BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Indeks Massa Tubuh Pada Anak dan Remaja Indeks massa tubuh (IMT) diartikan sebagai berat dalam kilogram yang
dibagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (Bandini, Flynn dan Scampini, 2011). Indeks massa tubuh digunakan sebagai alat skrining untuk mendeteksi masalah berat badan pada anak (CDC, 2011). Setelah dilakukan pengukuran pada tinggi dan berat badan anak, maka kita dapat melakukan plot hasil IMT pada kurva CDC BMI-for-age growth chart yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin (Gambar 2.1; Gambar 2.2) (CDC, 2000). Perhitungan IMT pada orang dewasa berbeda dikarenakan kriteria IMT pada anak maupun remaja spesifik terhadap umur dan jenis kelamin (CDC, 2011). Jenis kelamin dan umur pada anak dan remaja dipertimbangkan karena jumlah lemak tubuh yang berubah sesuai dengan umur dan jumlah lemak tubuh yang berbeda antara perempuan dan laki-laki (CDC,
2011).
CDC
dan
American
Academy
of
Pediatrics
(AAP)
merekomendasikan penggunaan IMT sebagai skrining untuk overweight dan obesitas pada anak dimulai sejak usia 2 tahun (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Kategori Status Berat dengan Jangkauan Persentil (CDC,2011). Katagori Status Berat Jangkauan Persentil < Persentil ke-5 Underweight Persentil ke-5 - < Persentil ke-85 Healthy weight Persentil ke-85 - < Persentil ke-95 Overweight Obesitas ≥ Persentil ke-95
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Kurva BMI-for-age growth chart untuk laki-laki usia 2-20 tahun (CDC,2000).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Kurva BMI-for-age growth chart untuk perempuan usia 2-20 tahun (CDC,2000).
2.2
Fast food Fast food merupakan makanan yang pertama sekali diciptakan di Amerika
(Aldana, 2007). Fast food adalah makanan restoran yang dengan cepat tersedia setelah pelanggan memesannya. Secara tradision hamburger, french fries, dan milkshake termasuk dalam golongan fast food(Sizer dan Whitney,2006). Menurut
Universitas Sumatera Utara
Sulistijani (2002), fast food adalah makanan yang tersedia dalam waktu cepat dan siap disantap seperti fried chicken, hamburger atau pizza. Secara umum fast food memiliki kandungan lemak, kolesterol, garam dan energi yang tinggi (Khomsan, 2003). Menurut Muliany (2005) dalam Tarigan (2012), kandungan zat gizi pada fast food seperti fried chicken seberat 100g memiliki kalori sebanyak 298KKal, lemak sebanyak 16,8g, karbohidrat sebanyak 0,1g dan protein sebanyak 34,2g. Pizza seberat 100 g memiliki kalori sebanyak 483KKal, lemak 48g, karbohidrat 3g, kolesterol 52g, gula 3g, dan protein 3g. Pada sebuah donat seberat 70g memiliki 210Kkal dan memiliki kandungan lemak sebanyak 8g, gula sebanyak 11g, karbohidrat sebanyak 32g, natrium sebanyak 260mg, protein sebanyak 11g, dan serat kasar sebanyak 3g. Sementara komposisi kandungan gizi pada hamburger seberat 100g memilki kalori sebanyak 267Kkal, lemak 10g, kolesterol 29mg, protein 11g,karbohidrat 33g,gula 7g, serta serat kasar 3g. Menurut Aldana (2007), kandungan sebuah original recipe chicken breats pada outlet KFC di Amerika memiliki kalori sebanyak 320Kal, lemak total sebanyak 15g, lemak jenuh sebanyak 3,5g, 110mg kolesterol, 710mg natrium dan 4g karbohidrat. Sebuah cheeseburger di outlet McDonald’s di Amerika memiliki kalori sebanyak 300Kal, 12 g lemak total, 6g lemak jenuh, lemak trans sebanyak 0,5g, 40mg kolesterol, 750mg natrium, dan 33g karbohidrat. French fries dan daging yang digoreng pada fast food memiliki kadar lemak jenuh yang tinggi yang berasal dari proses industri. Kadar lemak jenuh yang tinggi pada fast food berasal dari margarin dan minyak goreng yang diproduksi dari proses industri terhadap pengerasan minyak sayur atau minyak laut agar produk fast food menjadi lebih stabil dan kuat untuk ditangani dan disimpan. Pengerasan pada makanan fast food menghasilkan trans double bonds pada asam lemak yang akan meninggikan titik leleh dari lemak sehingga makanan mejadi lebih awet.Lemak trans sebenarnya terdapat pada daging hewan pemakan tumbuhan dan produk hasil peternakan tetapi memiliki kandungan yang berbeda dengan lemak trans yang berasal dari hasil produksi industri yaitu IP-TFA. IPTFA terkandung pada fast food, biskuit, dan makanan ringan sekitar 50% (Stender
Universitas Sumatera Utara
, Dyerberg dan Astrup, 2007). Menurut Koh-Banerjee et.al (2003) dalam Stender, Dyerberg dan Astrup (2007), sebuah studi observasional menemukan bahwa konsumsi makanan yang mengandung IP-TFA memiliki hubungan yang lebih kuat terhadap peningkatan berat badan dan lemak abdomen dibandingkan dengan konsumsi jenis lemak lainnya. Kebiasaan konsumsi fast food mengakibatkan masalah kesehatan karena sebagian besar fast food kaya akan lemak jenuh, lemak trans, karbohidrat, dan natrium yang merupakan zat yang berhubungan dengan hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan diabetes tipe 2 (WHO,2003).
2.3
Aktivitas Fisik Aktivitas fisik merupakan suatu kegiatan pergerakan tubuh yang
dihasilkan oleh kontraksi otot yang meningkatkan pengeluaran energi. Olah raga merupakan salah satu bentuk aktivitas fisik yang terstruktur, terencana, yang dilakukan secara berulang-ulang, yang akan dilakukan untuk mendapatkan kebugaran tubuh. Seluruh tubuh akan terasa sehat apabila seseorang memiliki aktivitas fisik yang aktif (Sizer dan Whitney,2006). Menurut Sizer dan Whitney (2006), seseorang akan memperoleh keuntungan apabila memilki aktivitas fisik yang aktif, diantaranya tidur menjadi lebih pulas, status nutrisi berserta komposisi tubuh dan densitas tulang menjadi lebih baik, ketahanan terhadap flu dan berbagai macam infeksi, resiko terkena kanker menurun, fungsi paru semakin baik, resiko terkena kanker maupun penyakit kardiovaskular dan diabetes tipe 2 menjadi menurun. Aktivitas fisik juga menurunkan resiko penyakit empedu, menurunkan insidens dan keparahan dari kecemasan dan depresi, meningkatkan kepercayaan diri sehingga menjadikan panjang umur dan memiliki kualitas hidup yang baik dimasa yang akan datang. Menurut Khumaidi (1994) aktivitas fisik dapat dibagi menjadi tiga bagian antara lain: 1. Ringan: 75% waktu dipergunakan untuk duduk atau berdiri, 25% untuk berdiri sambil melakukan pergerakan.
Universitas Sumatera Utara
2. Sedang: 40% waktu dipergunakan untuk duduk atau berdiri, 60% untuk melakukan pekerjaan khusus. 3. Berat: 25% waktu dipergunakan untuk duduk atau berdiri, 75% untuk melakukan pekerjaan khusus.
2.3.1 Anjuran Aktivitas Fisik. Agar tubuh kita sehat American College of Sport Medicine (ACSM), dan Dietary Guidelines for Americans 2005, dan DRI committee menganjurkan bahwa setiap orang memerlukan akumulasi minimum 30 menit dalam melakukan aktivitas fisik yang singkat setiap hari dalam setiap minggu. (Sizer dan Whitney,2006). Menurut Khomsan (2006), melakukan aktivitas fisik dalam bentuk kegiatan aerobic dengan waktu 30 menit dengan frekuensi 3 kali seminggu akan bermanfaat bagi penurunan berat badan dan perbaikan profil lipid. The 2008 Physical Activity Guidelines for American memberikan pedoman untuk anak usia 6 sampai 17 tahun agar melakukan aktivitas fisik pada kegiatan sehari-hari yang dilakukan pada keadaan intensitas cahaya yang baik seperti berjalan santai dan mengangkat benda yang ringan. Pada The 2008 Physical Activity Guidelines for American,anak-anak dan remaja juga dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik selama 1 jam atau lebih setiap harinya, dengan melakukan aktivitas seperti: •
Aerobic: selama 60 menit atau lebih setiap harinya anak dan remaja harus melakukan aktivitas aerobic intensitas sedang ataupun kuat, dan juga melakukan aktivitas fisik intensitas kuat setidaknya tiga kali seminggu.
•
Penguatan otot: selama 60 menit atau lebih dalam melakukan aktivitas fisik harian, anak-anak dan remaja harus melakukan aktivitas fisik penguatan otot setidaknya tiga kali seminggu
•
Penguatan tulang: selama 60 menit atau lebih dari aktivitas fisik harian, anak-anak dan remaja harus melakukan aktivitas fisik penguatan tulang setidaknya tiga kali seminggu (CDC, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Aktivitas tersebut merupakan hal yang penting bagi orang muda agar lebih banyak berperan dalam melakukan aktivitas fisik yang sesuai dengan umur mereka, menyenangkan dan memiliki banyak variasi (CDC, 2012).
2.4
Remaja. Menurut Rudolf dan Levene (2006), remaja merupakan periode diantara
masa anak-anak dan masa dewasa dimana proses pertumbuhan berlangsung. Periode pertumbuhan fisik, emosi, kognitif dan sosial yang cepat dan berkembang terjadi pada masa remaja (Kaplan dan Love-Osborne, 2009). Pertumbuhan fisik pada remaja terjadi dengan cepat disertai dengan timbulnya tanda seks sekunder dan fertilitas (Rudolf dan Levene, 2006). Pada umumnya usia remaja dimulai pada usia 11-12 tahun dan berakhir pada usia diantara 18-21. Masa perkembangan dari anak menjadi dewasa meliputi: (1) pubertas dan pertumbuhan somatik; (2) berkembang secara sosial, emosional, dan kongnitif, dan berpindah dari pemikiran konkrit menjadi pemikiran abstrak; (3) menetapkan kemandirian identitas dan terpisahkan dari keluarga; dan (4) mempersiapkan diri untuk karir dan pekerjaan (Kaplan dan Love-Osborne, 2009). Menurut Ingersoll (1992) dalam Stang (2008), perkembangan kognitif dan emotional pada remaja dapat lebih dimengerti dengan membaginya pada tiga fase: awal, pertengahan, dan akhir remaja. Fase awal remaja, terjadi diantara usia 13 sampai 15 tahun, dengan karakteristik sebagai berikut: •
Ketertarikan terhadap ukuran tubuh, bentuk tubuh dan gambaran tubuh (mental konsep-diri dan persepsi terhadap ukuran tubuh) sebagai hasil dari pertumbuhan cepat dan perkembangan yang telah terjadi.
•
Kelanjutan dari kepercayaan dan penghargaan terhadap orang dewasa atas otoritas, tetapi hal ini akan menurun pada fase perkembangan psikososial.
•
Pengaruh yang bersar terhadap orang-orang sekitar, terutama terhadap gambaran tubuh, dimana tekanan dari orang-orang sekitar akan dirasakan meningkat pada usia 14 tahun.
Universitas Sumatera Utara
•
Keinginan terhadap otonomi tetapi masih memperoleh persetujuan orang tua terhadap pilihan utama dan masih membutuhkan perlindungan orang tua bila mengalami kondisi stress.
•
Memperluas kemampuan kognitif, termasuk alasan abstrak.
•
Pengeluaran uang yang lebih tinggi karena peningkatan kemandirian membeli, termasuk untuk membeli snack dan makanan. Fase pertengahan remaja, berlangsung pada usia diantara 15 dan 17
tahun,dengan karakterik sebagai berikut: •
Adanya pengaruh kuat oleh sekelompok teman, walaupun remaja dipengaruhi oleh hanya beberapa individu yang dekat dengan mereka.
•
Kepercayaan terhadap otoritas dewasa dan kebijaksanaan menurun.
•
Bentuk tubuh tidak terlalu menjadi perbincangan lagi dikarenakan remaja menjadi merasa lebih nyaman dengan bentuk tubuh mereka yang terlihat dewasa.
•
Kemandirian terhadap sosial, emosional, dan finansial meningkat sehingga kemandirian dalam pengambilan keputusan untuk memilih makanan meningkat.
•
Perkembangan kognitif yang signifikan dari alasan abstrak hampir sempurna dan egosentri menurun. Fase akhir remaja, terjadi diantara usia 18 sampai dengan 21 tahun dengan
karakteristik sebagai berikut: •
Alasan abstrak sepenuhnya berkembang; walaupun remaja masih saja kembali pada pola pemikiran kompleks pada saat mereka mengalami keadaan stress
•
Orientasi terhadap masa depan telah berkembang, dimana remaja menjadi mengerti bagaimana hubungan antara perilaku selama ini dengan resiko penyakit kronis.
•
Secara sosial, emosional, finansial, dan kemandirian fisik dari keluarga telah tercipta pada saat remaja mulai meninggalkan rumah untuk kuliah atau bekerja.
Universitas Sumatera Utara
•
Perkembangan terhadap kepercayaan, nilai-nilai moralitas, etika dan keputusan yang berhubungan dengan kesehatan (Stang, 2008).
2.5
Hubungan Konsumsi Fast Food dan Aktivitas Fisik dengan Indeks Massa Tubuh Perkembangan psikologi pada remaja memiliki hubungan langsung
terhadap pemilihan makanan yang akan mereka makan (Stang, 2008). Pada masa remaja kebiasaan makan menjadi lebih buruk, dan remaja sering kali tidak mengkonsumsi nutrisi yang mereka butuhkan (Sizer dan Whitney, 2006). Menurut Sizer dan Whitney (2006), remaja lebih memilih makanan yang tinggi kadar lemak jenuh dan natriumnya, dan rendah akan fiber. Menurut WHO (2003), fast food memiliki kandungan yang kaya akan lemak jenuh,lemak trans, karbohidrat dan natrium. Fast food secara umum mengandung lemak,kolesterol, garam dan energi yang sangat tinggi (Khomsan, 2003). Kalori tinggi pada fast food yang relatif tidak mahal, tersedia dimana saja, sering diiklankan dan sangat lezat berhubungan dengan obesitas (Sizer dan Whiteney, 2006). Obesitas disebutkan sebagai peningkatan berat badan melampaui keterbatasan kebutuhan otot dan fisik, sebagai hasil dari akumulasi lemak yang berlebihan (Kramer, 2011). Menurut CDC (2011), obesitas merupakan suatu keadaan dimana BMI anak berada diatas persetil ke-95 pada grafik tumbuh kembang anak sesuai dengan jenis kelaminnya. Indeks massa tubuh (IMT) diartikan sebagai berat dalam kilogram yang dibagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (Bandini, Flynn dan Scampini, 2011). Indeks massa tubuh digunakan sebagai alat skrining untuk mendeteksi masalah berat badan pada anak (CDC, 2011). Menurut Diliberti et.al (2004) dalam Stender, Dyerberg dan Astrup (2007), ada dua faktor penting mengapa fast food dapat menyebabkan obesitas yaitu porsi yang besar dan densitas energi yang tinggi. Porsi makanan yang besar mengakibatkan individu akan mengkonsumsi jumlah makanan yang lebih banyak. (Young dan Nestle, 2003 dalam Stender, Dyerberg dan Astrup, 2007). Densitas energi merupakan perbandingan antara kadar makanan dan berat makanan. Fast food memiliki densitas energi sekitar 1100kJ/100gr, dimana densitas energi pada
Universitas Sumatera Utara
fast food lebih tinggi 65% dari rata-rata pola makan British dan memiliki energi lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan anjuran pola makan sehat yaitu sekitar 525kJ/100gr. Tubuh manusia hanya memiliki kemampuan kecil untuk mengenali makanan dengan densitas energi yang tinggi dan melakukan downregulation sejumlah besar makanan untuk memenuhi kebutuhan energi yang sesuai (Prentice, 2003 dalam Strender et.al, 2007). IP-TFA yang terkandung pada fastfood bertindak sebagai ligand untuk sistem PPAR-γ dan menghasilkan efek biologis yang menghasilkan obesitas abdomen (Mozaffarian et.al, 2006 dalam Stender, Dyerberg dan Astrup, 2007). Obesitas terjadi sebagai hasil dari ketidakseimbangan intake energi dan pengeluaran energi dalam jangka panjang. Penurunan aktivitas fisik akan menurunkan pengeluaran energi. Bila energi yang digunakan dalam suatu aktivitas fisik menurun tanpa adanya penurunan intake energi maka akan terjadi suatu ketidakseimbangan energi positif. Ketidakseimbangan energi positif akan meningkatkan penyimpanan lemak yang kemudian akan meningkatkan berat badan dan jika terus berlangsung dalam jangka panjang akan menyebabkan obesitas (Bandini, Flynn dan Scampini, 2011).
Universitas Sumatera Utara