BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. 2.1.1.
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) Pengertian BPH Menurut Anonim (2009) dalam Hamawi (2010), BPH secara umumnya
dinyatakan sebagai Pembesaran Prostat Jinak. Maka jelas dari pengertian secara umum sebelumnya, terdapatnya sesuatu yang menyebabkan prostat membesar. Hiperplasia adalah penambahan ukuran suatu jaringan yang disebabkan oleh penambahan jumlah sel yang membentuknya. Maka dapat didefinisikan bahwa hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertrofi prostat, namun secara histologi yang dominan adalah hiperplasia dibanding hipertrofi. Menurut Berry (1984) dalam Hamawi (2010), secara histologi, BPH dapat didefinisikan sebagai pembesaran nodular secara regional dengan kombinasi proliferasi stroma dan glandular yang berbeda yang ditandai dengan adanya peningkatan sel epitel dan sel stroma di dalam daerah periuretra pada prostat. Pengertian BPH secara klinikal, menurut NCI : Definition of Cancer Terms dalam Hamawi (2010), BPH adalah suatu pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh hiperplasia beberapa atau semua komponen dari prostat yang meliputi jaringan dari kelenjar maupun jaringan fibromaskuler yang menyebabkan terjadinya penyumbatan uretra prostat dan bersifat non-kanker. Hiperplasia kelenjar prostat adalah suatu pertumbuhan yang cepat sehingga kelenjar prostat membengkak dengan penyebabnya diduga karena adanya ketidakseimbangan hormonal yaitu kadar testosteron yang tinggi dalam darah. Pembesaran kelenjar prostat demikian hebat sehingga mengarah ke dalam rongga perut. Kelenjar prostat yang membesar mungkin rata, tetapi dapat juga membentuk benjolan yang berisi kista maka kotoran yang keluar melalui preputium bersifat
Universitas Sumatera Utara
nanah. Akan tetapi jika terbentuk kista maka kotoran yang keluar dari penis berwarna keabu-abuan atau kemerahan berisi darah (Pratiwi, 2012). Kelainan kelenjar prostat sering disertai dengan konstipasi, hernia perinealis dan urin yang tertahan. Gejala lain yang tampak dari hiperplasia kelenjar prostat adalah penurunan berat badan dan anoreksia. Hiperplasia kelenjar prostat menyebabkan retensi urin di dalam vesika urinaria dan keadaan ini cenderung menyebabkan sistitis yaitu radang pada vesika urinaria (Pratiwi, 2012). Menurut Sjamsuhidajat (1996) dalam Furqan (2003), BPH merupakan penyakit pada pria usia diatas 50 tahun yang sering dijumpai karena letak anatominya yang mengelilingi uretra, pembesaran dari prostat akan menekan lumen uretra yang menyebabkan sumbatan dari aliran kandung kemih. Prostat akan semakin membesar dengan meningkatnya usianya. Menurut Pratiwi (2012), pada kondisi normal ukuran diameter kelenjar prostat 2,5 – 3 cm sedangkan pada kondisi hiperplasia dapat mencapai 5 – 6 cm atau lebih besar lagi bila ada kista di dalamnya.
Gambar 2.1 : Gambaran normal prostat dan gambaran BPH Sumber: Wibowo, 2013, Referat Benign Prostat Hyperplasia 2.1.2. Patofisiologi BPH
Universitas Sumatera Utara
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan ini untuk mengeluarkan urinnya. Kontraksi secara terus-menerus menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) yang dulu dikenal dengan gejala prostatismus. Tekanan intravesikal yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini akan menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesikoureter. Jika keadaan ini berlangsung terus, dapat mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal (Nurs dan Baticaca, 2008).
2.1.3.
Gejala klinis BPH Menurut Brown (1982), Blandy (1983), Burkit (1990), Forrest (1990),
Weinerth (1992) dalam Furqan (2003), gejala klinik yang timbul disebabkan oleh karena dua hal yang terdiri daripada obstruksi dan iritasi yaitu: -
Gejala pertama yang paling sering dijumpai adalah penurunan kekuatan pancaran dan kaliber aliran urin, oleh karena lumen uretra mengecil dan tahanan di dalam uretra mengecil dan tahanan di dalam uretra meningkat, sehingga kandung kemih harus memberikan tekanan yang lebih besar untuk dapat mengeluarkan urin.
-
Sulit memulai kencing (hesitancy) menunjukan adanya pemanjangan periode laten, sebelum kandung kemih dapat menghasilkan tekanan intravesika yang cukup tinggi.
-
Diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengosongkan kandung kemih, jika kandung kemih tidak dapat mempertahankan tekanan yang
Universitas Sumatera Utara
tinggi selama berkemih, aliran urin dapat berhenti dan dribbling (urin menetes setelah berkemih) bias terjadi. Untuk meningkatkan usaha berkemih pasien biasanya melakukan valvasa menauver sewaktu berkemih. -
Otot-otot kandung kemih menjadi lemah dan kandung kemih gagal mengosongkan urin secara sempurna, sejumlah urin tertahan dalam kandung kemih sehingga menimbulkan sering berkemih (frequency) dan sering berkemih malam hari (nocturia).
2.2
Ultrasonografi
2.2.1. Pendahuluan Ultrasonografi (USG) merupakan salah satu imaging diagnostic (pencitraan diagnostik) untuk pemeriksaan alat-alat tubuh, di mana kita dapat mempelajari bentuk, ukuran anatomis, gerakan, serta hubungan dengan jaringan sekitarnya. Pemeriksaan ini bersifat noninvasif, tidak menimbulkan rasa sakit pada penderita, dapat dilakukan dengan cepat, aman, dan data yang diperoleh mempunyai nilai diagnostik yang tinggi. Tidak ada kontraindikasinya, karena pemeriksaan ini sama sekali tidak akan memperburuk penyakit penderita. Dalam 20 tahun terakhir ini, diagnostik ultrasonik berkembang dengan pesatnya, sehingga saat ini USG mempunyai peranan yang penting untuk menentukan kelainan berbagai organ tubuh (Boer, 2005). Ultrasonografi menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz ( >20 kilohertz) untuk menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh. Manusia dapat mendengar gelombang suara 20-20.000 hertz. Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14 kilohertz digunakan untuk diagnostik. Gelombang suara dikirim melalui suatu alat yang disebut transducer atau probe. Obyek didalam tubuh akan memantulkan kembali gelombang suara yang kemudian akan ditangkap oleh suatu sensor, gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan di layar. Daerah yang tercakup tergantung dari rancangan alatnya.
Universitas Sumatera Utara
Ultrasonografi yang terbaru dapat menayangkan suatu obyek dengan gambaran tiga dimensi, empat dimensi dan berwarna. Efek samping yang sering dilaporkan adalah alergi pada jeli yang diberikan untuk membantu meningkatkan perambatan gelombang suara yang dipancarkan oleh transducer. Pengaruh dari gelombang ultrasonik sendiri belum ada yang melaporkan berakibat buruk bagi kesehatan manusia (Lyanda et al., 2011). 2.2.2.
Persiapan Sebenarnya tidak diperlukan persiapan khusus. Untuk pemeriksaan daerah
pelvis, buli-buli harus penuh (Boer, 2005). 2.2.3.
Gambaran ultrasonografi prostat normal Pada pemeriksaan kelenjar prostat dengan menggunakan transabdominal
ultrasound, tampak kelenjar prostat sebagai struktur homogeny, mengelilingi struktur ovoid tipis, uniform, low level dan disertai reflektifitas akustik. Zona anatomi tidak dapat ditampilkan. Hubungan antara kandung kencing dan kelenjar prostat dapat ditampilkan. Vesikula seminalis pada potongan transversal tampak sebagai “bow tie” atau bentuk tubuler dengan ekogenisitas yang sama atau lebih rendah dari pada prostat. Pada potongan longitudinal kelenjar prostat tampak sebagai “triangular protuberances” yang meluas dan seringkali tidak dapat dibedakan dengan aspek superior dari kelenjar (Armaini, 2003). Pengukuran volume kelenjar prostat didasarkan pada rumus matematika untuk suatu “prolate ellipse” yang diturunkan dari volume = 0,52 x CC x AP x W (dalam cm³), (keterangan CC= Craniocaudal, AP= Anteroposterior, W= lebar pada potongan transversal). Pengukuran ini dapat diubah menjadi satuan berat gram (gm) dengan mengalikan berat jenis tertentu dari jaringan yang kira-kira mendekati 1 gm/cm³ (Armaini, 2003). Menurut Presti et al., (2008), ukuran normal prostat adalah 3- 4 cm pada basisnya, 4- 6 cm pada bagian cephalocaudal, dan 2- 3 cm di anteroposterior.
Universitas Sumatera Utara
2.2.4. Gambaran Ultrasonografi BPH Menurut Wibowo (2013), gambaran sonografi BPH menunjukkan pembesaran bagian dalam glandula, yang relatif hipoekoik dibanding zona perifer. Zona transisi hipoekoik cenderung menekan zona central dan perifer. Batas yang memisahkan hiperplasia dengan zona perifer adalah “surgical capsule”.
Universitas Sumatera Utara