasakan oleh penderita sebagai gangguan gerakan tangkas. Cara mengemukakannya dapat berbunyi sebagai berikut: a. ”Sekarang tulisan tidak karuan.” b. ”Kalau merokok sering kali rokok yang dipegang lepas tanpa diketahui.” c. ”memasukkan kancing dalam lubang kancing sering tidak berhasil.” Itulah contoh-contoh yang melukiskan hilangnya ketangkasan tangan kanan maupun kiri. Di bawah ini diberikan lukisan gangguan ketangkasan tungkai sebagaimana penderita sendiri atau pengantar si pasien: a. ”Kaki kanan susah diatur karena itu jalannya canggung.” b. ”Pakai sandal tidak bisa kalau tidak dibantu oleh tangan.” Afasia atau disfasia motorik dilukis sebagai berikut: ”Tidak bisa bicara tapi masih mengerti semuanya.” Afasia atau disfasia sensorik sering kali dikemukakan secara samar misalnya: ”Bicaranya sudah tidak karuan. Kata-kata yang dikeluarkan jelas tetapi tidak mempunyai arti.” Disartria disajikan secara jelas yaitu: ”Lidahnya sudah kaku.” atau ”Lidah sudah pendek.”
Universitas Sumatera Utara
Hemianopia tidak selalu dilukiskan oleh penderita secara jelas, seperti halnya dengan keluhan berikut: ”Penglihatannya sebenarnya baik, tapi kadang kala jadi tampak gelap” (Sidharta, 2008).
2. 1. 8. Fisik Diagnosis Stroke Gejala defisit neurologik yang sudah jelas mudah dikenali. Terutama hemiparesis yang sudah jelas, setiap dokter pasti mengenalnya. Juga tanda-tanda yang mengiringi hemiparesis mudah diingat. Adapun tanda-tanda tersebut, yang dinamakan tanda-tanda gangguan upper motor neuron (UMN): a. Tonus otot pada sisi yang lumpuh meningkat. b. Refleks tendon meningkat pada sisi yang lumpuh c. Refleks patologik positif pada sisi yang lumpuh. Manifestasi stroke yang paling
ringan sering
berupa gangguan
ketangkasan gerakan. Maka dari itu, susunan periksaan motorik harus sebagai berikut: a. Pemeriksaan ketangkasan gerakan Adakan observasi sewaktu orang sakit berjalan. Tungkai yang sudah memperlihatkan gaya jalan sirkumduksi masih dapat bertenaga besar jika dinilai pada waktu orang sakit berbaring dan disuruh menendang. Untuk menilai lengan sewaktu orang sakit berjalan harus diperhatikan cara orang sakit berlenggan. Sering kali dialami penulis, bahwa tenaga lengan untuk fleksi, ekstensi lengan di siku, dan tenaga tangan sewaktu mengepal masih normal, tetapi cara orang sakit melenggankan lengan sewaktu berjalan sudah tampak kurang lincah. Konfirmasi selanjutnya dapat diberikan oleh tes di mana orang sakit diperintahkan untuk membuka dan menutup kancing bajunya dan kemudian melepas dan memakai sandalnya. Gangguan ringan ketangkasan gerakan jari-jari tangan dan kaki dapat dinilai dengan cara tersebut di atas. b. Penilaian tonus otot Penilaian tonus otot dilakukan dengan jalan menggerak-gerakkan otot secara pasif pada sendi siku/ lutut. Adanya hipertonia ringan sesisi tidak akan
Universitas Sumatera Utara
diketahui bila mana penilaian tonus otot dilakukan pada anggota secara sendirisendiri. Tetapi dengan menggerakkan kedua lengan secara simultan namun berselingan dalam hal fleksi dan ekstensi, perbedaan ringan derajat tonus otot antara kedua lengan dapat diketahui. Pada penilaian tonus otot tungkai dengan cara simultan diperlukan bantuan orang lain. Perawat dapat melakukan gerakan fleksi dan ekstensi tungakai kiri penderita sedangkan dokter melakukan tindakan yang serupa pada sisi kanan dan menilai tonus tungkai kanan. Kemudian perawat berganti tempat dan menggerakkan tungkai kanan dan dokter menilai tonus tungkai kiri orang sakit. c. Penilaian refleks tendon Hiper-refleksia pada sisi hemiparetik tidak selalu dijumpai. Jika terdapat lesi di tingkat korteks, maka beberapa hari sampai minggu setelah hemiparesis menjadi kenyataan hiper-refleksia ada kalanya masih belum didapati. Juga dapat penderita DM yang mengidap stroke tidak didapat hiper-refleksia tendon lutut, walaupun pada umumnya masih terdapat hiper-refleksia tendon bisep. Dalam hal itu, kedua refleks tendon lutut hilang karena neuropatia diabetika yang sudah ada jauh sebelum orang sakit mendapatkan hemiparesis. Kecermatan dalam penilaian refleks tendon ditentukan oleh teknik membangkitkan releks tendon. Sering dilupakan bahwa penilaian refleks tendon bersifat penilaian banding. Maka sikap anggota gerak kedua sisi harus sama dan pengetukan tendon sebagai stimulasi harus berintensitas yang sama pula apabila dikehendaki hasil perbandingan yang bidsa dipercaya. d. Refleks patologik Pada sisi hemiparetik, dapat dijumpai refleks patologik. Refleks patologik yang dapat dibangkitkan pada tangan ialah: refleks Tromner-Hoffmann, Leri dan Mayer. Refleks Tromner-Hoffmann yang positif tidak selalu menunjukkan pada gangguan jaras piramidalis. Pada orang-orang sehat pun dapat dijumpai refleks Tromner-Hoffmann yang positif. Refleks patologik yang dibangkitkan di kaki ialah refleks Babinski, Chadock, Oppenheim, Gordon, Schaefer, Gonda. Bila refleks Babinski dan chadock sudah terbukti ada maka tidak perlu untuk melakukan tindakan
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan untuk membangkitkan refleks patologik lainnya. Refleks Babinski dan Chadock merupakan refleks yang dapat dipercaya penuh (Sidharta, 2008).
2. 1. 9. Pemeriksaan penunjang Stroke Pemeriksaan penunjang penting untuk mendiagnosis secara tepat stroke dan subtipenya, untuk menidentifikasi penyebaba utamanya dan penyakit terkait lain, untuk menentukan terapi dan strategi pengelolaan terbaik, serta untuk memantau kemajuan pengobatan. Pemeriksaan yang dilakukan akan berbeda dari pasien ke pasien. a. CT dan MRI Pemeriksaan paling penting untuk mendiagnosis subtipe dari sroke adalah Computerised Topography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada kepala. Mesin CT dan MRI masing-masing merekam citra sinar X atau resonansi magnet. Setiap citra individual memperlihatkan irisan melintang otak, mengungkapkan daerah abnormal yang ada di dalamnya. Pada CT, pasien diberi sinar X dalam dosis sangat rendah yang digunakan menembus kepala. Sinar X yang digunakan serupa dengan pada pemeriksaan dada, tetapi dengan panjang ke radiasi yang jauh lebih rendah. Pemeriksaan memerlukan waktu 15 – 20 menit, tidak nyeri, dan menimbulkan resiko radiasi minimal keculi pada wanita hamil. CT sangat handal mendeteksi perdarahan intrakranium, tetapi kurang peka untuk mendeteksi stroke iskemik ringan, terutama pada tahap paling awal. CT dapat memberi hasil negatif-semu (yaitu, tidak memperlihatkan adanya kerusakan) hingga separuh dari semua kasus stroke iskemik. Mesin MRI menggunakan medan magnetik kuat untuk menghasilkan dan mengukur interaksi antara gelombang-gelombang magnet dan nukleus di atom yang bersangkutan (misalnya nukleus Hidrogen) di dalam jaringan kepala. Pemindaian dengan MRI biasanya berlangsung sekitar 30 menit. Alat ini tidak dapat digunakan jika terdapat alat pacu jantung atau alat logam lainnya di dalam tubuh. Selain itu, orang bertubuh besar mungkin tidak dapat masuk ke dalam mesin MRI, sementara sebagian lagi merasakan ketakutan dalam ruangan tertutup
Universitas Sumatera Utara
dan tidak tahan menjalani prosedur meski sudah mendapat obat penenang. Pemeriksaan MRI aman, tidak invasif, dan tidak menimbulkan nyeri. MRI lebih sensitif dibandingkan CT dalam mendeteksi stroke iskemik, bahkan pad stadium dini. Alat ini kurang peka dibandingkan CT dalam mendeteksi perdarahan intrakranium ringan. b. Ultrasonografi Pemindaian arteri karotis dilakukan dengan menggunakan gelombang suara untuk menciptakan citra. Pendaian ini digunakan untuk mencari kemungkinan penyempitan arteri atau pembekuan di arteri utama. Prosedur ini aman, tidak menimbulkan nyeri, dan relatif cepat (sekitar 20-30 menit). c. Angiografi otak Angiografi otak adalah penyuntikan suatu bahan yang tampak dalam citra sinar-X kedalam arteri-arteri otak. Pemotretan dengan sinar-X kemudian dapat memperlihatkan pembuluh-pembuluh darah di kepala dan leher. Angiografi otak menghasilkan gambar paling akurat mengenai arteri dan vena dan digunakan untuk mencari penyempitan atau perubahan patologis lain, misalnya aneurisma. Namun, tindakan ini memiliki resiko kematian pada satu dari setiap 200 orang yang diperiksa. d. Pungsi lumbal Pungsi lumbal kadang dilakukan jika diagnosa stroke belum jelas. Sebagai contoh, tindakan ini dapat dilakukan untuk menyingkirkan infeksi susunan saraf pusat serta cara ini juga dilakukan untuk mendiagnosa perdarahan subaraknoid. Prosedur ini memerlukan waktu sekitar 10-20 menit dan dilakukan di bawah pembiusan lokal. e. EKG EKG digunakan untuk mencari tanda-tanda kelainan irama jantung atau penyakit jantung sebagai kemungkinan penyebab stroke. Prosedur EKG biasanya membutuhkan waktu hanya beberapa menit serta aman dan tidak menimbulkan nyeri.
Universitas Sumatera Utara
f. Foto toraks Foto sinar-X toraks adalah proses standar yang digunakan untuk mencari kelainan dada, termasuk penyakit jantung dan paru. Bagi pasien stroke, cara ini juga dapat memberikan petunjuk mengenai penyebab setiap perburukan keadaan pasien. Prosedur ini cepat dan tidak menimbulkan nyeri, tetapi memerlukan kehati-hatian khusus untuk melindungi pasien dari pajanan radiasi yang tidak diperlukan (Feigin, 2009). g. Pemeriksaan darah dan urine Pemeriksaan ini dilakukan secara rutin untuk mendeteksi penyebab stroke dan untuk menyingkirkan penyakit lain yang mirip stroke. Pemeriksaan yang direkomendasikan: Hitung darah lengkap untuk melihat penyebab stroke seperti trombositosis, trombositopenia, polisitemia, anemia (termasuk sikle cell disease). Laju endap darah untuk medeteksi terjadinya giant cell arteritis atau vaskulitis lainnya. Serologi untuk sifilis. Glukosa darah untuk melihat DM, hipoglikemia, atau hiperglikemia. Lipid serum untuk melihat faktor risiko stroke (Greenberg, 2002). Analisis urine mencakup penghitungan sel dan kimia urine untuk mengidentifikasi infeksi dan penyakit ginjal (Feigin, 2009). 2.2. Lipid Plasma dan Transportasi Lipid Sebagian besar lipid plasma tidak larut dalam air dan tidak beredar dalam bentuk bebas. Asam-asam lemak bebas (FFA) terikat pada albumin, sementara kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid ditranspor dalam bentuk kompleks lipoprotein. Ada enam keluarga lipoprotein yang dikelompokkan menurut besar dan kandungan lipidnya antara lain, kilomikron, sisa kilomikron, lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL), lipoprotein densitas sedang (IDL), lipoprotein densitas rendah (LDL), dan lipoprotein densitas tinggi (HDL). Secara umum, lipoprotein terdiri dari satu inti trigliserida dan ester kolesteril hidrofobik yang dikelilingi oleh fosfolipid dan protein.
Universitas Sumatera Utara
Kandungan protein pada lipoprotein disebut apoprotein. Apoprotein utama disebut APO E, APO C, dan APO B. Ada dua bentuk APO B, bentuk yang berberat molekul rendah disebut APO B-48, yang merupakan ciri khas sistem eksogen yang mengangkut lipid eksogen yang dimakan, dan bentuk yang berberat molekul tinggi disebut APO B-100, yang merupakan ciri khas endogen. Kilomikron terbentuk di mukosa usus selama absorpsi produk-produk pencernaan makanan. Senyawa ini adalah kompleks lipoprotein yang memasuki sirkulasi melalui pembuluh limfe. Kilomikron dibersihkan dari sirkulasi oleh kegiatan lipoprotein lipase, yang terletak di permukaan endotel pembuluh kapiler. Enzim mengkatalisis pemecahan trigliserida di dalam kilomikron tersebut menjadi FFA dan gliserol, yang kemudian masuk ke sel-sel adiposa dan direesterifikasi. Lipoprotein lipase juga mengeluarkan trigliserida dari VLDL. Kiomikron dan VLDL mengandung APO C. Kilomikron yang kehabisan trigliseridanya tetap berada dalam sirkulasi sebagai lipoprotein kaya kaya kolesterol yang disebut sisa kilomikron. Sis-sisa ini dibawa ke hati, yang mengikat sisa-sisa ini dengan reseptor LDL. Mereka segera diinternalisasi dengan endositosis dengan perantaraan reseptor, dan diuraikan di dalam lisosom. Kilomikron dan sisanya merupakan sistem transpor untuk lipid eksogen yang dimakan. Juga ada sistem endogen yang terdiri dari VLDL, IDL, LDL, dan HDL, yang mengangkut trigliserida dan kolesterol ke seluruh tubuh. VLDL terbentuk di hati mengangkut trigliserida yang terbentuk dari asam lemak dan karbohidrat di hatike jaringan ekstrahati. Setelah trigliseridanya sebagian besar dikeluarkan oleh kerja lipoprotein kinase, VLDL menjadi IDL. IDL menyerahkan fosfolipid dan melalui kerja enzim plasma lesistin-kolesterol asiltransferase (LCAT), mengambil ester kolesterol yang terbentuk dari kolesterol di HDL. Beberapa IDL diambil oleh hati. IDL sisanya kemudian melepaskan lebih banyak trigliserida dan protein, kemungkinana di sinusoid-sinusoid hati dan menjadi LDL. Selama konversi ini mereka kehilangan APO E, tetapi APO B-100 tetap ada.
Universitas Sumatera Utara
LDL menyediakan kolesterol bagi jaringan. Kolesterol adalah suatu unsur pokok esensial di membran sel dan digunakan oleh sel kelenjar untuk membentuk hormon steroid. Di dalam hati dan kebanyakan jaringan ekstrahepatik, LDL diambil dengan endositosis mediator reseptor di lubang bermantel. Reseptor tersebut mengenai komponen APO B-100 dari LDL tersebut. Reseptor tersebut juga mengikat APO E dan tidak mengikat APO B-48. Di dalam proses endositosis berperantara reseptor, setiap lubang bermantel terlepas membentuk vesikel bermantel dan kemudian membentuk endosom. Pompa-pompa protein di membran endosom menurunkan PH di dalam organel ini. Dalam hal reseptor LDL, tetapi bukan reseptor sisi kilomikron, situasi ini mencetuskan pelepasan reseptor LDL, yang berdaur ulang ke dalam membran sel. Endosom kemudian kemudian menyatu dengan satu lisosom, sehingga kolesterol yang terbentuk dari ester-ester kolesteril oleh lipase asam di dalam lisosom menjadi siap untuk memenuhi kebutuhan sel tersebut. Dalam keadaan mantap (steady state), kolesterol meninggalkan dan masuk sel. Kolesterol keluar melalui salah satu dari ABC cassette protein dan kolesterol ini diserap oleh HDL. Lipoprotein ini disintesis di hati dan usus. Sistem HDL memindahkan kolesterol ke hati yang kemudian diekskresikan ke empedu. Dengan cara ini, kolesterol plasma dapat diturunkan (Ganong, 2003).
2. 3. Hiperlipidemia 2. 3. 1. Definisi Hiperlipidemia Hiperlipidemia adalah peningkatan konsentrasi trigliserida atau kolesterol plasma dalam keadaan puasa (Kasper, 2005).
2. 3. 2. Klasifikasi Hiperlipidemia Berdasarkan penyebabnya, hiperlipidemia dibagi atas: Hiperlipidemia primer, akibat predisposisi genetik terhadap kelainan metabolisme lipid. Hiperlipidemia sekunder, mempunyai penyakit yang mendasarinya (adanya gangguan sistemik) seperti, diabetes melitus, hipotiroidisme (Price, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2. 3. 3. Kadar Lipid Serum Normal Kapan lipid dikatakan normal sebenarnya sulit dipatok pada satu angka karena normal untuk seseorang belum tentu normal bagi orang lain yang disertai faktor risiko multipel. Walaupun demikian, National Cholesterol Education Program Adult Panel III (NECP-ATP III) telah membuat satu batasan yang dapat dipakai secara umum tanpa melihat faktor risiko koroner seseorang (Sudoyo, 2007).
Tabel 2. Kadar Lipid Serum Normal Kolesterol Total < 200
Optimal
200 – 239
Diinginkan
≥ 240
Tinggi
Kolesterol LDL < 100
Optimal
100 – 129
Mendekati optimal
130 – 159
Diinginkan
160 – 189
Tinggi
≥ 190
Sangat tinggi
Kolesterol HDL < 40
Rendah
≥ 60
Tinggi
< 150
Optimal
150 – 199
Diinginkan
200 – 449
Tinggi
≥ 500
Sangat tinggi
Trigliserida
Dikutip dari: Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., K, Marcellus Simadibrata, Setiati, S., 2007. Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: PPIPD FK UI. 1928.
Universitas Sumatera Utara
2. 4. Aterosklerosis 2. 4. 1. Definisi Aterosklerosis Aterosklerosis adalah penebalan dan hilangnya elastisitas dinding pembuluh darah arteri. Aterosklerosis ditandai dengan lesi intima yang disebut ateroma atau plak ateromatosa atau fibrofatty plaques, yang menonjol ke dalam dan menyumbat lumen pembuluh darah, memperlemah media di bawahnya, dan mungkin mengalami penyulit serius (Kumar, 2007).
2. 4. 2. Patogenesis Aterosklerosis Patogenesis aterosklerosis merupakan suatu proses interaksi yang kompleks, dan hingga saat ini masih belum dimengerti sepenuhnya. Interaksi dan respons komponen dinding pembuluh darah dengan pengaruh unik berbagai stresor (sebagian diketahui sebagai faktor resiko) yang terutama dipertimbangkan. Teori patogenesis yang mencakup konsep ini adalah hipotesis respons terhadap cedera, dengan beberapa bentuk cedera tunika intima yang mengawali inflamasi kronis dinding arteri dan menyebabkan timbulnya ateroma. Dinding pembuluh darah terpajan berbagai iritan yang terdapat dalam hidup keseharian. Di antaranya adalah faktor-faktor hemodinamik, hipertensi, hiperlipidemia, serta derivat merokok dan toksin (misal, homosistein dan LDL teroksidasi). Agen infeksius (Chlamydia Pneumoniae) juga dapat menyebabkan cedera. Dari semua agen ini, efek sinergis gangguan hemodinamik yang menyertai fungsi
sirkulasi
hiperkolesterolemia
normal yang
yang
digabungkan
dianggap
merupakan
dengan faktor
efek
merugikan
terpenting
dalam
patogenesis aterosklerosis. Kepentingan teori patogenesis respons terhadap cedera adalah cedera endotel kronis yang menyebabkan respon inflamasi kronis dinding arteri dan timbulnya aterosklerosis. Berbagai kadar stres yang berkaitan dengan turbulensi sirkulasi normal dan menguatnya hipertensi diyakini menyebabkan derah fokal disfungsi endotel Misalnya ostia pembuluh darah, titik percabangan dan dinding posterior aorta abdominalis dan aorta desendens yang telah diketahui sebagai tempat utama berkembangnya plak aterosklerosa.
Universitas Sumatera Utara
Dinding arteri terdiri atas lapisan kosentrik tempat sel-sel endotel, sel-sel otot polos, dan matriks ekstra sel dengan serabut elastis dan kolagen yang terlihat dengan jelas. Ketiga lapisan ini adalah intima, media, dan adventisia. Lapisan intima terdiri atas sel-sel endotel yang membatasi arteri dan merupakan satusatunya bagian dinding pembuluh darah yang berinteraksi dengan komponen darah. Hal penting mengenai endotel adalah: (1) mengandung reseptor untuk LDL dan bekerja sebagai sawar dengan permeabilitas yang sangat selektif; (2) memberikan permukaan nontrombogenik oleh lapisan heparin dan oleh sekresi PGI2 (vasodilator kuat dan inhibitor agregasi trombosit), dan oleh sekresi plasminogen; (3) Mensekresi oksida nitrat (suatu vasodilator kuat); dan (4) Berinteraksi dengan trombosit, monosit, makrofag, limfosit T, dan sel-sel otot polos melalui berbagai sitokin dan faktor pertumbuhan. Lapisan media merupakan bagian otot dinding arteri dan terdiri atas sel-sel otot polos, kolagen dan elastin. Lapisan intima melindungi lapisan media dari komponen-komponen darah. Lapisan media bertanggung jawab atas kontraktilitas dan kerja pembuluh darah. Lapisan adventisia merupakn lapisan terluar dinding pembuluh darah dan terdiri atas sebagian sel-sel otot polos dan fibroblas. Lapisan ini juga mengandung vasa vasorum, yaitu pembuluh darah kecil yang menghantarkan suplai darah ke dinding pembuluh darah. Pada aterosklerosis, terjadi gangguan integritas lapiasan media dan intima, sehingga menyebabkan terbentuknya ateroma. Hipotesis respons terhadap cedera memperkirakan bahwa langkah awal dalam aterogenesis adalah cedera yang kemudian
menyebabkan
disfungsi
endotel
arteri
dengan
meningkatnya
oermeabilitas terhadap monosit dan lipid darah. Hiperkolesterolemia sendiri diyakini mengganggu fungsi endotel dengan meningkatkan produksi radikal bebas oksigen. Radikal ini menonaktifkan oksida nitrat, yaitu faktor endothelial-relexing utama. Apabila terjadi hiperlipidemia kronis, lipoprotein tertimbun dalam lapisan intima di tempat meningkatnya permeabilitas endotel. Pemajanan terhadap radikal bebas dalam sel endotel dinding arteri menyebabkan terjadinya oksidasi LDL, yang berperan dan mempercepat timbulnya plak ateromatosa. Oksidasi LDL diperkuat oleh kadar
Universitas Sumatera Utara
HDL yang rendah, diabetes melitus, defisiensi estrogen, hipertensi, dan adanya derivat merokok. Sebaliknya kadar HDL yang tinggi bersifat protektif terhadap timbulnya CAD (Coronary Arteri Disease) bila terdiri atas sedikitnya 25% kolesterol total. Hiperkolesterolemia memicu adhesi monosit, migrasi sel otot polos subendotel, dan penimbunan lipid dalam makrofag dan sl-sel otot polos. Apabila terpajan dengan LDL yang terosidasi, makrofag menjadi sel busa yang beragregasi dalam lapisan intima, yang terlihat secara makroskopis sebagi bercak lemak. Akhirnya, deposisi lipid dan jaringan ikat mengubah bercak lemak ini menjadi ateroma lemak fibrosa matur. Ruptur menyebabkan inti bagian dalam plak terpajan dengan LDL yang teroksidasi dan meningkatnya perlekatan elemet sel termasuk trombosit. Akhirnya deposisi lemak dan jaringan ikat mengubah plak fibrosa menjadi ateroma yang dapat mengalami perdarahan, ulserasi, kalsifikasi atau trombosis (Price, 2005).
2. 4. 3 Faktor Risiko Aterosklerosis Keparahan penyakit di antara individu dan kelompaok berkaitan dengan sejumlah faktor seperti: Faktor risiko tidak dapat dimodifikasi Pertambahan usia
Obesitas
Lelaki
Kurang gerak
Riwayat keluarga
Stres
Kelainan genetik
Defisiensi estrogen pasca menopause
Faktor risiko dapat dikendalikan Hiperlipidemia
Asupan karbohidrat tinggi
Hipertensi
Asupan lemak tak-jenuh
Merokok
Chlamydia pneumoniae
Diabetes (Kumar, 2007)
Universitas Sumatera Utara