4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Jantung
2.1.1. Embriogenesis sistem kardiovaskular 2.1.1.1.Ruang Jantung dan Arteri Besar Proses embriogenesis kardiovaskular merupakan rangkaian pembentukan organ jantung yang sangat kompleks dan saling berkaitan. Selama kehamilan bulan pertama, jantung hanya berupa sebuah tabung lurus(Usman, 2008). Tabung jantung primitif ini tersusun dari 4 segmen berangkai, yaitu tiga ruangan (sinoatrium, ventrikel primitif, dan bulbus kordis) dan arteri utama tunggal (trunkus arteriosus)(Stanger, 2007).
Gambar 2.1. Tabung Jantung Primitif (Abdulla, et al., 2004) Selama kehamilan bulan kedua, susunan tabung jantung sederhana ini berubah menjadi jantung dengan dua sistem pompa sejajar, dimana tiap sistem memiliki dua ruangan dan satu arteri besar. Perkembangan bertahap dicapai melalui pembagian segmen proksimal dan distal menjadi struktur yang berpasangan, dimana sinoatrium menjadi atrium kanan dan kiri, trunkus menjadi aorta dan arteri pulmonalis serta ventrikel kiri dan kanan yang terbentuk dari ventrikel primitif dan bulbus kordis. Ventrikel kiri dan kanan terletak bersisian
5
akibat dari terbentuknya lengkungan dimana sebelumnya ventrikel primitif dan bulbus kordis berangkaian(Stanger, 2007). Setelah dua atrium terbentuk, kanal atrioventrikular (AV) dibagi oleh bantalan endokardium menjadi katup mitral dan katup trikuspid dimana keduanya berhubungan dengan ventrikel primitif. Perubahan menjadi sistem pemompaan ganda melibatkan penyegarisan setiap ventrikel dengan setiap katup AV-nya di proksimal dan arteri besar di distal. Penyegarisan proksimal dicapai dengan perpindahan kanal AV ke arah kanan dan perpindahan sekat ventrikel ke arah kiri sehingga ventrikel kanan berhubungan dengan atrium kanan(Stanger, 2007). Kegagalan ventrikel kiri menyegaris kembali dengan katup trikuspid pada ventrikel kanan menghasilkan ventrikel kiri dengan jalan masuk ganda. Kegagalan trunkus membelah menjadi arteri pulmonalis dan aorta menghasilkan trunkus arteriosus persisten(Stanger, 2007).
Gambar 2.2. Proses Looping(Abdulla, et al., 2004)
6
2.1.1.2. Sekat Atrium Atrium komunis primitif dibagi menjadi dua ruangan oleh sekat I, sekat II, dan sebagian kecil jaringan bantalan endokardium. Sekat I muncul sebagai struktur berbentuk bulan sabit dari atap atrium dan tumbuh ke arah kanal AV meninggalkan lubang interatrium (ostium primum). Sebelum ostium primum menutup, terbentuk banyak lubang pada bagian sefalad sekat I lalu lubang ini bersatu membentuk ostium sekundum. Sekat II mulai terbentuk pada atap atrium di sebelah kanan sekat I. Jaringan tipis sekat I berperan sebagai katup satu arah, katup foramen ovale, dan memungkinkan darah mengalir dari kanan ke kiri(Stanger, 2007). Defek septum atrium dapat terjadi dalam bentuk foramen ovale atau sekundum, primum, dan sinus venosus. Defek sekundum terjadi bila jaringan katup foramen ovale tidak memadai untuk penutupan foramen ovale; defek ini juga dapat terjadi akibat katup yang pendek atau pembentukan jendela pada katup. Defek sinus venosus terjadi akibat kesalahan penyegarisan sekat atrium dan tanduk sinus kanan(Stanger, 2007).
2.1.2. Adaptasi sistem kardiovaskular 2.1.2.1. Sirkulasi Janin Pada janin, darah dengan PO2 40 mmHg mengalir dari plasenta menuju vena umbilikalis. Dari vena umbilikalis sebagian darah langsung mengalir ke vena cava inferior (VCI) melintasi hati menuju ductus venosus. Sisanya mengalir ke sirkulasi portal melalui vena porta masuk ke hati mengalami perfusi di hati kemudian menuju VCI. Sebagian besar darah dari VCI mengalir ke dalam atrium kiri melalui foramen ovale lalu ke ventrikel kiri, aorta asendens, dan sirkulasi koroner. Dengan demikian sirkulasi otak dan koroner mendapatkan darah dengan tekanan oksigen yang cukup (Usman, 2008). Sebagian darah dari VCI memasuki ventrikel kanan melalui katup trikuspid. Darah yang kembali dari leher dan kepala janin (PO2 10 mmHg) memasuki atrium kanan melalui vena cava superior (VCS) lalu bergabung dengan
7
darah dari sinus coronarius menuju ventrikel kanan dan berlanjut ke arteri pulmonalis (Roebiono, et al., 1994). Pada masa fetal hanya 12-15% darah dari ventrikel kanan yang akan memasuki paru, selebihnya akan melewati duktus arteriosus menuju aorta desenden lalu bercampur dengan darah dari aorta asenden. Darah yang banyak mengandung CO2tersebut akan mengalir ke organ-organ tubuh sesuai dengan tahanan vaskular masing-masing dan juga ke plasenta melalui arteri umbilikalis (Usman, 2008).
2.1.2.2. Sirkulasi Bayi Baru Lahir Perubahan yang sangat penting dalam sirkulasi setelah bayi lahir terjadi karena putusnya hubungan plasenta dari sirkulasi sistemik dan paru yang mulai berkembang. Perubahan-perubahan yang terjadi adalah: 1. Penurunan tahanan vaskular pulmonalakibat ekspansi mekanik paru-paru, peningkatan saturasi oksigen arteri pulmonalis dan PO2 alveolar karena tahanan arteri pulmonalis menurun maka aliran darah pulmonal meningkat. Lapisan medial arteri pulmonalis perifer berangsur-angsur menipis dan pada usia bayi 10-14 hari tahanan arteri pulmonalis sudah seperti orang dewasa. Penurunan tahanan arteri pulmonalis akan terhambat bila terdapat aliran darah paru yang meningkat seperti pada defek septum ventrikel ataupun pada duktus arteriosus yang besar. 2. Tahanan vaskular sistemik meningkat 3. Duktus arteriosus menutup pada 10-15 jam setelah lahir. Penutupan permanen terjadi pada usia 2-3 minggu. 4. Foramen ovale menutupsaat bayi lahir tetapi tidak semua bayi mengalaminya. Dalam jam-jam pertama setelah lahir masih dapat dideteksi terdapatnya pirau dari atrium kanan ke atrium kiri melalui foramen ovale karena tekanan pada atrium kanan masih sedikit lebih tinggi dibandingkan atrium kiri(Roebiono, et al., 1994)
8
2.1.3. Anatomi Jantung adalah organ berongga dan berotot seukuran kepalan yang terletak di mediastinum medialis dan sebagian tertutup oleh jaringan paru. Berat jantung tergantung dari umur, jenis kelamin, tinggi badan, lemak perikardium, dan nutrisi seseorang. Jantung dibungkus oleh jaringan ikat tebal yang disebut perikardium, dimana terdiri dari dua lapisan, yaitu: a.
Perikardium parietalis: lapisan luar yang melekat pada tulang dada danparu.
b.
Perikardium viseral (epikardium): lapisan permukaan jantung. Jantung memiliki 4 ruang, yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel kanan,
dan ventrikel kiri (Oemar, 1996). Atrium kanan dengan atrium kiri dipisahkan oleh septum interatriorum, sedangkan ventrikel kanan dan ventrikel kiri dipisahkan oleh septum interventrikulorum. Atrium dan ventrikel berhubungan satu sama lain melalui orifisium atrioventrikuler. Antara atrium kanan dan ventrikel kanan terdapat katup trikuspid, sedangkan antara atrium kiri dan ventrikel kiri terdapat katup mitral/bikuspid. Kedua katup ini dapat terbuka ketika tekanan atrium melebihi tekanan ventrikel sehingga darah mengalir dari atrium ke ventrikel. Kedua katup ini mulai menutup ketika tekanan ventrikel melebihi tekanan atrium sehingga darah tidak kembali ke atrium. Pada pangkal trunkus pulmonalis terdapat katup pulmonalis yang memungkinkan darah mengalir dari ventrikel kanan menuju arteri pulmonalis. Pada pangkal aorta terdapat katup aorta yang akan membuka saat ventrikel kiri berkontraksi sehingga darah dapat mengalir ke seluruh tubuh(Sherwood, 2011).
9
Gambar 2.3. Struktur Jantung (Graaff, 2001) 2.1.4. Fisiologi Darah yang kembali dari sirkulasi sistemik masuk ke atrium kanan melalui dua vena kava dimana satu vena mengembalikan darah dari level di atas jantung yang disebut vena kava superior dan vena yang lain dari level di bawah jantung yang disebut vena kava inferior. Darah yang masuk ke atrium kanan ini banyak mengandung CO2. Kemudian darah ini akan mengalir dari atrium kanan ke ventrikel kanan melewati katup trikuspid. Darah di ventrikel kanan dipompa keluar melewati katup pulmonal dan dibawa oleh arteri pulmonalis menuju paru. Di dalam paru, darah tersebut menyerap banyak O2. Lalu darah ini masuk ke dalam atrium kiri dan mengalir ke ventrikel kiri melewati katup mitral. Darah yang ada di ventrikel kiri ini kemudian dipompa keluar melewati katup aorta dan dibawa oleh aorta ke seluruh tubuh(Sherwood, 2011). 2.2.
Penyakit Jantung Bawaan
2.2.1. Definisi Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah kumpulan malformasi struktur jantung atau pembuluh darah besar yang sudah ada sejak lahir. Penyakit ini biasanya terdeteksi pada bayi dan anak. Apabila penyakit jantung bawaan
10
ditemukan pada orang dewasa, maka pasien tersebut mampu melewati seleksi alam atau telah menjalani tindakan operasi dini pada usia muda (Rahmawati, 2011). 2.2.2. Epidemiologi Penelitian di negara berkembang dan di negara maju menunjukkan bahwa penyakit jantung bawaan terjadi pada kira-kira 10 dari 1.000 anak yang lahir hidup (Stanger, 2007). Berdasarkan penelitian, 1 orang bayi dilahirkan dari bapak dengan riwayat PJB, sedangkan tidak ada bayi yang dilahirkan dari 4 orang ibu dengan riwayat PJB (Harimurti, 1996). PJB diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu PJB non-sianotik dan PJB sianotik. Jumlah pasien PJB non-sianotik rata-rata 3-4 kali PJB sianotik. Pada PJB non-sianotik, kelainan terbanyak adalah defek septum ventrikel. Sedangkan pada PJB sianotik, kelainan terbanyak adalah tetralogi fallot. Perbandingan kejadian penyakit jantung bawaan non-sianotik dan sianotik adalah 4:1. Meskipun demikian, PJB sianotik menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan PJB non-sianotik (Mansjoer, et al., 2000).
11
Tabel 2.1. Diagnosis Pasien Penyakit Jantung yang Berobat di Poliklinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/SCM, Jakarta, 1983-1992 Diagnosis
Jumlah
Persen
DSV
694
33,1%
DSA2
281
13,4%
DSA1
55
2,6%
DAP
281
13,4%
SP
111
5,3%
DSAV
30
1,4%
SAO
23
1,1%
KOARK
4
0,2%
PJBN-TD
123
5,9%
Jumlah
1.602
76,7%
TF
212
10,5%
TAB
74
3,5%
VKAJKG
25
1,2%
AP
20
0,9%
AT
19
0,9%
TA
13
0,6%
ATDVP
10
0,4%
EBSTEIN
5
0,2%
HLHS
5
0,2%
PJBS-LAIN
45
2,2%
PJBS-TD
61
2,9%
Jumlah
489
23,3%
Jumlah seluruhnya
2.091
100%
PJB non-sianotik
PJB sianotik
*DSV= Defek Septum Ventrikel; DSA2= Defek Septum Atrium Sekundum; DSA1= Defek Septum Atrium Primum; DAP= Duktus Arteriosus Persisten; SP= Stenosis Pulmonal; DSAV= Defek Septum Atrioventrikularis; SAO= Stenosis
12
Aorta; KOARK= Koarktasio Aorta; PJBN-TD= penyakit jantung bawaan nonsianotik, tidak dirinci; TF=Tetralogy of Fallot; TAB= Transposisi Arteri Besar; VKAJKG= ventrikel kanan dengan jalan keluar ganda; AP= Atresia Pulmonal; AT= Atresia Trikuspid; TA= Trunkus Arteriosus; ATDVP= anomali total drainase vena pulmonalis; EBSTEIN= anomali Ebstein; HLHS= Hypoplastic Left Heart Syndrome; PJBNS-LAIN= penyakit jantung bawaan sianotik lain; PJBSTD= penyakit jantung bawaan sianotik, tidak dirinci. Sumber: (Sastroasmoro &Madiyono, 1994) Tabel 2.2. Karakteristik Pasien PJB Karakteristik
N
%
Laki-laki
48
49
Perempuan
50
51
Lebih
5
5,1
Baik
35
35,7
Kurang
51
52
Buruk
7
7,1
0-28 hari
16
16,3
28 hari-1 tahun
45
45,9
1 tahun
37
37,8
Sianotik
34
34,3
Non-sianotik
64
64,6
98
100
Jenis kelamin
Status gizi
Usia
Jenis PJB
Total Sumber: (Hariyanto, 2012)
13
2.2.3. Faktor Risiko Faktor risiko yang berperan pada kejadian PJB adalah: a.
Faktor genetik Gen-gen mutan tunggal (dominan autosomal, resesif autosomal, atau
terkait-X) biasanya menyebabkan PJB sebagai bawaan dari suatu kompleks kelainan(Hoffman, 2007). Kelainan kromosom juga menyebabkan PJB sebagai bagian suatu kompleks lesi, seperti sindrom cri-du-cat (20%); sindrom XO (Turner) (50%); sindrom Trisomi 21 (Down) (50%), trisomi 13 (90%), dan trisomi 18 (99%). Defek septum ventrikel merupakan kelainan jantung yang paling lazim pada semua sindrom, kecuali sindrom Turner, yang terutama mengalami katup aorta bikuspid dan koarktasio aorta (Hoffman, 2007). Dalam hubungan keluarga yang dekat, resiko terjadinya PJB yaitu 79,1% untuk Heterotaxia, 11,7% untuk Conotruncal Defects, 24,3% untuk Atrioventricular Septal Defect, 12,9% untuk Left Ventricular Outflow Tract Obstruction, 7,1% untuk Isolated Atrial Septal Defect, dan 3,4% untuk Isolated Ventricular Septal Defect(Poulsen, 2009). b.
Faktor Lingkungan Ibu yang meminum garam litium saat hamil dapat memperoleh anak yang
menderita penyakit jantung bawaan, dengan insiden lesi katup mitral dan trikuspid yang abnormal tinggi. Ibu diabetik atau ibu yang meminum progesteron saat hamil mungkin mengalami peningkatan risiko untuk mempunyai anak dengan PJB. Anak dari ibu alkoholik juga bisa menderita PJB(Hoffman, 2007). Rubela sering menyebabkan stenosis pulmonal perifer, duktus arteriosus persisten, dan kadang-kadang stenosis katup pulmonal. Koksakivirus juga diduga menyebabkanPJB(Hoffman, 2007).
14
2.2.4. Jenis Penyakit Jantung Bawaan 2.2.4.1. Penyakit Jantung Bawaan Non-sianotik PJB non-sianotik adalah kelainan struktur dan fungsi jantung yang dibawa lahir yang ditandai dengan tidak adanya sianosis(Roebiono, 2003). Berdasarkan ada tidaknya pirau, PJB non-sianotik dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dengan pirau dari kiri ke kanan dan kelompok tanpa pirau(Soeroso & Sastrosoebroto, 1994). Kelompok dengan pirau dari kiri ke kanan adalah sebagai berikut: a.
Defek Septum Ventrikel Defek Septum Ventrikel (DSV) adalah lesi kongenital pada jantung berupa
lubang pada sekat yang memisahkan ventrikel sehingga antar rongga ventrikel terdapat hubungan (Ramaswamy, 2009).
Gambar 2.4. Defek Septum Ventrikel (Ashley & Niebauer, 2004) Defek ini dapat terletak dimana pun pada sekat ventrikel, dapat tunggal atau banyak, serta ukuran dan bentuknya dapat bervariasi (Fyler, 1996). Insidensi DSV terisolasi adalah sekitar 2-6 per 1000 kelahiran hidup dan terjadi 30% dari semua jenis PJB. Defek ini lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria (Ramaswamy, 2009). Klasifikasi DSV sebagai berikut: a.
Perimembranasea, merupakan lesi yang terletak di bawah katup aorta dan terjadi sekitar 80% dari seluruh kasus DSV(Rao, 2005).
15
b.
Muskular, merupakan lesi yang terletak di otot-otot septum dan terjadi sekitar 5-20% dari total kejadian DSV(Ramaswamy, 2009).
c.
Suprakristal, merupakan lesi yang terletak di bawah katup pulmonalis dan berhubungan dengan jalur jalan keluar ventrikel kanan. Jenis ini terjadi 57% di negara-negara barat dan 25% di kawasan timur (Rao, 2005). Gambaran klinis DSV sangat bervariasi, mulai dari asimtomatis sampai
gagal jantung berat disertai gagal tumbuh. Hal ini bergantung pada besarnya defek serta derajat pirau, sedangkan letak defek biasanya tidak mempengaruhi derajat manifestasi klinis (Soeroso & Sastrosoebroto, 1994). Diagnosis ditegakkan dengan ekokardiografi, ekokardiografi dapat menentukan ukuran serta letak DSV(Soeroso & Sastrosoebroto, 1994). b.
Defek Septum Atrium Defek Septum Atrium (DSA) adalah kelainan anatomik jantung akibat
terjadi kesalahan pada jumlah absorbsi dan proliferasi jaringan pada tahap perkembangan pemisahan rongga atrium menjadi atrium kanan dan atrium kiri (Mansjoer, et al., 2000).
Gambar 2.5. Defek Septum Atrium (Ashley & Niebauer, 2004) Insidensi DSA adalah 1 per 1.000 kelahiran hidup dan terhitung 7% dari seluruh kejadian PJB. DSA lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 2:1(Carr & King, 2008). Klasifikasi DSA menurut letak defek pada septum atrium sebagai berikut:
16
1.
Ostium Primum, merupakan hasil dari kegagalan fusi ostium primum dengan bantalan endokardial dan meninggalkan defek di dasar septum. Jenis ini terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus PJB. Prevalensi wanita sama dengan pria (Bernstein, 2007).
2.
Ostium Sekundum, merupakan jenis lesi DSA terbanyak yaitu 70% dan prevalensi wanita dua kali lebih banyak dibandingkan pria (Vick & Bezold, 2008).
3.
Sinus Venosus, merupakan jenis DSA yang ditandai dengan malposisi masuknya vena kava superior atau inferior ke atrium kanan. Jenis ini terjadi sekitar 10% dari seluruh kasus DSA(Vick & Bezold, 2008). Pada pemeriksaan fisik, penderita DSA biasanya disertai bentuk tubuh
yang tinggi dan kurus, dengan jari-jari tangan dan kaki yang panjang (Rahajoe, 2007). Pada pemeriksaan fisik jantung pada umumnya normal atau hanya sedikit membesar dengan pulsasi ventrikel kanan yang teraba. Pada foto toraks AP biasanya tampak jantung yang hanya sedikit membesar dan vaskularisasi paru yang bertambah sesuai dengan besarnya pirau (Soeroso & Sastrosoebroto, 1994). c.
Defek Septum Atrioventrikularis Defek septum atrioventrikularis merupakan kelainan dimana cincin katup
mitral dan katup trikuspid tidak terpisah sehingga terdapat satu lubang besar cincin katup atrioventrikular yang menghubungkan kedua atrium dan kedua ventrikel secara bersama (Soeroso & Sastrosoebroto, 1994). Kelainan ini terjadi sekitar 5% dari penyakit jantung bawaan dan tersering pada sindrom down (Mansjoer, et al., 2000). Sering terjadi hipertensi pulmonal dengan bunyi jantung kedua keras dan tunggal juga terdengar bising sistolik ejeksi di daerah pulmonal dan bising pansistolik di daerah apeks karena terdapat regurgitasi katup antara atrium dan ventrikel kiri (Soeroso & Sastrosoebroto, 1994). Pada foto toraks didapatkan kardiomegali dengan pletora paru dan edema interstisial. Gambaran EKG menunjukkan deviasi sumbu QRS ke kiri dengan tanda hipertrofi biventrikular (Soeroso & Sastrosoebroto, 1994).
17
d.
Duktus Arteriosus Persisten Duktus arteriosus persisten (DAP) merupakan kelainan jantung dimana
duktus arteriosus tetap terbuka setelah bayi lahir. Kelainan ini sering dijumpai pada bayi prematur. Insidensinya bertambah dengan berkurangnya masa gestasi. Pada bayi dengan berat lahir kurang dari 1000 gram insidensnya mencapai 80% (Soeroso & Sastrosoebroto, 1994).
Gambar 2.6. Duktus Arteriosus Persisten (Ashley & Niebauer, 2004) Bila shunt duktus kecil biasanya asimtomatis, tekanan darah dan tekanan nadi dalam batas normal, terdapat bising kontinu yang khas di daerah subklavia kiri. Gambaran radiologis dan EKG masih dalam batas normal (Mansjoer, et al., 2000). Pemeriksaan ekokardiografi tidak menunjukkan adanya pembesaran ruang jantung ataupun arteri pulmonalis (Soeroso & Sastrosoebroto, 1994). Bila shunt duktus sedang, pasien biasanya mengalami kesulitan makan, sering menderita infeksi saluran napas, namun berat badan masih dalam batas normal. Frekuensi napas sedikit lebih cepat dari normal dan sering ditemukan bising middiastolik dini. Pada foto toraks terlihat jantung membesar terutama ventrikel kiri, vaskularisasi paru meningkat, dan pembuluh darah hilus membesar. EKG menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi atrium kiri (Mansjoer, et al., 2000). Pemeriksaan ekokardiografi ditemukan adanya pelebaran atrium kiri dengan atau tanpa pelebaran ventrikel kiri (Soeroso & Sastrosoebroto, 1994).
18
Bila shunt duktus besar, pasien mengalami kesulitan makan dan minum hingga berat badannya tidak bertambah , terlihat dispnu atau takipnu dan banyak berkeringat bila minum. Pada foto toraks terlihat pembesaran ventrikel kanan dan kiri serta pembesaran arteri pulmonalis. EKG tampak hipertrofi biventrikular dengan dominasi aktivitas ventrikel kiri dan dilatasi atrium kiri (Mansjoer, et al., 2000). Pemeriksaan ekokardiografi ditemukan adanya dilatasi ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan serta aorta dan arteri pulmonalis yang besar(Soeroso & Sastrosoebroto, 1994). Kelompok tanpa pirau adalah sebagai berikut: a.
Stenosis Pulmonal Stenosis pulmonal digunakan secara umum untuk menunjukkan adanya
obstruksi pada jalan keluar ventrikel kanan atau arteri pulmonalis dan cabangcabangnya (Soeroso & Sastrosoebroto, 1994). Diagnosis ditegakkan dengan ekokardiografi dan penatalaksanaan dilakukan dengan tindakan bedah valvulotomy(Ren, 2012). b.
Stenosis Aorta Stenosis aorta adalah penyempitan aorta yang dapat terjadi di subvalvular,
valvular, atau supravalvular. Kelainan ini mungkin tidak terdeteksi pada masa anak karena katup berfungsi normal, hanya pada auskultasi ditemukan bising sistolik di daerah aorta. Kelainan ini dapat ditemukan dalam kombinasi dengan koarktasio aorta atau duktus arteriosus persisten. Pemeriksaan ekokardiografi dapat dengan jelas menunjukkan jenis stenosis (subvalvular, valvular, supravalvular) (Soeroso & Sastrosoebroto, 1994). c.
Koarktasio Aorta Koarktasio aorta adalah penyempitan terlokalisasi pada aorta yang
umumnya terjadi di daerah duktus arteriosus dan dapat juga terjadi praduktal atau pascaduktal. Tanda klasik kelainan ini adalah nadi brakialis yang teraba normal atau kuat, sedangkan nadi femoralis serta dorsalis pedis tidak teraba atau teraba kecil. Pada auskultasi bunyi jantung I dan II pada umumnya normal dan dapat ditemukan bising sistolik halus di daerah pulmonal dan di punggung. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan dengan pemeriksaan radiografi dada
19
atau dengan ekokardiografi. Penatalaksanaannya bisa dengan tindakan pelebaran koarktasio dengan kateter balon ataupun dengan tindakan bedah (Soeroso & Sastrosoebroto, 1994).
Gambar 2.7. Koarktasio Aorta (Ashley & Niebauer, 2004) 2.2.4.2. Penyakit Jantung BawaanSianotik Sesuai dengan namanya, manisfestasi klinis yang selalu ada pada pasien penyakit jantung bawaan sianotik adalah sianosis. Sianosis adalah warna kebiruan pada mukosa akibat hemoglobin tereduksi dalam sirkulasi >5 g/dl. Walaupun jumlahnya lebih sedikit, PJB sianotik menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada PJB non-sianotik (Prasodo, 1994). a.
Tetralogy of Fallot Tetralogy of Fallot merupakan penyakit jantung bawaan sianotik yang
terdiri dari empat kelainan yaitu defek septum ventrikel perimembranus, stenosis pulmonal infundibuler, over-riding aorta dan hipertrofi ventrikel kanan (Harimurti, 1996).
20
Gambar 2.8. Tetralogi Fallot (Ashley & Niebauer, 2004) Pada waktu baru lahir biasanya bayi belum sianotik tetapi bayi tampak biru setelah tumbuh. Manifestasi yang penting pada kelainan ini adalah terjadinya serangan sianotik yang ditandai oleh timbulnya sesak napas mendadak, napas cepat dan dalam, sianosis bertambah, lemas, bahkan bisa juga disertai kejang atau sinkop (Prasodo, 1994). Diagnosis
penyakit
ini
dapat
dilakukan
dengan
pemeriksaan
ekokardiografi, radiografi dada, dan EKG (Bhimji, 2013). Penatalaksanaannya dengan perawatan medis serta tindakan bedah(Prasodo, 1994). b.
Transposisi Arteri Besar Transposisi arteri besar merupakan kelainan dimana terjadi perubahan
posisi aorta dan arteri pulmonalis yakni aorta keluar dari ventrikel kanan dan terletak di sebelah anterior arteri pulmonalis, sedangkan arteri pulmonalis keluar dari ventrikel kiri, terletak posterior terhadap aorta. Akibatnya aorta menerima darah vena sistemik dari vena kava, atrium kanan, ventrikel kanan, dan darah diteruskan ke sirkulasi sistemik. Sedangkan darah dari vena pulmonalis dialirkan ke atrium kiri, ventrikel kiri, dan diteruskan ke arteri pulmonalis dan seterusnya ke paru. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan EKG, radiologi, dan ekokardiografi. Penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan tindakan operasi (Prasodo, 1994).
21
Gambar 2.9. Transposisi Arteri Besar (Ashley & Niebauer, 2004) c.
Atresia Pulmonal dengan Defek Sekat Ventrikel Pada kelainan ini darah dari ventrikel tidak dapat menuju arteri pulmonalis
dan semua darah dari ventrikel kanan akan masuk ke aorta. Kelainan ini merupakan 20% dari pasien dengan gejala menyerupai tetralogi fallot dan merupakan penyebab penting sianosis pada neonatus (Prasodo, 1994). d.
Ventrikel Kanan dengan Jalur Ganda Pada kelainan ini kedua arteri besar keluar dari ventrikel kanan, masing-
masing dengan konusnya. Presentasi klinis pasien dengan ventrikel kanan dengan
jalur
ganda
sangat
bervariasi,
tergantung
pada
kelainan
hemodinamiknya. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan ekokardiografi (Prasodo, 1994). e.
Trunkus Arteriosus Trunkus arteriosus merupakan kelainan yang ditandai oleh keluarnya
pembuluh tunggal dari jantung yang menampung aliran darah dari kedua ventrikel, yang memasok darah sistemik, paru, dan koroner. Normalnya trunkus primitif yang keluar dari ventrikel primitif terbagi menjadi aorta dan arteri pulmonalis. Apabila pembagian ini tidak terjadi, maka dari kedua ventrikel hanya keluar satu pembuluh darah, yaitu trunkus arteriosus (Prasodo, 1994).
22
2.3.
Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh akibat konsumsi makanan dan zat gizi.
Status gizi ini dibedakan menjadi status gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, dan gizi lebih (Almatsier, 2001). Penilaian status gizi bisa dilakukan dengan cara pengukuran antropometri dimana indeks yang sering digunakan adalah berat badan untuk umur (BB/U), tinggi atau panjang badan untuk umur ((TB/U, PB/U)), dan berat badan untuk panjang badan atau tinggi badan ((BB/PB), BB/TB)) (Sudiman, 2006). Terdapat tiga cara penyajian distribusi indeks antropometri, yaitu persen terhadap median, persentil, dan z-score median. Hasil penghitungan indeks ini akan dikaitkan dengan salah satu atau beberapa batas ambang (cut-off point) dan perwujudannya disebut sebagai kategori status gizi (Wisnuwardhana, 2006). Tabel 2.3. Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks
Sumber: (Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, 2010).
23
Tabel 2.4. Penilaian gizi berdasarkan kelompok usia Usia
Grafik yang digunakan
0-5 tahun
WHO 2006
>5-18 tahun
CDC 2000
Sumber: (Sjarif, et al.,2011)