BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Struktur Modal 2.1.1. Pendahuluan Krisis global saat ini sedang melanda dunia usaha dan berdampak negatif terhadap banyak perusahaan. Perusahaan-perusahaan tersebut banyak yang mengalami kebangkrutan yang antara lain dikarenakan kekurangmampuan memprediksi batas maksimum jumlah hutang yang memberikan manfaat bagi perusahaan dan tidak memicu timbulnya biaya Financial Distress. Kemungkinan kebangkrutan dan biaya-biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan menghasilkan efek negatif terhadap nilai suatu perusahaan (Ross et al, 2008). Proporsi penggunaan sumber dana internal dan dana eksternal dalam memenuhi kebutuhan dana perusahaan yang selanjutnya disebut dengan struktur modal yang paling optimal menjadi hal yang sangat penting dalam mengelola keuangan perusahaan. Setiap sumber pendanaan mempunyai biaya modal (cost of capital) masing-masing yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan. Oleh karena itu, penelitian mengenai struktur modal dalam manajemen keuangan terus dilakukan demi upaya mendapatkan struktur modal yang optimal, yang diharapkan kemudian dapat meningkatkan nilai perusahaan dan memperoleh keunggulan daya saing di industrinya. Teori capital structure yang modern dimulai dengan paper Modigliani dan Miller (1958) yang selanjutnya terkenal dengan MM, merupakan terobosan baru dalam manajemen keuangan modern. Proposisi yang diajukan oleh MM ini mempunyai banyak pendukung sampai saat ini. Proposisi yang menyatakan tidak relevannya keputusan financing terhadap nilai perusahaan, memberikan implikasi penting. Proposisi ini menimbulkan pertanyaan pada kondisi bagaimana keputusan financing menjadi tidak relevan dan bagaiman keputusan tersebut dapat menjadi relevan (Harris dan Raviv, 1991; Myers, 2001). Selama lebih dari beberapa dekade, berbagai riset empiris telah banyak dilakukan untuk menjawab pertanyaan ini dan telah melahirkan beberapa teori struktur permodalan yang cukup dominan, di antaranya adalah Pecking Order Theory (POT). 8 Universitas Indonesia Pengaruh aktiva..., Susan Veronica Lim, FE UI, 2010.
9
2.1.2. Pecking Order Theory Pada tahun 1961 Donaldson melakukan penelitian yang memperkenalkan hipotesa Pecking Order. Penelitian ini tampaknya lebih baik dalam menjelaskan praktek perusahaan tetapi kurang mendapatkan dukungan teoritis dan bukti empiris. Pecking Order Theory (POT) lebih dikenal secara umum (Myers, 1984; Myers dan Majluf, 1984) setelah POT mendapat dukungan dari argumentasi asymmetric information, selain argumentasi manfaat dari pajak dan signifikansi dari biaya transaksi. Pecking Order Theory yang dikembangkan oleh Stewart C. Myers dan Nicholas Majluf di tahun 1984 adalah teori yang menyatakan bahwa perusahaan mengikuti suatu hirarki tertentu dalam mengambil keputusan keuangan yang menyangkut struktur modalnya. Perusahaan lebih menyukai sumber pendanaan dari internal dan dalam hal mereka memerlukan pendanaan dari pihak eksternal, perusahaan akan menggunakan pendanaan yang paling aman terlebih dahulu, dimulai dari hutang, kemudian hutang yang bisa dikonversikan (convertible debt) dan pada akhirnya menerbitkan saham sebagai sumber pendanaan terakhir. Masih menurut Myers (1984), di dalam Pecking Order Theory tidak ada target rasio hutang terhadap ekuitas yang ditentukan di awal. Sumber pendanaan dari dalam perusahaan atau internal adalah berasal dari Laba Ditahan (Retained Earnings). Laba Ditahan tidak mempunyai masalah adverse selection. Adverse Selection dalam hal ini adalah masalah yang timbul karena ketidakmampuan investor mengetahui kualitas perusahaan karena investor tidak mempunyai informasi yang perusahaan ketahui dan sebaliknya. Ekuitas lebih beresiko dibandingkan hutang jika dilihat dari sudut pandang investor. Ekuitas mempunyai masalah adverse selection yang serius dan jauh lebih besar dibandingkan dengan pinjaman atau hutang. Oleh karena itu, investor akan menuntut tingkat pengembalian (rate of return) yang lebih tinggi atas ekuitas dibandingkan hutang. Pihak yang ada di dalam perusahaan memandang laba ditahan sebagai sumber dana yang lebih baik daripada hutang, dan hutang adalah pendanaan yang lebih baik dari pada ekuitas. Oleh karena itu, perusahaan akan mendanai seluruh investasinya dengan menggunakan laba ditahan jika
Universitas Indonesia Pengaruh aktiva..., Susan Veronica Lim, FE UI, 2010.
10
memungkinkan. Jika laba ditahan tidak mencukupi, makan pendanaan dari pinjaman akan digunakan (Frank dan Goyal, 2002). Keengganan perusahaan dalam menerbitkan saham atau ekuitas baru lebih dikarenakan adanya asymmetric information antara manajemen dan calon investor atau pemegang saham baru. Myers dan Majluf (1984) menjelaskan bahwa akibat kurangnya informasi yang dimiliki oleh calon investor dibandingkan manajemen perusahaan mengenai arus kas yang diharapkan dari asset perusahaan baik arus kas saat ini atau arus kas masa mendatang dan karena asumsi bahwa manajemen perusahaan tidak memihak mereka, menyebabkan ekuitas akan dinilai lebih rendah dari nilai intrinsiknya (underpriced). Kesadaran bahwa investor memiliki sedikit informasi tentang perusahaan, maka investor akan berasumsi bahwa manajemen hanya akan menerbitkan saham jika harga saham tersebut sedang overpriced sehingga pasar akan menilai saham tersebut dengan discount. Underpricing akan menyebabkan underinvestment, karena jika penerbitan saham pada nilai yang tidak menguntungkan maka hal ini akan dianggap sebagai pemindahan kekayaan dari pemegang saham lama ke pemegang saham baru. Bagi manajemen perusahaan terdapat aturan pengambilan keputusan pendanaan sebagai berikut, “Melakukan pinjaman atau berhutang ketika investor menilai perusahaan di bawah nilai intrinsiknya dan menerbitkan ekuitas jika terjadi sebaliknya yaitu investor menilai perusahaan di atas nilai intrinsiknya”. Pecking Order Theory mengakui adanya dua bentuk pengujian dalam mengevaluasi teori tersebut yaitu pengujian strong form dan pengujian semi strong form (Chirinko and Singha, 2000). Menurut strong form, perusahaan tidak pernah menerbitkan ekuitas dan menggunakan sumber dana internal dan hutang untuk mendanai perusahaannya. Sedangkan semi strong form menerima penerbitan ekuitas untuk tingkatan tertentu yang lebih logis dan dapat diuji. Pecking Order Theory tidak sepenuhnya menolak penerbitan saham atau ekuitas. Penerbitan ekuitas dapat terjadi dalam dua situasi khusus yaitu: -
Jika perusahaan memerlukan dana untuk investasi di masa mendatang yang belum direncanakan (Myers 1984, Myers dan Majluf 1984, ShyamSunder dan Myers 1999, Frank dan Goyal 2003a).
Universitas Indonesia Pengaruh aktiva..., Susan Veronica Lim, FE UI, 2010.
11
-
Jika terdapat information asymmetry yang karena suatu alasan, menyebabkan perusahaan dapat mengambil manfaat atas informasi ini dan kemudian menerbitkan saham baru pada nilai wajarnya (Myers, 1984). Lemmon dan Zender (2002) mengemukakan bahwa faktor kapasitas
hutang atau pinjaman dapat juga menjadi batasan penting dalam menerbitkan ekuitas baru. Perusahaan dengan pinjaman atau hutang yang sudah mencapai kapasitasnya tidak dapat lagi meminjam atau berhutang lagi. Satu-satunya pilihan adalah dengan menerbitkan ekuitas atau saham baru, di mana sejalan dengan prinsip POT. Sedangkan Fama dan French, 2002, berpendapat bahwa ada kemungkinan lain yang menyebabkan perusahaan menerbitkan saham baru tanpa bertentangan dengan Pecking Order Theory. Hal ini dapat terjadi jika perusahaan mengantisipasi bahwa perusahaan akan memerlukan pendanaan dari pihak luar untuk mendanai implementasi proyek atau investasi baru dalam waktu dekat.
2.2. Faktor-faktor Determinan Struktur Hutang Faktor-faktor determinan yang mempengaruhi pilihan proporsi struktur permodalan perusahaan dapat dibagi ke dalam empat kategori sesuai dengan tujuan masing-masing (Harris dan Raviv, 1991). Keempat kategori tersebut adalah: a. Pendekatan agency yang menonjolkan konflik yang terjadi antara beberapa pemegang kepentingan terhadap sumber daya perusahaan termasuk para manager. b. Pendekatan informasi asymmetric mengenai penyampaian informasi pribadi ke pasar modal atau mengurangi dampak-dampak dari pilihan yang berlawanan. c. Pendekatan yang mempengaruhi karakteristik produk atau persaingan di dalam pasar produk atau bahan baku. d. Pendekatan yang mempengaruhi hasil atas perbedaan pengendalian perusahaan. Pihak akademisi selama beberapa dekade terakhir ini memperdebatkan faktor-faktor yang mempengaruhi perusahaan dalam pengambilan keputusan mengenai struktur permodalan. Menurut Harris dan Raviv (1991, hal. 334) faktor-
Universitas Indonesia Pengaruh aktiva..., Susan Veronica Lim, FE UI, 2010.
12
faktor determinan struktur permodalan yang telah menajdi konsensus di antara para ahli meliputi besarnya fixed tangible assets, non-debt tax shields, peluang pertumbuhan (growth opportunities), ukuran perusahaan, tingkat profitabilitas, besarnya pengeluaran biaya iklan dan biaya pengembangan dan penelitian, dan keunikan dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Analisis empiris yang konvensional merupakan regresi tingkat hutang terhadap empat faktor yaitu tangible assets, profitabilitas, pertumbuhan, dan ukuran perusahaan (Frank dan Goyal, 2002). Keempat faktor ini merupakan faktor yang paling dominan, yang menjadi objek penelitian dari banyak penelitian empiris tentang struktur modal sejauh ini seperti penelitian yang dilakukan oleh Rajan dan Zingales (1995), Frank dan Goyal (2002), dan Medeiros dan Daher (2004). Rajan dan Zingales (1995) memusatkan perhatian pada keempat faktor di atas karena dua alasan. Alasan pertama adalah faktor-faktor ini telah memperlihatkan pengaruh yang konsisten terhadap hutang pada penelitian-penelitian sebelumnya. Alasan keduanya adalah data yang ada membatasi kemampuan mereka menentukan proxy untuk faktorfaktor yang lain. Keempat faktor ini juga yang diteliti dalam penelitian ini untuk melihat pengaruhnya terhadap hutang perusahaan. 2.2.1. Aktiva Tetap (Fixed Tangible Assets) Menurut Harris dan Raviv (1991) perusahaan dengan tingkat aktiva tetap yang rendah akan mempunyai masalah asymmetric information. Asymmetric information adalah informasi mengenai nilai intrinsik perusahaan yang diketahui oleh manager perusahaan tersebut yang tidak diketahui oleh investor di pasar modal (Myers, 1984). Dengan kesadaran kekurangan informasi tersebut, investor akan berpikir bahwa manajemen hanya akan menerbitkan saham jika harga sahamnya sedang overpriced. Kemudian, pasar akan memberi discount harga pada saham tersebut sehingga saham tersebut menjadi underpriced (Medeiros dan Daher, 2004). Sebaliknya jika perusahaan menerbitkan hutang, maka pasar atau investor akan berpikir bahwa harga saham atau ekuitasnya saat itu sedang underpriced sehingga pasar atau investor lebih menyukai membeli hutang perusahan. Keadaan inilah yang menyebabkan perusahaan yang mempunyai tingkat aktiva tetap yang kecil harus mengandalkan hutang yang lebih banyak,
Universitas Indonesia Pengaruh aktiva..., Susan Veronica Lim, FE UI, 2010.
13
karena pendanaan dari menerbitkan ekuitas hanya dimungkinkan dengan cara penerbitan ekuitas dengan nilai yang underpriced yang akan menggerus nilai kekayaan pemegang saham lama. Argumentasi lain diberikan oleh Titman dan Wessel (1988), mengenai information asymmetric dan agency cost. Agency cost yang terjadi mungkin lebih tinggi pada perusahaan dengan jumlah aktiva tetap yang dapat dijadikan jaminan pinjaman yang lebih sedikit karena adanya kesulitan untuk memonitor pemakaian modal. Untuk alasan inilah, perusahaan dengan aktiva yang lebih sedikit untuk bisa dijadikan jaminan akan memilih tingkat hutang yang lebih tinggi untuk membatasi dan memonitor para manajer. Di lain pihak, menurut Harris dan Raviv (1991), perusahaan dengan tingkat aktiva tetap yang lebih tinggi, cenderung tidak mempunyai masalah asymmetric information sehingga dapat menerbitkan saham pada harga wajarnya, sehingga mereka tidak memerlukan penerbitan hutang untuk membiayai investasi baru. Oleh karena itu, hubungan antara aktiva tetap dengan hutang seharusnya negatif. Tangible Assets yang tinggi tidak menimbulkan masalah asymmetric information karena nilai tangible assets relatif mempunyai nilai pasar atau nilai jual kembali yang jelas.
2.2.2. Tingkat Profitabilitas Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dan merupakan suatu indikator kinerja yang dilakukan oleh manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan yang ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan. Secara garis besar laba yang dihasilkan oleh perusahaan berasal dari penjualan dan investasi yang dilakukan oleh perusahaan. Investor sangat memperhatikan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan, mempertahankan dan meningkatkan laba (White, Sondhi, Fied, 2003). Menurut Pecking Order Theory, laba ditahan adalah pilihan pendanaan terbaik bagi perusahaan. Jenis sumber pendanaan ini tidak menimbulkan asymmetric information dan dapat digunakan segera untuk proyek baru. Myers (1984) mengambil hasil penelitian dari Donaldson dan Brealey dan Myers mengatakan bahwa perusahaan lebih memilih sumber pendanaan yang berasal dari
Universitas Indonesia Pengaruh aktiva..., Susan Veronica Lim, FE UI, 2010.
14
pertama-tama laba ditahan, kedua dari hutang dan ketiga dari penerbitan saham baru. Hal ini terjadi karena terkait dengan biaya penerbitan saham baru yang timbul karena asymmetric information atau biaya transaksi. Di lain pihak, tingkat profitabilitas masa lalu dari perusahaan, dan jumlah laba yang tersedia untuk ditahan, seharusnya menjadi faktor penentu penting dari struktur modalnya. (Titman dan Wessel, 1988). Dari argumentasi di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara tingkat profitabilitas dan hutang adalah negatif. Terdapat bukti empiris yang kuat atas pengaruh negatif antara tingkat profitabilitas dengan tingkat hutang dalam penelitian Donaldson (1961) mengenai bagaimana perusahaan mengambil keputusan keuangan mereka. Hasil penelitian Allen (1991), Rajan dan Zingales (1995), Wiwattanakantang (1999), Chen (2003) dan Gaud et al. (2005) mendukung teori bahwa perusahaan yang mempunyai laba tinggi menggunakan pendanaan internal, sedangkan perusahaan yang berlaba rendah menggunakan lebih banyak hutang pada saat dana internal mereka tidak mencukupi.
2.2.3. Tingkat Pertumbuhan Perusahaan (Growth) Nilai suatu perusahaan ditentukan sebagian besar oleh proyeksi penjualan, laba dan tingkat pertumbuhannya, yang pada gilirannya merupakan suatu fungsi dari proyeksi tingkat pertumbuhan industri, posisi bersaing, dan strategi perusahaan. Analisa tingkat pertumbuhan menggunakan analisa rasio keuangan, analisa kualitas earnings, dan teknik-teknik stastistik tertentu untuk menganalisa laporan keuangan perusahaan sehingga dapat memproyeksikan kecenderungan pertumbuhan dan mengidentifikasi perubahan-perubahan di dalam operasi, keuangan dan karakteristik strategis perusahaan (Hawkins, 1995). Karena pentingnya tingkat pertumbuhan perusahaan terhadap keberhasilan perusahaan, tingkat pertumbuhan dari penjualan, laba dan dividen menjadi pusat perhatian yang utama dalam banyak analisa laporan keuangan. Investor tertarik pada pertumbuhan karena adanya hubungan yang dekat antara nilai saham dengan proyeksi tingkat pertumbuhan dan volatilitas dari laba dan dividen. Kreditur mempelajari tingkat pertumbuhan masa lalu untuk memprediksi tingkat kebutuhan
Universitas Indonesia Pengaruh aktiva..., Susan Veronica Lim, FE UI, 2010.
15
dana yang diperlukan untuk membiayai asset-asset produktif seperti piutang dan persediaan. Fama dan French (2002) mengutarakan bahwa versi sederhana dari Pecking order Theory menggambarkan bahwa perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi memerlukan dana besar untuk investasi yang tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan investasi tersebut, perusahaan tidak dapat hanya mengandalkan dana internal yang biasanya masih rendah karena perusahaan masih dalam fase pertumbuhan. Perusahaan biasanya menerbitkan hutang atau meminjam untuk menutupi keterbatasan dana internal tersebut. Menurut versi sederhana ini ada hubungan positif antara tingkat pertumbuhan perusahaan dengan tingkat hutang. Penulis dalam melakukan penelitian ini, akan menggunakan versi sederhana dari POT ini yaitu adanya hubungan positif antara tingkat pertumbuhan perusahaan dengan tingkat hutang.
2.2.4. Ukuran Perusahaan (Size) Mpaata dan Sartono (1997) mengatakan bahwa besaran perusahaan atau skala perusahaan adalah ukuran perusahaan yang ditentukan dari jumlah total asset yang dimiliki perusahaan. Besar (ukuran) perusahaan dapat dinyatakan dalam total aktiva, penjualan dan kapitalisasi pasar. Semakin besar total aktiva, penjualan dan kapitalisasi pasar maka semakin besar pula ukuran perusahaan tersebut. Karena dapat mewakili seberapa besar perusahaan, maka ketiga variabel itu sering dipakai untuk mewakili ukuran perusahaan. Semakin besar akitva maka semakin banyak modal yang ditanamkan, semakin banyak penjualan maka semakin banyak perputaran uang, semakin besar kapitalisasi pasar, maka semakin besar pula ia dikenal masyarakat. Ukuran perusahaan merupakan satu dari beberapa variabel yang digunakan untuk menjelaskan tingkat hutang suatu perusahaan. Banyak penelitian yang dilakukan untuk menguji adanya hubungan antara hutang dan ukuran perusahaan. Warner (1977) dan Ang, Chua, dan McConnel (1982) menyediakan bukti yang menyatakan bahwa biaya kebangkrutan menggerus sebagian besar nilai perusahaan. Perusahaan besar biasanya lebih mempunyai transparansi dalam pengelolaan
perusahaan.
Perusahan
besar
tersebut
apalagi
yang
lebih
Universitas Indonesia Pengaruh aktiva..., Susan Veronica Lim, FE UI, 2010.
16
terdiversifikasi sehingga risiko bisnis bisa tersebar, relatif lebih jauh dari kemungkinan mengalami kebangkrutan. Hal ini yang memberi nilai tambah pada perusahaan besar tersebut sehingga perusahaan besar mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk berhutang atau meminjam sebagai sumber pendanaannya (Titman dan Wessel, 1988). Perusahaan besar mempunyai arus kas yang lebih stabil atau kurang bergejolak dan dapat mengeksploitasi economies of scale dalam operasi perusahaannya (Graham et al., 1998; Gaud et al. 2005). Perusahaan besar mempunyai kelebihan dibandingkan perusahaan yang lebih kecil dalam memasuki pasar uang dan dapat meminjam dalam kondisi yang lebih baik karena reputasinya yang baik (Ferri dan Jones, 1979; Wiwattanakantang, 1999). Biaya penerbitan hutang dan saham juga berhubungan dengan ukuran perusahaan. Perusahaan kecil membayar lebih mahal daripada perusahaan besar dalam mengeluarkan ekuitas baru dan dalam menerbitkan hutang jangka panjangnya. Ini berarti juga bahwa perusahaan kecil tidak menyukai hutang jangka panjang karena tingginya biaya yang berkaitan dengan penerbitan hutang. Perusahaan yang lebih kecil juga menghadapi biaya untuk memperoleh dana eksternal yang lebih tinggi karena masalah asymmetric information. Perusahaan kecil dikarenakan biaya perolehan hutang yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan besar akan lebih enggan untuk berhutang. Berdasarkan keadaan ini, hubungan antara ukuran perusahaan dengan hutang adalah positif.
Universitas Indonesia Pengaruh aktiva..., Susan Veronica Lim, FE UI, 2010.