BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Batubara
Batubara merupakan suatu jenis mineral yang tersusun atas karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, dan senyawa- senyawa mineral ( Kent.A.J,1993). Batubara digunakan sebagai sumber energi alternatif untuk menghasilkan listrik. Pada pembakaran batubara, terutama pada batubara yang mengandung kadar sulfur yang tinggi, menghasilkan polutan udara, seperti sulfur dioksida, yang dapat menyebabkan terjadinya hujan asam. Karbon dioksida yang terbentuk pada saat pembakaran berdampak negatif pada lingkungan (Achmad.R,2004).
Sampai pada abad ke 20, para ahli kimia hanya mengetahui sedikit tentang komposisi dan struktur molekul dari beragam jenis batubara, dan hingga 1920, mereka masih meyakini bahwa komposisi batubara terutama didominasi oleh karbon yang dicampur dengan hidrogen, dan dengan beberapa impurities(zat pengotor). Dua metode analisis dan pemisahan batubara yang mereka gunakan, diantaranya adalah destilasi destruktif dan ekstraksi pelarut menunjukkan bahwa batubara hanya mengandung karbon, dan konsentrasi hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur yang lebih sedikit. Adanya kandungan senyawa anorganik seperti aluminium dan silikon oksida akan menghasilkan abu pada hasil pembakaran batubara. Proses destilasi akan menghasilkan tar, air, dan gas. Hidrogen merupakan komponen utama dari gas yang dihasilkan, walaupun amonia, gas karbon monoksida dan dioksida, benzen dan beberapa uap gas hidrokarbon juga terbentuk. (www.chemistryexplained.com/CeCo/Coal.html).
Universitas Sumatera Utara
2.1.1. Proses pembentukan batubara
Batubara terbentuk dari tanaman yang telah tertimbun di dalam tanah dan terjaga pada tekanan yang tinggi dan pemanasan dalam jangka waktu yang lama. Tanaman mengandung kandungan selulosa yang tinggi. Setelah tanaman dan pepohonan tersebut tertimbun dalam jangka waktu tertentu di dalam tanah akan terjadi perubahan kimia yang merendahkan kadar oksigen dan hidrogen dari molekul selulosa tersebut (Zumdahl,1997).
Para pakar geologis meyakini bahwa proses pengendapan batubara di dalam tanah terbentuk sekitar 250-300 juta tahun yang lalu, ketika sebagian besar bumi masih dilapisi oleh hutan dan pepohonan yang lebat. Pohon dan tanaman tersebut akan mengalami proses regenerasi dimana bagian dari tanaman yang berguguran akan tertimbun dalam lapisan tanah, dan proses ini akan mengakibatkan penurunan kadar oksigen
dan
hidrogen
secara
bertahap
pada
molekul
selulosa
tersebut
(www.chemistryexplained.com/Ce-Co/Coal.html).
Selama degradasi dari tanaman yang telah mati, dekomposisi dari protein, pati, dan selulosa lebih cepat daripada dari bahan kayu. Pada berbagai tingkat, dan dengan berbagai kondisi iklim yang berbeda, konstituen dari tanaman akan terdekomposisi dalam kondisi aerob membentuk karbon dioksida, air, dan ammonia. Proses ini disebut “humifikasi” dan akan membentuk gambut. Gambut ini kemudian tertutup oleh lapisan sedimen, tanpa adanya udara, dan karenanya tahap kedua dari proses pembentukan batubara terjadi dalam kondisi anaerob. Pada tahap kedua, proses gabungan antara temperatur, tekanan, dan waktu akan mengubah lapisan gambut menjadi brown coal ( lignit), dan kemudian sub-bituminus, dan kemudian membentuk antrasit. Jenis-jenis batubara ini umumnya disebut dengan batubara hitam ( black coals).
Dalam kondisi yang paling basah ( lembab) akan dihasilkan batubara dengan mutu yang paling rendah, batubara coklat ( lignit). Pada temperatur dan tekanan yang lebih tinggi dan dengan waktu yang cukup, akan membentuk batubara subbituminus, dan bahkan membentuk antrasit (www.powerworks.com.au/chemistry/pdf).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Jenis-jenis batubara
Batubara dapat digolongkan menjadi 4 jenis tergantung dari umur dan lokasi pengambilan batubara, yakni lignit, subbituminous, bituminous, dan antrasit, dimana masing- masing jenis batubara tersebut secara berurutan memiliki perbandingan C : O dan C : H yang lebih tinggi. Antrasit merupakan batubara yang paling bernilai tinggi, dan lignit, yang paling bernilai rendah. 1. Lignit ; disebut juga brown-coal, merupakan tingkatan batubara yang paling rendah, dan umumnya digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik. 2. Subbituminous ; umum digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga uap. Subbituminous juga merupakan sumber bahan baku yang penting dalam pembuatan hidrokarbon aromatis dalam industri kimia sintetis. 3. Bituminous ; mineral padat, berwarna hitam dan kadang coklat tua, sering digunakan dalam pembangkit listrik tenaga uap. 4. Antrasit ; merupakan jenis batubara yang memiliki kandungan paling tinggi dengan struktur yang lebih keras serta permukaan yang lebih kilau dan sering digunakan keperluan rumah tangga dan industri.
Tabel 2.1. Komposisi elemen dari berbagai tipe batubara Komposisi Elemen dari Beberapa tipe Batubara Persentase Massa Jenis Batubara
%C
Lignit
60-75
Subbituminous
%H
%O
%H2O % Volatile matter
5-6
20-30
50-70
45-55
75-80
5-6
15-20
25-30
40-45
Bituminous
80-90
4-5
10-15
5-10
20-40
Antrasit
90-95
2-3
2-3
2-5
5-7
(www.powerworks.com.au/chemistry/pdf)
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Dampak penggunaan batubara terhadap lingkungan
Batubara merupakan bahan bakar utama untuk menghasilkan tenaga listrik, karena biayanya yang relatif murah dan mudah didapatkan karena produknya yang berlimpah. Di lain pihak, pembakaran batubara dapat menyebabkan emisi logam seperti As, Hg, Cd, dan Pb. Besar kecilnya kandungan logam juga berbeda- beda dan bergantung pada asal produksinya. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa batubara lignit ( asal kayu ) dan batubara subbituminus ( asal batuan ) kurang mengandung logam- logam tersebut daripada batubara bituminous ( mineral asli ).
Selama proses pembakaran, bagian batubara yang mudah menguap akan berbentuk gas di dalam
boiler dan mengumpul dalam partikel aerosol. Suhu
pembakaran dalam boiler merupakan salah satu parameter yang penting dalam memengaruhi jumlah logam yang terbebaskan. Makin tinggi suhu dalam boiler, makin banyak logam yang terbebaskan. Sistem filter juga dipergunakan dalam mengurangi emisi logam ke udara, yaitu dengan menggunakan electrostatic precipitator ( ESP ) dan scrubber basah yang dipasang pada buangan asap pembangkitlistrik tenaga batubara ( Darmono, 2001).
Sulfur oksida ( SOx) dan nitrogen oksida ( NOx) hasil pembakaran batubara dan bahan bakar fosil lainnya yang terdapat di udara akan bereaksi dengan molekul – molekul uap di atmosfir membentuk asam sulfat ( H2SO4) dan asam nitrat ( HNO3) yang selanjutnya akan turun ke permukaan bumi bersama – sama dengan air hujan, yang dikenal dengan hujan asam. Hujan asam dapat mengakibatkan rusaknya bangunan dan berkaratnya benda- benda yang terbuat dari logam, selain itu hujan asam juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan terutama pengasaman ( acidification ) danau dan sungai, pH dibawah 4.5 tidak memungkinkan bagi ikan untuk hidup. Asam di air akan menghambat produksi enzim dari larva ikan untuk keluar dari telurnya. Asam juga mengikat logam beracun seperti aluminium di danau. Aluminium akan menyebabkan produksi lender yang berlebihan pada insang sehingga ikan sulit bernafas (Achmad,2004).
Universitas Sumatera Utara
Pembakaran batubara akan menghasilkan abu terbang ( fly ash ) dan abu dasar ( bottom ash ). Jumlah abu terbang yang dihasilkan lebih banyak ( 80% dari total sisa abu pembakaran batubara), butiran abu terbang jauh lebih kecil ( 200 Mesh) dan lebih berpotensi menimbulkan pencemaran udara, sedangkan abu dasar masih mempunyai nilai kalori sehingga masih dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan bakar ( Munir.M,2008).
2.2. Abu terbang
Abu terbang merupakan salah satu residu (limbah batubara) yang dihasilkan dalam pembakaran batu bara. Abu terbang terdiri dari partikel halus yang terbang, dan jumlahnya meningkat dengan bertambahnya gas buangan. Abu tidak terbang disebut dengan abu dasar. Dalam industri, abu terbang biasanya mengacu pada abu yang dihasilkan selama proses pembakaran batu bara. Abu terbang umumnya dihasilkan dari cerobong hasil pembakaran batubara pada pabrik pembangkit listrik. Abu terbang bersama- sama dengan abu dasar akan dihasilkan dalam tungku pembakaran batubara, yang dikenal sebagai abu hasil pembakaran batubara. Komponen abu terbang sangat bervariasi, dengan komponen utama silikon dioksida ( SiO2 ) ( baik amorf maupun kristal), dan kalsium oksida ( CaO ).
Abu terbang hasil pembakaran batubara mumnya dilepaskan ke atmosfir tanpa adanya pengendalian, sehingga dapat menimbulkan pencemaran udara. Oleh karena itu diperlukan adanya perhatian terhadap lingkungan dan pengendalian pencemaran terhadap abu terbang sebelum dilepaskan ke alam. Di Amerika, abu terbang umumnya disimpan sementara pada pembangkit listrik tenaga batubara, dan akhirnya dibuang di landfill( tempat pembuangan ). Penumpukan abu terbang batubara ini menimbulkan masalah bagi lingkungan. Oleh karena itu dilakukan berbagai penelitian untuk meningkatkan nilai ekonomisnya, sehingga dapat mengurangi dampak buruknya bagi lingkungan ( Munir, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.2.1.Jenis- jenis abu terbang
Menurut American Society for Testing and Materials ( ASTM ) C618, pembagian abu terbang dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu abu terbang kelas C dan abu terbang kelas F. Abu terbang kelas F didapatkan dari pembakaran batubara antrasit dan bituminous, sedangkan abu terbang kelas C didapatkan dari pembakaran batubara lignit dan subbituminus ( ASTM C618).
Pembakaran dari batubara antrasit dan bituminous yang lebih kuat dan lebih tua akan menghasilkan abu terbang kelas F. Abu terbang jenis ini mengandung kurang dari 10% kapur ( CaO ). Abu terbang kelas F membutuhkan agen penyemenan ( cementing agent ), seperti misalnya semen Portland, kapur, dan dengan adanya air untuk bereaksi dan menghasilkan senyawa semen.
Pembakaran dari batubara lignit dan subbituminus yang lebih muda akan menghasilkan abu terbang kelas C, yang memiliki sifat penyemenan sendiri ( selfcementing ), yang dengan penambahan air, abu terbang kelas C akan mengeras dan semakin
kuat.
Abu
terbang
kelas
C
mengandung
lebih
dari
20%
CaO(http://en.wikipedia.org/wiki/Fly_ash).
2.2.2. Komposisi kimia dan karakteristik abu terbang
Ukuran dan bentuk karakteristik dari partikel abu terbang sangat bergantung pada tempat asal dan kesamaan dari batubara, derajat penghancuran sebelum dibakar, pembakaran yang merata dan sistem padat, berlubang atau bola. Pembakaran batubara dapat menghasilkan abu terbang dengan berbagai macam warna, hal ini sangat bergantung pada suhu di dalam tungku pada saat pembakaran. Proses pembakaran ini memiliki peranan paling penting terhadap mutu abu terbang yang dihasilkan. Abu terbang akan berwarna kehitam-hitaman apabila suhu pada saat pembakaran kurang dari 1000oC (pembakaran tidak sempurna ) dan akan berwarna abu-abu apabila pembakaran tersebut dilakukan pada suhu 1000oC ( pembakaran sempurna). Perbedaan ini disebabkan adanya kandungan karbon yang belum terbakar .
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Komposisi kimia dari batubara dan abu terbang hasil pembakaran batubara Unsur
Batubara
Abu
Unsur
Batubara
Abu terbang
terbang Unsur Makro (%) Unsur renik (mg/kg)
Al
1,65
15,0
C
73,2
4,3
Ca
0,14
1,2
Fe
0,51
4,7
K
0,17
1,5
Mg
0,08
0,7
N
1,6
0,3
Na
0,04
0,4
P
0,01
0,10
S
0,7
0,1
Si
2,82
25,7
Ti
0,08
0,8
As
3,7
34
B
43
163
Ba
158
1438
Cd
0,10
0,9
Co
5,8
52
Cr
14,4
131
Cu
16,6
151
Ga
2,0
18
Hg
0,16
0,23
La
7,6
69
Mn
46
415
Mo
3,0
27
Ni
11
98
Pb
8,5
77
Rb
9,2
84
Se
2,2
13
Sr
107
971
Th
2,9
26
U
1,5
13
V
29
262
Y
-
-
Zn
24
218
( Tripathi.S.M.,2003)
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Dampak abu terbang terhadap lingkungan
Sisa hasil pembakaran batubara menghasilkan abu terbang dan abu dasar. Persentase abu yang dihasilkan adalah abu terbang (80-90%) dan abu dasar (10-20%). Butiran abu terbang jauh lebih kecil daripada abu dasar, sehingga lebih berpotensi menimbulkan pencemaran udara, sedangkan abu dasar masih mempunyai nilai kalori, sehingga masih dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan bakar.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah nomor 85 tahun 1999, abu batubara diklasifikasikan sebagai limbah B-3 sehingga penanganannya harus memenuhi kaidah-kaidah tersebut. Penanganan yang direkomendasikan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah nomor 85 tahun 1999 adalah solidifikasi dimana dengan proses tersebut limbah B-3 dalam abu batubara dapat menjadi stabil dan dapat dimanfaatkan sebagai produk yang aman bagi kesehatan dan lingkungan.
Pemanfaatan limbah B-3 adalah kegiatan penggunaan kembali (reuse), daur ulang (recycle), dan perolehan kembali ( recovery) yang bertujuan untuk mengubah limbah B-3 menjadi produk yang dapat digunakan dan harus aman terhadap lingkungan. •
Reuse adalah penggunaan kembali limbah B-3 dengan tujuan yang sama tanpa melalui proses tambahan secara fisika, kimia, biologi, ataupun secara termal.
•
Recycle adalah proses mendaur ulang komponen-komponen yang bermanfaat, melalui proses tambahan secara fisika, kimia, biologi, atau secara termal untuk menghasilkan produk yang sama ataupun produk yang berbeda
•
Recovery adalah perolehan kembali komponen- komponen yang bermanfaat secara fisika, kimia, biologi, ataupun secara termal
Limbah bahan berbahaya dan Beracun (B-3) adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun karena sifat, konsentrasi, dan jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan merusakkan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, Penghasil limbah B-3 tidak boleh membuang limbah B-3 yang dihasilkan
Universitas Sumatera Utara
tersebut secara langsung ke media lingkungan tanpa pengelolaan terlebih dahulu, dan juga tidak boleh melakukan pengenceran untuk maksud menurunkan konsentrasi racun dan zat berbahaya B-3, karena pada hakekatnya pengenceran tidak mengurangi beban pencemaran yang ada, dan tetap sama dengan sebelum dilakukan pengenceran. Pengenceran tidak akan menghilangkan sifat berbahaya dan beracunnya limbah B-3 tersebut.
Proses pengolahan limbah B-3 dapat sengan cara fisika dan kimia, insenerasi, dan solidifikasi/ stabilisasi. Proses pengolahan secara fisika dan kimia dimaksudkan untuk mengurangi sifat racun dalam limbah B-3 menjadi tidak berbahaya lagi. Proses pengolahan secara insenerasi dimaksudkan untuk menghancurkan limbah B-3 dengan cara pemanasan pada suhu yang tinggi untuk dijadikan senyawa yang mempunyai sifat tidak mengandung B-3 lagi. Proses solidifikasi/ stabilisasi pada prinsipnya adalah mengubah sifat fisika dan kimia limbah dengan cara menambahkan bahan mengikat ( cement) untuk membentuk senyawa dengan struktur yang kompak, agar pergerakan limbah B-3 terbatasi, daya larut diperkecil sehingga daya racunnya berkurang sebelum limbah B-3 tersebut dimanfaatkan kembali. ( Munir, 2008)
2.3. Elemen mayor,minor, dan elemen renik dalam abu terbang serta analisisnya
Unsur mayor dalam batubara adalah Al, Si, K, Na, Ca, Mg, Fe, P dan Ti.(Haraldsson,2004). Oksida mayor yang terdapat pada abu terbang adalah SiO2, Al2O3, CaO, dan Fe2O (Bingol.D,2004). Elemen renik yang terkandung dalam abu terbang adalah As, Ba, Cr, Hg, Mo, Ni, Pb, Se, V dan Cu( Brown W) dan elemen minor yang terdapat dalam abu terbang adalah Cd, Co, Mn, Sb, dan Zn(Haraldsson,2004).
Analisis unsur makro membutuhkan analisis residu abu pada temperatur tinggi, sama seperti penentuan unsur utama dalam batu- batuan silikat. Berdasarkan penelitian yang telah ada, penentuan kadar elemen dalam abu batubara dapat dilakukan dengan cara membakar sampel, dan kemudian ditambahkan litium tetraborat yang diikuti dengan metode analisis dengan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Umumnya, elemen dari abu terbang batubara adalah Si, Al, Fe, Ti, Ca, Mg,
Universitas Sumatera Utara
Na, K, P, dan S. Penggunaan metode pembakaran campuran telah dibahas sebelumnya, penggunaan litium metaborat untuk abu terbang dengan kadar silika yang tinggi, dan pencampuran dengan litium tetraborat apabila abu terbang mengandung oksida besi yang tinggi.
Metode spektrofotometri serapan atom adalah metode yang paling umum digunakan dalam analisa abu terbang, tetapi hanya dapat menentukan satu elemen dalam setiap penentuan. Penentuan multi-elemen menggunakan Inductively coupled plasma- atomic emission spectrometry ( ICP-AES) telah dibahas, sehingga untuk analisis semua elemen- elemen yang terkandung dalam abu terbang batubara dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dibanding metode SSA (Lindahl, 1998).
Penentuan elemen renik dalam abu terbang hanya dapat ditentukan apabila elemen renik yang terkandung tidak mengalami penguapan selama proses pengabuan. Pembakaran untuk penentuan elemen ini dapat dilakukan pada suhu 500oC, untuk penentuan kadar Be, Cu, Cr, Mn, Ni, V, Pb, dan Zn dengan spektrofotometri serapan atom. Walaupun dengan metode SSA nyala dapat diperoleh hasil yang memuaskan untuk penentuan kadar elemen- elemen yang telah disebutkan diatas, tetapi banyak abu batubara yang mengandung kadar Pb dan V dengan jumlah yang lebih rendah sehingga kuantisasinya menjadi susah dan tidak akurat. Metode alternatif lain untuk penentuan elemen renik dalam abu terbang digunakan ICP-OES, dengan tingkat ketelitian yang tinggi, dan waktu yang diperlukan untuk analisa dengan ICP-AES lebih singkat, sehingga dapat menghemat waktu analisa ( Lindahl,1998).
Apabila komponen anorganik yang terkandung dalam batubara tidak menguap selama proses pengabuan, maka penentuan kadar elemen dalam abu terbang dengan cara diatas dapat dilakukan. Tetapi untuk beberapa elemen seperti Na, Sn dan Cd akan menguap selama proses pengabuan. Oleh karena itu, digunakan metode wet ashing ( pengabuan basah ), dengan menggunakan campuran dari asam perklorat ( HClO4) dan asam pekat lainnya untuk melarutkan, wet ashing akan mengurangi menguapnya komponen renik, mayor, dan minor, tetapi pada umumnya laboratorium untuk analisis batubara menghindari penggunaan perklorat, karena asam perklorat merupakan bahan yang amat berbahaya. Penggunaan dari campuran nitrat-asam perklorat dan bom
Universitas Sumatera Utara
oksigen dalam analisis batubara akan mengeliminasi hilangnya kuantisasi elemen akibat adanya penguapan dari preparasi sampel ( Lindahl,1998).
Penentuan
Alumina
dan
Silika
dapat
ditentukan
dengan
metode
Spektrofotometri Serapan Atom, dan digunakan pelarut HF3-H3BO3 untuk mencegah adanya gangguan dari komponen mayor lainnya. Campuran dari HF3-H3BO3 juga meningkatkan sinyal absorpsi silika yang relatif pada sistem udara. Metode ini menunjukkan ketelitian dan keakuratannya untuk senyawa batu-batuan ( Brecque, 1979).
Penentuan elemen mayor dan minor, dapat dilakukan dengan cara destruksi basah dalam kondisi tertutup dengan variasi pelarut dari HNO3, H2O2, HF, HCl, dan HClO4 yang dipanaskan dengan microwave, dengan atau tanpa netralisasi dengan H3BO3. Destruksi dengan HNO3/ H2O2/ HF diikuti dengan netralisasi dengan H3BO3 untuk penentuan elemen mayor, dan destruksi dengan HNO3/ H2O2/ HF untuk penentuan elemen minor ( Haraldsson, 2004).
Metode penetuan kadar Cr, Pb, Zn, Co, Ni, dan Mn dapat diketahui dengan menggunakan metode Spektrofotometri Serapan Atom. Sampel abu terbang kering ( 0.3 g) dicampurkan dengan 5mL HNO3 dan 2ml HF, yang kemudian dilebur pada suhu 180oC. Hasil leburan kemudian disaring, dan filtrat yang diperoleh diencerkan dalam labu takar 50mL, yang kemudian dianalisis dengan SSA untuk mengetahui kandungan kadar logam dalam abu terbang (Sushil,S. 2005)
Analisa elemen yang terkandung pada abu terbang umumnya dipersiapkan dengan menggunakan metode destruksi dengan asam kuat. Untuk sampel anorganik, batu-batuan, hasil tambang, tanah, dan mineral umumnya menggunakan asam kuat dan campuran beberapa asam yang paling sesuai dengan jenis logam yang ingin dianalisa. Campuran sampel dengan asam nitrat, perklorat, dan HF didihkan hingga kering dan terbentuk butiran- butiran putih, didinginkan, dan kemudian diencerkan. Untuk kelarutan yang lebih tinggi, campuran asam kuat dan agen pengoksidasi /HF dapat digunakan. Asam sulfat dengan hidrogen peroksida merupakan salah satu contoh pengoksidasi yang kuat (Mitra,S.2003).
Universitas Sumatera Utara
SSA dapat digunakan untuk penentuan logam Cd, Co, Cr, Cu, Mn, Ni, Pb, V, dan Zn secara kuantitatif. Destruksi dengan menggunakan asam nitrat dan akuaregia dan pemanasan dalam microwave menghasilkan kelarutan yang kurang sempurna dari sampel. Tingkat kelarutan yang tinggi dan lebih baik dihasilkan ketika sejumlah kecil HF ditambahkan pada sampel. (Marco,A.2007)
2.4. Toksinitas logam Kobalt dan Nikel
2.4.1. Nikel ( Ni )
Nikel adalah logam berwarna putih perak dengan berat atom 58.71 g/mol dan berat jenis 8.5. Nikel sebagai bahan paduan logam banyak digunakan di berbagai industri logam, berbagai macam baja, serta electroplating( pelapisan permukaan).
Pencemaran Ni di udara berasal dari pembakaran batubara, pembakaran BBM, industri pemurnian logam Ni, serta limbah dari incinerator. Pembuangan limbah yang mengandung Ni mengakibatkan pencemaran Ni pada tanah, air, dan tanaman. Total Ni dalam tanah bisa mencapai 5-500 ppm, sedangkan kadar Ni pada air tanah mencapai 0.005-0.05 ppm dan kadar Ni pada tumbuhan tidak lebih dari 1 ppm.
Logam nikel dan senyawa nikel merupakan bahan karsinogenik. Ni-subsulfida dapat mengakibatkan kanker paru-paru, kanker rongga hidung, dan kanker pita suara, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Nikel merupakan bahan karsinogenik, terutama bagi pekerja di industri pemurnian nikel. The Environmental Protection Agency ( EPA ) menetapkan debu nikel murni dan nikel subsulfida sebagai bahan karsinogen.
2.4.2. Kobalt ( Co )
Kobalt merupakan logam berwarna abu- abu perak dan memiliki berat molekul 58.93 g/mol. Kobalt dan senyawanya terdapat di dalam melalui sumber alam dan aktivitas manusia. Kobalt secara alami terdapat di bebatuan, tanah, air, tanaman, dan hewan.
Universitas Sumatera Utara
Sumber alami Co di lingkungan adalah tanah, debu, air laut, lava gunung berapi, dan kebakaran hutan. Co bisa berasal dari limbah pembakaran minyak, pembakaran batubara, sisa pembakaran kenderaan bermotor, pesawat, serta limbah dari indusri logam keras.
Pada manusia, kadar Co normal dalam urin adalah sebesar 98 µg/L, sedangkan kadar Co normal dalam darah 0,18 µg/L. Logam Co bisa mengakibatkan iritasi serta dermatitis bagi pekerja di lingkungan industri logam keras, industri karet, industri kaca, dan industri plastik. Debu Co bisa menyebabkan penyakit mirip asma dengan gejala batuk, nafas pendek, sulit bernafas, penurunan fungsi paru-paru yang bahkan bisa mengakibatkan kematian. Co dapat mengakibatkan gangguan jantung akibat paparan kronis yang biasanya dialami oleh para pekerja dalam industri yang menggunakan bahan baku Co. Para pekerja yang menghirup udara dengan kadar Co 0,038 mg/m3 (100.000 kali lipat lebih besar daripada batas kadar aman Co di udara) dapat menyebabkan gangguan fungsi paru-paru.
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan uji menetapkan bahwa Co bersifat karsinogenik. The International Agency Reasearch on Cancer ( IARC) menetapkan bahwa Co bersifat karsinogenik (Widowati.W,2008).
2.5. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)
Jika suatu larutan yang mengandung suatu garam logam ( atau senyawa logam ) diaspirasikan ke dalam suatu nyala maka akan terbentuk uap yang mengandung atomatom bebas logam yang berada pada keadaan dasar. Beberapa atom logam dalam gas ini dapat dieksitasi ke tingkatan energi yang lebih tinggi dengan menyerap radiasi yang karakteristik dari logam tersebut. Atom-atom dalam keadaan dasar ini mampu menyerap energi cahaya yang panjang gelombang resonansinya spesifik untuknya, yang pada umumnya adalah panjang gelombang radiasi yang akan dipancarkan atomatom itu bila tereksitasi dari keadaan dasar. Jadi jika cahaya dengan panjang gelombang resonansi itu dilewatkan nyala yang mengandung atom- atom bersangkutan, maka sebagian cahaya itu akan diserap, dan jauhnya penyerapan
Universitas Sumatera Utara
berbanding lurus dengan banyaknya atom keadaan dasar yang berada dalam nyala. Inilah asas yang mendasari Spektroskopi Serapan Atom (SSA) ( Vogel, 1994).
2.5.1. Instrumentasi
Gambar 2.1. menunjukkan dalam bentuk bagan komponen- komponen dari sebuah spektrofotometer absorpsi atom dasar. Lampu katoda berongga
Ato misa si
Monokromato
Detektor
Pembacaan Sampel Gambar 2.1. Skema bagan alat Spektrofotometer Serapan Atom
Untuk spektroskopi nyala suatu persyaratan penting adalah bahwa nyala yang dipakai hendaknya menghasilkan temperatur lebih dari 2000 K ( Vogel, 1984). Dengan sistem pengabut-pembakar, tabung kapiler akan menarik sampel dari dalam suatu wadah dan memecahkannya menjadi tetes-tetes halus ( aerosol ). Temperatur yang dapat dicapai bergantung pada gas yang digunakan; nilai kira-kira antara lain adalah gas batubara-udara 1800oC, gas alam-udara 1700oC, asetilena-udara 2200oC, asetilena-dinitrogen oksida, 3000oC ( Underwood, 2002).
Dalam SSA, fungsi monokromator adalah untuk memisahkan radiasi resonansi dari semua garis yang tak diserap yang dipancarkan oleh sumber radiasi.
2.5.2. Gangguan
Absorpsi atom jelas sekali bebasnya dari gangguan. Perangkat tingkat- tingkat energi elektronik untuk sebuah atom adalah spesifik untuk unsur itu. Ini berarti tidak ada dua unsur yang memperagakan garis-garis resonansi yang sama panjang gelombangnya (Underwood, 2002).
Universitas Sumatera Utara
2.5.2.1. Gangguan spektral
Gangguan spektral terjadi karena tumpang tindih antara frekuensi-frekuensi garis resonansi yang terpilih dengan garis-garis yang dipancarkan oleh unsur lain. Hal ini timbul karena dalam prakteknya suatu garis yang terpilih memang mempunyai lebar pita yang terhingga.
Dengan metode emisi nyala, gangguan spektral lebih mungkin terjadi apabila emisi garis unsur yang akan ditetapkan itu dan emisi garis yang disebabkan zat-zat pengganggu berdekatan panjang gelombangnya. Hal ini menyebabkan kurangnya kepekaan dan jeleknya ketelitian analisis.
2.5.2.2. Gangguan kimia
1. Adanya pembentukan senyawa stabil ; menyebabkan tidak sempurnanya disosiasi zat yang akan dianalisis di dalam nyala, yang tak dapat berdisosiasi menjadi atom-atom penyusunnya. 2. Pengionan atom gas berkeadaan dasar dalam nyala; akan mengurangi intensitas emisi garis spektral atom dalam spektroskopi emisi nyala. Temperatur tinggi asetilena-udara atau asetilena-dinitrogen oksida dapat mengakibatkan pengionan dari unsur-unsur seperti logam alkali dan kalsium, strontium, maupun barium ( Vogel,1984). 3. Efek- efek matriks; disosiasi menjadi atom-atom pada suatu temperatur tertentu bergantung sekali pada komposisi keseluruhan dari sampel.Misalnya suatu larutan kalsium klorida dikabutkan dan dilarutkan partikel-partikel halus CaCl2 padat akan berdisosiasi menghasilkan atom Ca dengan lebih mudah daripada Ca3(PO4)2 ( Underwood,2002). 4. Absorpsi molekular; misalnya dalam suatu nyala asetilena-udara natrium klorida berkonsentrasi tinggi akan menyerap radiasi berpanjang gelombang sekitar 231,9 nm yang merupakan panjang gelombang garis resonansi zink, sehingga NaCl akan menyebabkan gangguan dalam penetapan zink dalam kondisi ini ( Vogel, 1984).
Universitas Sumatera Utara