BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kelapa Sawit 2.1.1
Sejarah Perkelapa Sawitan Mengenai daerah asal kelapa sawit terdapat beberapa pendapat. Pendapat pertama
menyatakan bahwa kalapa sawit berasal dari afrika, sedangkan pendapat yang kedua menyebut Amerika Selatan sebagai daerah asal. Pendapat pertama didukung oleh alasan-alasan yang sangat kuat. Penyelidikan yang dilakukan Zeven (1926) terhadap fosil tepung sari (ipollen) yang terdapat dalam lapisan-lapisan arkeologis dari zaman Miocene maupun lapisan-lapisan yang lebih muda, memberikan indikasi bahwa kelapa sawit telah tumbuh sejak lama sekali di kawasan Afrika. Selanjutnya catatan-catatan sejarah penjelajahan orang-orang Eropa ke Benua Afrika pada abad ke-15 dan ke-16 turut memperkuat pendapat tersebut. Don Mosto dalam penjelajahan antara tahun 1435 dan 1460 menemukan sejumlah besar pohon hitam di Afrika Barat. Dalam kisah perjalanan Duarte Peraria disebutkan adanya pohon- pohon kelapa sawit di pantai Liberia dan perdagangan minyak kelapa sawit di Nigeria. Penjelajahan kemudian dilakukan oleh pengelana bangsa Portugis, Belanda dan Inggris juga menyebutkan adanya minyak kelapa sawit dan anggur (wine) kelapa sawit. Sedangkan perjalanan Broecke menjelang akhir abad ke-16 diantaranya mengemukakan adanya bahan-bahan yang diperkirakan berasal dari pohon kelapa sawit. Telaah linguistik juga mendukung pendapat bahwa kelapa sawit berasal dari Afrika. Di Suriname misalnya, nama-nama yang dipakai untuk kelapa sawit merupakan
Universitas Sumatera Utara
modifikasi kata "Afrika" dalam bahasa-bahasa Yoruba, Fanti-Twi, dan Kikongo. Demikian pula nama "dede" yang dipakai di Brazil diperkirakan berasal dari "ndenden" yang memberikan petunjuk bahwa kelapa sawit dibawa ke Benua Amerika dalam abad ke-16 bersama sama dengan budak belian, dan tumbuh dengan baik di Brazil. (Mangonsoekarjo.S.2003) 2.1.2
Morfologi Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit ( Elaesis Guineses Jacq) merupakan tumbuhan tropis
golongan palma yang termasuk dalam family palawija. Kelapa sawit yang dikenal ialah jenis Dura, Psifera dan Tenera. Ketiga jenis ini dapat dibedakan berdasarkan penampang irisan buah yang tipis, intinya besar dan kandungan minyak dalam buah rendah. Jenis Psifera memiliki tempurung yang tipis, biji yang kecil, daging buah yang tebal, tidak mempunyak cangkang, intinya kecil sekali dibandingkan tipe sura mapun tenera dan kandungan minyak dalam buah sangat tinggi sedangkan tenera merupakan hasil persilangan Dura dan Psifera menghasilkan buah tempurung tipis dan inti yang besar dan kandungan minyak dalam buah tinggi.
Kelapa sawit biasanya mulai berbuah pada umur 3 - 4
tahun dan buahnya
menjadi masak 5 - 6 bulam setelah penyerbukan. Proses pemasakan buah kelapa sawit dapat dilihat dari perubahan warna kulit buahnya, dari hijau pada buah muda menjadi merah Jingga waktu buah telah masak. Pada saat itu, kandungan minyak pada daging buahnya telah maksimal. Jika terlalu matang, buah kelapa sawit akan lepas dari tangkai tandannya. Hal ini disebut dengan istilah membrondol. ( Tim Penulis PS, 1997)
Universitas Sumatera Utara
Tanaman kelapa sawit yang dibudidayakan di Indonesia ada banyak jenisnya. Varietas tanaman tersebut dapat dibedakan berdasarkan tebal tipisnya tempurung (cangkang) dan kandungan minyak dalam buah maka kelapa sawit dapat dibedakan dalam 3 tipe yakni: 1. Dura Tempurung (cangkang) pada buah sekitar 25-45 % sangat tebal antara 2-8 mm, dan tidak terdapat lingkaran serabut pada bagian luar cangkang. Daging buah relatif tipis sekitar 2065% dan kandungan minyak pada buah rendah. 2. Psifera Jenis Psifera memiliki tempurung yang tipis, biji yang kecil, daging buah yang tebal, tidak mempunyai cangkang, intinya kecil namun kandungan minyak dalam buah tinggi. Tanaman ini tidak bisa digunakan untuk penggunaan komersil tapi jenis ini sering disebut sebagai tanaman betina yang steril. Melalui persilangan antara jenis dura dan psifera dihasilkan jenis ketiga yaitu jenis Tenera.
3. Tenera Merupakan persilangan antara Dura sebagai pohon ibu dengan Psifera sebagai pohon bapak. Tenera bertempurung tipis dan inti yang besar dan kandungan minyak dalam buah tinggi. Ukuran daging buah sekitar 60 - 90%, ketebalan cangkang antara 0.5 - 4 mm. (Risza S, 1993)
Universitas Sumatera Utara
Perbandingan penampang dari ketiga jenis kelapa sawit tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 1. Perbandingan penampang bagian dari Dura, Tenera, Psifera yang menunjukkan bagian dari ukuran serat, cangkang dan inti. (Fairhurst, T, Hardter, 2003)
Cara panen buah sangat mempengaruhi jumlah dan mutu minyak yang dihasilkan. Panen yang tepat mempunyai sasaran untuk mencapai kandungan minyak yang paling maksimal. Pemanenan pada keadaan buah lewat matang akan meningkatkan Asam Lemak Bebas atau Free Fatty Acid (ALB atau FFA). Hal itu tentu akan merugikan sebab pada buah yang terlalu masak sebagian kandungan minyaknya berubah menjadi ALB sehingga akan menurunkan mutu minyak. Lagi pula, buah yang terlalu masak lebih muda terserang
Universitas Sumatera Utara
hama dan penyakit. Sebaliknya, pemanenan pada buah yang mentah akan menurunkan kandungan minyak, walaupun ALB-nya rendah. 2.2 Minyak Kelapa Sawit 2.2.1 Mutu Minyak Kelapa Sawit Akhir - akhir ini minyak sawit berperan cukup penting dalam perdagangan dunia. Berbagai industri baik industri pangan maupun non pangan banyak yang menggunakan minyak sawit ( CPO ) sebagai bahan baku. Berdasarkan kegunaan dan peranan minyak sawit itu maka mutu dan kwalitasnya harus diperhatikan sebab sangat menentukan harga dan nilai komoditasnya. Dalam perdagangan minyak kelapa sawit, istilah mutu sebenarnya dapat dibedakan menjadi dua arti, yang pertama adalah mutu minyak sawit yang benar -benar murni dan tidak tercampur dengan campuran pengotor lainnya. Mutu minyak sawit dalam arti yang kedua dapat ditentukan dengan menilai sifat fisik dan kimianya antara lain viskositas, angka penyabunan dan bilangan iodium, asam lemak bebas (ALB ), kadar air, kadar kotoran, dan logam - logam yang diukur berdasarkan spesifik standar mutu internasional. Bertitik tolak dari perbedaan penggunaannya minyak sawit dapat dibedakan sebagai bahan baku untuk industri pangan dan non pangan. Untuk kebutuhan bahan pangan tentunya tuntutan syarat mutu minyak sawit harus lebih ketat bila dibandingkan dengan bahan baku non pangan, oleh karna itu keaslian, kemurnian, kesegaran maupun aspek higienisnya harus lebih diperhatikan sebab dampaknya langsung berpengaruh pada kesehatan manusia. 2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu minyak sawit
Universitas Sumatera Utara
Rendahnya mutu minyak sawit sangat ditentukan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut dapat langsung dari sifat pohon induknya penanganan pascapanen atau kesalahan selama pemprosesan dan pengangkutannya. Berikut ini akan dikemukakan beberapa hal yang secara langsung berkaitan dengan penurunan mutu minyak sawit dan sekaligus pencegahannya, serta standar mutu minyak sawit yang dikehendaki pasar. a. Asam Lemak Bebas Asam lemak bebas dalam konsentrasi tinggi yang terikut dalam minyak sawit sangat merugikan. Tingginya asam lemak bebas ini mengakibatkan rendemen minyak turun. Untuk itulah perlu dilakukan usaha pencegahan terbentuknya asam lemak bebas dalam minyak sawit.
Kenaikan kadar ALB ditentukan mulai dari saat tandan dipanen sampai tandan diolah di pabrik. Kenaikan ALB ini disebabkan adanya reaksi hidrolisa pada minyak. Hasil reaksi hidrolisa minyak sawit adalah gliserol dan asam lemak bebas. Reaksi ini akan dipercepat dengan adanya faktor-faktor panas, air, keasaman, dan katalis (enzim). Semakin lama reaksi ini berlangsung, maka semakin banyak kadar ALB yang terbentuk. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan peningkatan kadar ALB yang relatif tinggi dalam minyak sawit antara lain : -
pemanenan buah sawit yang tidak tepat waktu
-
keterlambatan dalam pengumpulan dan pengangkutan buah
-
penumpukan buah yang terlalu lama
-
proses hidrolisa selama pemprosesan di pabrik. (Tim Penulis PS, 1997)
Universitas Sumatera Utara
Setelah mengetahui faktor-faktor penyebabnya, maka tindakan pencegahan dan pemucatannya lebih mudah dilakukan.
Pemanenan pada waktu yang tepat merupakan salah satu untuk menekan kadar ALB sekaligus menaikkan rendemen minyak. Agar ALB minimum, transportasi buah panen harus dilakukan sesegera mungkin. Selain itu juga perlu dijamin bahwa hanya buah yang cukukp matang yang dipanen. Kandungan ALB buah sawit yang baru dipanen biasanya kurang dari 0,3 %. Peningkatan ALB terjadi karena kerusakan buah selama proses panen sampai tiba di ketel perebusan.
Pemetikan buah sawit di saat belum matang (saat proses biokimia dalam buah belum sempurna) menghasilkan gliserida sehingga mengakibatkan terbentuknya ALB dalam minyak sawit. Sedangkan, pemetikan setelah batas tepat panen yang ditandai dengan buah yang berjatuhan dan menyebabkan pelukaan pada buah yang lainnya, akan menstimulir penguraian enzimatis pada buah sehingga menghasilkan ALB dan akhirnya terikut dalam buah sawit yang masih utuh sehingga kadar ALB meningkat. Untuk itulah, pemanenan TBS harus dikaitkan dengan kriteria matang panen sehingga dihasilkan minyak sawit yang berkualitas tinggi. Dikaitkan dengan pencegahan kerusakan buah sawit dalam jumlah banyak, telah dikembangkan beberapa metode pemungutan dan pengangkutan TBS. Sistem yang dianggap cukup efektif adalah dengan memasukkan TBS secara langsung ke dalam keranjang buah. Dengan cara tersebut akan lebih mengefesienkan waktu yang digunakan untuk pembongkaran, pemuatan, penumpukkan buah sawit yang terlalu lama. Dengan
Universitas Sumatera Utara
demikian, pembentukan ALB selama pemetikan, pegumpulan, penimbunan, dan pengangkutan buah dapat dikurangi.
Peningkatan kadar ALB juga dapat terjadi pada proses hidrolisa di pabrik. Pada proses tersebut terjadi penguraian kimiawi yang dibantu oleh air dan berlangsung pada kondisi suhu tertentu. Air panas dan uap air pada suhu tertentu merupakan bahan pembantu dalam proses pengolahan. Akan tetapi, proses pengolahan yang kurang cermat mengakibatkan efek samping yang tidak diinginkan, mutu minyak menurun sebab air pada kondisi suhu tertentu bukan membantu proses pengolahan perlu tetapi malah menurunkan mutu minyak. Untuk itu, setelah akhir proses pengolahan minyak sawit dilakukan pengeringan dengan suhu 90°C. Sebagai ukuran standar mutu dalam perdagangan untuk ALB ditetapkan sebesar 5%. (Darnoko D.S, 2003) b. Kadar air
Air dalam minyak hanya dalam jumlah kecil. Hal ini dapat terjadi karena proses alami sewaktu pembuahan dan akibat perlakuan di pabrik serta penimbunan. Air yang :erdapat dalam minyak dapat ditentukan dengan cara penguapan dalam alat pengering. Kadar air yang terkandung dalam minyak kelapa sawit tergantung pada efektitas pengolahan kelapa sawit menjadi CPO, dan juga tergantung pada kematangan buah. Buah yang terlalu matang akan mengandung air yang lebih banyak. Untuk itu perlu pengaturan panen yang tepat dan pengolahan yang sempurna untuk mendapatkan produk yang mutunya tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Minyak kelapa sawit yang mempunyai kadar air yang sangat kecil (0.15%) akan memberikan kerugian mutu minyak, di mana pada tingkat kadar air yang demikian kecil akan memudahkan terjadinya proses oksidasi dari minyak itu sendiri. Proses oksidasi ini dapat terjadi dengan adanya oksigen di udara baik pada suhu kamar dan selama proses pengolahan pada suhu tinggi yang akan menyebabkan minyak mempunyai rasa dan bau yang tidak enak (ketengikan). Akibatnya mutu minyak menjadi turun.
Jika kadar air dalam minyak sawit (.0.15%) maka akan mengakibatkan hidrolisa minyak, dimana hidrolisa dari minyak sawit ini akan menghasilkan gliserol dan asam lemak bebas yang menyebabkan rasa dan bau tengik pada minyak tersebut. Untuk mendapatkan kadar air yang sesuai dengan yang diinginkan, maka harus dilakukan pengawasan intensif pada proses pengolahan dan penimbunan. Hal ini bertujuan untuk menhambat atau menekan terjadinya hidrolisa dan oksidasi minyak (Gunawan E, 2004)
Universitas Sumatera Utara