BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Diare
2.1.1. Definisi Diare Menurut Latief, dkk. (2005), diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dan frekuensinya lebih banyak dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari 4 kali. Sedangkan untuk bayi berumur lebih dari satu bulan dan anak, dikatakan diare bila frekuensinya lebih dari 3 kali.
2.1.2. Mikroorganisme Penyebab Diare Menurut Latief, dkk. (2005) mikroorganisme penyebab diare adalah: 1. Mikroorganisme dari saluran pencernaan itu sendiri. Infeksi saluran pencernaan
merupakan
penyebab
utama
diare
pada
anak.
Mikroorganisme enteral ini meliputi : a. bakteri
:
Vibrio
cholera,
E.
coli,
Salmonella,
Shigella,
Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dan sebagainya. b. virus : Enterovirus (Virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis), Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dan lain-lain. c. parasit : cacing (Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, Strongiloides), Protozoa (Entamoba hystolitica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis), jamur (Candida albicans). 2. Mikroorganisme dari bagian tubuh lain di luar saluran pencernaan, seperti pada telinga terjadi Otitis Media Akut (OMA), pada saluran pernafasan terjadi tonsilofaringitis, bronkopneumoni, pada sistem saraf pusat seperti enchepalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Patofisiologi Diare Menurut Nursalam, dkk. (2005)
patofisiologi diare terdiri dari diare
osmotik, sekretorik, dan gangguan motilitas usus. Diare osmotik terjadi akibat adanya makanan yang tidak dapat diserap. Makanan yang tidak diserap ini akan menyebabkan tekanan osmotik di rongga usus meningkat yang akan menarik air dan elektrolit ke dalam lumen usus, sehingga air dan elektrolit terbuang bersama feses dan timbul diare. Diare sekretorik terjadi akibat rangsangan tertentu, misalnya toksin pada dinding usus yang akan merangsang peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus, sekresi air dan elektrolit ini menyebabkan air dan elektrolit terbuang bersama feses dan timbul diare. Pada gangguan motilitas usus dapat terjadi hipermotilitas maupun hipomotilitas. Pada hipermotilitas makanan tidak dapat diserap dengan sempurna, dimana penyerapan terhadap air dan elektrolit juga terganggu. Makanan yang tidak diserap dengan sempurna ini juga dapat menyebabkan tekanan osmotik di rongga usus meningkat. Peningkatan tekanan osmotik di rongga usus menyebabkan penarikan cairan dan elektrolit ke dalam rongga usus tersebut. Hal ini menyebabkan timbulnya diare (Silbernagl, 2006). Terbuangnya air dan elektrolit bersama feses akan menyebabkan tubuh kehilangan air dan elektrolit yang dapat menyebabkan terjadinya dehidrasi.
2.1.4. Gejala Klinis Diare Menurut Latief, dkk. (2005) bayi dan anak yang mengalami diare mulamula menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja cair dan mungkin disertai lendir dan atau darah. Warna tinja makin lama berubah menjadi kehijau-hijauan karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan tinja makin lama menjadi asam sebagai akibat makin banyaknya asam laktat, yang berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang turut meradang
atau akibat gangguan
Universitas Sumatera Utara
keseimbangan asam basa dan elektrolit. Bila penderita telah kehilangan banyak cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi mulai tampak. Dehidrasi merupakan gejala yang segera terjadi akibat pengeluaran cairan tinja yang berulang-ulang (Dell, 1973 dalam Suharyono, 2008).
2.2.
Dehidrasi
2.2.1. Definisi Dehidrasi Dehidrasi dideskripsikan sebagai suatu keadaan keseimbangan cairan yang negatif atau terganggu yang bisa disebabkan oleh berbagai jenis penyakit (Huang et al, 2009). Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada pemasukan air (input) (Suraatmaja, 2010). Cairan yang keluar biasanya disertai dengan elektrolit (Latief, dkk., 2005). Pada dehidrasi gejala yang timbul berupa rasa haus, berat badan turun, kulit bibir dan lidah kering, saliva menjadi kental. Turgor kulit dan tonus berkurang, anak menjadi apatis, gelisah kadang-kadang disertai kejang. Akhirnya timbul gejala asidosis dan renjatan dengan nadi dan jantung yang berdenyut cepat dan lemah, tekanan darah menurun, kesadaran menurun, dan pernapasan kussmaul (Latief, dkk., 2005).
2.2.2. Klasifikasi Dehidrasi 1. Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, dehidrasi dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan, sedang dan berat seperti pada tabel di bawah ini:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Klasifikasi Dehidrasi Berdasarkan Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala/tanda
ringan (3-5%)
Sedang (6-9%)
Berat (10% atau lebih)
Tingkat kesadaran Pengisian
Sadar
kembali 2 detik
Letargi
Tidak sadar
2-4 detik
Lebih dari 4 detik
kapiler Membrane mukosa
Normal
Kering
Sangat kering
Denyut jantung
Sedikit
Meningkat
Sangat meningkat
Meningkat
Meningat
meningkat Laju pernapasan
Normal
dan
hiperapnea Tekanan darah
Normal
Normal; ortostatik
Menurun
Denyut nadi
Normal
Cepat dan lemah
Sangat samar
lemah/ atau
tidak
teraba Turgor kulit
Kembali normal
Kembali lambat
Tidak
segera
kembali Fontanella
Normal
Agak cekung
Cekung
Mata
Normal
Cekung
Sangat cekung
Keluaran urin
Menurun
Oliguria
Anuria
(Dikutip dari Huang et al, 2005)
Universitas Sumatera Utara
2. Berdasarkan gambaran
elektrolit serum, dehidrasi dapat dibagi
menjadi : a. Dehidrasi Hiponatremik atau Hipotonik Dehidrasi hiponatremik merupakan kehilangan natrium yang relatif lebih besar daripada air, dengan kadar natrium kurang dari 130 mEq/L. Apabila terdapat kadar natrium serum kurang dari 120 mEq/L, maka akan terjadi edema serebral dengan segala akibatnya, seperti apatis, anoreksia, nausea, muntah, agitasi, gangguan kesadaran, kejang dan koma (Garna, dkk., 2000). Kehilangan natrium dapat dihitung dengan rumus : Defisit natrium (mEq) = (135 - S Na) air tubuh total (dalam L) (0,6 x berat badan dalam kg)
S
Na
bearti konsentrasi natrium serum yang terukur, sedangkan 135 adalah nilai
normal rendah natrium serum. Pada dehidrasi hipotonik atau hiponatremik, cairan ekstraseluler relatif hipotonik terhadap cairan intraseluler, sehingga air bergerak dari kompartemen ekstraseluler ke intraseluler. Kehilangan volume akibat kehilangan eksternal dalam bentuk dehidrasi ini akan makin diperberat dengan perpindahan cairan ekstraseluler ke kompartemen intraseluler. Hasil akhirnya adalah penurunan volume ekstraseluler yang dapat mengakibatkan kegagalan sirkulasi (Behrman et al, 2000). Dehidrasi hiponatremik dapat disebabkan oleh penggantian kehilangan cairan dengan cairan rendah solut (Graber, 2003).
b. Dehidrasi Isonatremi atau Isotonik Dehidrasi isonatremik (isotonik) terjadi ketika hilangnya cairan sama dengan konsentrasi natrium dalam darah. Kehilangan natrium dan air adalah sama jumlahnya/besarnya
dalam
kompartemen
cairan
ekstravaskular
maupun
intravaskular. Kadar natrium pada dehidrasi isonatremik 130-150 mEq/L (Huang et al, 2009). Tidak ada perubahan konsentrasi elektrolit darah pada dehidrasi isonatremik (Latief, dkk., 2005).
Universitas Sumatera Utara
c. Dehidrasi Hipernatremik atau Hipertonik Dehidrasi hipernatremik
(hipertonik) terjadi ketika cairan yang
hilang
mengandung lebih sedikit natrium daripada darah (kehilangan cairan hipotonik), kadar natrium serum > 150 mEq/L. Kehilangan natrium serum lebih sedikit daripada air, karena natrium serum tinggi, cairan di ekstravaskular pindah ke intravaskular meminimalisir penurunan volume intravaskular (Huang et al, 2009). Dehidrasi hipertonik dapat terjadi karena pemasukan (intake) elektrolit lebih banyak daripada air (Dell, 1973 dalam Suharyono, 2008). Cairan rehidrasi oral yang pekat, susu formula pekat, larutan gula garam yang tidak tepat takar merupakan faktor resiko yang cukup kuat terhadap kejadian hipernatremia (Segeren, dkk., 2005). Terapi cairan untuk dehidrasi hipernatremik dapat sukar karena hiperosmolalitas berat dapat mengakibatkan kerusakan serebrum dengan perdarahan dan trombosis serebral luas, serta efusi subdural. Jejas serebri ini dapat mengakibatkan defisit neurologis menetap. Seringkali, kejang terjadi selama pengobatan bersamaan dengan kembalinya natrium serum ke kadar normal. Selama masa dehidrasi, kandungan natrium selsel otak meningkat, osmol idiogenik intraselular, terutama taurine, dihasilkan. Dengan penurunan cepat osmolalitas cairan ekstraselular akibat perubahan natrium serum dan kadang-kadang disertai penurunan konsentrasi subtansi lainnya yang serasa osmotik aktif misalnya glukosa, dapat terjadi perpindahan berlebihan air ke dalam sel otak selama rehidrasi dan menimbulkan udem serebri. Pada beberapa penderita, udem otak ini dapat ireversibel dan bersifat mematikan. Hal ini dapat tejadi selama koreksi hipernatremia yang terlalu tergesa-gesa atau dengan penggunaan larutan hidrasi awal yang tidak isotonis. Terapi disesuaikan untuk mengembalikan kadar natrium serum ke nilai normal tetapi tidak lebih cepat dari 10 mEq/L/24 jam (Behrman et al, 2000).
Universitas Sumatera Utara