4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Batu Saluran Kemih
2.1.1
Proses Pembentukan Batu Saluran Kemih Batu saluran kemih terbentuk dari beberapa kondisi, yakni proses
supersaturasi dari ion-ion yang terdapat dalam urin (kalsium, oksalat, asam urat, dan fosfat) dan kurangnya inhibitor (penghambat) terbentuknya batu seperti sitrat, magnesium, seng, makromolekul dan pirofosfat (Wells et al., 2012). Batu saluran kemih ini terbentuk dari garam-garam ion yang berkondensasi membentuk massa padat melalui proses supersaturasi, dimana adanya hubungan ratio konsentrasi dari garam ion tersebut dengan kelarutannya yang dapat diukur dengan algoritma komputer. Jika nilai supersaturasi lebih kecil dari nilai 1 (satu), kristal-kristal zat garam itu akan terurai, namun jika nilai supersaturasinya berada diatas nilai 1 (satu), kristal zat garam tersebut akan terbentuk dan bertambah besar (Coe et al., 2005). Proses supersaturasi ini terjadi akibat hasil dari peningkatan kadar zat terurai, seperti ion pembentuk zat garam ini disertai ada atau tidaknya penurunan volume air. Ketika konsentrasi ion pembentuk batu ini melebihi kadar kelarutannya didalam urin, maka ion ini akan bersatu untuk membentuk kristal (Wells et al., 2012). Menurut Stoller dalam buku Smith’s General Urology Seventh Edition (2008), proses supersaturasi dari batu saluran kemih bergantung pada: 1. Nilai pH urin 2. Kekuatan ikatan ionik 3. Konsentrasi zat terurai 4. Faktor kompleks yang memengaruhi beberapa jenis ion yang spesifik, seperti contohnya natrium yang cenderung berikatan dengan oksalat. Proses pembentukan batu adalah suatu tahapan yang kompleks, dimulai dari urin yang mengalami tahap supersaturasi dengan kadar garam pembentuk batu, seperti ion dan molekul dari zat terlarut untuk membentuk kristal dan inti. Ketika
Universitas Sumatera Utara
5
terbentuk maka kristal ini akan mengikuti aliran urin keluar atau tertahan di ginjal dan menjadi awal permulaan yang kemudian terjadi tahap pembentukan dan tahap agregasi yang pada akhirya terbentuk batu (Pearle dan Lotan, 2012).
Nukletisasi akan terjadi Inhibitor tidak bekerja
Hasil pembentukan
Pertumbuhan kristal akan terjadi Konsentrasi produk
Agregasi kristal akan terjadi Inhibitor akan berkompetisi dan mencegah proses kristalisasi Nukletisasi antar ion heterogen akan terjadi Matriks akan terlibat
Hasil larutan
Kristal tidak akan terbentuk Batu yang terbentuk akan larut Gambar 2.1. Stadium saturasi Sumber: Pearle, M.S. dan Lotan, Y., Urinary Lithiasis: Etiology, Epidemiology, and Pathogenesis. Dalam: Wein et al., eds. 2012. Campbel-Walsh Urology. Tenth Edition. USA: Elsevier Saunders, h. 1260. Menurut Williams et al. (eds) (2008), ada beberapa etiologi penyebab terbentuknya batu saluran kemih, diantaranya: 1. Diet Kekurangan vitamin A dapat mengakibatkan terjadinya pengelupasan sel epitel ginjal sehingga akan memicu kondisi yang sesuai untuk terbentuknya batu. 2. Perubahan kelarutan urin Dehidrasi atau kekurangan cairan akan meningkatkan konsentrasi zat terlarut menjadi lebih besar dari pelarutnya sehingga mampu memicu zat terlarut tersebut untuk saling berikatan dan membentuk batu.
Universitas Sumatera Utara
6
3. Penurunan sitrat Adanya sitrat dalam urin sekitar 300-900 mg/24 jam dalam bentuk asam sitrat, akan mencegah pembentukan batu kalsium fosfat. Ekskresi dari sitrat dipengaruhi oleh hormon dan menurun konsentrasinya saat terjadinya menstruasi. 4. Infeksi ginjal Infeksi dapat memicu terbentuknya batu terutama infeksi bakteri. Bakteri yang paling sering ditemukan di inti batu saluran kemih adalah Staphylococcus dan Escherichia coli. 5. Tidak adekuatnya proses pengeluaran urin atau urin yang statis Batu akan cenderung terbentuk jika pengeluaran urin sering tidak sempurna. 6. Pembatasan pergerakan (immobilisation) yang lama Pembatasan pergerakan oleh karena beberapa faktor, seperti paraplegia (kelumpuhan otot ektremitas bawah) akan berdampak kepada proses pemecahan kalsium dari tulang dan menyebabkan peningkatan kalsium dalam urin. 7. Hiperparatiroidisme Hiperparatiroidisme
memicu
terjadinya
kondisi
hiperkalsemia.
Hiperparatiroidisme ini menyebabkan peningkatan proses eliminasi kalsium dalam urin.
2.1.2
Jenis Ion Pembentuk Batu Saluran Kemih Menurut Stoller (2008), ada beberapa jenis ion yang berperan dalam
pembentukan batu saluran kemih, diantaranya: 1. Kalsium Merupakan yang paling sering ditemukan pada kristal batu saluran kemih. Lebih dari 95% kalsium akan terfiltrasi di glomerulus dan direabsorbsi kembali di tubulus proksimal, tubulus distal, dan dalam jumlah kecil di tubulus kolektivus. Kurang dari 2% akan diekskresikan
Universitas Sumatera Utara
7
keluar melalui urin. Obat diuretik akan menyebabkan kondisi hipokalsiuria sehingga terjadi penurunan ekskresi kalsium. Tabel 2.1. Kondisi sistemik yang berhubungan dengan pembentukan batu Penyakit/Kondisi Mekanisme yang berhubungan Hiperkalsemia
Hiperparatiroidisme primer
Hiperkalsiuria Pengendapan
Infeksi saluran kemih
kalsium
fosfat
dan
magnesium amonium fosfat dalam urin yang bersifat basa Batu struvit Penurunan amonium dalam urin
Asidosis tubulus distal ginjal
Penurunan pH Chronic Inflammatory Bowel Disease Peningkatan penyerapan oksalat Penyakit Gout (meningkatkan resiko Hiperurisemia batu asam urat dan batu kalsium oksalat) Penurunan amonium dalam urin
Resistensi insulin
Penurunan pH urin Hilangnya bikarbonat dan cairan
Riwayat ileostomi
Penurunan volume urin Penurunan pH urin Pembatasan pergerakan yang lama Penyakit
kongenital,
Hiperkalsiuria
dan Urin yang statis
pembedahan Sumber: Wells et al., 2012. Kidney Stone. University of Mississipi Health Care: Clinical Reviews 22 (2): 32. 2. Oksalat Merupakan produk normal hasil metabolisme. Pada kondisi normal, sekitar 10-15% oksalat akan ditemukan di dalam urin yang terbentuk oleh karena faktor diet makanan. Ekskresi normal oksalat dalam urin
Universitas Sumatera Utara
8
berkisar antara 20-45 mg/hari dan tidak berpengaruh terhadap usia. Hiperoksaluria bisa terjadi pada pasien yang menderita gangguan saluran pencernaan bawah, terutama pada inflammatory bowel disease, small bowel resection, dan bowel bypass. Sekitar 5-10% pada penderita ini akan terbentuk batu ginjal. 3. Fosfat Merupakan buffer yang penting dan merupakan ion yang sering berikatan dengan kalsium dalam pembentukan batu. Ekskresi dari fosfat pada usia dewasa berkaitan dengan diet makanan yang mengandung fosfat, seperti daging, produk susu, dan sayur-sayuran. Fosfat dalam jumlah kecil akan terfiltrasi di glomerulus dan direabsorbsi utama pada tubulus proksimal, namun adanya hormon paratiroid dapat juga menghambat proses reabsorpsi ini. 4. Asam urat Merupakan produk hasil metabolisme purin, nilai pKa (kadar keasaman yang ditandai dengan atom hidrogen dalam molekul) asam urat adalah 5,75. Sekitar 10% asam urat ini akan lolos dari proses filtrasi dan akhirnya dikeluarkan pada saat miksi. 5. Natrium Walaupun bukan penyusun utama dalam proses pembentukan batu saluran kemih, natrium berperan penting dalam mengatur proses kristalisasi garam kalsium dalam urin. Konsumsi diet yang tinggi natrium akan meningkatkan jumlah ekskresi kalsium dalam urin. Sebaliknya, konsumsi diet natrium yang rendah akan membantu menurunkan angka pembentukan batu kalsium kembali. 6. Sitrat Sitrat memegang kunci peranan utama dalam pencegahan pembentukan batu kalsium. Keadaan metabolik asidosis oleh karena puasa, hipokalemia atau hipomagnesemia, akan menurunkan pengeluaran sitrat dalam urin. Hormon estrogen meningkatkan ekskresi sitrat dan menjadi faktor yang menurunkan insidensi terbentuknya batu pada
Universitas Sumatera Utara
9
wanita, terutama pada saat kehamilan. Kondisi alkalosis akan meningkatkan ekskresi sitrat. 7. Magnesium Konsumsi diet magnesium yang rendah berhubungan dengan peningkatan insidensi terbentuknya batu saluran kemih. Magnesium merupakan komponen dari batu struvit. Namun mekanisme pasti hubungan magnesium dengan proses pembentukan batu masih belum diketahui. Konsumsi suplemen magnesium juga tidak dapat mencegah proses pembentukan batu. 8. Sulfat Sulfat dapat membantu mencegah pembentukan batu dengan berikatan dengan kalsium sehingga menghalangi proses pembentukan kalsium dengan ion lainnya.
Walaupun
sudah
ditemukannya
ion
inhibitor
untuk
mencegah
terbentuknya batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat yaitu sitrat, namun belum diketahuinya ion inhibitor yang memengaruhi kristalisasi batu asam urat (Pearle dan Lotan, 2012).
2.1.3
Jenis Batu Saluran Kemih Dalam guidelines yang dikeluarkan European Association of Urology
(EAU) pada tahun 2014, dikelompokkan batu saluran kemih berdasarkan etiologi penyebabnya, antara lain: infeksi, non-infeksi, penyebab genetik, dan efek samping obat. Stoller (2008) mengelompokkan batu saluran kemih menjadi dua golongan, yaitu: 1. Batu kalsium 2. Batu non-kalsium (struvit, asam urat, Cystine, Xantine, Indinavir). Menurut Pearle dan Lotan dalam buku Campbell-Walsh Urology Tenth Edition (2012), klasifikasi batu pada saluran kemih atas dengan faktor pemicunya antara lain:
Universitas Sumatera Utara
10
Tabel 2.2. Klasifikasi batu berdasarkan etiologi Batu non-infeksi Calsium oxalate
Batu infeksi
Genetik
Calsium Phosphate
Urid acid
Magnesium ammonium phosphate
Carbonate apatite
Ammonium urate
Cystine
Xanthine
2,8-dihydroxyadenine
Batu obat Sumber: Turk, C., Knoll, T., Petrik, A. et al., 2014. Guidelines on Urolithiasis. European Assosiation of Urology. a. Batu kalsium i. Hiperkalsiuria; didefinisikan sebagai ekskresi kalsium dalam urin yang melebihi 4 mg/kg/hari atau lebih dari 7 mmol/hari pada lakilaki dan 6 mmol/hari pada perempuan. ii. Hiperoksaluria; penyebabnya adalah gangguan tahapan biosintesis (hiperoksaluria primer), malabsorpsi saluran cerna yang disebabkan oleh inflammatory bowel disease, dan konsumsi oksalat yang tinggi. iii. Hiperurikosuria; didefinisikan sebagai kadar asam urat dalam urin yang melebihi 600 mg/hari. Penyebabnya adalah konsumsi purin yang tinggi dan penyakit yang didapat atau herediter. iv. Hipositraturia; keseimbangan asam basa sangat berpengaruh besar terhadap ekskresi sitrat dalam urin, seperti asidosis metabolik akan mengurangi kadar sitrat dalam urin. Sebaliknya, pada keadaan alkalosis kadar sitrat dalam urin akan meningkat, diikuti peningkatan kadar hormon paratiroid, estrogen, growth hormone, dan vitamin D. v. pH urin yang rendah; segala gangguan yang mengakibatkan penurunan pH urin akan memicu terbentuknya batu.
Universitas Sumatera Utara
11
vi. Asidosis tubular ginjal (Renal Tubular Acidosis); ditandai dengan kerusakan tubular ginjal dalam sekresi ion hidrogen atau reabsorpsi bikarbonat. b. Batu asam urat Batu asam urat
Volum urin rendah
pH urin rendah Diare
Hiperurikosuri a Diet protein hewani tinggi
Peny. Gout Obesitas(Resistensi insulin)
Kelainan Mieloproliferatif
Obat Urikosuria
Kelainan kongenital
Gambar 2.2. Patofisiologi dan etiologi pembentukan batu asam urat Sumber: Pearle, M.S. dan Lotan, Y., Urinary Lithiasis: Etiology, Epidemiology, and Pathogenesis. Dalam: Wein et al., eds. 2012. Campbel-Walsh Urology. Tenth Edition. USA: Elsevier Saunders, h. 1277. c. Batu sistin Beberapa faktor dapat memengaruhi kelarutan sistin termasuk konsentrasi sistin, pH, ikatan ionik, dan makromolekul urin. d. Batu infeksi Komposisi utama batu infeksi adalah magnesium amonium, fosfat heksahidrat (MgNH4PO4 • 6H2O) dan dapat terkandung kalsium fosfat dalam pembentukan karbonat apatit (Ca10[PO4]6 • CO3). e. Batu lainnya i. Xanthine dan Dihydroxyadenine Stones ii. Ammonium Acid Urate Stones iii. Matrix Stones
Universitas Sumatera Utara
12
f. Batu oleh karena obat-obatan i. Secara
langsung:
Indinavir
stones,
Triamterene
stones,
Guaifenesin, Ephedrine, dan Silicate stones. ii. Secara tidak langsung: kortikostreoid, vitamin D, dan jenis antasida yang mengikat fosfat.
Keterangan: A. Apatite B. Struvit C. Kalsium oksalat dehidrat D. Kalsium oksalat monohidrat E. Sistin F. Ammonium acid urate
Gambar 2.3. Kristal urin Sumber: Ferrandino, M.N., Pietrow, P.K., dan Preminger, G.M., Evaluation and Medical Management of Urinary Lithiasis. Dalam: Wein et al., eds. 2012. Campbel-Walsh Urology. Tenth Edition. USA: Elsevier Saunders, h. 1290.
Universitas Sumatera Utara
13
2.1.4
Penatalaksanaan Batu Saluran Kemih Menurut Stoller (2008), ada beberapa teknik dan intervensi yang dapat
dilakukan pada pengeluaran batu, diantaranya: 1. Observasi konservatif Kebanyakan batu yang berada di ureter bisa lolos dan dikeluarkan tanpa perlu dilakukan intervensi. Keluarnya batu secara spontan sangat bergantung kepada ukuran batu, bentuk batu, lokasi terbentuknya batu, dan ada tidaknya hubungan dengan edema pada saluran ureter. Ukuran batu 4-5 mm memiliki peluang 40-50% untuk secara spontan dikeluarkan. Sebaliknya batu yang ukurannya >6 mm memiliki peluang <5% untuk keluar secara spontan. Rata-rata batu akan keluar dalam kurun waktu 6 minggu sejak timbulnya gejala. Batu ureter yang berada di bagian distal ureter menunjukkan peluang keluar secara spontan sebesar 50%. Namun pada bagian tengah dan proksimal ureter sebesar 25% dan 10%. 2. Penggunaan bahan disolusi (Dissolution Agents) Metode ini dapat dilakukan, seperti mengasamkan dan membasakan urin, namun sangat bergantung kepada luas permukaan batu, tipe batu, volume cairan irigasi, dan cara intervensinya. 3. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) Secara teori, teknik ini didasarkan pada pemecahan batu menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil (sehingga dapat dikeluarkan secara spontan melalui urin) dengan gelombang kejut yang diberikan dari luar tubuh dan difokuskan secara lokal pada batu. 4. Ekstraksi batu dengan uteroskopi Dengan
menggunakan
kaliber
uteroskopi
ukuran
kecil
dan
mengembangkan balon sehingga mendilatasi saluran ureter agar batu dapat keluar, namun teknik ini hanya memiliki tingkat keberhasilan tinggi pada batu yang terbentuk di distal ureter saja.
Universitas Sumatera Utara
14
5. Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) Suatu teknik operasi secara perkutan yang dilakukan untuk mengevakuasi batu ginjal dan batu ureter yang terbentuk di proksimal ureter dengan ukuran yang lebih besar (>2,5 cm), dan merupakan terapi alternatif jika tidak berhasil dengan terapi ESWL. 6. Operasi terbuka Metode ini merupakan metode klasik yang banyak digunakan untuk mengevakuasi batu, namun angka morbiditas sangat tinggi akibat perlakuan ini. 2.2
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy
2.2.1
Prinsip Kerja Batu ginjal dan ureter dipecahkan menjadi fragmen-fragmen kecil dengan
suatu gelombang kejut (shock wave) sehingga pada akhirnya akan dikeluarkan secara spontan. Keberhasilan utama dari terapi ESWL adalah pemecahan batu hingga menjadi fragmen yang lebih kecil dari ukuran 1 mm, sehingga dapat keluar dengan spontan dan tidak membuat nyeri pada saluran kemih saat miksi (Hanafiah, 2006). Tujuan utama dari alat pemecah batu dengan gelombang kejut ini adalah pemfokusan pada suatu titik lokasi terbentuknya batu. Suatu energi dengan amplitudo tinggi diarahkan dari luar tubuh pasien melalui media air, bukan melalui udara (Hanafiah, 2006). Menurut Hanafiah (2006), ada 4 komponen dasar pada mesin pemecah batu gelombang kejut, diantaranya adalah: 1. Sumber energi (generator gelombang kejut); gelombang kejut ini dihasilkan oleh electrohydraulic waves, piezoeletric waves, atau electromagnetic waves. 2. Mesin pemfokus; pemecah batu dengan gelombang kejut ini membutuhkan satu alat pemfokus untuk dapat mengarahkan gelombang energi ke suatu titik lokasi dimana terdapat batu, sehingga dapat memungkinkan terjadinya proses pemecahan batu.
Universitas Sumatera Utara
15
3. Alat pencitraan; seperti fluoroskopi dan ultrasonography (USG) digunakan untuk melihat lokasi batu sehingga penembakan gelombang kejut ini bisa tepat sasaran. 4. Alat
pendeteksi;
digunakan
untuk
menginformasikan
bahwa
gelombang kejut yang ditembakkan menembus lapisan kulit, melewati jaringan viseral dan menuju ke batu. Alat yang sekarang dipakai adalah suatu wadah berisi sedikit air untuk memberikan adanya kontak udara terhadap kulit pasien.
Gambar 2.4. Pasien yang menjalani Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy Sumber: Hanafiah, A.N.M., 2006. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy. Ministry of Health Malaysia: Technology Review. Terapi ESWL biasanya dimulai dengan gelombang listrik yang rendah kemudian perlahan ditingkatkan sampai mencapai nilai maksimum 4000 dalam waktu 60-90 menit. Nilai rerata tembakan per sesinya adalah diantara 3000-4000. Sedasi dengan diazepam dan petidin biasanya diberikan sebelum tindakan. Selama sesi terapi, furosemid dan cairan intravena diberikan pada pasien. Pada pasien anakanak, anestesi total diperlukam (Awad et al., 2014). Frekuensi gelombang kejut yang direkomendasikan pada guidelines yang dikeluarkan oleh EAU (2014) adalah 1.0 – 1.5 Hz. Menurut Ferrandino et al. dalam buku Campbell-Walsh Urology Tenth Edition (2012), ada 3 jenis generator penghasil gelombang kejut yang dikenal, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
16
1. Generator Elektrohidraulik (Electrohydraulic Generator) Suatu gelombang kejut yang ditembakkan melengkung melalui suatu pemendar gelombang di bawah air. Voltase tinggi diberikan pada dua elektroda yang posisinya berlawanan 1 mm satu sama yang lain. Tembakan ini difokuskan pada titik dimana elektroda yang ditempatkan pada salah satu titik fokus yang berbentuk lonjong dan titik fokus lainnya merupakan sisi targetnya (batu ginjal). 2. Generator Elektromagnetik (Electromagnetic Generator) Dapat menghasilkan gelombang kejut yang datar atau berbentuk silindris; gelombang yang datar difokuskan oleh lensa akustik, sedangkan yang berbentuk silindris akan dipantulkan oleh suatu pemantul dan diubah menjadi gelombang yang difokuskan. Gelombang ini akan memberikan tekanan gelombang magnetik melalui media air dan difokuskan pada batu. 3. Generator Piezoelektrik (Piezoelectric Generator) Generator ini dibentuk oleh beberapa elemen kecil, berkutub, polikristalin dan barium titanat yang dapat menghasilkan gelombang bertekanan tinggi. Elemen piezoelektrik ini biasanya disusun didalam piringan yang berbentuk lengkung untuk menghasilkan gelombang konvergen yang dapat difokuskan. Pasien harus dievaluasi setelah beberapa hari untuk melihat fragmenfragmen batu yang pecah. Jika masih terlihat fragmen batu yang tersisa, maka diperlukan terapi penembakan untuk sesi berikutnya, hingga mencapai 5 sesi. Jika setelah 5 sesi masih belum ada hasil yang sempurna, maka pelaksanaan ESWL dinyatakan gagal (Awad et al., 2014).
2.2.2
Indikasi ESWL disarankan pada individu yang menderita batu yang terbentuk di
bagian bawah ginjal dengan ukuran 1 cm atau kurang, karena terdapat peluang yang kuat untuk mencapai status bebas batu dengan morbiditas yang minimal. Sedangkan pasien yang menderita batu ukuran 2 cm atau lebih, tetap lebih baik jika dilakukan
Universitas Sumatera Utara
17
PNL, karena terapi ini dapat memberikan peluang mencapai status bebas batu dengan satu kali tindakan (Ferrandino et al., 2012).
Gambar 2.5. Gambaran skematik generator gelombang elektromagnetik yang menggunakan lensa akustik untuk memfokuskan gelombang Sumber: Ferrandino, M.N., Pietrow, P.K., dan Preminger, G.M., Evaluation and Medical Management of Urinary Lithiasis. Dalam: Wein et al., eds. 2012. Campbell-Walsh Urology. Tenth Edition. USA: Elsevier Saunders, h. 1389. 2.2.3
Kontraindikasi Menurut guildelines yang dikeluarkan EAU (2014), ada beberapa
kontraindikasi yang harus diperhatikan dalam perencanaan terapi ESWL, yaitu: a. Kehamilan b. Gangguan perdarahan c. Infeksi saluran kemih yang tidak terkontrol d. Aneurisma aorta e. Malformasi rangka tubuh yang serius dan obesitas yang serius f. Obstruksi anatomi pada bagian distal akibat batu
Universitas Sumatera Utara
18
Gambar 2.6. Gambaran Skematik generator gelombang elektromagnetik yang menggunakan pemantul yang dapat memfokuskan gelombang Sumber: Ferrandino, M.N., Pietrow, P.K., dan Preminger, G.M., Evaluation and Medical Management of Urinary Lithiasis. Dalam: Wein et al., eds. 2012. Campbell-Walsh Urology. Tenth Edition. USA: Elsevier Saunders, h. 1389. 2.2.4
Komplikasi Menurut D’Addesi et al. (2012), komplikasi yang dapat terjadi setelah
pelaksanaan terapi ESWL berasal dari beberapa faktor sebagai berikut: a. Pembentukan dan pengeluaran fragmen b. Infeksi c. Efek pada jaringan ginjal dan yang bukan ginjal d. Efek pada fungsi ginjal e. Hipertensi Berdasarkan guidelines yang dikeluarkan EAU (2014), ada beberapa komplikasi yang berkaitan dengan terapi ESWL, yaitu: a. Yang berhubungan dengan fragmen batu steinstrasse pertumbuhan kembali dari fragmen yang tersisa kolik
Universitas Sumatera Utara
19
Gambar 2.7. Gambaran skematik generator gelombang piezoelektrik Sumber: Ferrandino, M.N., Pietrow, P.K., dan Preminger, G.M., Evaluation and Medical Management of Urinary Lithiasis. Dalam: Wein et al., eds. 2012. Campbell-Walsh Urology. Tenth Edition. USA: Elsevier Saunders, h. 1390. b. Infeksi bakteriuria sepsis c. Efek pada jaringan ginjal: hematoma yang simtomatik dan asimtomatik kardiovaskular: disritmia, morbiditas pada jantung gastrointestinal: perforasi, hematoma hati dan limpa ESWL dapat menyebabkan perdarahan pada parenkim subskapular dari sedang ke berat dan tampak hematoma dengan pencitraan radiologi. Pertambahan usia diindikasikan memegang peranan penting dalam faktor resiko terjadinya hematoma (Glickman, 2009).
2.2.5
Prognosis Keberhasilan ESWL pada batu yang terbentuk di bagian bawah ginjal lebih
rendah (60%) daripada PNL (90%) pada ukuran batu yang lebih besar dari 10 mm (Ferrandino et al., 2012).
Universitas Sumatera Utara
20
Efektivitas ESWL dipengaruhi oleh indeks massa tubuh, karena semakin besar jarak antara batu dan kulit maka semakin rendah angka keberhasilannya. Keberhasilan terapi juga dipengaruhi oleh pengalaman dari operator dan protokol pelaksanaan (Glickman, 2009). Menurut Ferrandino et al. (2012), ada beberapa faktor dari batu yang memengaruhi terapi, yakni: d. Lokasi Semakin proksimal maka akan membuat kemungkinan batu keluar akan semakin kecil. e. Kuantitas Ukuran dan jumlah batu memengaruhi hasil terapi dan kemungkinan mencapai status bebas batu. f. Komposisi Seperti ESWL yang lebih sering dipilih untuk terapi penghancuran batu kalsium oksalat dihidrat dan uteroskopi pada batu sistin yang sering resisten terhadap ESWL. g. Lama waktu batu Semakin lama batu yang berada di ureter, semakin berpotensial pada kerusakan irreversibel fungsi ginjal. Penghancuran batu yang dilakukan ESWL juga dipengaruhi oleh jumlah dan kekuatan tembakan. Ada penelitian yang menunjukkan bahwa semakin rendah angka tembakan permenit seperti 60 SW (Shock Wave) yang diberikan, akan memberikan hasil yang lebih baik daripada pemberian 120 SW per menit. Hasil ini terjadi pada penggunaan alat electrohydraulic dan electromagnetic lithotriptors (Glickman, 2009). Menurut guidelines yang dikeluarkan oleh EAU (2014), ada lebih dari 90% kasus batu pada usia dewasa dapat dilakukan terapi ESWL. Namun, keberhasilannya bergantung pada alat yang digunakan dan beberapa faktor seperti: a. Ukuran, lokasi (ureter, pelvis atau kaliks), dan komposisi batu b. Individual setiap pasien c. Pelaksana ESWL (operator)
Universitas Sumatera Utara