BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kanker Kanker adalah suatu ciri kelainan dari pertumbuhan tak terkontrol sel normal tubuh dan penyebaran sel – sel abnormal yang berlanjut untuk membelah terus-menerus sampai mereka membentuk massa jaringan yang dikenal dengan istilah tumor. Sebuah tumor ganas mengganggu fungsi tubuh dan merebut paksa asupan makanan dan suplai darah dari sel-sel normal. Kanker berkembang di berbagai macam tempat dan membutuhkan metode manajemen yang berbeda pula. Oncology adalah studi dan sumber pengetahuan tentang tumor (Peckenpaugh, 2005). Menurut Hanahan dan Weinberg dalam Bambang (2009) terdapat enam perubahan fisiologik mendasar yang secara bersama-sama memungkinkan tumbuh dan berkembangnya sel-sel ganas, perubahan-perubahan sebagai berikut : a. Mandiri dalam hal sinyal-sinyal pertumbuhan. b. Tidak sensitif terhadap sinyal-sinyal penghambat pertumbuhan (antipertumbuhan). c. Mampu menghindar dari apoptosis (programmed cell death). d. Berkemampuan replikasi yang tak terbatas. e. Kemampuan angiogenesis yang berkesinambungan. f. Mampu menyusup ke jaringan lain dan bermetastasis. Setiap perubahan fisiologik di atas tidak terdapat pada sel-sel asal sel-sel ganas dan didapat selama perubahan bertahap dari sel-sel normal menjadi sel-sel ganas.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Etiologi Kanker A. Aspek selular dan molekuler 1)
Translokasi kromosom Pewarisan bakat ganas ini, atau yang biasa disebut dengan istilah fenotip,
memberi petunjuk kuat pada kita bahwa kelainan mendasar sifat ganas ini berada pada gen sel kanker tersebut. Berbagai kajian petanda genetik, seperti translokasi 9;22
yang
menghasilkan
kromosom
Philadelphia
pada
leukimia
granulositik/mieloid kronik, menunjukkan bahwa sel-sel kanker ini berasal dari satu sel yang kemudian membentuk satu klompok sel yang homogen, yang disebut sebagai klon (clone). 2)
Mutasi somatik proto-onkogen menjadi onkogen Di samping sifat ganas yang berasal dari translokasi kromosom, sifat ganas
juga dapat berasal dari gen yang secara normal terdapat di dalam sel. Gen-gen semacam ini disebut sebagai proto-onkogen, yang kemudian oleh karena mutasi somatik berubah menjadi onkogen. Onkogen ini lah yang kemudian mengubah perangai sel dari normal menjadi sel kanker. Contoh dari proto-onkogen ini adalah H-ras (rat sarcoma-associated sequence, Harvey ) yang pertama kali ditemukan gen virus penyebab sarkoma pada tikus oleh Harvey. 3)
Infeksi virus Proses onkogenesis juga dapat terjadi oleh virus melalui beberapa cara,
tergantung
jenis
virusnya,
transforming
retroviruses,
nontransforming
retroviruses dan virus DNA. Transforming retrovirus menginsersi provirus pada sisi hulu suatu proto-onkogen sel pejamu. Dalam proses replikasi virus berikutnya terjadi penggabungan proto-onkogen sel pejamu ke dalam genom virus. Selanjutnya ekspresi proto-onkogen dikendalikan sepenuhnya oleh virus yang infeksi nya bersifat menetap ini. Mekanisme onkogenesis non-transforming retroviruses terjadi oleh karena virus-virus dalam kelompok ini menginsersi provirus berdekatan dengan proto-onkogen sel pejamu dan provirus ini berperan sebagai promoter atau enhancer yang kuat. Sebagaimana kita ketahui bersama
Universitas Sumatera Utara
promoter dan enhancer berperan penting dalam proses transkripsi suatu gen. Onkogen pada virus DNA memang berasal dari virus itu sendiri, onkogen pada virus ini memang dibutuhkan secara hakiki oleh virus ini untuk replikasi dan mentransformasi sel pejamu. Virus DNA menghasilkan protein-protein yang dapat memaksa sel pejamu memasuki fase S siklus sel (Karsono,2009). B. Aspek gaya hidup Menurut Bernard (2004) dalam Peckenpaugh (2005), berdasarkan pada bukti epidemiologi, penelitian hewan, dan beberapa bukti dengan manusia, beberapa faktor sangat kuat hubungannya terhadap risiko kanker.: (1) Merokok (2) Jarang berolahraga (3) Makanan tinggi lemak (4) Makanan mengandung gula
Faktor ini mempengaruhi resistensi insulin dan menyebabkan hiperinsulinemia yang akhirnya menyebabkan stimulasi pada pertumbuhan sel tumor.
2.3. Penatalaksanaan Kanker serta Hubungannya dengan Asupan Nutrisi A. Radioterapi Pada umumnya, pelaksanaan radioterapi terdiri dari lima kali terapi per minggu dalam waktu enam minggu. Masalah nutrisi dapat timbul tergantung pada lokasi dan ukuran lokasi terapi. Radiasi pada area kepala dan leher, khususnya pada lidah, palatum, dan nasofaring, menyebabkan banyak masalah nutrisi. Reaksi berupa sensasi terbakar pada tenggorokan, hilangnya selera makan, perubahan rasa dan sakit pada mulut (Thomas,1988). B. Kemoterapi Sejumlah obat yang digunakan tunggal atau dalam kombinasi pada penatalaksanaan kanker sangat cepat meningkat. Kebanyakan resep memakai
Universitas Sumatera Utara
beberapa obat yang diberikan sepanjang satu periode pekan. Mual dan muntah adalah efek samping pada umumnya yang mempangaruhi kemampuan pasien untuk makan. Bergantung pada dosis dan durasi terapi, efek samping lainnya dapat terjadi seperti perubahan rasa , mulut kering, stomatitis, mucositis, oesophagitis, dan malabsorbsi. Dampak dari ini semua sangat mempengaruhi asupan makanan pasien kanker (Adiwijono,2009). C. Pembedahan Seperti halnya efek metabolik umumnya pada pembedahan, pasien yang mengalami bedah untuk tatalaksan kanker memiliki masalah nutrisi yang jauh lebih spesifik (Thomas,1988). 1. Pengangkatan secara bedah dari pada tumor dapat sering melibatkan pengangkatan sejumlah jaringan jaringan sekitar untuk menurunkan kemungkinan penyebaran keganasan. Pembedahan umum pada area manapun pada saluran pencernaan akan menyebabkan masalah pada kemampuan pasien untuk makan dan bisa menjadi malabsorpsi. 2. Pengangkatan bedah pada tumor kepala dan leher dapat menyebabkan pemberian makan secara enteral dalam jangka waktu yang lama dan kemungkinan hanya menerima makanan yang cair selamanya. 3. Oseofagektomi, gastrectomi total maupun parsial dapat masalah tertentu pula.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Peran Nutrisi pada Penatalaksanan Kanker Nutrisi merupakan bagian yang penting pada pelaksanaan kanker, baik pada pasien yang sedang menjalani terapi, pemulihan dari terapi, pada keadaan remisi maupun untuk mencegah kekambuhan. Status nutrisi pada pasien kanker diketahui berhubungan dengan respon terapi, prognosis dan kualitas hidup. Kurang lebih 30-87% pasien kanker mengalami malnutrisi sebelum menjalani terapi. Insiden malnutrisi tersebut bervariasi tergantung pada asal kanker, misalnya pada pasien dengan kanker pankreas dan gaster mengalami malnutrisi sampai 85%, 66% pada kanker paru, dan 35% pada kanker payudara (Reksodiputro,2009). Pasien kanker mempunyai risiko yang tinggi mengalami malnutrisi yang dikenal sebagai kaheksia . Kaheksia kanker merupakan masalah klinik yang paling sering dijumpai terutama pada pasien kanker stadium lanjut, dan memberi dampak negatif terhadap prognosis. Malnutrisi pada pasien kanker bukan hanya disebabkan oleh penurunan asupan makanan saja tetapi juga karena tidak adanya respons adaptasi terhadap starvasi seperti pada orang normal, sehingga terjadi perubahan metabolisme (Reksodiputro,2009). Penyebab
kaheksia
kanker
belum
dapat
dipastikan,
diperkirakan
multifaktorial. Di samping anoreksia, peningkatan keluaran energi, perubahan metabolisme, jenis dan lokasi tumor yang mengganggu saluran pencernaan dan jenis terapi kanker diperkirakan mempunyai peran dalam terjadinya kaheksia kanker. Selain itu saat ini telah ditemukan adanya peranan berbagai sitokin terhadap kejadian anoreksia dan berbagai gangguan metabolisme yang kemudian mendasari kejadian kaheksia kanker (Harsal,2009). Malnutrisi pada pasien kanker juga merupakan yang berpengaruh pada keberhasilan terapi medik termasuk radiasi dan kemoterapi. Selain mempengaruhi hasil pengobatan, malnutrisi atau kaheksia tidak jarang menyebabkan kematian. Asupan nutrisi yang adekuat pada pasien kanker sulit dicapai, oleh karena itu terapi nutrisi yang adekuat baik jumlah, komposisi maupun cara pemberian yang tepat harus dimulai sejak dini (sejak awal terdiagnosis) (Thomas, 1988).
Universitas Sumatera Utara
2.5. MALNUTRISI PADA PASIEN KANKER Malnutrisi pada pasien kanker atau kaheksia kanker merupakan sindrom yang ditandai dengan penurunan berat badan, anoreksia, asthenia, dan anemia. Berbagai faktor malnutrisi kanker yang dikenal sebagai kaheksia telah lama dilaporkan, namun belum dapat dipastikan dan diduga penyebabnya multifaktorial yaitu menurunnya asupan nutrisi dan perubahan metabolisme di dalam tubuh. Menurunnya asupan nutrisi terjadi akibat menurunnya asupan makanan per oral (karena anoreksia, mual muntah, perubahan persepsi rasa dan bau), efek lokal dari tumor (odinofagi, disfagi, obstruksi gaster/intestinal, malabsorbsi, early satiety), faktor psikologis (depresi, ansietas), dan efek samping terapi (Gupta, Vashi, Lammersfeld, Braun, 2011). Dahulu, pandangan klasik menyatakan bahwa kaheksia kanker
terjadi
akibat ketidakseimbangan energi, yaitu menurunnya asupan makanan dan meningkatnya konsumsi energi. Namun kini pandangan yang lebih modern menitikberatkan pada peran sitokin yang menyebabkan terjadinya anoreksia dan perubahan metabolisme lemak, protein, dan karbohidrat. Sitokin yang berperan dapat diproduksi dari tubuh (IL-1, IL-6, TNFα, IFNϒ) dan dapat berasal dari sel kanker (PIF/proteolysis-introducing factor, LMF /lipid mobilizing factor) (Gupta, Vashi, Lammersfeld, Braun, 2011. 2.6. ANOREKSIA Anoreksia adalah menurunnya keinginan untuk makanan dan merupakan salah satu gejala paling sering pada kaheksia kanker. Penyebab dan mekanisme anoreksia pada kanker sangat kompleks dan multifaktorial, bisa terjadi karena perubahan rasa kecap yang menyebabkan pasien menolak makanan tertentu, stres psikologis, efek samping, terapi kanker maupun terjadi karena peran sitokin dalam regulasi makanan di hipotalamus melalui jaras anoreksigenik dan oroksigenik yang melibatkan leptin dan neuropeptida Y (Gupta, Vashi, Lammersfeld, Braun, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Leptin adalah hormon yang disekresikan oleh jaringan adiposa yang berperan menstimulasi respon starvasi. Jika kadar leptin di otak rendah, maka akan meningkatkan aktivitas sinyal oroksigenik di hipotalamus yang akan menstimulasi keinginan untuk makan dan mensupresi energy expenditure serta menurunkan sinyal anoreksigenik. Sedangkan neuropeptida Y adalah peptida yang paling poten dalam menstimulasi keinginan makan dan terkait dengan jaras oroksigenik lainnya (seperti galanin, peptida opioid, melanin-concentrating hormone/MCH, oreksin, dan agouti-related peptida/AGRP) (Gupta, Vashi, Lammersfeld, Braun, 2011). Pada kaheksia kanker, peran sitokin dapat menstimulasi jaras anoreksigenik dalam jangka panjang. Interleukin-1, IL-6 dan TNFα dapat menstimulasi pelepasan leptin sehingga meningkatkan aktivitas jaras anoreksigenik. Selain itu beberapa sitokin dapat menembus blood brain barrier dan menginhibisi pula jaras oroksigenik. Serotonin juga mempunyai efek dalam terjadinya anoreksia pada kanker. Peningkatan level triptofan (prekursor serotonin) di plasma dan otak serta peningkatan level triptofan (prekursor serotonin) di plasma dan otak serta peningkatan IL-1 dapat meningkatkan aktivitas serotonergik (Gupta, Vashi, Lammersfeld, Braun, 2011).
2.7. PERUBAHAN METABOLISME Metabolisme berkaitan erat degan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Pada pasien kanker metabolisme zat tersebut mengalami perubahan dan berpengaruh pada terjadinya penurunan berat badan. Hipermetabolisme sering terjadi pada pasien kanker, peningkatan metabolisme ini sampai 50% lebih tinggi dibanding pasien bukan kanker. Tetapi peningkatan metabolisme tersebut tidak terjadi pada semua pasien kanker. Beberapa penelitian melaporkan peningkatan metabolisme ini berhubungan dengan penurunan status gizi dan jenis serta besar tumor. Peningkatan metabolisme pada kanker kemungkinan akibat tubuh tidak mampu beradaptasi dengan asupan makan yang rendah. Pada orang normal
Universitas Sumatera Utara
kecepatan metabolisme menurun selama starvasi sebagai proses adaptasi normal tetapi pada pasien kanker proses tersebut tidak terjadi. Perbedaan antara gangguan metabolisme akibat starvasi dan kaheksia kanker dapat di lihat pada Tabel 2.1. Dalam perubahan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak pada pasien kanker secara singkat dapat dilihat pada Tabel 2.2. (Sutandyo,2009). Tabel 2.1. Perbedaan antara gangguan metabolisme akibat starvasi dan kaheksia kanker (Sutandyo,2009) Starvasi
Kaheksia kanker
Metabolisme basal
N/
N/
Peran mediator
-
+++
Ureagenesis hati
+
+++
Balans nitrogen negatif
+
+++
Glukoneogenesis
+
+++
Proteolisis
+
+++
+
+++
/
Sintesis protein hati
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Perubahan metabolisme pada pasien kanker (Sutandyo,2009) Protein
Turn over
Karbohidrat
Intoleransi
Lemak
Lipolisis
Glukosa Sintesis di otot
Resistensi
Lipogenesis
Insulin Proteolisis di otot
Gangguan
Hiperlipidemia
sekrei insulin Sintesis di hati
Produksi glukosa
Asam amino tidak normal
Asam
lemak
bebas
Aktivitas
Aktivitas
siklus kori
lipoprotein lipase
A. Perubahan Metabolisme Karbohidrat Perubahan metabolisme karbohidrat yang sering terjadi adalah intoleransi glukosa, diduga akibat dari peningkatan resistensi insulin dan pelepasan insulin yang tidak adekuat. Peningkatan resistensi insulin sepertinya dimediasi oleh sitokin seperti TNFα melalui fosforilasi reseptor insulin dan substrat reseptor insulin serta menurunkan ekspresi transporter glukosa (GLUT-4). Gangguan metabolisme karbohidrat yang lain yaitu terdapat peningkatan asam laktat. Sel kanker sangat membutuhkan glukosa sebagi sumber energi. Berbeda dengan sel normal, sel tumor mendapatkan energi dari metabolisme anaerob melalui siklus kori dan asam laktat sebagai produk akhir. Siklus kori merupakan siklus tidak efisien, karena untk sintesa 1 molekul glukosa dibutuhkan 6 molekul ATP, dan hanya 2 moleku ATP yang dihasilkan (Sutandyo,2009).
Universitas Sumatera Utara
B. Perubahan Metabolisme Protein Metabolisme protein pada pasien kanker yaitu terjadi peningkatan protein turn-over, peningkatan sintesi protein di hati, penurunan sintesis protein di otot skelet dan peningkatan pemecahan protein otot yang berakibat terjadinya wasting. Deplesi massa otot skelet merupakan perubahan yang paling penting pada kaheksia kanker. Massa otot dapat berkurang sekitar 75% ketika terjadi kehilangan berat badan sebesar 30% dan keadaan tersebut sangat dekat dengan kematian (Sutandyo,2009). Degradasi protein pada otot akan melepaskan beberapa asam amino, khususnya alanin dan glutamin. Glutamin merupakan asam amino yang paling besar jumlahnya dan mempunyai beberapa fungsi. Salah satu fungsi penting glutamin adalah dipergunakan sel untuk membelah diri. Sel tumor bnyak mempergunakan glutamin dan berkompetisi dengan sel normal. Dari beberapa penelitian pada kanker, terjadi penurunan glutamin baik pada sirkulasi maupun pada otot. Penurunan glutamin akan mempengaruhi fungsi organ terutama peningkatan permeabilitas di usus (Sutandyo,2009). Mekanisme yang mendasari terjadinya degradasi protein ada 4 jaras yaitu lisosomal, capases, 𝐶𝐶𝐶𝐶2+ dependent, dan ATP-ubiquitin-dependent. Semua jaras tersebut mungkin terlibat dalam patogenesis degradasi protein otot pada kakesia
kanker, namun jaras ATP-ubiquitin-dependent yang diketahui paling berperan. Pada jaras ini, protein akan berikatan dengan sebuah protein kecil, ubiquitin, dan terdegradasi di proteosom serta membutuhkan sedikitnya 6 ATP sebagai energi (Gambar 2.1.). Proses ini juga dimediasi oleh sitokin seperti TNFα, IL-6 dan IFNϒ.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Jaras ATP-ubiquitin dependent (Sutandyo,2009).
C. Perubahan Metabolisme Lemak Pada kaheksia kanker terjadi deplesi jaringan lemak paling besar yaitu sekitar 85% baik melalui peningkatan lipolisis atau penurunan lipogenesis. Perubahan metabolisme lemak terjadi melalui peningkatan mobilisasi lipid, penurunan lipogenesis, dan penurunan aktivitas lipoprotein lipase (LPL). Beberapa penelitian menemukan adanya penurunan level LPL yang penting untuk sintesis trigliserid, namun penelitian yang lain menemukan tidak ada perubahan pada total enzim LPL. Pada penelitian selanjutnya menemukan adanya peningkatan relatif level mRNA untuk hormone-sensitive lipase yang terlibat pada siklus kaskade lipolitik dependen AMP (Sutandyo,2009). Pasien kanker mengalami turn-over gliserol dan asam lemak yang tinggi, dan peningkatan mobilisasi lipid sering terjadi bahkan sebelum terjadi penurunan berat badan. Terdapat bebrapa bukti bahwa peningkatan mobilisasi asam lemak merupakan bagian dari peningkatan aktivitas reseptor adrenergik-β. Pasien kanker yang mengalami kehilangan berat badan juga mengalami peningkatan level katekolamin di urin dan plasma, peningkatan denyut jantung dan penigkatan oksidasi lemak (Sutandyo,2009).
Universitas Sumatera Utara
Peran dari sitokin TNF-α, IL-6, IL-1α, IFN-ϒ adalah menghambat enzim LPL, sehingga lipogenesis juga terhambat. Beberapa penelitian juga menemukan bahwa TNFα dapat secara langsung menstimulasi lipolisis dengan cara mengaktivasi mitogen-activated protein kinase (MEK) dan extracellular signalreleated kinase (ERK) serta dengan peningkatan AMP siklik intraselular. Sedangkan LMF (lipid mobilizing factor) yang ditemukan pada urin penderita kaheksia kanker, secara langsung menstimulasi lipolisis melaluti interaksi dengan adenilat siklase pada proses dependen GTP (Gambar 2.2.) (Sutandyo,2009).
Gambar 2.2. Proses sinstesis dan pemecahan lipid di jaringan lemak (Sutandyo,2009).
Universitas Sumatera Utara
2.8. TERAPI NUTRISI Tujuan terapi nutrisi : •
Mempertahankan atau memperbaiki status gizi
•
Mengurangi gejala sindrom kaheksia kanker
•
Mencegah komplikasi lebih lanjut yaitu deplesi sistem imun, infeksi, atau sepsis akibat malnutrisi
•
Mamanuhi kecukupan mikronutrien (Reksodiputro,2009).
2.8.1. Penilaian Status Nutrisi Penilaian status nutrisi pada pasien kanker perlu dilakukan selain untuk mengetahui status pasien juga agar intervensi nutrisi dapat diberikan secara adekuat. Terdapat beberapa faktor penilaian nutrisi yang spesifik untuk pasien kanker, yaitu kehilangan berat badan yang tidak dikehendaki (involutary weight loss), perbandingan berat badan aktual dengan berat badan sebelum sakit atau berat badan ideal, anoreksia dan asupan makanan, pengukuran antropometri, biomarker biokimia dan seluler (Reksodiputro,2009). A. Anamnesis Kehilangan berat badan yang tidak dikehendaki merupakan indikator kunci adanya malnutrisi pada pasien kanker. Laju kehilangan berat badan juga sangat penting. Pasien harus selalu ditanyakan berat badannya biasanya sebelum sakit, jika ditemukan adanya kehilangan berat badan yang tidak dikehendaki atau jika ada penurunan nafsu makan dari biasanya. Jika terjadi kehilangan berat badan lebih dari 5% dari berat badan biasanya (sebelum sakit) dalam 6 bulan, maka harus selalu dicurigai adanya kaheksia terutama jika disertai dengan muscle wasting. Sedangkan jika kehilangan berat badan yang tidak dikehendaki sebanyak 10% menunjukkan adanya malnutrisi berat dan sindrom kaheksia-anoreksia mulai ditegakkan (Reksodiputro,2009). Penilaian terhadap pola diet berupa asupan makanan dan minuman terakhir, asupan sebelumnya, dan segala perubahan yang terjadi. Informasi ini bisa di dapatkan dengan pertanyaan mengenai hilangnya nafsu makan secara subyektif
Universitas Sumatera Utara
dan penurunan nafsu makan. Untuk mendapatkan data ini secara kuantitatif dapat dengan cara menanyakan nafsu makan mereka berdasarkan skor 0-7 (0= tidak ada nafsu makan, 1= nafsu makan sangat kecil, 2= nafsu makan kecil, 3= nafsu makan cukup, 4= nafsu makan baik, 5= nafsu makan sangat baik, 6= nafsu makan luar biasa, 7= selalu lapar) (Reksodiputro,2009). B. Pemriksaan Fisik Pemeriksaan fisik secara umum dan pemeriksaan antropometri dilakukan keseluruhan meliputi berat badan, tinggi badan, tebal lemak subkutis, wasting jaringan, edema atau asites, tanda-tanda defisiensi vitamin dan mineral, serta status fungsional pasien. Harus diperhatikan apabila ditemukan adanya muscle wasting dan hilangnya jaringan lemak merupakan tanda lanjut dari malnutrisi (Reksodiputro,2009). C. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium meliputi albumin, prealbumin, transferin, imbang nitrogen 24 jam, kadar Fe, pemeriksaan sistem imun yaitu limfosit total, fungsi hati dan ginjal, kadar elektrolit, dan mineral serum. Pemeriksaan C reactive protein (CRP) serum sebagai data dasar dapat mengidentifikasikan pasien yang mengalami penurunan status nutrisi. Hal ini berhubungan dengan adanya respon inflamasi aktif dan dikenali sebagai prekursor kaheksia (Reksodiputro,2009).
2.9. KEBUTUHAN NUTRISI Nutrisi yang diberikan harus berdasarkan kebutuhan nutrisi secara individual baik jumlah maupun komposisinya. Kebutuhan nutrisi pasien kanker sangat individual dan berubah-ubah dari waktu kewaktu selama perjalanan penyakit serta tergantung dari terapi yang dijalankan (Peckenpaugh, 2005). A. Kebutuhan Energi Kebutuhan energi dapat ditentukan dengan menghitung keluaran energi basal atau laju metabolisme basal, menggunakan formula Harris-Bennedict yang
Universitas Sumatera Utara
dimultiplikasikan dengan faktor aktivitas dan faktor stres. Secara umum dianjurkan kebutuhan energi dan protein sama dengan stress sedang, untk tumor solid sekitar 0-20%. Metode lain untuk menghitung energi dengan cara yang lebih mudah dan praktis untuk digunakan diklinik adalah sebagai berikut: untuk mempertahankan status gizi, asupan kalori dianjurkan25-35 kal/kgBB sedangkan untuk menggantikan cadangan tubuh dianjurkan 40-50 kal/kgBB (Peckenpaugh, 2005). B. Kebutuhan Protein Sebagian besar pasien kanker mempunyai imbang nitrogen yang negative. Oleh karena itu dukungan nutrisi harus dapat memenuhi kebutuhan sintesa protein dan menurunkan degradasi protein. Kebutuhan protein untuk pasien kanker dengan adanya peningkatan kebutuhan atau pasien dengan hipermetabolisme atau wasting yang berat dianjurkan 1,5-2 gr/kgBB (Peckenpaugh, 2005). C. Kebutuhan Lemak Sedangkan kebutuhan lemak dapat diberikan antara 30-50% dari kebutuhan kalori total (Peckenpaugh, 2005).
2.10.
CARA PEMBERIAN NUTRISI
Terapi nutrisi tergantung dari kondisi pasien, status nutrisi, dan lokasi tiumor serta insikasi terapi untuk pasien. Strategi dukungan nutrisi tergantung dari masalah nutrisi yang dihadapi dan derajat deplesi (Sutandyo,2009). A. Nutrisi Oral Bila memungkinkan nutrisi secara oral merupakan pilihan utama untuk dukungan nutrisi. Namun pada pasien kanker yang mengalami anoreksia, mual perubahan rasa kecap dan disfagia pemberian makanan per oral dapat menjadi masalah dan perlu perhatian khusus. Sebagian besar pasien dapat mentoleransi makanan dengan porsi kecil dan sering. Untuk dapat meningkatkan asupan
Universitas Sumatera Utara
makanan pasien dianjurkan mengkonsumsi makanan atau minuman berkalori tinggi. Pada pasien dengan gangguan menelan, makanan dapat diberikan dalam bentuk lunak atau cair dengan suhu kamar atau dingin (Sutandyo,2009). B. Nutrisi Enteral Bila asupan nutrisi melalui oral tidak adekuat, maka pemberian nutrisi dilakukan dengan cara lain. Pasien kanker dengan fungsi saluran cerna yang masih baik, pemberian nutrisi enteral bisa melalui nasogastrik, lambung, duodenum, atau jejunum teragantung lokasi kanker, dan pemberiannya dapat dilakukan secara bolus, intermitten, atau kontinu. Nutrisi enteral berguna untuk menormalkan fungsi usus, lebih murah, kurang invasive dan kurang risiko dibanding parenteral (Sutandyo,2009). C. Nutrisi Parenteral Pemberian nutrisi parenteral pada pasien kanker memberikan risiko namun pada keadaan tertentu cara pemberian nutrisi ini perlu dipertimbangkan. Nutrisi parenteral dipertimbangkan bila fungsi saluran cerna tidak dapat digunakan atau jika terapi nutrisi enteral tidak dapat mencapai nutrisi yang adekuat. Nutrisi parenteral juga diperlukan untuk pasien yang tidak dapat mentolerir penggunaan saluran cerna akibat mual, muntah, obstruksi dan malabsorpsi. Pasien kanker yang mendapat nutrisi parenteral perlu dipantau dengan ketat untuk mencegah komplikasi (Sutandyo,2009).
Universitas Sumatera Utara