BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerbau Lumpur Kerbau domestik di Asia memiliki nama ilmiah Bubalus bubalis. Menurut Roth (2004) susunan taksonomi kerbau domestik adalah kerajaan animalia, filum chordata, kelas mamalia, subkelas theria, ordo artiodactyla, subordo ruminantia, selanjutnya tergolong dalam famili bovidae, subfamili bovinae, genus Bubalus, dan spesies Bubalus bubalis. Gambar kerbau lumpur dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Kerbau lumpur (koleksi pribadi).
Kerbau yang telah didomestikasi terdiri dari kerbau lumpur (swamp buffaloes) dan kerbau sungai (river buffaloes). Perbedaan antara kerbau lumpur dan kerbau sungai terletak dari jumlah kromosomnya. Menurut Guimaraes et al. (1995) kerbau lumpur dengan jumlah kromosom 48 merupakan hasil perpaduan/fusi antara telomer dan sentromer pada pasangan kromosom nomor 4 dan 9 pada kerbau sungai dengan jumlah kromosom 50. Kerbau merupakan hewan yang memiliki kulit berwarna gelap dan kelenjar keringat yang sedikit. Kerbau juga mengalami kesulitan dalam mengeluarkan panas dari dalam tubuhnya. Oleh karena itu, kerbau sangat rentan mengalami stres akibat suhu lingkungan yang tinggi. Kerbau secara fisiologis akan melakukan kegiatan dalam rangka mempertahankan suhu tubuhnya agar tetap stabil yaitu dengan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berkubang di air yang bersih ataupun di rawa (Joseph 1996). Menurut Suhubdy (2010)
5
kerbau merupakan hewan yang memiliki kemampuan makan sangat baik, tidak selektif, dan mampu mencerna pakan berserat dan berkualitas jelek yang tidak dapat dimanfaatkan oleh manusia secara langsung menjadi daging dan sumber energi, serta mampu meningkatkan laju pertumbuhan badannya. Kerbau juga merupakan hewan yang memiliki kemampuan kerja yang sangat baik pada lahan kering maupun lahan basah terutama pada daerah berlumpur. Kerbau lumpur dan kerbau sungai merupakan satu spesies Bubalus bubalis, namun keduanya memiliki habitat yang berbeda.
Berdasarkan
habitatnya, kerbau sungai lebih senang untuk berkubang di air yang bersih dan mengalir. Kerbau lumpur lebih suka berkubang dalam lumpur, rawa-rawa, dan air yang menggenang (Bhattacharya 1993). Berdasarkan karakteristik unik yang dimiliki tersebut, kerbau merupakan hewan yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Kerbau dapat dengan mudah dipelihara dan dikembangkan di daerah yang memiliki lahan basah dan lahan kering. Daerah NTB dan NTT sebagai lahan kering marginal mampu menjadi tempat tumbuh kembang yang baik bagi kerbau (Suhubdy 2011). Selain itu, di lahan rawa pasang surut seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua juga sangat berpotensi menjadi tempat pengembangan ternak kerbau di Indonesia. Kerbau di Indonesia sangat bervariasi, baik dalam ukuran bobot badan, tinggi badan, konformasi tubuh, bentuk tanduk, maupun warna kulit. Ukuran tubuh pada kerbau betina berusia 1 sampai 3 tahun di Kabupaten Bogor mempunyai ukuran tinggi pundak kerbau 117.20±6.30 cm, panjang badan 115.20±6.18 cm, tinggi pinggul 116.70±4.06 cm, lebar pinggul 41.67±4.13 cm, lingkar dada 168.83±12.24 cm, dan lebar dada 38.00±4.34 cm (Robbani 2009). Bobot badan kerbau yang didomestikasi sekitar 550 kg untuk kerbau jantan dan 400 kg untuk kerbau betina yang telah dewasa (Johari et al. 2009), dalam penelitian lain disebutkan bahwa bobot badan kerbau di Indonesia rata-rata berkisar antara 300 kg sampai 400 kg (Sosroamidjojo 1991). Ternak
kerbau
berpotensi
sebagai
penghasil
daging
dan
susu.
Pengembangan ternak kerbau dengan baik dapat mempercepat dan mendukung terlaksananya swasembada daging di Indonesia. Optimalisasi peran serta ternak nonsapi dalam hal ini kerbau, pada masa mendatang tidak saja mempercepat
6
swasembada daging tetapi mempercepat pertumbuhan
ekonomi bangsa dari
sektor peternakan.
2.2. Darah Darah merupakan cairan tubuh yang disirkulasikan melalui pembuluh darah ke setiap bagian tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan sistem organ. Darah terdiri atas 55% plasma dan 45% fase padat (Dallas 2006). Sebagian besar plasma terdiri atas air yang berfungsi sebagai pelarut, pembawa bendabenda darah, menjaga tekanan darah, dan mengatur suhu tubuh. Selain air, plasma juga terdiri atas protein mayor seperti albumin, globulin, dan fibrinogen (Ganong 2003; Dallas 2006). Benda-benda darah terdiri atas sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping-keping darah (trombosit). Gambar bentuk sel darah merah disajikan pada Gambar 2. Jumlah darah yang berada di dalam tubuh dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksogen meliputi hadirnya agen penyebab infeksi dan perubahan lingkungan yang terjadi, faktor endogen yang meliputi pertambahan umur, status kesehatan, gizi, stres, suhu tubuh, dan siklus estrus. Dalam sirkulasi, darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan nutrisi, mentransportasikan produk-produk yang tidak berguna, menghantarkan hormon, serta sebagai pengangkut O2 dan CO2 (Guyton and Hall 2006). Sel darah putih berfungsi sebagai salah satu sistem pertahanan tubuh, sedangkan trombosit berperan dalam proses pembekuan darah saat terjadi luka sehingga tidak terjadi pengeluaran darah secara terus-menerus dari pembuluh darahnya. Data jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit juga bermanfaat dalam menentukan indeks eritrosit. Indeks eritrosit terdiri atas Mean corpuscular values (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC). Nilai indeks eritrosit tersebut sangat membantu dalam menentukan jenis anemia yang diderita oleh hewan dan membantu dalam menentukan penyebab kejadian anemia yang dialami. Setiap hewan memiliki perbedaan kisaran nilai dari jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC. Kisaran parameter
7
tersebut untuk kerbau sungai yang berumur antara dua sampai empat tahun digambarkan dalam Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1
No 1
Kisaran nilai normal beberapa variabel darah pada kerbau sungai berumur dua sampai empat tahun Parameter Jumlah sel darah merah
Nilai Normal 7.8±0.38 x 106 /ml
2
Hemoglobin
12.10±1.36 gr%
3
Nilai Hematokrit
39.80±3.79 %
4
MCV
51.02±3.82 fl
5
MCH
30.4±3.06 pg
6
MCHC
15.51±2.80 gr/dl
Sumber: Wills (2010).
2.3. Sel Darah Merah Sel darah merah pada mamalia tidak memiliki inti dan organel sehingga sel darah merah tidak mampu untuk mensintesis protein. Sel darah merah berbentuk lempengan bikonkaf dan tersusun atas 61% air, 32% protein yang sebagian besar terdiri atas hemoglobin, 7% karbohidrat, dan 0,4% lipid (Olver et al. 2010). Sel darah merah berfungsi dalam mengangkut hemoglobin sehingga kebutuhan jaringan akan oksigen dapat terpenuhi, sel darah merah juga mengandung banyak karbonik anhidrase yang bertugas dalam mengkatalisis reaksi antara karbon dioksida dan air, dan hemoglobin juga sebagai dapar asam basa (Guyton and Hall 2006). Kecepatan pembentukan sel dalam darah diatur oleh konsentrasi sel darah merah dan dipengaruhi oleh kemampun fungsional sel untuk mengangkut oksigen ke jaringan sesuai dengan kebutuhan jaringan tersebut. Pembentukan sel darah merah sangat dipengaruhi oleh eritropoietin yang diproduksi dalam ginjal. Eritropoeitin akan merangsang produksi eritrosit sebagai respon terhadap hipoksia pada jaringan tubuh. Eritrosit dibentuk mula-mula berasal dari proeritroblas kemudian terbentuk basofil eritroblas, dilanjutkan polikromatofil eritroblas, ortokromatik eritroblas, dan kemudian berkembang menjadi retikulosit sampai terbentuk eritrosit (Guyton and Hall 2006). Eritrosit dan retikulosit ini yang kemudian bersirkulasi di dalam pembuluh darah. Pada keadaan normal, jumlah
8
retikulosit yang bersirkulasi dalam pembuluh darah jumlahnya sangat sedikit. Secara normal, jumlah retikulosit yang biasa ditemukan bersirkulasi di dalam pembuluh darah berjumlah 0,5 sampai 1,5% dari jumlah sel darah merah (Sloane 2004). Tingginya retikulosit yang dilepaskan oleh sumsum tulang yang bersirkulasi di dalam pembuluh darah mengindikasikan suatu keadaan anemia, dimana jumlah sel darah merah dewasa yang bersirkulasi di dalam pembuluh darah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Sel darah merah yang bersirkulasi di dalam tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya perubahan volume plasma, laju destruksi eritrosit, kontraksi limpa, sekresi eritropoietin, laju produksi sumsum tulang, oksigen jaringan, serta hormon dari kelenjar adrenal, tiroid, ovarium, testis, dan hipofise anterior (Guyton and Hall 2006). Kondisi terjadinya penurunan jumlah sel darah merah dari jumlah normalnya yang bersirkulasi di dalam darah disebut anemia. Anemia merupakan gejala klinis yang muncul sebagai respon sekunder terhadap adanya penyakit. Rendahnya jumlah sel darah merah yang bersirkulasi bisa disebabkan oleh keluarnya darah dari pembuluh darah yang ditandai dengan berkurangnya volume darah, adanya infeksi parasit, dan penurunan produksi sel darah merah.
Gambar 2 Bentuk sel darah merah manusia (Sunariah 2008).
2.4. Hemoglobin Hemoglobin merupakan komponen darah yang disintesis di dalam sel darah merah pada saat perkembangan sel darah merah. Hemoglobin merupakan pigmen eritrosit yang terdiri dari zat besi, porphyrin, dan protein kompleks yang
9
menempati peran penting dalam fisiologi tubuh terutama dalam mengikat, transportasi, dan pengiriman oksigen menuju jaringan yang membutuhkan. Selain itu, hemoglobin juga berfungsi dalam pengangkutan karbondioksida dari jaringan ke paru-paru. Struktur molekul dari hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme. Heme merupakan suatu molekul organik yang mengikat satu atom besi (Olver et al. 2010). Adanya kandungan besi (Fe) dalam hemoglobin di sel darah merah menyebabkan darah berwarna merah. Struktur hemoglobin tersusun atas protein tetrametrik dengan dua subunit alfa dan dua subunit beta yang mengikat dua oksigen dengan cara yang kooperatif. Subunit-subunitnya mirip secara struktural dan berukuran hampir sama. Tiap subunit memiliki berat molekul kurang lebih 16,000 Dalton, sehingga berat molekul total tetrametriknya menjadi sekitar 64,000 Dalton. Tiap subunit hemoglobin mengandung satu heme, sehingga secara keseluruhan hemoglobin memiliki kapasitas mengikat empat molekul oksigen (Dayer et al. 2011). Proses biosintesis dari hemoglobin terdiri dari proses biosentesis heme dan globin. Proses biosintesis heme berlangsung secara enzimatik didalam mitokondria dan sitosol, sedangkan biosentesis dari globin terjadi di ribosom dan poliribosom sitoplasma (Olver et al. 2010). Pengaturan transportasi oksigen dalam tubuh utamanya dilakukan oleh sel darah merah. Hemoglobin merupakan bagian utama dari sel darah merah yang berfungsi dalam mengikat oksigen. Bila berikatan dengan oksigen maka hemoglobin
akan
membentuk
oksihemoglobin
(HbO2).
Selanjutnya
Oksihemoglobin ini akan melepaskan oksigen ke jaringan dan membentuk kembali hemoglobin. Salah satu penelitian menyebutkan bahwa afinitas hemoglobin dalam pengikatan oksigen di hewan khususnya pada anjing greyhound lebih baik daripada afinitas hemoglobin dalam pengikatan oksigen pada manusia (Bhatt et al. 2011). Afinitas pengikatan hemoglobin terhadap oksigen dipengaruhi oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3-difosgliserat (2,3 DPG) dalam sel darah merah (Ganong 2003). Hemoglobin yang berikatan dengan karbondioksida akan membentuk karboxyhemoglobin dan menyebabkan darah berwarna merah tua, sedangkan hemoglobin yang berikatan dengan karbonmonoksida akan membentuk karbon
10
monoksihemoglobin. Kandungan karbonmonoksida di udara dapat mengakibatkan berkurangnya kapasitas darah dalam mengangkut oksigen. Hal ini disebabkan oleh afinitas hemoglobin terhadap karbonmonoksida lebih tinggi dibandingkan dengan oksigen (Ganong 2003). Kadar hemoglobin sangat mempengaruhi kondisi fisiologis suatu individu hewan, hal ini terkait dengan fungsinya sebagai pengikat oksigen. Kadar hemoglobin dalam darah menjadi salah satu parameter untuk mengukur keadaan anemia dari suatu individu hewan. Kadar hemoglobin untuk setiap hewan berbeda-beda antara satu sama lain. Perbedaan kadar hemoglobin ini dipengaruhi oleh jumlah zat besi di dalam tubuh. Zat besi dalam bentuk Fe2+ yang terdapat pada pusat heme akan mengikat atom oksigen. Hemoglobin yang terikat pada oksigen disebut hemoglobin teroksigenasi atau oksihemoglobin (HbO2), sedangkan hemoglobin yang telah melepaskan oksigen disebut deoksihemoglobin (Hb). Muatan atom Fe2+ yang terdapat pada pusat heme dapat berubah menjadi Fe3+, dalam bentuk ini hemoglobin tidak dapat mengikat oksigen atau kehilangan fungsinya yang amat penting. Kadar hemoglobin pada beberapa jenis hewan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kadar Hemoglobin pada beberapa hewan Gambaran Hemoglobin Hewan Jumlah Hemoglobin Hewan (gr/dl) Anjing Kucing Kuda
12.0 – 18.0 8.17 – 15.26 11.0 – 19.0
Sapi 8.4 – 12.0 Kambing 8.0 – 12.0 Kerbau 12.10±1.36 Sumber: Raskin and Wardrop (2010).
Jumlah kadar hemoglobin dalam darah dapat diketahui dengan melakukan pengukuran kadar hemoglobin. Terdapat berbagai cara yang dapat digunakan untuk menetapkan kadar hemoglobin. Metode yang sering digunakan untuk mengukur kadar hemoglobin di laboratorium adalah metode Sahli dan fotoelektrik dengan metode sianmethemoglobin atau hemiglobinsianida. Walaupun metode
11
pengukuran menggunakan metode sahli kurang baik karena hasilnya yang kurang akurat, namun metode ini cukup umum digunakan dalam dunia kedokteran (Bachyar 2002). Pengukuran hemoglobin juga dapat diukur dengan menggunakan alat spektrofotometer.
Prinsip
perhitungan
hemoglobin
dengan
menggunakan
spektrofotometer yaitu darah dicampur dengan larutan yang mengandung kalium sianida dan kalium ferricyanide. Larutan tersebut kemudian mengoksidasi besi ferricyanide potasium dan membentuk methemoglobin. Sianida potasium kemudian dicampurkan dengan methemoglobin untuk mengubah hemoglobin menjadi pigmen seperti cyanmethemoglobin yang stabil untuk dibaca pada spektrofotometri yang dikenal juga sebagai hemoglobinometer. Alat ini digunakan untuk membaca hemoglobin pada panjang gelombang 540 nm. Pembacaan hemoglobin dengan menggunakan spektrofotometer berdasarkan pada konsentrasi hemoglobin. Penentuan konsentrasi hemoglobin diperoleh dari jumlah cahaya yang dapat diserap dari seberkas cahaya yang dilewatkan pada larutan yang akan dideteksi. Hal ini dikarenakan jumlah absorbansi cahaya sebanding dengan konsentrasi hemoglobin (Thrall et al. 2004).
2.5. Hematokrit Hematokrit biasa juga disebut dengan Packed Cell Volume (PCV). PCV merupakan presentase sel darah merah dalam cairan darah, nilai hematokrit 40 berarti 40% volume darah adalah sel darah merah dan sisanya adalah plasma. Hematokrit juga disebut sebagai fraksi darah yang terdiri dari sel-sel darah merah. Hematokrit dapat ditentukan dengan cara sentrifugasi darah dalam tabung mikro kapiler hematokrit sehingga sel-sel darah menjadi padat/mengendap di bagian bawah tabung. Dalam sel darah merah yang mengalami pemadatan masih terdapat sekitar 3 sampai 4% plasma yang tetap terjebak di antara sel. Sehingga nilai hematokrit sebenarnya hanya sekitar 96% dari yang terukur (Guyton and Hall 2006). Kondisi dimana terjadi peningkatan produksi sel darah merah yang berlebihan (polisitemia) akan menyebabkan nilai hematokrit mengalami peningkatan. Sedangkan penurunan kadar hematokrit di bawah nilai normal dapat
12
mengindikasikan terjadinya anemia. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh kondisi anemia, derajat aktivitas tubuh, dan ketinggian lokasi berada. Pengaruh-pengaruh ini terkait dengan fungsi sel darah merah sebagai pengangkut oksigen (Guyton and Hall 2006). Selain itu hematokrit juga berhubungan dengan perubahan tekanan darah. Hematokrit akan mempengaruhi kondisi viskositas darah. Semakin tinggi kadar hematokrit maka kondisi viskositas akan semakin tinggi pula, hal ini terjadi karena gesekan yang terjadi antara sel-sel darah merah akan semakin tinggi sehingga viskositas juga mengalami kenaikan. Selanjutnya, keadaan viskositas darah yang meningkat akan memperberat kerja jantung dalam memompakan darah menuju ke jaringan (Guyton and Hall 2006).
2.6. Indeks Eritrosit Pehitungan darah lengkap/Complete Blood Count (CBC) diantaranya adalah perhitungan indeks eritrosit yang memberikan keterangan mengenai volume rata-rata eritrosit, banyaknya hemoglobin per eritrosit, dan konsentrasi rata-rata hemoglobin. Perhitungan indeks eritrosit diperoleh dari perhitungan sel darah merah diantaranya dengan menggunakan data jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai PCV. Indeks eritrosit yang diperoleh berupa Mean Corpuscular Values (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC). MCV menunjukkan ukuran rata-rata sel darah merah dalam femtoliter (fl). MCH menunjukkan berat rata-rata dari hemoglobin yang ada di dalam eritrosit dan dinyatakan dalam pikogram (pg), sedangkan MCHC menunjukkan rata-rata konsentrasi hemoglobin per unit volume PCV dalam satuan gram per desiliter (gr/dl). Nilai tersebut bervariasi pada setiap spesies (Meyer and Harvey 2004). Perhitungan indeks eritrosit biasa digunakan untuk mendignosa jenis anemia dan dapat dihubungkan untuk mengetahui penyebab terjadinya anemia. Nilai MCV dan MCHC mencerminkan jenis eritrosit yang diproduksi oleh sumsum tulang. Meyer and Harvey (2004) menggolongkan anemia berdasarkan morfologi sel darah merah menjadi:
13
1. Anemia normositik-normokromik, pada anemia ini jumlah MCV dan MCHC normal. Anemia jenis normositik-normokromik ini menunjukkan ukuran sel darah merah normal dan konsentrasi hemoglobin yang juga normal. Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh penyakit ginjal, supresi sumsum tulang, blood lose akut, hemolisis akut, gangguan endokrin, serta anemia aplastik. 2. Anemia makrositik-hipokromik, pada anemia ini jumlah MCV tinggi dan MCHC rendah. Anemia jenis ini menunjukkan ukuran sel darah merah yang besar, namun konsentrasi hemoglobinnya rendah. Anemia ini sering disebabkan oleh hemoragi maupun hemolisis. 3. Anemia makrositik-normokromik, pada anemia ini jumlah MCV tinggi dan MCHC normal. Anemia jenis ini menunjukkan ukuran sel darah merah besar dan konsentrasi hemoglobin yang normal. Anemia ini disebabkan oleh defisiensi vitmin B12, defisiensi asam folat, dan penyakit intestinal kronis. 4. Anemia mikrositik-hipokromik, pada anemia ini jumlah MCV rendah dan MCHC rendah. Anemia mikrositik-mikrokromik ini menunjukkan ukuran sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin di dalamnya sama-sama rendah. Anemia ini sering disebabkan oleh defisiensi Fe, defisiensi vitamin B6, dan gangguan sintesis globin. 5. Anemia mikrositik-normokromik, pada anemia ini jumlah MCV rendah dan MCHC normal. Anemia mikrositik-normokromik ini menunjukkan ukuran eritrosit yang rendah namun konsentrasi hemoglobin di dalamnya normal. Anemia ini sering disebabkan oleh kondisi defisiensi zat besi.