Bab 2. Tinjauan Pustaka
2.1 Pendekatan Perencanaan Transportasi
Tujuan dasar perencanaan transportasi adalah untuk memperkirakan jumlah dan lokasi kebutuhan transportasi (jumlah perjalanan) pada masa mendatang (tahun rencana) untuk kepentingan kebijaksanaan investasi perencanaan transportasi (LPM-ITB, 1997a). Terdapat tiga komponen utama (variabel) dari sistem tata guna lahan perkotaan dengan sistem transportasi, adalah:
a. Tata guna lahan (transport demand), peruntukan sebidang tanah dan intensitas dari aktivitas yang terjadi pada sebidang tanah tersebut. Tata guna lahan ini akan menghasilkan lalulintas, seperti orang akan melakukan perjalanan dari dan ke zona tersebut. b. Penyediaan
Transportasi
(transport
supply),
mengutamakan
dampak
pengembangan infrastruktur sistem transportasi, misalnya ruas jalan serta biaya transportasi. c. Lalulintas (traffic), interaksi tata guna lahan dan prasarana transportasi, yaitu kendaraan dan barang yang bergerak di jaringan jalan, dalam satuan kendaraan/orang/ton per jam.
Kajian sistem transportasi kota, akan memerlukan pemodelan dan prosedur perhitungan untuk menganalisa hubungan antara kebutuhan transportasi dan penyediaan sistem transportasi (LPM-ITB, 1997b). Kebutuhan transportasi yang dimaksud adalah jumlah gerakan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan diatas jalan dari asal ke tujuan.
9
Dalam bidang teknik sipil, terutama transportasi, pemodelan ini sangat membantu dalam proses perencanaan karena merupakan penyederhanaan kondisi sebenarnya untuk tujuan memberikan penjelasan, pengertian, dan peramalan. Tanpa pemodelan, akan sulit sekali mendapatkan gambaran kondisi yang akan terjadi. Akibatnya, keputusan yang diambil tidak tepat sasaran dan tidak efisien serta memerlukan waktu dan biaya. Dengan pemodelan, dapat dilakukan suatu prediksi yang akurat pada saat menetapkan keputusan dan dapat dilakukan trial dan error terlebih dahulu sebelum diterapkan di lapangan. Transportasi banyak dimodelkan dengan model grafis dan model matematis.
2.2 Representasi Jaringan
Salah satu bagian penting dari model transportasi adalah Matriks Asal Tujuan yang
banyak
digunakan
dalam
model
transportasi.
Pendekatan
ini
mengasumsikan bahwa area studi terbagi menjadi beberapa zona (Bierlaire, 1995). Tiap zona direpresentasikan oleh node yang unik dimana semua informasi terpusat di zona. Node ini merepresentasikan beberapa centroid dan simpang serta garisnya merupakan akses dari centroid tersebut atau fasilitas transportasi antar node.
Jaringan dasar berupa jaringan yang terdiri dari titik simpul (node), pusat zona (centroid), ruas (link) dan moda, yang menggambarkan seluruh pergerakan pada infrastruktur eksisting (Gambar 1). kajian
Tamin (2008) menyatakan bahwa daerah
dibagi menjadi beberapa zona internal dan zona eksternal, untuk
mencerminkan sistem aktivitas. Jaringan jalan dicerminkan oleh ruas dan simpul, dimana simpul merupakan persimpangan ruas jalan. Setiap zona diwakili oleh pusat zona, yang dihubungkan ke jaringan jalan oleh penghubung pusat zona. Sistem penomoran (integer) pusat zona, zona, simpul dan ruas, akan memungkinkan pemodelan dan analisa secara matematik serta pemrograman komputer.
10
Pusat zona
Gateway
Zona 2 3
Ruas
1 5
Penghubung pusat zona
7
Batas daerah kajian
6
Batas zona
Simpul
Gambar 1 Sebuah daerah kajian sederhana dengan definisinya Sumber: Tamin (2008)
2.3 Kebutuhan Perjalanan dalam Notasi Matriks Asal-Tujuan (MAT)
Total jumlah perjalanan dalam suatu area studi selama periode waktu tertentu, dapat digunakan sebagai indikator kebutuhan transportasi. Salah satunya adalah dalam bentuk Matriks Asal-Tujuan (MAT). Pola perjalanan di dalam suatu sistem transportasi biasanya digambarkan dalam bentuk arus (kendaraan, orang, maupun barang) yang bergerak dari lokasi asal menuju titik tujuan, di dalam suatu wilayah studi dan dalam rentang periode waktu tertentu. MAT merupakan suatu media yang dapat menggambarkan pola pergerakan dan tingkat kebutuhan transportasi yang terjadi. MAT juga merupakan masukan utama yang paling sering digunakan dalam berbagai macam perencanaan dan manajemen sistem transportasi. Dengan kata lain, bagaimana membebankan MAT ke dalam suatu jaringan sehingga diperoleh hasilnya, yaitu arus di ruas yang digunakan sebagai ukuran untuk mengevaluasi suatu jaringan. MAT adalah matriks dua dimensi yang berisi informasi mengenai besarnya pergerakan antar zona dalam daerah kajian tertentu, dimana seluruh baris dan kolom merepresentasikan zona dalam suatu area studi.
11
1
26
54
20
50
100
Ke Dari
1
1
3
4
Oi
26
54
20
100
24
571
600
70
200
789
5 700 673 4
2
2
5
3
40
90
4
5
673
22
Dd
50
789
100
2
22 5 571 661
600
700
100
90
40 200
70
24
661
1600
3
Gambar 2 Persimpangan dengan Matriks Asal-Tujuan (MAT) Sumber: Tamin (2000) Baris menyatakan zona asal dan kolom menyatakan zona tujuan, sehingga setiap sel matriks menyatakan besarnya pergerakan dari zona asal ke zona tujuan. Notasi Oi menyatakan jumlah pergerakan yang berasal dari zona asal i sedangkan Dd menyatakan jumlah pergerakan yang menuju ke zona tujuan d. Sel pada diagonal menunjukkan pergerakan intrazona. Notasi T menyatakan total matriks sedangkan N adalah jumlah zona. Notasi Tid menyatakan besarnya arus pergerakan (kendaraan, penumpang atau barang) yang bergerak dari zona asal i ke zona tujuan d selama periode waktu tertentu (Tamin, 2000).
Beberapa kondisi harus dipenuhi, diantaranya seperti: 1.
Total sel matriks untuk setiap baris i harus sama dengan jumlah pergerakan yang berasal dari zona asal i tersebut (Oi).
2.
Total sel matriks untuk setiap kolom d harus sama dengan jumlah pergerakan yang menuju ke zona tujuan d (Dd).
Dapat dikatakan bahwa MAT ‘yang sebenarnya terjadi’ di lapangan tidak akan pernah bisa diketahui oleh siapa pun sehingga para peneliti mengembangkan berbagai
jenis
metode
beberapa
memperkirakan MAT tersebut.
tahun
belakangan
ini
untuk
dapat
Metode penaksiran digolongkan menjadi 2.
12
Kelompok pertama secara langsung menaksir sampel MAT dari lapangan. Metode ini membutuhkan survei yang sangat besar, biaya yang sangat mahal, waktu proses yang sangat lama, membutuhkan banyak tenaga kerja serta sangat mengganggu arus lalulintas. Kelompok yang kedua mengestimasi MAT yang cukup efektif dan ekonomis karena data utama yang dibutuhkannya adalah berupa informasi data arus lalulintas. Metoda penaksiran ini banyak mendapat perhatian karena keuntungannya secara ekonomi. Selain itu, banyak instansi terkait yang mengumpulkan data (yang dibutuhkan sebagai masukan untuk metode ini) secara rutin sehingga banyak tersedia dan mudah didapat. Ini memungkinkan perubahan atau tingkat pertumbuhan arus lalulintas dapat dengan mudah dideteksi dan dianalisis (Tamin, 2003).
2.3.1 Metode Konvensional
Tamin (2000) mengelompokkan metode konvensional menjadi dua bagian utama, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Pada metode langsung, pendekatannya sangat tergantung pada hasil pengumpulan data dan survei lapangan, sehingga membutuhkan sumber daya manusia yang besar, mahal, waktu proses yang lama serta hasil akhirnya hanya berlaku untuk selang waktu yang pendek saja. Selain itu ada yang membutuhkan koordinasi dengan pengguna jalan, sehingga dapat menyebabkan gangguan dan tundaan bagi pengguna jalan tersebut. Metode Tidak Langsung lebih mengandalkan prosedur matematis dan pemodelan dalam membentuk MAT, tergantung pada jenis data yang digunakan. Secara umum, metode tidak langsung dikelompokkan menjadi dua, yaitu metode analogi dan metode sintesis.
Dari pendekatan penaksiran MAT dengan menggunakan metoda langsung dan tidak langsung harus disadari bahwa MAT yang didapatkan tidak terlepas dari galat atau kesalahan. Ketepatan dari estimasi MAT yang diperoleh sangat tergantung sekali kepada kemungkinan timbulnya kesalahan dalam proses penaksirannya.
13
Gambar 3 Metode untuk mendapatkan Matriks Asal-Tujuan (MAT) Sumber: Tamin (1988, 2000)
Menurut Tamin (1988) ketepatan dihasilkan dari metoda langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh beberapa sumber galat yang dinyatakan sebagai berikut :
1.
Keragaman harian/musiman dan galat perluasan data survei. Untuk mendapatkan MAT dengan selang waktu tertentu perlu dilakukan konversi data asli lapangan dengan menggunakan faktor koreksi, akibat dari perpanjangan selang waktu yang dilakukan menimbulkan galat pada MAT yang baru. Jenis galat yang timbul disebabkan adanya pengaruh keragaman harian/musiman pada MAT.
2.
Kesalahan dalam pengumpulan data. Kesalahan ini terjadi disebabkan oleh faktor manusia yang melakukan survei dilapangan dalam proses pengumpulan data. Kesalahan tersebut antara lain kekeliruan dalam
14
mengidentifikasikan kendaraan, menghitung arus lalulintas, kuesioner yang kurang lengkap ataupun kesalahan dalam menuliskan informasi. Untuk itu diperlukan pengontrolan yang ketat untuk mengurangi tingkat kesalahan yang akan terjadi. 3.
Kesalahan dalam pengolahan data. Kesalahan ini sering terjadi pada waktu proses pengolahan data mentah yang diakibatkan oleh faktor manusia. Biasanya kesalahan yang terjadi disebabkan oleh kesalahan dalam pengetikan, kesalahan dalam pemberian kode, terjadinya perhitungan ganda, adanya data yang hilang atau tidak dapat dibaca, kesalahan dalam membuat dan menjalankan program, kesalahan membuat file dan lain sebagainya. Salah satu usaha untuk mengurangi tingkat kesalahan ini adalah dengan melakukan pengontrolan yang ketat pada awal proses pengolahan sampai akhir proses.
4.
Kesalahan pengambilan sampel. Biasanya kesalahan ini terjadi pada waktu survei dimana survei yang dilakukan tidak dapat mencakup seluruh pergerakan yang terjadi selama selang waktu survei dilaksanakan dan proses wawancara atau metode bendera yang dipakai tidak memungkinkan terambilnya seluruh data yang ada. Hal ini disebabkan oleh kesulitan untuk mendapatkan data lapangan hingga mencapai 100% disamping alasan lain yaitu tingkat kepraktisan di lapangan.
5.
Kesalahan kalibrasi. Kesalahan ini ditimbulkan oleh kurang akuratnya data yang diperoleh karena berupa perkiraan saja seperti misalnya kondisi lapangan kerja, tingkat penghasilan, sehingga pada proses kalibrasi dilakukan menghasilkan parameter-parameter yang kurang tepat.
6.
Kesalahan spesifikasi. Kesalahan ini terjadi pada proses meramalkan, sehingga model yang didapat tidak mencerminkan realita sebenarnya. Semakin baik model dihasilkan akan semakin sulit pula proses yang dilakukan. Proses yang dilakukan untuk membuat penyederhanaan model ini tidak lepas dari faktor kesalahan. Perbedaan model yang didapat dengan kenyataan realita yang ada harus tersebar normal dengan tingkat penyimpangan sekecil mungkin.
15
2.3.2 Metode Tidak Konvensional
Metoda konvensional mempunyai sehingga menyebabkan
banyak
kekurangan
dan
keterbatasan,
para perencana transportasi menggunakan
data
informasi arus lalulintas untuk mengestimasi MAT. Teknik ini dikenal dengan nama metoda tidak konvensional. (Tamin, 2000)
Keuntungan dari metoda ini adalah proses yang dilakukan lebih sederhana kebutuhan akan waktu, biaya dan sumber tenaga yang dilibatkan jauh lebih murah dengan hasil yang didapat jauh lebih baik. Dengan menggunakan metoda ini empat tahapan model (four-stage sequential model) diubah menjadi proses tunggal dan data zona yang diperlukan serta data arus lalulintas dibatasi pada daerah dan rute yang telah ditentukan.
Berdasarkan keterangan diatas dapat kita simpulkan beberapa hal berikut ini yang menjadikan alasan mengapa data arus lalulintas dijadikan data pokok untuk mengestimasi MAT, yaitu:
1.
Biaya Relatif Murah. Untuk memperolah data arus lalulintas para perencana transport tidak perlu melakukan interaksi langsung dengan pemakai jalan, persyaratan manajemen dan organisasi dapat diminimalkan serta tenaga kerja yang diperlukan sangat sedikit. Informasi yang diperlukan dapat dikumpulkan secara otomatis dengan menggunakan alat yang disebut ‘automatic traffic counters’ dan dengan bantuan komputer hal ini dapat dilakukan dengan cepat.
2.
Ketersediaan. Pada saat sekarang ini untuk memperoleh data arus lalulintas bukanlah hal yang sulit. Di kota-kota besar data arus lalulintas hampir selalu tersedia dikarenakan banyak diperlukan untuk berbagai studi transportasi.
3.
Tidak menimbulkan gangguan. Data arus lalulintas dapat diperoleh tanpa mengganggu arus lalulintas kendaraan atau pemakai jalan, sehingga tidak mengubah pola pergerakan yang terjadi. Metoda pengumpulan data
16
secara otomatis telah dikembangkan dengan bantuan komputer sehingga hasil yang didapat cukup representatif dengan tingkat akurasi yang tinggi.
2.4 Pengembangan
Model
Sebaran
Pergerakan-Pemilihan
Moda
(SPPM)
Tamin (1988) , Tamin et al (2000), Purwanti, O. (2002) serta Sulistyorini, R. (2010) mengembangkan model kombinasi Sebaran Pergerakan Pemilihan Moda (SPPM),dengan model sebaran pergerakan menggunakan Gravity (GR) dan pemilihan moda menggunakan Multinomial Logit. Pada model kombinasi Sebaran Pergerakan Pemilihan Moda (SPPM), peubah p idlk digunakan untuk dapat mendefinisikan proporsi jumlah perjalanan (moda k) dari zona asal i ke zona tujuan d yang menggunakan ruas jalan l .
Arus lalulintas pada ruas jalan l
yang menggunakan moda k dinyatakan
(Tamin,2000): V lk
T i
k id
(1)
p idlk
d
Jika digunakan model Gravity sebagai model sebaran pergerakannya, dan Multinomial-logit sebagai model pemilihan modanya, maka model SPPM menjadi:
T idk A i O i B d D d f (C id )
exp C idk exp C idm
(2)
m
Matriks biaya perjalanan antar zona (Cid) dalam suatu wilayah studi dapat dikatakan sebagai hambatan perjalanan. ”Hambatan” bagi seseorang untuk melakukan perjalanan (trip impedance) tersebut bisa dihitung dalam bentuk waktu tempuh (travel time) perjalanan, jarak yang ditempuh (travel distance), atau kombinasi antara keduanya, yang biasa disebut dengan biaya umum (generalised cost).
Hyman (1969) dalam Tamin (2000) menyarankan tiga jenis fungsi hambatan yang dapat digunakan dalam model GR:
17
f C id C id
(fungsi pangkat)
(3)
f C id e βC id
(fungsi eksponensial)
(4)
f C id C idα .e βC id
(fungsi Tanner)
(5)
Secara umum ditemukan bahwa fungsi pangkat lebih cocok untuk pergerakan jarak jauh (antarkota), sedangkan fungsi eksponensial sering digunakan untuk pergerakan
jarak
pendek
(pergerakan
dalam
kota).
Fungsi
Tanner
mengembangkan
model
Gravity
adalah
mengkombinasikan kedua faktor tersebut.
Pertimbangan
penting
dalam
menyeimbangkan bangkitan dan tarikan. Menyeimbangkan disini artinya total bangkitan dan tarikan adalah sama.
Ai
1 dan Bd Bd .Dd .f id d
1 Ai .Oi .f id
(6)
i
Persamaan Ai dan Bd didapatkan secara berulang-ulang. Nilai Bd untuk setiap d dapat dihitung yang nilainya kemudian digunakan lagi untuk menghitung kembali nilai Ai. Proses ini diulangi sampai nilai Ai dan Bd menghasilkan nilai tertentu (konvergen). Prosedur penyeimbang tersebut akan selalu menghasilkan nilai Ai dan Bd dari setiap nilai awal apapun.
Persamaan
dasar
estimasi
model
transportasi
kombinasi
SPPM
dengan
menggunakan data arus lalulintas sebagai berikut:
V l k O i Ai B d D d f (C id ) i
d
exp k C idk
exp
m
C
m id
p idlk
(7)
m
Persamaan (7) adalah sistem persamaan dengan L persamaan simultan yang mempunyai beberapa parameter yang belum diketahui. Untuk mengestimasi nilai parameter tersebut, dibutuhkan suatu metoda estimasi tertentu.
18
2.5 Metode Estimasi Kuadrat Terkecil (KT)
Tamin (2000) menjelaskan bahwa ide dari metode ini adalah mengkalibrasi parameter yang tidak diketahui dengan meminimumkan jumlah perbedaan atau deviasi kuadrat antara arus lalulintas hasil estimasi dengan arus lalulintas hasil pengamatan. Fungsi obyektif dari metode estimasi kuadrat terkecil untuk data arus lalulintas adalah sebagai berikut :
Minimumkan S =
1 V V l
dimana :
l
l
2 Vˆl
(8)
Vl = 1 untuk Kuadrat-Terkecil-Tidak-Linier (KTTL) Vl = Vˆl untuk Kuadrat-Terkecil-Tidak-Linier-Berbobot (KTTLB) Vˆ = jumlah arus lalulintas pada ruas hasil pengamatan l
Vl
= jumlah arus lalulintas pada ruas hasil pemodelan
Persamaan (8) dapat ditulis sebagai :
1 Minimumkan S = l Vl
ˆ Tid . p lid V l i d
2
(9)
2.6 Indikator Uji Statistik
Tingkat ketelitian hasil pemodelan dengan menggunakan model kebutuhan transportasi (transport demand model) selalu menghasilkan keluaran dengan tingkat ketelitian yang tergantung pada beberapa faktor, antara lain model transportasi, metode estimasi, teknik pemilihan rute dan data arus lalulintas. Penelitian ini tidak hanya bertujuan untuk melakukan estimasi parameter model kebutuhan saja, tetapi juga untuk mengetahui seberapa baik MAT estimasi yang dihasilkan bila dibandingkan dengan MAT pengamatan. Untuk mengetahui hal tersebut, dapat dibuat perbandingan antara MAT hasil estimasi yang telah dibebankan pada jaringan jalan terhadap MAT pengamatan
Beberapa indikator statistik yang dapat digunakan untuk membandingkan MAT estimasi dengan MAT pengamatan tersebut antara lain:
19
Root Mean Square Error (RMSE) dan defiasi standar (σ)
Mean Absolute Error (MAE)
Koefisien Determinasi (coefficient of determination / R2 dan SR2)
Normalised Mean Absolute Error (NMAE)
2.6.1 Root Mean Square Error (RMSE) dan Deviasi Standar (σ)
Akar kesalahan kuadrat rata-rata (root mean square error) merupakan suatu ukuran kesalahan yang didasarkan pada selisih antara dua buah nilai yang bersesuaian, yang didefinisikan sebagai :
RMSE
i
d
1 2 2
Tˆ
Tid N .N 1 id
untuk i ≠ d
(10)
Sedangkan deviasi standar dari selisih kedua nilai tersebut didefinisikan sebagai :
1
2 2 Tˆid Tid σ untuk i ≠ d i d N .N 1 1
(11)
Dapat dilihat bahwa untuk nilai N yang besar, persamaan (10) dan (11) akan menghasilkan nilai yang bisa dikatakan sama. Dalam hal ini, RMSE bisa disebut sebagai deviasi standar (σ) atau sebaliknya.
Indikator RMSE dan σ tidak dapat membandingkan sebuah model yang sama jika diterapkan pada wilayah studi yang berbeda, karena nilai-nilainya tergantung pada ukuran besarnya Matriks, T dan sebagainya. Persentase dari akar kesalahan kuadrat rata-rata (%RMSE) dapat mengatasi hal ini, dan didefinisikan sebagai :
%RMSE
RMSE 100% T1
(12)
20
dan dalam bentuk yang identik, bisa juga mendefinisikan koefisien variansi (coefficient of variation, Cv) sebagai:
σ x100% T1
(13)
1 Tid untuk i ≠ d N. N 1 i d
(14)
Cv dimana:
T1
Semakin besar nilai RMSE, %RMSE, σ dan Cv berarti hasil estimasi model yang dihasilkan semakin tidak tepat bila dibandingkan dengan pengamatan.
2.6.2 Mean Absolute Error (MAE)
Nilai mutlak dari kesalahan rata-rata (mean absolute error) merupakan bentuk ukuran kesalahan yang paling sederhana, dan didefinisikan sebagai:
MAE i
d
Tˆid Tid
untuk i ≠ d
N.(N 1)
(15)
Dari persamaan di atas, terlihat bahwa nilai MAE ini kurang sensitif terhadap nilai mutlak kesalahan yang besar dibandingkan dengan RMSE. Semakin besar nilai MAE, maka hasil estimasi model semakin tidak tepat dibandingkan dengan pengamatan. 2.6.3 Koefisien Determinasi (Coefficient of Determination / R2 dan SR2)
Koefisien determinasi didefinisikan sebagai:
Tˆ
1 Tˆ T id
R2
i
Tid
2
d
2
id
i
d
1
untuk i≠d
(16)
21
Dimana T1 ditunjukkan pada persamaan (14).
Mungkin ini adalah ukuran ketepatan model yang paling banyak dikenal, tetapi sekaligus juga paling ”lemah”. Pada awalnya nilai ini digunakan untuk mengukur tingkat ketergantungan linier (degree of linear dependance) antara dua variable acak. Tetapi dalam konteks ini, Tid dan Tˆid tidak bisa dikatakan berhubungan linier, sebagaimana terlihat dari model yang digunakan. R2 juga memberi bobot yang terlalu besar untuk nilai kesalahan mutlak yang besar, dan nilai R2 yang tinggi tidak dapat diperoleh dari suatu pasangan data dengan nilai kesalahan yang kecil, dan jumlah sel yang besar, tetapi mempunyai hubungan yang kurang kuat pada nilai sel yang kecil. Salah satu cara untuk mengatasi kekurangan tersebut adalah menghitung R2 dari akar masing-masing nilai selnya, yaitu:
SR 2 1
Tˆ 12 T 12 id id i d
Tˆ
1
id
i
dimana:
T2
d
2
T2
2
2
untuk i≠d
1 1 Tid 2 untuk i≠d N.N 1 i d
(17)
(18)
Perbedaan yang besar antara nilai MAT estimasi dengan MAT pengamatan menyebabkan R2 dan SR2 bernilai negatif. Semakin besar nilai R2 dan SR2, berarti hasil estimasi yang diperoleh dari model semakin mendekati data pengamatan.
2.6.4 Normalised Mean Absolute Error (NMAE)
Beberapa indikator uji statistik yang telah diuraikan di atas seperti RMSE, SD, %RMSE, MAE dan R2 tidak dapat digunakan untuk membandingkan model jika diterapkan pada daerah kajian yang berbeda, karena nilainya sangat tergantung pada kondisi lokal. Untuk tujuan ini disarankan menggunakan indikator uji statistik NMAE yang didefinisikan sebagai persamaan (19).
22
MAE 100 NMAE T1 dimana T1 adalah sesuai dengan persamaan (14).
(19)