BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemandirian 2.1.1 Definisi Kemandirian Kemandirian menurut Erikson adalah usaha untuk melepaskan diri dari orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya melalui proses mencari identitas ego, yaitu merupakan perkembangan ke arah individualitas yang mampu berdiri sendiri. Kemandirian biasanya ditandai dengan kemampuan menentukan nasib sendiri, serta mampu mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain (Desmita, 2014). 2.1.2 Karakteristik Kemandirian Menurut Steiberg (Desmita, 2014) membedakan karakteristik kemandirian atas 3 bentuk, yaitu: 1. Kemandirian emosional, yakni aspek kemandirian yang menyatakan perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu, seperti hubungan emosional anak dengan guru atau orangtuanya. 2. Kemandirian tingkah laku, yakni suatu kemampuan untuk membuat keputusankeputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya secara bertanggung jawab. 3. Kemandirian nilai, yakni kemampuan memaknai prinsip benar dan salah, tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting. 2.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kemandirian anak usia dini (dalam Putra dan Jannah, 2013), adalah: -
Faktor internal, adalah faktor yang ada dari diri anak itu sendiri yang meliputi: 1) Emosi, faktor ini ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua. 2) Intelektual, faktor ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
-
Faktor eksternal adalah hal-hal yang datang atau ada dari luar diri anak itu sendiri meliputi: 1) Lingkungan
2) Karakteristik sosial 3) Stimulus 4) Pola asuh 5) Cinta dan kasih sayang 6) Kualitas interaksi anak dan orang tua 7) Pendidikan orang tua 2.2 Anak Usia Dini 2.2.1 Definisi Anak Usia Dini Awal masa anak-anak berlangsung dari umur 2-6 tahun. Menurut Wahyudin & Agustin (dalam Istiyani, 2013), pada rentang usia dini anak dikenal mengalami masa keemasan (the golden years) yang merupakan masa di mana anak mulai peka atau sensitif untuk menerima berbagai rangsangan. Masa peka adalah masa terjadinya kematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini merupakan masa peletak dasar pertama untuk mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik, bahasa, sosio-emosional dan spiritual. Jika dalam masa ini anak kurang mendapat perhatian dalam hal pendidikan, perawatan, pengasuhan dan layanan kesehatan serta kebutuhan gizinya dikhawatirkan anak tidak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal (Wuryandani, 2010). 2.2.2 Tahapan Perkembangan Anak Usia Dini Dalam teori Erikson (1968), delapan tahap perkembangan digambarkan seperti ketika individu menyusuri rentang kehidupannya. Setiap tahap terdiri atas tugas perkembangan yang mempertemukan individu dengan sebuuah krisis. Setiap tahapan mempunya sisi positif dan sisi negatif. Berikut tahapan dari teori Erikson yang sesuai dengan usia anak dini (Santrock,2009). 1. Trust (kepercayaan) vs mistrust (ketidakpercayaan) periode perkembangannya masa bayi (tahun pertama). Kepercayaan dapat berkembang dengan baik jika anak mendapatkan kehangatan dan kasih sayang yang cukup. Hasil positifnya adalah anak merasa nyaman dan tidak merasa takut. Ketidakpercayaan akan berkembang ketika bayi diperlakukan secara negatif atau diabaikan. 2. Autonomy (otonomi) vs shame and doubt (rasa malu dan ragu) periode perkembangannya masa bayi ( usia 1 – 3 tahun). Setelah mendapatkan kepercayaan dalam diri pengasuh mereka, bayi mulai mengetahui bahwa perilaku mereka adalah wajar. Mereka menyatakan kebebasan mereka dan menyadari kehendak mereka.
Apabila bayi terlalu dikendalikan atau dihukum terlalu keras, mereka akanmengembangkan perasaan malu dan ragu. 3. Initiative (inisiatif) vs guilt (rasa bersalah) periode perkembangannya masa kanakkanak awal (usia 3 – 5 tahun). Seiring dengan banyaknya pengalaman dalam lingkungan sosial, anak-anak dituntut untuk lebih baik di bandingkan ketika mereka masih bayi. Anak harus terlibat dalam perilaku yang aktif dan memiliki tujuan. Orang tua mengharapkan anak-anak untuk menjadi lebih bertanggung jawab atas diri dan barang kepunyaan mereka. Mengembangkan rasa tanggung jawab akan meningkatkan inisiatif. Anak-anak mengembangkan rasa bersalah apabila mereka tidak bertanggung jawab atau terlalu cemas. 4. Industry (rajin) vs inferiority (rendah diri) periode perkembangannya dari 6 tahun – pubertas. Pada tahap ini mereka mengarahkan energi mereka untuk menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan intelektual. Sisi negatif dari tahap ini adalah berkembangnya rasa rendah diri, ketidakproduktifan, dan ketidakcakapan. 5. Identity (identitas) vs Role Confussion (kekacauan identitas) periode perkembangannya masa remaja. Remaja berusaha mencari tahu diri mereka, seperti apa mereka, dan kemana tujuan hidup mereka. Remaja perlu di izinkan untuk mengeksplorasi jalan-jalan yang berbeda untuk membentuk identitas mereka. Jika remaja tidak cukup mengeksplorasi peran-peran yang berbeda dan tidak mengembangkan jalan masa depan yang positif, mereka akan tetap merasa bingung akan identitas mereka. 6. Intimacy (keintiman) vs Isolation (isolasi) periode perkembangannya 20 – 30 tahun. tugas perkembangannya adalah membentuk hubungan yang positif dengan orang lain. Bahaya dari tahap ini adalah seseorang akan gagal membentuk hubungan yang akrab dengan teman atau pasangan dan menjadi terasing secara sosial. 7. Generativity (generatifitas) vs Stagnation (stagnasi), periode perkembangannya 40 – 50 tahun. Dalam tahap ini melibatkan peran-peran seperti menjadi orang tua dan guru, dimana orang dewasa membantu generasi berikutnya dalam mengembangkan kehidupan yang berguna. Sedangkan stagnasi sebagai perasaan tidak melakukan apapun terhadap generasi berikutnya.
2.3 Metode Pembelajaran Beyond Centers and Circle Time (BCCT) 2.3.1 Sejarah BCCT Metode pembelajaran Beyond Centers and Circle Time (BCCT) atau pendekatan sentra ini ditemukan dan dikembangkan oleh Dr. Pamela Phelps yang berasal dari Amerika Serikat. Beliau merupakan seorang tokoh pendidikan yang sudah mengabdikan diri dalam dunia pendidikan anak usia dini selama 40 tahun. Metode pembelajaran BCCT ini pertama kali dikembangkan melalui sekolah Creative Pre School di Tallahasse, Florida, dan kini konsepnya telah diterapkan di banyak Negara (Arriyani, 2010). Metode ini masuk ke Indonesia pada tahun 1996 yang dibawa dan diadopsi oleh drg. Wismiarti yang merupakan seorang pendiri dari sekolah Al-Falah di Ciracas, Jakarta. Beliau sudah melakukan sebuah studi banding ke beberapa sekolah di beberapa negara seperti Australia, Eropa, dan Amerika Serikat. Dari hasil studi banding yang sudah beliau dapatkan, drg. Wismiarti memutuskan untuk mengadopsi metode pembelajaran yang sudah beliau pelajari di Creative Pre School di Tallahasse, Florida, Amerika Serikat. Dalam upayanya unutk menerapkan metode BCCT di Indonesia, sekolah Al Falah mengirimkan beberapa gurunya untuk mempelajari metode ini. Ketika para guru tersebut kembali ke Indonesia, konsultan dan juga pendiri dari Creative Pre School Pamela Phelps, Ph.D., mengirim seorang stafnya untuk membantu mendirikan sekolah Al Falah (Arriyani, 2010). 2.3.2 Definisi Metode BCCT Sentra, yang dikenal juga dengan Beyond Centers and Circle Time (BCCT), adalah konsep pembelajaran usia dini yang resmi diadopsi oleh Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia sejak tahun 2004 (Arriyani, 2010). Metode pembelajaran Sentra (BCCT) adalah kegiatan belajar mengajar dan bermain dengan guru dan murid membuat lingkaran, sehingga posisi guru bisa sejajar dengan mata anak. Materi yang disampaikan oleh guru bersifat interaktif dengan guru berpusat pada anak. Center (sentra), maksudnya pusat kegiatan bermain anak adalah dengan ada fokus kegiatan bermain yang ditata dan direncanakan dengan tujuan tertentu. Sedangkan circle times (saat lingkaran) adalah suatu kegiatan guru dan anak yang dilaksanakan untuk mengawali dan mengakhiri kegiatan (dalam Widowati, 2013).
Metode pembelajaran ini mempunyai landasan filosofi kontruktivisme yang mana pembelajarannya menekankan bahwa belajar tidak sekedar menghafal, siswa harus mengkontruksikan pengetahuannya di benak mereka sendiri (Lestarini, 2013). Ada 7 sentra yang dikembangkan dalam pembelajaran BCCT (Palupi, 2006): 1. Sentra persiapan. Didalam sentra ini menyediakan permainan yang berkaitan dengan calistung permulaan yang bermutu dan menyenangkan. Di sini disediakan angka-angka, huruf-huruf, buku-buku cerita, angka-angka pohon hitung, alat tulis, dan bahan lain yang merangsang anak mencoba konsep aksara dan matematika. 2. Sentra balok. Sentra ini berisi balok-balok bentuk geometri dengan berbagai ukuran dan warna. Disarankan paling sedikit 100 balok setiap anak agar cepat merangsang anak menciptakan bentuk bangunan yang bervariasi dan terstruktur sesuai dengan ide atau gagasannya. Anak tanpa sadar belajar menghitung jumlah balok yang diperlukan dalam konstruksi bangunan yang diciptakannya. 3. Sentra cair. Sentra ini menyediakan bahan yang bersifat cair atau bahan alam (eksplorasi di bak pasir, bak air, dengan perlengkapannya), yaitu: (1) alat ukur (literan, botol, jirigen, sendok, gelas ukur, dan pompa air), (2) konsep terapung tenggelam (batu, busa, sumba), (3) percampuran warna (air, sumba, cat air), (4) ublek (adonan tepung, pewarna, air), dan (5) pengenalan tekstur kasar dan halus (tepung dan pasir). 4. Sentra musik dan olah tubuh. Sentra ini menyediakan permainan dan pengenalan dengan alat-alat musik perkusi seperti angklung, tamborin, marakas, piano, terompet, dan lain-lain. Anak langsung bisa menyanyi, menari, ritmik yang diiringi dengan alat musik tersebut. Sedangkan untuk olah tubuh bisa melakukan seperti englek, memanjat, permainan bola, dan lain-lain. 5. Sentra seni dan kreativitas. Sentra ini menyediakan permainan pembelajaran menggambar, mewarnai, dan melukis, dengan bermacam-macam media dan cara. Selain itu, anak juga dikenalkan dengan meronce, menggunting sederhana, melipat kertas, mencocokkan gambar, membatik, jumputan, mozaik, kolase, menganyam, dan menjahit sederhana. 6. Sentra bermain peran. Dalam sentra ini tersedia sarana untuk main peran mikro, misalnya rumah boneka, rangkaian kereta dengan rel, kebun
binatang dengan moniatur binatang-binatang liar. Sedangkan bermain peran makro yaitu menggunakan alat-alat yang berukuran sesungguhnya, misal guru menggunakan alat-alat tulis di dalam pembelajaran, tukang pos dengan surat-surat dan sepedanya, dokter dengan peralatannya, dan lain-lain. Tujuan akhir dari bermain peran adalah belajar bermain dan bekerja sama dengan orang lain agar anak memperoleh pengalaman dengan dunia nyata. 7. Sentra ibadah. Pada sentra ini disediakan sarana-sarana ibadah yang sesuai dengan agama dan kepercayaan anak dan aturan-aturan dalam beribadah. Misalnya agama Islam mengajarkan doa sehari-hari, praktek shalat, dan praktek wudhu. Begitu juga dengan agama Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha diajarkan cara beribadah serta pembiasaan nilai-nilai moral yang berlaku didalamnya. 2.3.3 Tujuan dan Manfaat Metode BCCT Sentra sendiri bertujuan untuk mengorganisasikan informasi dan pengetahuan yang masuk ke otak anak. Jika informasi atau pengetahuan diterima anak secara rapi dan teratur, maka akan terasa manfaatnya di kemudian hari. Manfaat tersebut akan dirasakan tidak hanya ketika anak menyelesaikan ujian di sekolah, tetapi juga ketika anak menghadapi persoalan dalam hidupnya, dapat menyelesaikannya sendiri. Dengan kata lain, dengan sentra anak belajar sistematika berfikir sejak dini (Arriyani, 2010). Untuk itu sentra-sentra pembelajaran disiapkan secara permanen, lengkap dengan fasilitas yang dubutuhkan dan selalu menggunakan pijakan duduk melingkar sebelum dan sesudah melakukan kegiatan dalam sentra. Dengan kata lain dalam pendekatan ini seluruh kegiatan pembelajaran berfokus pada anak sebagai subjek "pembelajar" sehingga siswa terbantu dalam pengembangan dirinya sesuai dengan bakat atau potensi dan minat masing-masing (Palupi, 2006). 2.4 Metode Konvensional 2.4.1 Definisi Metode Konvensional Metode pembelajaran konvensional adalah metode yang cara penyampaian bahan pelajarannya dengan komunikasi lisan (Hasibuan dan Mudjiono, 2002). Metode ini berpusat pada guru atau teacher centered. Di dalam pembelajaran dengan metode konvensional, anak cenderung bersifat pasif. Anak hanya duduk, diam, dan mendengarkan guru. Metode ceramah atau konvensional adalah sebuah bentuk interaksi
melalui penerangan dan penuturan lisan dari guru kepada anak didik (Sagala, 2003). Dalam pelaksanaannya untuk menjelaskan uraian materi guru dapat menggunakan alat – alat bantu seperti gambar dan audio visualnya. Jadi suatu pembelajaran akan terjadi dengan sukses jika guru sebagai penceramah pandai dalam menyampaikan materi kepada anak didik mereka. Djamarah (2006), metode pembelajaran konvensional adalah metode pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam pembelajaran sejarah metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan. Sistem metode konvensional yang ada di taman kanak-kanak Y adalah anak duduk dengan rapih di karpet maupun di kursi, anak diam mendengarkan guru dan dibagikan tugas-tugas dan latihan. Anak di dalam kelas cenderung pasif karena anak berfokus pada gurunya. 2.4.2 Tujuan Metode Konvensional Adapun tujuan dari yang bisa dicapai dalam metode konvensional atau ceramah, sebagai berikut (Santrock, 2009): 1. Menyampaikan informasi dan memotivasi minat para siswa dalam satu mata pelajaran. 2. Memperkenalkan topik sebelum siswa membacanya sendiri atau memberikan instruksi tentang cara mengerjakan sebuah tugas. 3. Meringkas atau mensintesis unformasi setelah sebuah diskusi atau penyelidikan. 4. Memberikan sudut pandang alternatif atau mengklarifikasi isu-isu dalam persiapan untuk diskusi. 5. Menjelaskan materi yang sulit dipelajari sendiri oleh para siswa.
2.5 Kerangka Berpikir Kemandirian Metode BCCT Metode Konvensional -
Sentra Persiapan Sentra Balok Sentra Cair Sentra Musik & Olah Tubuh - Sentra Seni & Kreativitas - Sentra Bermain Peran
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Kemandirian sendiri adalah kemampuan individu melakukan sendiri aktivitas hidup, tanpa menggantungkan orang lain. Anak usia pra sekolah sudah bisa di ajarkan untuk mandiri bahkan seharusnya mereka sudah bisa untuk menjadi anak yang mandiri. Seperti sudah bisa memakai alat makan sendiri tanpa di suapin, membereskan mainan secara volunteer. Untuk meningkatkan kemandirian anak usia pra-sekolah, ada dua metode pembelajaran yang dibahas yaitu, metode BCCT dan metode konvensional. Metode pemebelajaran Sentra (BCCT) adalah kegiatan belajar mengajar dan bermain dengan guru dan murid membuat lingkaran, sehingga posisi guru bisa sejajar dengan mata anak. Materi yang disampaikan oleh guru bersifat interaktif dengan guru berpusat pada anak (student centered). Metode BCCT memiliki 7 sentra, yaitu sentra persiapan, sentra balok, sentra cair, sentra musik dan olah tubuh, sentra seni dan kreativitas, sentra bermain peran, dan sentra ibadah. Djamarah (2006), metode pembelajaran konvensional adalah metode pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran dan berpusat pada guru (teacher centered). Dalam pembelajaran sejarah metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan.
2.6 Hipotesis Hipotesis adalah pernyataan yang dianggap tepat atau benar dalam suatu pendapat meskipun kebenarannya masih harus dibuktikan. Hipotesis dari penelitian ini adalah metode Beyond Centers and Circle Time (BCCT) dapat meningkatkan kemandirian anak usia pra-sekolah.