BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Ada berbagai mekanisme untuk melindungi permukaan okuler dari hal-hal yang berbahaya seperti refleks dan alis mata serta struktur mata sendiri yaitu bulu mata, kelopak mata (palpebra), film prekorneal atau film air mata dan epitel pada permukaan mata. Berikut adalah penjelasan dari palpebra dan film prekorneal yang berhubungan dengan penelitian ini (Encyclopædia Britannica, 2007).
2.1. Palpebra 2.1.1. Anatomi A. Struktur Struktur mata yang berfungsi sebagai proteksi lini pertama adalah palpebra. Fungsinya adalah mencegah benda asing masuk, dan juga membantu proses lubrikasi permukaan kornea. Pembukaan dan penutupan palpebra diperantarai oleh muskulus orbikularis okuli dan muskulus levator palpebra. Muskulus orbikularis okuli pada kelopak mata atas dan bawah mampu mempertemukan kedua kelopak mata secara tepat pada saat menutup mata. Pada saat membuka mata, terjadi relaksasi dari muskulus orbikularis okuli dan kontraksi dari muskulus levator palpebra di palpebra superior. Otot polos pada palpebra superior atau muskulus palpebra superior (Müller muscle) juga berfungsi dalam memperlebar pembukaan dari kelopak tersebut. Sedangkan, palpebra inferior tidak memiliki muskulus levator sehingga muskulus yang ada hanya berfungsi secara aktif ketika memandang kebawah (Encyclopædia Britannica, 2007) Selanjutnya adalah lapisan superfisial dari palpebra yang terdiri dari kulit, kelenjar Moll dan Zeis, muskulus orbikularis okuli dan levator palpebra. Lapisan dalam terdiri dari lapisan tarsal, muskulus tarsalis, konjungtiva palpebralis dan kelenjar meibom (Wagner, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Potongan Sagital Palpebra Superior
B. Inervasi Serabut otot muskulus orbikularis okuli pada kedua palpebra dipersarafi cabang zigomatikum dari nervus fasialis sedangkan muskulus levator palpebra dan beberapa muskulus ekstraokuli dipersarafi oleh nervus okulomotoris. Otot polos pada palpebra dan okuler diaktivasi oleh saraf simpatis. Oleh sebab itu, sekresi adrenalin akibat rangsangan simpatis dapat menyebabkan kontraksi otot polos tersebut (Encyclopædia Britannica, 2007).
2.1.2. Fisiologi Mengedip A. Refleks Mengedip Banyak sekali ilmuan mengemukakan teori mengenai mekanisme refleks kedip seperti adanya pacemaker atau pusat kedip yang diregulasi globus palidus atau adanya hubungan dengan sirkuit dopamin di hipotalamus. Pada penelitian Taylor (1999) telah dibuktikan adanya hubungan langsung antara jumlah dopamin
Universitas Sumatera Utara
di korteks dengan mengedip spontan dimana pemberian agonis dopamin D1 menunjukkan peningkatan aktivitas mengedip sedangkan penghambatannya menyebabkan penurunan refleks kedip mata. Refleks kedip mata dapat disebabkan oleh hampir semua stimulus perifer, namun dua refleks fungsional yang signifikan adalah (Encyclopædia Britannica, 2007): (1) Stimulasi terhadap nervus trigeminus di kornea, palpebra dan konjungtiva yang disebut refleks kedip sensoris atau refleks kornea. Refleks ini berlangsung cepat yaitu 0,1 detik. (2) Stimulus yang berupa cahaya yang menyilaukan yang disebut refleks kedip optikus. Refleks ini lebih lambat dibandingkan refleks kornea.
B. Ritme Normal Kedipan Mata Pada keadaan terbangun, mata mengedip secara reguler dengan interval dua sampai sepuluh detik dengan lama kedip selama 0,3-0,4 detik. Hal ini merupakan suatu mekanisme untuk mempertahankan kontinuitas film prekorneal dengan cara menyebabkan sekresi air mata ke kornea. Selain itu, mengedip dapat membersihkan debris dari permukaan okuler. Sebagai tambahan, mengedip dapat mendistribusikan musin yang dihasilkan sel goblet dan meningkatkan ketebalan lapisan lipid (McMonnies, 2007). Iwanami (2007) mengemukakan bahwa muskulus Riolan dan muskulus intertarsal dipercaya berhubungan dengan sekresi kelenjar meibom. Menurut Hollan (1972), frekuensi mengedip berhubungan dengan status mental dan juga diregulasi oleh proses kognitif. Kara Wallace (2006) pada Biennial International Conference on Infant Studies XVth di Jepang (Abelson, 2007) menyatakan bahwa berbicara, menghapal, dan perhitungan mental (mental arithmatic) dihubungkan dengan peningkatan frekuensi mengedip. Sedangkan melamun, mengarahkan perhatian dan mencari sumber stimulus diasosiasikan dengan penurunan frekuensi mengedip mata. Namun, kedipan mata dapat bervariasi pada setiap aktivitas seperti membaca, menggunakan komputer, menonton televisi, mengendarai alat transportasi, dan memandang. Frekuensi
Universitas Sumatera Utara
mengedip juga dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti keletihan, pengaruh medikasi, stres dan keadaan afektif (Doughty, 2001).
2.2. Aparatus Lakrimalis Aparatus lakrimalis dibagi menjadi dua bagian yaitu sistem sekresi dan sistem ekskresi air mata. Berikut adalah gambar anatomi dari sistem lakrimalis (Wagner, 2006).
Gambar 2.2. Anatomi Sistem Lakrimalis 2.2.1. Sistem Sekresi Air Mata Permukaan mata dijaga tetap lembab oleh kelenjar lakrimalis. Sekresi basal air mata perhari diperkirakan berjumlah 0,75-1,1 gram dan cenderung menurun seiring dengan pertambahan usia. Volume terbesar air mata dihasilkan oleh kelenjar air mata utama yang terletak di fossa lakrimalis pada kuadran temporal di atas orbita. Kelenjar yang berbentuk seperti buah kenari ini terletak didalam palpebra superior. Setiap kelenjar ini dibagi oleh kornu lateral aponeurosis levator menjadi lobus orbita yang lebih besar dan lobus palpebra yang lebih kecil. Setiap lobus memiliki saluran pembuangannya tersendiri yang terdiri dari tiga sampai dua belas duktus yang bermuara di forniks konjungtiva
Universitas Sumatera Utara
superior. Sekresi dari kelenjar ini dapat dipicu oleh emosi atau iritasi fisik dan menyebabkan air mata mengalir berlimpah melewati tepian palpebra (epiphora). Persarafan pada kelenjar utama berasal nukleus lakrimalis pons melalui nervus intermedius dan menempuh jalur kompleks dari cabang maksilaris nervus trigeminus. Kelenjar lakrimal tambahan, walaupun hanya sepersepuluh dari massa utama, mempunya peranan penting. Kelenjar Krause dan Wolfring identik dengan kelenjar utama yang menghasilkan cairan serosa namun tidak memiliki sistem saluran. Kelenjar-kelenjar ini terletak di dalam konjungtiva, terutama forniks superior. Sel goblet uniseluler yang tersebar di konjungtiva menghasilkan glikoprotein dalam bentuk musin. Modifikasi kelenjar sebasea Meibom dan Zeis di tepian palpebra memberi substansi lipid pada air mata. Kelenjar Moll adalah modifikasi kelenjar keringat yang juga ikut membentuk film prekorneal (Sullivan, 1996 dan Kanski, 2003).
2.2.2. Sistem Ekskresi Air Mata Sistem ekskresi terdiri atas punkta, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus nasolakrimalis. Setiap berkedip, palpebra menutup mirip dengan risleting – mulai di lateral, menyebarkan air mata secara merata di atas kornea, dan menyalurkannya ke dalam sistem ekskresi pada aspek medial palpebra. Setiap kali mengedip,
muskulus orbicularis okuli akan menekan ampula sehingga
memendekkan kanalikuli horizontal. Dalam keadaan normal, air mata dihasilkan sesuai dengan kecepatan penguapannya, dan itulah sebabnya hanya sedikit yang sampai ke sistem ekskresi. Bila memenuhi sakus konjungtiva, air mata akan masuk ke punkta sebagian karena hisapan kapiler. Dengan menutup mata, bagian khusus orbikularis pre-tarsal yang mengelilingi ampula mengencang untuk mencegahnya keluar. Secara bersamaan, palpebra ditarik ke arah krista lakrimalis posterior, dan traksi fascia mengelilingi sakus lakrimalis berakibat memendeknya kanalikulus dan menimbulkan tekanan negatif pada sakus. Kerja pompa dinamik mengalirkan air mata ke dalam sakus, yang kemudian masuk melalui duktus nasolakrimalis – karena pengaruh gaya
Universitas Sumatera Utara
berat dan elastisitas jaringan – ke dalam meatus inferior hidung. Lipatan-lipatan mirip-katup dari epitel pelapis sakus cenderung menghambat aliran balik air mata dan udara. Yang paling berkembang di antara lipatan ini adalah “katup” Hasner di ujung distal duktus nasolakrimalis (Sullivan, 1996). Berikut adalah ilustrasi dari sistem ekskresi air mata yang berhubungan dengan fungsi gabungan dari muskulus orbikularis okuli dan sistem lakrimal inferior (Wagner, 2006).
Gambar 2.3. Sistem Ekskresi Lakrimalis 2.3. Air Mata Permukaan bola mata yang terpapar dengan lingkungan dijaga tetap lembab oleh air mata. Air mata tersebut disekresikan oleh aparatus lakrimalis dan disertai dengan mukus dan lipid oleh organ sekretori dari sel-sel pada palpebra serta konjungtiva. Sekresi yang dihasilkan inilah yang disebut sebagai film air mata atau film prekorneal. Analisis kimia dari air mata menunjukkan bahwa konsentrasi garam didalamnya mirip dengan komposisi di dalam plasma darah. Selain itu, air mata mengandung lisozim yang merupakan enzim yang memiliki aktivitas
sebagai
bakterisidal
untuk
melarutkan
lapisan
luar
bakteria
(Encyclopædia Britannica, 2007). Walaupun air mata mengandung enzim bakteriostatik dan lisozim, menurut Sihota (2007), hal ini tidak dianggap sebagai antimikrobial yang aktif karena dalam mengatasi mikroorganisme tersebut, air mata lebih cenderung memiliki fungsi mekanik yaitu membilas mikroorganisme tersebut dan produk-produk yang dihasilkannya.
Universitas Sumatera Utara
K+, Na+, dan Cl- terdapat dalam konsentrasi lebih tinggi dalam air mata dari dalam plasma. Air mata juga mengandung sedikit glukosa (5 mg/dL) dan urea (0,04 mg/dL) dan perubahannya dalam konsentrasi darah akan diikuti perubahan konsentrasi glukosa dan urea air mata. pH rata-rata air mata adalah 7,35, meski ada variasi normal yang besar (5,20-8,35). Dalam keadaan normal, cairan air mata adalah isotonik. Osmolalitas film air mata bervariasi dari 295 sampai 309 mosm/L (Whitcher, 2000). Berikut adalah ilustrasi dari elektrolit, protein dan sitokin dalam komposisi air mata (Pflugfelder, S.C., 2004).
Gambar 2.4. Komposisi Air Mata Air mata akan disekresikan secara refleks sebagai respon dari berbagai stimuli. Stimulus tersebut dapat berupa stimuli iritatif pada kornea, konjungtiva, mukosa hidung, stimulus pedas yang diberikan pada mulut atau lidah, dan cahaya terang. Selain itu, air mata juga akan keluar sebagai akibat dari muntah, batuk dan menguap. Sekresi juga dapat terjadi karena kesedihan emosional. Kerusakan pada nervus trigeminus akan menyebabkan refleks sekresi air mata menghilang. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemberian kokain pada permukaan mata menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
penghambatan hantaran pada ujung nervus sensoris yang mengakibatkan penghambatan refleks sekresi mata (bahkan ketika mata dipaparkan pada gas air mata yang poten). Jalur aferen pada hal ini adalah nervus trigeminus, sedangkan eferen oleh saraf autonom, dimana bahagian parasimpatis dari nervus fasialis yang memberikan pengaruh motorik yang paling dominan. Oleh sebab itu, pemberian obat yang parasimpatomimetik (seperti asetilkolin) dapat meningkatkan sekresi sedangkan pemberian obat antikolinergik (atropin) akan menyebabkan penurunan sekresi. Refleks sekresi air mata yang berlebihan dapat diinterpretasikan sebagai respon darurat. Pada saat lahir, inervasi pada aparatus lakrimalis tidak selalu sempurna, hal ini menyebabkan neonatus sering menangis tanpa sekresi air mata (Encyclopædia Britannica, 2007).
2.4. Permukaan Okuler 2.4.1. Konjungtiva Konjungtiva merupakan lapisan terluar dari mata yang terdiri dari membran mukosa tipis yang melapisi kelopak mata, kemudian melengkung melapisi permukaan bola mata dan berakhir pada daerah transparan pada mata yaitu kornea. Secara anatomi, konjungtiva dibagi atas 2 bagian yaitu konjungtiva palpebra dan konjungtiva bulbaris. Namun, secara letak areanya, konjungtiva dibagi menjadi 6 area yaitu area marginal, tarsal, orbital, forniks, bulbar dan limbal.
Konjungtiva
bersambungan
dengan
kulit
pada
tepi
kelopak
(persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea pada limbus. Pada konjungtiva palpebra, terdapat dua lapisan epithelium dan menebal secara bertahap dari forniks ke limbus dengan membentuk epithelium berlapis tanpa keratinisasi pada daerah marginal kornea. Konjungtiva palpebralis terdiri dari epitel berlapis tanpa keratinisasi yang lebih tipis. Dibawah epitel tersebut terdapat lapisan adenoid yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdiri dari leukosit. Konjungtiva palpebralis melekat kuat pada tarsus, sedangkan bagian bulbar bergerak secara bebas pada sklera kecuali yang dekat pada daerah kornea (Sihota, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Berikut adalah gambaran anatomi dari konjungtiva (Lang, 2006).
Gambar 2.5. Anatomi Konjungtiva Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan – bersama dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya – membentuk jaringjaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang banyak. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri. (Riordan-Eva, 2000). Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel, aktivitas lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa
Universitas Sumatera Utara
mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA (Sihota, 2007). Pada konjungtiva terdapat beberapa jenis kelenjar yang dibagi menjadi dua grup besar yaitu (Kanski, 2003): 1. Penghasil musin a. Sel goblet; terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah inferonasal. b. Crypts of Henle; terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior. c. Kelenjar Manz; mengelilingi daerah limbus. 2. Kelenjar asesoris lakrimalis. Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar Krause dan kelenjar Wolfring. Kedua kelenjar ini terletak dalam dibawah substansi propria. Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang baik (Sihota, 2007).
2.4.2. Kornea Kornea merupakan membran pelindung dan ‘jendela’ yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Kornea meliputi seperenam dari permukaan anterior bola mata. Kelengkungannya lebih besar dibandingkan permukaan mata lainnya. Perbatasan antara kornea dan sklera disebut sebagai limbus (ditandai dengan adanya sulkus yang dangkal – sulkus sklera). Kornea terdiri dari 3 lapisan yaitu epitel, substansi propria atau stroma dan endotel. Diantara epitel dan stroma terdapat lapisan atau membran Bowman dan diantara stroma dan endotel terdapat membran descemet.
Universitas Sumatera Utara
Berikut adalah gambaran anatominya (Lang, 2006).
Gambar 2.6. Anatomi Kornea Kornea yang sehat adalah avaskular dan tidak memiliki saluran limfatik. Nutrisi sel kornea didapat melalui difusi dari cairan akueus, kapiler pada limbus, dan oksigen yang terlarut dalam film prekorneal. Metabolisme kornea cenderung aerobik dan mampu berfungsi baik secara anaerobik selama enam sampai tujuh jam. Sel yang bermetabolisme secara aktif adalah endotel, epitel dan sel keratosit stroma. Oksigen yang menyuplai kornea kebanyakan berasal dari film prekorneal dengan kontribusi sedikit dari kapiler di limbus dan gradien oksigen. Suplai glukosa pada kornea 90% berasal dari cairan akueus dan 10% dari kapiler limbus. Persarafan kornea berasal dari divisi oftalmik nervus trigeminus. Percabangan nervus ini berasal dari ruang perikoroidal, menembus sklera dan membentuk pleksus. Pleksus ini akan menyebar secara radier dan kemudian masuk ke stroma kornea. Serat saraf ini akan kehilangan selaput mielin dan bergabung membentuk pleksus subepitel kornea. Cabang terminal nervus ini akan menembus lapisan Bowman, menyebar dan membentuk pleksus intraepitel. Saraf ujung bebas inilah yang responsif terhadap nyeri dan suhu. Akibat dari banyaknya persarafan, hal ini menyebabkan kornea sangat sensitif terhadap berbagai stimuli.
Universitas Sumatera Utara
Epitel dan endotel kornea memiliki fungsi untuk menjaga agar cairan pada stroma kornea tetap dalam keadaan stabil. Sel- sel pada kedua lapisan ini kaya akan lipid dan bersifat hidrofobik (sedangkan stroma bersifat hidrofilik) sehingga solubilitas garam menjadi rendah. Sel epitel memiliki junction complexes yang mencegah masuknya air mata kedalam kornea atau keluarnya cairan dalam kornea ke film prekorneal. Sel endotel juga memiliki junction complexes namun influks dari cairan akueus dapat terjadi dengan adanya mekanisme transpor aktif Na-K ATPase (Sihota, 2007).
2.4.3. Film Prekorneal Air mata membentuk lapisan tipis setebal 7-10 µm yang menutupi epitel kornea dan konjungtiva. Fungsi dari lapisan ini adalah (1) membuat kornea menjadi permukaan licin optik dengan meniadakan ketidakteraturan permukaan epitel kecil-kecil; (2) membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan konjungtiva yang lembut; (3) menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan guyuran mekanik dan kerja antimikroba; dan (4) memberikan substansi nutrien yang diperlukan (Whitcher, 2000). Film prekorneal ini terdiri dari tiga lapisan: (1) lapisan superfisial adalah lapisan lipid monomolekuler yang berasal dari kelenjar meibom, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat pada daerah margin palpebra. Lapisan ini
diduga
menghambat penguapan dan merupakan sawar kedap air bila palpebra ditutup. (2) Lapisan akueus tengah yang dihasilkan oleh kelenjar lakrimal mayor dan minor dan mengandung substansi larut-air (garam dan protein). (3) lapisan musin yang dihasilkan sel goblet konjungtiva dan kelenjar lakrimal. Didalamnya terdiri atas glikoprotein dan melapisi sel-sel epitel kornea dan konjungtiva. Membran sel epitel terdiri atas lipoprotein dan karenanya relatif hidrofobik. Permukaan demikian tidak dapat dibasahi dengan larutan berair saja. Musin diadsorpsi sebagian pada membran sel epitel kornea dan tertambat oleh mikrovili sel-sel epitel permukaan. Ini menyediakan permukaan hidrofilik baru agar air mata menyebar ke bagian yang dibasahinya dengan menurunkan tegangan permukaan (Whitcher, 2000 dan Wolkoff, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Berikut adalah ilustrasi dari film prekorneal dan komposisinya (Wagner, 2006).
Gambar 2.7. Gambaran Film Prekorneal dan Komposisinya Volume air mata normal diperkirakan 7 ± 2 µL pada setiap mata. Albumin merupakan 60% dari protein total dalam air mata. Globulin dan lisozim berjumlah sama banyak pada bagian sisanya. Selain itu, terdapat imunoglobulin IgA, IgG, dan IgE dengan jumlah yang paling banyak adalah IgA. IgA ini bukan sepenuhnya berasal dari transudat serum, namun diproduksi juga oleh sel-sel plasma yang ada di dalam kelenjar lakrimal. Lisozim air mata merupakan 2125% dari protein total dan˗˗ bekerja secara sinergis dengan gamma -globulin dan faktor anti-bakteri non-lisozim lain – merupakan mekanisme pertahanan penting terhadap infeksi (Whitcher, 2000). Menurut Cho (2003), ada beberapa studi yang meneliti stabilitas dari film Prekorneal dan ada beberapa hipotesis yang menjelaskan mekanisme lapisan prekorneal pecah. Salah satu hipotesis menjelaskan bahwa stabilitas film tersebut disebabkan oleh penyebaran musin yang meningkatkan tegangan permukaan film. Ketika lapisan lipid mulai berdifusi ke lapisan mukus, kemampuan mukus untuk mempertahankan tegangan permukaan mulai menurun sehingga film prekorneal akhirnya pecah dan membentuk bintik kering (hydrophobic spots). Hipotesis yang lain menjelaskan bahwa lapisan mukus yang memisah terjadi akibat gaya Van Der Waals antara epitel dan lapisan musin sehingga terjadi instabilitas air mata.
Universitas Sumatera Utara
2.5. Asap Rokok 2.5.1. Komposisi Asap Rokok Asap rokok merupakan kompleks campuran beberapa ribu komponen kimia – beberapa dalam konsentrasi yang sedikit – yang merupakan hasil dari pembakaran dari bahan dari produk tembakau. Hasilnya termasuk getah temabakau (tar) dan gas-gas lainnya. Hal yang paling penting adalah nikotin (zat adiktif). Campuran gas inilah yang secara konstan bereaksi dengan gas di atmosfer dengan bantuan sinar ultraviolet. Hal ini menyebabkan komposisi kimianya selalu berubah setiap saat. Sampai sekarang ini, asap rokok diketahui mengandung lebih dari empat ribu zat kimia. Namun, komposisi dan konsentrasi zat kimia tersebut dalam asap rokok tergantung pada jenis tembakau, kertas ventilasi dan filter yang digunakan serta cara menghisap rokok. Jumlah zat kimia dalam asap rokok sendiri bukan merupakan hal yang paling penting karena yang menjadi masalah adalah toksisitas dan konsentrasi dari zat kimia tersebut (Action on Smoking and Health, 2001). Asap rokok terdiri dari 2 jenis yaitu: a. Asap mainstream; Asap ini dibentuk ketika perokok menginhalasi udara melalui rokok. b. Asap Sidestream; Asap ini dibentuk ketika tembakau dalam keadaan terbakar namun asap tidak diinhalasi oleh perokok. Zat toksin pada asap sidestream memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan asap mainstream dan 85% dari asap rokok merupakan hasil dari asap sidestream. Adapun hasil uraian dari komposisi asap rokok baik jenis mainstream maupun sidestream dalam Labstat International ULC Offerings (2008) yaitu nikotin, karbon monoksida, hidrogen sianida, amonia, nitrogen, logam- logam, merkuri,
serta
golongan-golongan
kimia
seperti
karbonil,
phenolics,
benzo[a]pyrene, aromatik, gas volatil dan gas semi-volatil. Pada jurnal tersebut, semua zat toksik dalam asap rokok terdeteksi dalam jaringan dan urin, sedangkan beberapa lainnya terdeteksi dalam plasma, serum ataupun saliva. Setiap zat yang diuraikan diatas telah diteliti dan kebanyakan dari zat tersebut merupakan karsinogen, diduga karsinogen, cenderung untuk menjadi karsinogen dan
Universitas Sumatera Utara
merupakan zat iritan (Physician for a Smoke-Free Canada, 1999). Dalam Physician for a Smoke-Free Canada (2008), diuraikan dampak dari setiap kandungan dalam asap rokok. Hampir semua uraian didalamnya dapat mengiritasi mata. Hal ini juga didukung oleh State Building & Construction Trades Council of California (2008).
2.5.2. Pengaruh pada Mata Secara Eksternal Mekanisme asap rokok mempengaruhi permukaan mata dan kelenjar lakrimalis masih berupa teori-teori. Namun, mengingat bahwa zat yang terkandung dalam asap rokok bersifat iritatif, hal ini menyebabkan inflamasi lokal yang dimediasi imun pada kelenjar lakrimalis dan permukaan okuler. Menurut Moss, et al. yang dikutip oleh Yoon (2005), selain mengiritasi mata, asap rokok juga berperan dalam mekanisme iskemik atau oksidatif yang melibatkan produksi radikal bebas dan penurunan mekanisme antioksidan. Menurut Wilson (2003), akibat iritasi kronik tersebut, lengkung neural diaktivasi secara berlebihan dan menyebabkan perubahan sekresi air mata. Hal ini ditandai dengan sekresi sel T yang teraktivasi dan sitokin dalam air mata. Keberadaan sitokin dalam air mata menyebabkan inflamasi pada permukaan okuler. Hal ini akan mengganggu penyampaian sinyal sensoris dari permukaan mata sehingga sekresi basal air mata menurun (Stern, 2004). Selain itu, kelenjar lakrimalis baik secara langsung maupun tidak langsung juga mengalami kerusakan. Keadaan ini menyebabkan penurunan sekresi air mata dan inflamasi tersebut tidak dapat diatasi oleh sistem pertahanan mata yang normal. Inflamasi tersebut juga menyebabkan disfungsi dari sistem air mata sehingga terjadi gangguan drainase. Secara fisiologis, di dalam air mata mengandung komponen anti inflamasi. Akibat difungsi dari sekresi air mata, hal ini menyebabkan iritasi tidak terkontrol dan menyebabkan peningkatan aktivasi dari limfosit T. Sitokin dan mediator inflamasi lainnya juga menyebabkan peningkatan jumlah sel T yang diaktivasi, jumlah produksi substansi inflamasi dan jumlah kerusakan jaringan (Wilson, 2003). Adapun penelitian dilakukan Metcalfe, et al., Mack, et al. dan Smyth, et al. yang dikutip oleh Baker (2006) melampirkan bahwa dampak dari paparan asap
Universitas Sumatera Utara
rokok secara in vitro menyebabkan terjadi peningkatan produksi tumor necrosis factor α (TNF-α), interferon γ, interleukin 1 dan glikosaminoglikan oleh fibroblas orbital. Akibat penghasilan Interferon γ, terjadi ekpresi HLA-DR oleh fibroblas tersebut. Selain itu, paparan asap rokok secara in vitro juga menyebabkan pelepasan IL-4, IL-5, IL-10, IL-13 dan TNF-α oleh sel mast. Selain yang disebutkan diatas, Foster (2008) juga menyatakan bahwa adanya interaksi sitokin terhadap reseptor opioid yang menyebabkan gangguan pada pelepasan neurotransmiter. Selain itu, calcitonin gene related peptide (CGRP) dan substance P juga terlibat dalam aktivasi limfosit. Menurut De Paiva (2007), penurunan produksi akueus air mata akibat paparan zat iritan secara kronik dapat menyebabkan metaplasia dan penurunan jumlah sel goblet pada epitel konjungtiva. Hal ini terjadi akibat aktivasi sel T dan NK cells sehingga terjadi pelepasan interferon γ (IFN-γ) dimana sitokin ini terlibat pada hampir seluruh respon imun dan inflamasi. IFN-γ dikenal memiliki potensi untuk meningkatkan regulasi protein yang berhubungan dengan diferensiasi epitel konjungtiva (conjunctival epithelial differentiation-related proteins). IFN-γ dilaporkan mampu meningkatkan trankripsi RNA yang mengkode prekursor keratinisasi. Berikut adalah ilustrasi mengenai proses paparan zat iritatif yang berlangsung kronik dapat menyebabkan penurunan sekresi air mata (Wilson, 2003).
Gambar 2.8. Siklus Inflamasi Akibat Paparan Zat Iritan Secara Kronik
Universitas Sumatera Utara
Perlu diketahui bahwa sel pada lapisan kornea mendapatkan oksigen dan nutrien berupa elektrolit yang disekresikan di air mata oleh kelenjar lakrimalis. Elektrolit tersebut penting dalam sekresi mukus oleh sel goblet. Akibat kehilangan komponen akueus dari air mata, konsentrasi sodium akan meningkat yang akhirnya akan menyebabkan penurunan jumlah sel goblet. Penurunan sel goblet akan berdampak pada penurunan jumlah glikogen di kornea yang akan menurunkan kemampuan regenerasi kornea. Osmolaritas yang meningkat tersebut juga dapat menarik air diantara sel epitel konjungtiva yang nantinya menyebabkan deskuamasi dari sel tersebut (Cohen, 2004).
2.5.3. Pengaruh pada Mata Secara Internal Selain berdampak pada mata secara eksternal, asap rokok mainstream yang diinhalasi perokok juga berdampak buruk pada mata. Menurut Optometrists Association Australia (2005) dan Action on Smoking and Health (2005), beberapa zat yang terkandung dalam rokok bersifat toksik terhadap jaringan mata. Beberapa zat didalamnya dapat menyebabkan penurunan kemampuan darah membawa oksigen dan menurunkan aliran darah ke mata (iskemia). Selain itu, kerusakan dapat terjadi akibat stres oksidatif, reaksi kimia yang merusak protein dan lipid dan menurunkan antioksidan dalam darah. Mata merupakan organ yang sangat rentan terhadap stres oksidatif. Kaitan merokok dengan peningkatan resiko terjadinya penyakit mata telah dibuktikan. Katarak nuklear, degenerasi makular terkait usia (Fujihara, 2008) dan Graves’ Ophthalmopathy memiliki bukti yang kuat. Adapun bukti yang bersifat sugestif berupa katarak subkapsular posterior (Tobacco Control Resource Centre, 2006). Selain itu, Action on Smoking and Health (2005) juga melampirkan gangguan lainnya seperti oklusi vena retina, peningkatan tekanan intraokular dan neuropati optik (penurunan aliran darah ateri ke mata).
Universitas Sumatera Utara