BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan menguraikan definisi dan teori-teori yang dapat dijadikan landasan berfikir peneliti dalam melakukan penelitian berkaitan dengan topik ini. Teori yang akan diutarakan sepanjang bab ini antara lain definisi mengenai penerimaan, aspek-aspek penerimaan orangtua, tahapan penerimaan orang tua, dukungan sosial, sumber-sumber dukungan sosial, bentuk dukungan sosial, penjelasan mengenai autisme serta penyebab autisme. 2.1
Penerimaan Porter (1954) menjelaskan, penerimaan orang tua dapat dilihat dari bagaimana perasaan dan perilaku orang tua dapat menerima keberadaan anak tanpa syarat, menyadari bahwa anak juga memiliki hak untuk mengekspresikan perasaannya, dan kebutuhan anak untuk menjadi individu yang mandiri. Hurlock (2000) menambahkan, penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang kepada anak. Orang tua yang menerima akan memperhatikan perkembangan dan kemampuan anak serta memperhitungkan minat anak. Menurut Hurlock, anak yang diterima umumnya bersosialisasi dengan baik, kooperatif, ramah, loyal, stabil secara emosional, dan gembira. Menurut Puspita (2004), bentuk penerimaan orang tua dalam penanganan anak autistik adalah dengan memahami keadaan anak apa adanya, memahami kebiasaan-kebiasaan anak, menyadari apa yang bisa dan belum bisa dilakukan anak, memahami penyebab perilaku buruk atau
2
baik si anak, dan membentuk ikatan batin yang kuat yang akan diperlukan dalam kehidupan di masa depan. Kemudian Ginanjar (2008) menegaskan kembali bahwa orang tua merupakan tokoh utama yang sangat berperan dalam memberikan contoh, bimbingan, dan kasih sayang dalam proses pertumbuhan anak-anak. Dari beragam penjelasan definisi penerimaan yang telah diuraikan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa peran orang tua berupa perasaan dan perilaku positif yang dimunculkan terhadap anaknya yang autistik akan sangat membantu dalam proses perkembangannya. Dengan memperhatikan perkembangan dan kemampuan anak, maka pada umumnya anak dan orang tua akan dapat bersosialisasi dengan baik.
2.1.1
Aspek-aspek penerimaan orang tua Porter (dalam Johnson dan Medinnus, 1969) menyatakan, anak akan
ditempatkan
pada
posisi
penting
dalam
keluarga
dan
mengembangkan hubungan emosional yang hangat dengan orang tua yang menerima kondisi anaknya. Aspek-aspek penerimaan orang tua menurut Porter adalah sebagai berikut: a. Orang tua harus menerima keberadaan anaknya tanpa syarat apapun. Penerimaan total orang tua terhadap anaknya memberikan rasa percaya diri yang tinggi kepada anak dan dapat mempercepat proses pembelajaran dan perkembangan anak. b. Hubungan atau ikatan batin yang kuat antara orang tua dan anak dapat menciptakan rasa aman secara emosional, tenteram, dan bahagia menjadi dirinya sendiri.
3
c. Dukungan dari orang tua seperti menghargai dan menghormati anak sebagai pribadi yang unik, sehingga dapat mengembangkan segala potensinya untuk menjadi pribadi yang mandiri.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek penerimaan orang tua terhadap anak antara lain dengan menerima anak tanpa syarat apapun termasuk dengan keadaannya sebagai individu yang utuh. Menerima keterbatasan anak sebagai pribadi yang unik, serta adanya kehangatan antara orang tua dan anak.
2.1.2
Tahapan Penerimaan Orang tua Orang tua tidak akan pernah siap untuk diagnosa autistik. Sangat memungkinkan
orang
tua
akan
mengalami
rentang
emosi
(autismspeaks.org). Rogers, Dawson, dan Vismara (2012) memaparkan enam tahapan penerimaan orang tua yang memiliki anak autistik, diantaranya: A. Terkejut (shock) Orang tua umumnya merasa bingung dan tertegun setelah mendapatkan hasil diagnosa anak. Kenyataan luar biasa yang membuat orang tua masih sulit untuk menerima keadaan bahkan ada perasaan ingin mengabaikan saja. Umumnya orang tua akan terus mencari diagnosa dari dokter atau para ahli yang berbeda.
4
B. Kesedihan (sadness) Banyak orang tua yang merasa sedih karena harapan dan impian mereka akan masa depan anak harus tertunda setelah
mengetahui
anaknya
terdiagnosa
autisme.
Beberapa orang melihat hal ini sebagai ‘tekanan‘ yang membuat orang tua menjadi depresi. Namun terdapat perbedaan antara kesedihan dan depresi. Depresi akan membiarkan orang tua merasakan kesedihan yang terus menerus hingga orang tua akan melangkah kedepan. Menangis dapat menjadi piihan terbaik untuk membantu orang tua melewati satu rintangan ke rintangan berikutnya.
C. Kemarahan (Anger) Seiring berjalannya waktu, kesedihan orang tua akan memicu kemarahan dan berdampak kepada orang-orang terdekat. Seperti membentak karena hal sepele hingga menjerit dan berteriak. Kemarahan adalah hal yang wajar. Ini merupakan reaksi yang diharapkan dan sehat untuk orang tua yang merasa stres setelah mengetahui hasil diagnosa
anak.
Mengekspresikan
kemarahan
juga
merupakan cara untuk melepas ketegangan, karena inilah upaya orang tua untuk memberitahu kepada orang-orang terdekatnya bahwa mereka marah karena hasil diagnosa telah terjadi kepada anak mereka.
5
D. Penolakan (denial) Umumnya orang tua akan melewati tahapan penolakan atas apa yang terjadi kepada anaknya. Hal ini terjadi secara alami, bukan reaksi yang dapat dipilih seperti kemarahan. Penolakan adalah cara untuk mengatasi masalah. Namun orang tua diharapkan untuk cepat tersadar sehingga tidak kehilangan fokus untuk segera memasukkan anak ke tempat terapi.
E. Rasa Kesepian (loneliness) Perasaan kesepian dan rasa terisolasi datang dari kenyataan dalam situasi baru yang membuat para orang tua merasa tidak memiliki waktu untuk menghubungi teman, keluarga, dan lainnya. Hal ini tidak akan terjadi jika orang tua memberitahu kepada orang-orang terdekatnya, karena
orang-orang
terdekat
memungkinkan
untuk
mengerti keadaan yang sedang dialami dan memberi dukungan.
F. Penerimaan (acceptance) Pada akhirnya orang tua akan merasakan penerimaan. Menerima hasil diagnosa dapat diartikan bahwa orang tua menerima anaknya dan siap untuk melangkah ke tahap selanjutnya seperti mengikutsertakan anak ke tempattempat terapi atau sekolah khusus. Karena tahapan
6
berikutnya akan lebih menantang sehingga dibutuhkan rasa penerimaan ini. Rogers, Dawson, dan Vismara (2012) menambahkan, bahwa hal pertama yang harus dilakukan oleh para orang tua adalah percaya kepada diri sendiri dan pasangan. Jangan merasa bersalah terhadap apa yang telah terjadi pada diri anak. Orang tua harus melewati tahapan ini dan pastikan kepada keluarga dan orang terdekat mengetahui hasil diagnosa anak. Kedua, jadikan orang-orang terdekat sebagai sumber dukungan. Berbagi cerita kepada teman tentang kepedulian terhadap anak autistik dan orang tua juga membutuhkan dukungan emosional sehingga mereka tidak merasa kesepian. Ketiga, saling bertukar pendapat, cerita, dan pengalaman kepada anggota keluarga lain yang juga memiliki anak autistik akan membantu proses penerimaan orang tua.
2.2
Dukungan sosial Zimet, Dahlem, Zimet & Farley (dalam Louw & Viviers, 2010) memaparkan bahwa dukungan sosial adalah persepsi individu akan ketersediaan sumber dukungan yang dapat berperan sebagai penahan gejala dan peristiwa stress. Menurut Zimet dan kolega, dukungan sosial yang dipersepsikan dapat diperoleh dari orang lain yang signifikan atau orang terdekat yang memiliki kontak dengan keseharian individu, keluarga, dan teman. Smet (1994) memaparkan, dukungan sosial merupakan informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dalam hal-hal yang
7
dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Cobb (dalam Siklos & Kerns, 2006) menambahkan, dukungan sosial telah didefiniskan sebagai informasi yang mengarahkan orang untuk percaya bahwa ia diperhatikan, dicintai, dihargai dan dihormati, dan menjadi penting dalam sebuah jaringan berkomunikasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah bantuan yang diberikan oleh orang lain baik bantuan dalam bentuk nyata atau perilaku yang dapat membuat orang yang bersangkutan merasa nyaman, dihargai, dan dicintai. Plumb (2011) menambahkan, penelitian mengenai penggunaan dukungan sosial pada keluarga yang memiliki anak autistik telah difokuskan kepada orang tua khususnya ibu. Kurangnya dukungan perhatian kepada ibu dapat berasal dari ayah, saudara kandung, atau keluarga lainnya. Menurut Gray dan Holden (dalam Plumb, 2011), ibu yang menerima dukungan sosial baik formal maupun informal, dilaporkan mengalami tingkat depresi, marah, dan kecemasan yang lebih rendah. Beberapa literatur membedakan jenis-jenis dukungan sosial, yaitu dukungan sosial formal dan informal. Schopler dan Mesibov (dalam Plumb, 2011) mendefinisikan dukungan sosial formal sebagai bantuan yang bersifat sosial, psikologis, finansial dan disediakan baik secara gratis atau imbalan untuk biaya lembaga. Sementara dukungan sosial informal serupakan jaringan yang dapat mencakup keluarga dekat maupun saudara, teman, tetangga, dan orang lain yang membentuk kelompok atau grup dengan keluhan yang sama. Herman dan Thompson (dalam Plumb, 2011) menemukan bahwa orang tua melaporkan bahwa dukungan informal-lah yang lebih banyak memberi dukungan pada saat
8
dukungan formal seperti perkumpulan orang tua, kelompok sosial, dan day care tidak tersedia. 2.2.1
Sumber-sumber dukungan sosial Berikut adalah sumber-sumber dukungan sosial yang dapat diakses oleh ibu yang memiliki anak autistik: a. Pasangan Pasangan merupakan sumber dukungan yang penting. Dalam hal ini, suami perlu untuk saling bekerja sama dan saling menguatkan. Rasa takut, kemarahan, rasa bersalah, dan berbagai perasaan yang mucul dapat mempengaruhi kapasitas pasangan untuk berkomunikasi dan mencari solusi yang realistis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suami yang terus terlibat dalam perawatan maupun pengasuhan anak berkebutuhan khusus mereka, secara langsung telah memberikan dukungan yang amat berharga bagi sang istri. Dukungan semacam ini meningkatkan kepuasan perkawinan mereka dan juga memperkuat pertahanan keluarga mereka (Willoughby & Gidden, 1995 dalam Hidayati, 2011)
b. Keluarga Keluarga besar bisa merupakan sumber dukungan sosial yang luar biasa. Ketika baru saja hadir seorang anak yang memiliki kebutuhan khusus, tidak mudah bagi ibu untuk menyesuaikan diri secara psikis dan fisik dengan tugas-tugas baru terkait dengan perubahan kondisi dan perubahan rutinitas dalam keluarga. Dalam situasi sedemikian rupa, tawaran dari
9
keluarga besar, misalnya untuk membantu pengasuhan anak yang lain, atau bantuan finansial sangatlah berharga. Bantuan dapat pula berupa dukungan psikis semisal ungkapan yang empatis, waktu yang diluangkan untuk berbagi pengalaman dan beban, atau pelukan (Hidayati, 2011).
c. Kelompok pendukung Mangunsong
(dalam
Hidayati,
2011)
mendefinisikan
kelompok pendukung dapat terdiri dari orang tua yang juga memiliki anak berkebutuhan khusus yang berfungsi untuk menghilangkan rasa terasing dan terisolasi, memberikan informasi, memberikan contoh, dan memberikan perbandingan yang
mendasar.
Hallahan
(dalam
Hidayati,
2011)
menambahkan, dalam kelompok pendukung, orang tua dapat berbagi
pengalaman
sehingga
memberikan
dukungan
pengetahuan dan emosi. Kelompok ini memiliki struktur yang tidak kaku, pertemuan dapat terjadi tanpa agenda tertentu, atau dapat juga lebih terstruktur. Kelompok semacam ini biasanya berawal dari dunia maya kemudian berlanjut di dunia nyata dan melakukan pertemuan secara berkala untuk saling berbagi pengalaman dan mendiskusikan permasalahan.
10
2.2.2
Bentuk dukungan sosial Dukungan sosial dapat dibedakan menurut bentuk dukungan yang diterima individu. Cutrona & Russell, 1990; Schaefer, Coyne & Lazarus, 1981; Wills, 1984 (dalam Sarafino, 2008), menjelaskan empat bentuk dukungan sosial yang diterima individu antara lain: 1. Dukungan emosional. Dukungan yang bersifat emosional ini antara lain berupa ungkapan empati, memberikan perhatian, kepedulian, dan ungkapan
penghargaan
yang
positif
terhadap
individu
yang
bersangkutan.
2. Dukungan instrumental. Dukungan ini biasanya diberikan dalam bentuk memberikan pelayanan, meminjamkan uang atau barang-barang kepada individu yang memerlukannya.
3. Dukungan informasi. Dukungan ini biasanya diberikan dalam bentuk nasehat, pengarahan, umpan balik atau saran bagaimana melakukan sesuatu agar masalah dapat dihadapi oleh individu yang sedang mengalaminya.
4. Dukungan pertemanan. Dukungan ini berupa kesediaan orang lain untuk
menghabiskan
waktu
bersama,
memberikan
perasaan
keanggotaan dalam suatu kelompok yang didalamnya memiliki minat dan kepentingan yang sama atau kegiatan sosial yang sama, sehingga secara tidak langsung merasa lebih dekat satu sama lain.
11
2.3 2.3.1
Autisme Definisi autisme Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan otak pada anak dan mempengaruhi hubungan sosial, komunikasi, minat, dan perilaku. Karakteristik autisme dapat ditunjukkan dari perbedaan perilaku dalam jenis kelamin, usia, prevalensi (seberapa sering perilaku muncul), onset (kapan perilaku muncul), dan tingkat keparahan (A Parent‘s Handbook, 2012). Pada umumnya anak-anak autistik menampilkan karakteristik sebagai berikut; penarikan sosial dan ketidak-tertarikan pada lingkungan sosial, kurangnya keterampilan sosial, kurangnya komunikasi, gangguan emosional, dan perilaku repetitif dan ritualistik seperti mengepakkan tangan, berjalan jinjit, berputar, dan lainnya (Davidson, Neale, & Kring, 2006). Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSMIV-TR), secara ringkas kriteria diagnosa gangguan autisme adalah sebagai berikut:
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial timbal balik: a. Gangguan yang nyata dalam berbagai tingkah laku non verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, dan posisi tubuh. b. Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan tingkat perkembangan. c. Kurangnya tingkat spontanitas dalam berbagai kesenangan, minat, atau prestasi dengan orang lain, dan d. Kurang mampu melakukan hubungan sosial atau emosional timbal balik.
12
2. Gangguan kualitatif dalam komunikasi: a. Keterlambatan perkembangan bahasa atau tidak bicara sama sekali. b. Pada individu yang mampu berbicara, terdapat gangguan pada kemampuan memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain. c. Penggunaan bahasa yang stereotip, repetitif, atau sulit dimengerti, dan d. Kurangnya kemampuan bermain pura-pura.
3. Pola – pola repetitif dan stereotip yang kaku pada tingkah laku, minat, dan aktivitas: a. Preokupasi pada satu pola minat atau lebih. b. Infleksibilitas pada rutinitas atau ritual yang spesifik dan nonfungsional. c. Gerakan motor yang stereotip dan repetitif, dan d. Preokupasi yang menetap pada bagian-bagian obyek
13
2.3.2 Penyebab autisme Sampai
sekarang,
autisme
masih
abu-abu
dalam
bidang
kedokteran yang terus berkembang dan belum diketahui penyebabnya secara pasti. Menurut Kanner (dalam Davidson, Neale, & Kring, 2006) keluarga merupakan faktor utama yang mempengaruhi anak menjadi penyandang autisme. Menurut teori psikoanalisa, Bettelheim (dalam Davidson, Neale, & Kring, 2006) mengatakan bahwa penyebab dari autisme karena adanya penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak menolak orangtuanya dan mampu merasakan perasaan negatif mereka. Anak melihat bahwa tindakannya hanya berdampak kecil pada perilaku orangtua yang tidak responsive. Anak kemudian meyakini bahwa ia tidak memiliki dampak apapun di dunia, sehingga anak menciptakan “benteng kekosongan” autisme untuk melindungi dirinya dari penderitaan dan kekecewaan. Sedangkan menurut teori behavioral yang dikemukakan oleh Ferster (dalam Davidson, Neale, & Kring, 2006), ia berpendapat bahwa tidak adanya perhatian dari orang tua terutama ibu, mencegah terbentuknya berbagai asosiasi yang menjadikan manusia sebagai penguat sosial. Ditinjau dari faktor neurologis, Hutt (dalam Davidson, Neale, & Kring, 2006) mengatakan bahwa berbagai studi EEG terdahulu kepada anak autistik mengindikasikan banyak diantaranya yang memiliki pola gelombang otak abnormal. Abnormalitas neurologis pada anak autistik menunjukkan bahwa sel-sel otak gagal menyatu dengan baik dan tidak membentuk jaringan koneksi seperti yang terjadi dalam perkembangan otak secara normal.
14
2.4
Kerangka berpikir
Beberapa masalah yang perlu menjadi perhatian para orang tua yang memiliki anak autistik antara lain adalah mempersiapkan mental untuk dapat menerima kenyataan bahwa putra-putri mereka menyandang autisme, mencari informasi tentang terapi yang diperlukan, mengamati kebutuhan dan keterbatasan anak, dan mengukur kemampuan keluarga dari segi waktu, tenaga, dan biaya dalam menjalankan program penanganan autisme. Tidak hanya itu, seiring dengan pertumbuhan anak, masalah yang dihadapi akan terus bertambah dan menjadi kekhawatiran ibu terhadap masa depan anak (Pamoedji, 2010). Kekhawatiran ibu terhadap masa depan anak seperti akan menjadi apa anaknya ketika tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi, tidak mampu menikah, dan tidak mampu menjalani hidup dengan normal dapat menjadi sumber stres terbesar (Seligman & Darling dalam Altiere & Kluge, 2009). Dukungan sosial sangat dibutuhkan ketika ibu merasa stres dan tertekan. Dukungan sosial dalam bentuk informal seperti pasangan, keluarga, dan teman lebih banyak memberikan dukungan pada saat dukungan formal tidak tersedia (Herman & Thompson dalam Plumb, 2011). Keluarga dapat memberikan dukungan sosial yang luar biasa. Seperti tawaran bantuan dalam bentuk finansial, membantu pengasuhan anak, atau ungkapan yang empatis untuk ibu yang masih dalam proses penerimaan keadaan anaknya. (Olson dan DeFrain dalam Hidayati, 2011). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rachmayanti dan Zulkaida (2007) terhadap 3 pasang orang tua yang menjelaskan bahwa
15
penerimaan orangtua terhadap anak autistik dipengaruhi oleh faktor dukungan dari keluarga besar, masyarakat umum, para ahli, tingkat pendidikan, kemampuan keuangan, dan lain-lain. Penerimaan ibu dalam mengasuh anak dengan sindrom autisme dapat dilakukan dengan memberikan semangat atau memiliki rasa percaya diri yang tinggi kepada anak sehingga dapat mempercepat proses pembelajaran dan perkembangan anak (Meadan, Halle, & Ebata, 2010). Porter (1954) menambahkan, penerimaan orang tua dapat dilihat dari bagaimana perasaan dan perilaku orang tua dapat menerima keberadaan anak tanpa syarat, menyadari bahwa anak juga memiliki hak untuk mengekspresikan perasaannya, dan kebutuhan anak untuk menjadi individu yang mandiri.
16