5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. POLIMER Polimer berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly berarti banyak dan meros berarti bagian atau unit. Polimer didefenisikan sebagai suatu senyawa yang terdiri atas pengulangan unit kecil atau sederhana yang terikat dengan ikatan kovalen. Struktur unit ulang biasanya hampir sama dengan senyawa awal pembentukan polimer yang di sebut monomer (Billmayer, 1984). Panjang rantai polimer dihitung berdasarkan jumlah satuan unit ulang yang terdapat dalam rantai yang disebut derajat polimerisasi. Polimer dapat dibedakan dalam tiga kelompok berdasarkan unit-unit ulang pada rantai molekul, yaitu polimer linier, polimer bercabang, dan polimer ikatan silang. Berdasarkan sumbernya polimer digolongkan kedalam dua jenis, yaitu polimer alam dan polimer sintetik. Polimer sintetik diklarifikasikan dalam dua golongan berdasarkan sifat termalnya, yaitu termoplastik dan termoset. Yang termasuk termoplastik antara lain polikaprolakton (PCL), poli asam glikolat (PGA), poli asam laktat (PLA) dan polipropilen (PP) sedangkan silikon merupakan contoh golongan termoset. Perbedaan utama antara polimer termoplastik dan termoset ialah termoplastik umumnya berstruktur linier dan termoset berstruktur tiga dimensi (Cown, 1991). 2.2. POLIMER BIODEGRADABEL Polimer biodegradabel yang berasal dari alam maupun sintetik dapat terhidrolisis dalam tubuh baik dengan reaksi enzimatik, non-enzimatik, maupun gabungan keduanya tanpa menghasilkan dampak yang merugikan dan pada akhirnya akan musnah melalui jalur ekskresi biasa. Berbagai jenis polimer biodegradabel baik yang berasal dari alam maupun sintetik telah dikaji untuk sistem penyaluran obat dalam waktu yang lama. Akan tetapi hanya sedikit
Universitas Sumatera Utara
6
diantaranya yang benar-benar biokompatibel. Polimer biodegradabel seperti serum bovine albumin (BSA), human serum albumin (HSA), kolagen, gelatin, dan hemoglobin yang telah dipelajari untuk digunakan dalam sistem penyaluran obat. Akan tetapi penggunaan bahan-bahan tersebut sangat terbatas dan harganya relatif mahal, serta masih diragukan kemurniannya (Jalil, 1990). Kebanyakan dari polimer biodegradabel yang dipelajari berasal dari golongan poliester. Diantara poli asam-α-hidroksi seperti PGA, PLA dan kapolimernya mempunyai sejarah cukup panjang sebagai bahan sintetik biodegradabel (Ashammakhi, 1997). Dalam bidang medis. Polimer ini digunakan sebagai benang bedah (Cutright, 1971), piring, perlengkapan ortopedik (Mayer dan hollinger 1995) dan transplantasi sel (Thomson, 1995). Polimer biodegradabel merupakan bahan yang dapat yang didegradasi oleh mikroorganisme dan enzim. Pengguna beberapa polimer memberikan suatu pendekatan untuk menyelesaikan masalah sampah plastik. Polimer biodegradabel dapat juga digunakan untuk aplikasi medis seperti implantasi jaringan dan sebagai penyalur obat dan juga untuk aplikasi dalam pertanian seperti jerami dan agrokimia. Polimer yang secara biologis terdegradasi mengandung gugus fungsi yang peka terhadap hidrolisis enzimatik dan oksidasi, di antaranya gugs hidroksil (-OH), gugus ester (-COO-) dan gugus karbonil (C=O). Poliester, seperti polikaprolakton, poli asam glikolat dan poli asam laktat merupakan contoh polimer ini. Kebutuhan polimer biodegradabel akan diciptakan untuk memperoleh waktu hidup tertentu dan kemampuan terdegradasi, sebagai contoh, polimer peka terhadap radiasi sinar ultraviolet (Stuart, 2003). 2.3 POLIBLEN Proses blending dalam polimer dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu blending fisika dan blending kimia. Blending fisika yaitu pencampuran secara fisika antara dua jenis polimer atau lebih memiliki struktur berbeda dan tidak membentuk ikatan kovalen antara komponen-komponenya. Hasil pencampuran ini disebut poliblen. Sedangkan blending kimia yaitu campuran antara dua jenis polimer atau lebih memiliki struktur berbeda dan dan ditandai dengan terjadinya
Universitas Sumatera Utara
7
ikatan-ikatan kovalen antara polimer-polimer penyusunnya. Blending kimia akan menghasilkan kopolimer. Interaksi yang terjadi dalam poliblen adalah ikatan Van Der Waals, ikatan hidrogen atau interaksi dipol-dipol (Rabek, 1983). Polimer ini bertujuan untuk mendapatkan sifat-sifat material yang diinginkan dan disesuaikan dengan keperluan. Poliblen komersial dapat dihasilkan dari polimer sintetik dengan polimer sintetik, polimer sintetik dengan polimer alam, dan polimer alam dengan polimer alam. Poliblen yang dihasilkan berupa poliblen homogen dan poliblen heterogen. Pliblen homogen terlihat homogen dan transparan, mempunyai titik leleh tunggal dan sifat fisiknya sebanding dengan komposisi masing-masing komponen penyusunya. Sedangkan poliblen heterogen terlihat tidak jelas dan mempunyai beberapa titik leleh (Brown, 1988). Di tinjau dari segi termodinamika, kinetika dan keseimbangan mekanik, suatu poliblen tidak mungkin homogen dalam satu fase. Kompabilitas poliblen tidak dapat ditentukam secara pasti. Kompatibilitas mempunyai sifat alami dalam pencampuran dua cairan. Pengertian kompatibilitas dapat digambarkan sebagai cairan yang dicampur untuk membentuk campuran satu fase dan homogen. Kompatibilitas dari poliblen ditunjukkan oleh seberapa dekat poliblen tersebut mendekati campuran fase tunggal dan pengukurannya relatif tergantung pada derajat heterogenitas poliblen itu sendiri (Rabek, 1980). Kompatibilitas poliblen menggambarkan kekuatan antaraksi yang terjadi antara rantai polimer sehingga membentuk campuran homogen atau mendekati homogen, ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk penentuan poliblen: 1.
Lelehan Film. Film yang rapuh dan kusam menunjukkan tidak kompatibilitas.
2.
Penampilan
Poliblen.
Sifat
transparan
dari
sifat
menunjukkan
kompatibilitas, sedangkan penampilan yang rapuhmenunjukkan tidak kompatibilitas. 3.
Suhu Transisi Kaca. Jika poliblen menunjukkan dua suhu transisi kaca yang beda sesuai dengan asal polimer, maka tidak dinyatakan
Universitas Sumatera Utara
8
kompatibel. Jika poliblen menunjukkan hanya satu suhu transisi, sistem ini dinyatakan kompatibel. 4.
Pengukuran mekanik-dinamik, ini adalah metode yang paling akurat (Rabek, 1983).
2.4. FILM Film adalah lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang tidak dapat dimakan, dibentuk diatas komponen makanan yang berfungsi sebagai penghambat transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lemak dan zat terlarut) dan atau sebagai bahan makanan atau aditif dan untuk meningkatkan penanganan yang terdapat pada makanan. Film harus mempunyai sifat-sifat yang sama dengan kemasan seperti plastik, yaitu harus memiliki sifat menahan air sehingga dapat mencegah kehilangan kelembaban produk, memiliki perneabilitas selektif terhadap gas tertentu, mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna, pigmen alami dan gizi, serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan sehari-hariyang selalu digunakan (Krochta. 1992). Penggunaan film untuk pengemasan produk-produk pangan seperti sosis, buah-buahan dan sayuran segar dapat memperlambat penurunan mutu, karena film dapat berfungsi sebagai penahan difusi gas oksigen, karbondioksida dan uap air serta komponen flavor, sehingga mampu menciptakan
kondisi atmosfir
internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang dikemas. Film dapat di aplikasikan pada makanan dengan cara pembungkusan, pencelupan penyikatan atau penyemprotan. Bahan hidro koloid dan lemak atau campuran keduannya dapat digunakan untuk membuat film. Hidrokoloid yang dapat digunakan untuk membuat film adalah protein (gelatin, kasein, protein, dan gluten jagung) dan karbohidrat (pati, alginat dan pektin), sedangkan lipid yang digunakan adalah lilin/wax, gliserol dan asam lemak. Adapun ketebalan film dari 0,1 mm (Embuscado. 2009).
Universitas Sumatera Utara
9
Keuntungan penggunaan film untuk kemasan bahan pangan adalah untuk memperpanjang umur simpan produk serta tidak mencemari lingkungan karena film ini dapat dimakan bersama produk yang dikemasnya. Selain film istilah lain untuk kemasan yang berasal dari bahan hasil pertanian adalah biopolimer, yaitu polimer dari hasil pertanian yang digunakan sebagai bahan baku film kemasan tanpa dicampur dengan polimer sintetis (plastik). Bahan polimer diperoleh secara murni dari hasil pertanian dalam bentuk tepung, pati atau isolat. Komponen polimer hasil pertanian adalah polipeptida (protein), polisakarida (karbohidrat) dan lipid. Ketiganya mempunyai sifat termoplastik, sehingga mempunyai potensi untuk dibentuk atau dicetak sebagai film kemasan. Keunggulan polimer hasil pertanian adalah bahannya yang berasal dari sumber yang terbarukan (reneable) dan dapat dihancurkan secara buatan dan maupun alami yang terdegrasi (biodegradasi) (krochta.1994). Komponen penyusun film mempengaruhi secara langsung bentuk morfologi maupun karakteristik pengemas yang dihasilkan. Komponen utama penyusun film dikelompokkan menjadi tiga, yaitu hidrokoloid, lipida dan komposit. Bahan-bahan tambahan yang sering dijumpai dalam pembuatan film adalah antimikroba, antioksidan, flavor dan pewarna. Komponen yang cukup besar dalam pembuatan film adalah plastisizer, yang berfungsi: : - meningkatkan fleksibilitas dan ekstensibilitas film - menghindari film dari keretakan - meningkatkan permeabilias terhadap gas, uap air dan zat terlarut - meningkatkan elastisitas film. Bahan penyusun film dibagi menjadi 3 katagori yaitu hidrokoloid (protein dan karbohidrat), lemak dan komposit dari dua atau tiga bahan. Ada beberapa keunggulan film dari pengemas lain, yaitu : 1.
Meningkatkan retensi warna, asam, gula dan koponen flavor.
2.
Mengurangi kehilangan berat
Universitas Sumatera Utara
10
3.
Mempertahankan kualitas saat pengirim dan penyimpanan
4.
Mengurangi kerusakan akibat penyimpanan
5.
Memperpanjang umur simpanan
6.
Mengurangi penggunaan pengemas sintetik (Nisperos. 1992).
Secara umum parameter yang sering digunakan dalam mengukur sifat mekanik film adalah ketebalan, kuat tarik (tensiel strength), dan kemuluran (elongation) (Krisna. 2011). Ketebalan merupakan sifat fisik film yang besarnya dipengaruhi oleh konsentrasi hidro koloid pembentuk
film dan ukuran plat kaca pencetak.
Ketebalan film mempengharui laju uap air, gas, dan senyawa volatile lainnya. Sebagai kemasan, semakin tebal
film, maka kemampuan penahannya akan
semakin besar atau semakin sulit dilewatiuap air, sehingga umur simpan produk akan semakin panjang (Mc. Hugh 1994). Kekuatan peregangan
film atau merupakan kemampuan bahan dalam
menahan tekanan yang diberikan pada saat bahan tersebut berada dalam regangan maksimumnya. Kekuatan peregangnya menggambarkan tekanan maksimum yang dapat diterima oleh bahan atau sampel. Perpanjangan film atau elongation merupakan kemampuan perpanjangan bahan saat diberikan gaya tarik. Nilai elongation film menunjukkan kemampuan rentangnya (Gortard et al. 1993).
2.5. Resin Epoksi Epoksi adalah suatu kopolimer, terbentuk dari dua bahan kimia yang berbeda. Ini disebut sebagai “resin” dan “pengeras”. Resin ini terdiri dari monomer atau polimer rantai pendek dengan kelompok epoksida di kedua ujung.
resin epoksi
paling umum yang dihasilkan dari reaksi antara
Universitas Sumatera Utara
11
epiklorohidrin dan bisphenol-A,
meskipun yang terakhir mungkin akan
digantikan dengan bahan kimia yang serupa. Pengeras terdiri dari monomer polyamine, misalnya triethylenetetramine (Teta). Ketika senyawa ini dicampur bersama. kelompok amina bereaksi dengan kelompok epoksida untuk membentuk ikatan kovalen. Setiap kelompok NH dapat bereaksi dengan kelompok epoksida, sehingga polimer yang dihasilkan sangat silang, dan dengan demikian kaku dan kuat. Proses polimerisasi disebut “curing” dan dapat dikontrol melalui suhu, pilihan senyawa resin dan pengeras, dan rasio kata senyawanya, proses dapat berlangsung beberapa jam. Beberapa formulasi manfaat dari pemanasan selama masa berjalan, sedangkan yang lainnya hanya memerlukan waktu, dan suhu yang tetap. Dalam bentuk asli yang di atas, resin epoksi adalah termasuk kelompok plastic thermosetting. Yaitu tidak meleleh lagi jika dipanaskan. Pengerasannya terjadi karena reaksi polimerisasi, bukan pembekuan. Oleh karena itu resin epoksi tidak muda di daur ulang. Resin epoksi mampu bereaksi dengan pengeras yang cocok untuk membentuk matriks silang dengan kekuatan besar dan daya ikat yang sangat baik untuk berbagai macam substrat. Hal ini membuat resin epoksi ideal untuk aplikasi perekat yang membutuhkan kekuatan tinggi. Beberapa karakteristik unik resin epoksi yaitu hampir tidak mengalami penyusutan selama proses curing, ketahanan kimia yang baik, kemampuan untuk mengikat substrat yang tidak berpori dan flesiabilitas yang besar (Goulding. 2003). Resin epoksi, secara kimia mempunyai daya tahan. Epoksi ini tahan lama, dapat dibuat lapisan pelindung yang baik. Bahan ini terutama dipakai untuk cat dasar, pelapis dan pernis, serta sebagian bahan pinggiran kaleng, drum, pipa tangki, dan mobil – mobil tangki. Sebagai bahan perekat epoksi ini sangat menonjol. Juga telah semakin meningkat pemakaiannya untuk mencetak, mengecor, dan melaminasi. Lapisan atau lapisan gabungan, dari produk damar
Universitas Sumatera Utara
12
epoksi dan eerat kaca telah digunakan secara meluas dalam aliran listrik, pesawat udara, pipa saluran, perumahan, tangki dan peralatan atau perkakas. Resin epoksi kelompok epoksida
adalah
senyawa yang
per molekul
mengandung lebih dari satu
rata – rata. Resin epoksi
komersial
mengandung alifatik, siklo alifatik, atau tulang punggung aromatik dan lebih baik dari epikhlorohidrinatau dengan epoksidasi langsung olefin dengan peracid. Yang paling penting perantara untuk resin epoksi adalah diglycidyl ether of bisphenol-A (DGEBA) yang disintesis dari bisphenol-A dan epikhlorohidrin dapat dilihat pada gambar 2.2 berikut (crivello, J.V.1977)
O R
CH
CH2
Gambar 2.1 Struktur Resin Epoksi
Gambar 2.2 Struktur kimia DGEBA (diglycidyl ether of bisphenol A) Dari gambar 2.2 struktur kimia DGEBA bahwa resin epoksi mengandung struktur oxirene, dimana resin ini beebentuk cairan kental atau hampir padat, yang digunakan untuk
material ketika hendak dikeraskan. Resin epoksi jika
direaksikan dengan hardener yang akan membentuk polimer crosslink. Hardener untuk sistem curing pada temperatur ruang dengan resin epoksi pada umumnya senyawa poli amid yang terdiri dari dua atau lebih group amina. Epoksi memiliki ketahanan korosi yang lebih baik dari pada poli ester dari pada keadaan basah,
Universitas Sumatera Utara
13
namun tidak tahan terhadap asam. Epoksi memiliki sifat mekanik, listrik dan penahan panas yang baik (Darmansyah. 2010). 2.6. POLIKAPROLAKTON Bahan polimer yang dapat terbiodegradasi di alam dapat dibuat melalui blending antara polimer sintetik yang sukar terbiodegradasi dengan polimer alam atau modifikasi struktur polimer sintetik yang sukar terbiodegradasi melalui pembentukan kopolimer. Beberapa polimer yang dapat terbiodegradasi di alam, seperti poli hidroksi butirat (PHB), polikaprolakton (PCL), poli valero lakton (PVL), dan poli asam laktat (PLA), dapat disintesis baik melalui polimerisasi pembukaan cincin monomer lakton dengan beberapa jenis katalis maupun melalui fermentasi (biosintesis). Masalah yang terjadi pada biosintesis adalah tidak dapat mengontrol struktur kimia polimer yang dihasilkan, karena pada sintesis secara fermentasi/ mikroba hanya menghasilkan struktur isotaktik dengan konfigurasi R 100 %. Melalui pembukaan cincin senyawa lakton dapat menghasilkan poliester dengan rendaman yang tinggi, akan tetapi memiliki berat molekul yang relatif rendah, sehingga masih banyak juga yang sangat terbatas untuk penggunaannya. Polikaprolakton termasuk polimer sintetik yang bersifat biodegradabel. Polikaprolakton memiliki struktur linear (seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.2), bersifat hidrofobik, dan dapat terdegradasi secara lambat oleh mikroba (Lu et al, 2009). Polikaprolakton memiliki titik lebur (55-600C) dan temperatur transisi gelas yg rendah (-600C) selain itu memiliki kemampuan untuk membentuk campuran yang saling bercampur dengan sejumlah besar bahan polimer. Polikaprolakton memiliki kekuatan tarik yang rendah (sekitar 2 Mpa) tetapi memiliki perpanjangan putus yang sangat tinggi (<70 %) (Nair.2007). Polikaprolakton terbuat dari ɛ-kaprolakton turunan petroleum, merupakan salah satu contoh poliester yang bersifat hidrofobik dengan temperatur transisi gelas yang rendah (Habibi et al. 2008).
Universitas Sumatera Utara
14
Temperatur transisi gelas merupakan temperatur pada saat terjadinya perubahan sifat-sifat pada suatu bahan polimer menjadi sifat-sifat yang lebih condong kepada karet (Stevens.2001). karena laju degradasinya yang lambat, permeabilitasnya yang tinggi pada berbagai obat-obatan, tidak bersifat racun, dan sifat biokompatibilitasnya yang tinggi, polikaprolakton telah digunakan sebagai vancine/drug delivery vehicles dan scaffold untuk teknik jaringan (Nair. 2007).
Gambar 2.3 Struktur polycaprolactone (PCL)
Dan disini polikaprolakton juga telah banyak digunakan secara luas untuk berbagai aplikasi seperti sistem pengantar obat-obatan, teknik jaringan kulit, dan scaffolduntuk membantu pertumbuhan fibroblas dan osteoblas (Zhu et al.2002). Polikaprolakton yang merupakan salah satu polimer sintetik yang bersifat biokompatibel dan biodegradabel telah digunakan sebagai matriks polimer yang dapat meningkatkan sifat-sifatnya di dalamnya seperti sifat mekanik, stabilitas termal, dan laju degrasi (Causin et al. 2011). 2.7. Spektroskopi Fourier Transform Infra Red (FT-IR) Instrumen yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi infra merah pada berbagai panjang gelombang disebut spektrometer inframerah. Pancaran infra merahumumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnet yang terletak
Universitas Sumatera Utara
15
di antara daerah tampak dan daerah gelombang mikro. Pancaran inframerah yang kerapatannya kurang dari pada 100 cm-1 (panjang gelombang lebih dari 100 µm) diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah menjadi energi putaran molekul. Penyerapan itu tercatu dan demikian spektrum rotasi molekul terdiri dari garisgaris yang tersendiri. Serapan radiasi inframerah oleh suatu molekul terjadi karena interaksi vibrasi ikatan kimia yang menyebabkan perubahan polarisabilitas dengan medan listrik gelombang elektromagnetik . Terdapat dua macam getaran molekul, yaitu getaran ulur dan getaran tekuk. Getaran ulur adalah suatu gerakan berirama di sepanjang sumbu ikatan sehingga jarak antar atom bertambah atau berkurang. Getaran tekuk dapat terjadi karena perubahan sudut-sudut ikatan antara ikatanikatan pada sebuah atom, atau karena gerakan sebuah gugusan atom terhadap sisa molekul tanpa gerakan nisbi atom-atom di dalam gugusan. Contohnya likukan (twisting), goyangan (rocking) dan getaran puntir yang menyangkut perubahan sudut-sudut ikatan dengan acuan seperangkat koordinat yang disusun arbitter dalam molekul. Hanya getaran yang menghasilkan perubahan momen di kutub secara berirama saja yang teramati di dalam inframerah (Hartomo, 1986). Atom molekul bergerak dengan berbagai cara, tetapi selalu pada tingkat energi tercatu. Energi getaran rentang untuk molekul organik bersesuaian dengan radiasi inframerah dengan bilangan gelombang antara 1200 dan 4000 cm-1. Bagian tersebut dari spektrum inframerah khususnya berguna untuk mendeteksi adanya gugus fungsi dalam senyawa organik. Memang daerah ini sering dinyatakan sebagai daerah gugus fungsi karena kebanyakan gugus fungsi yang
Universitas Sumatera Utara
16
dianggap penting oleh para kimiawan organik mempunyai serapan khas dan tetap pada panjang gelombang tersebut. Identifikasi pita absorpsi khas yang disebabkan oleh berbagai gugus fungsi merupakan dasar penafsiran spektrum inframerah. Hadirnya sebuah puncak serapan dalam daerah gugus fungsi dalam sebuah spektrum inframerah hampir selalu merupakan petunjuk pasti bahwa beberapa gugus fungsi tertentu terdapat dalam senyawa cuplikan. Demikian pula, tidak adanya puncak dalam bagian tertentu dari daerah gugus fungsi sebuah spektrum inframerah biasnya berarti bahwa gugus tersebut yang menyerap pada daerah itu tidak ada (Pine, 1980). Asam karboksilat mempunyai dua karakteristik absorbsi IR yang membuat senyawa -CO2H dapat diidentifikasi sengan mudah. Ikatan O-H dari golongan karboksil diabsorbsi pada daerah 2500 sampai 3300 cm-1, dan ikatan C=O yang ditunjukkan diabsorbsi di antara 1710 sampai 1750 cm-1 (McMurry, 2007). Sistim optik Spektrofotometer FTIR seperti pada gambar 2.4 dibawah ini dilengkapi dengan cermin yang bergerak tegak lurus dan cermin yang diam. Dengan demikian radiasi infra merah akan menimbulkan perbedaan jarak yang ditempuh menuju cermin yang bergerak ( M ) dan jarak cermin yang diam ( F ). Perbedaan jarak tempuh radiasi tersebut adalah 2 yang selanjutnya disebut sebagai retardasi ( δ ). Hubungan antara intensitas radiasi IR yang diterima detektor terhadap retardasi disebut sebagai interferogram. Sedangkan sistim optik dari Spektrofotometer IR yang didasarkan atas bekerjanya interferometer disebut sebagai
sistim
optik
Fourier
Transform
Infra
Red
(FT-IR).
Pada sistim optik FTIR digunakan radiasi LASER (Light Amplification by Stimulated Emmission of Radiation) yang berfungsi sebagai radiasi yang
Universitas Sumatera Utara
17
diinterferensikan dengan radiasi infra merah agar sinyal radiasi infra merah yang diterima oleh detektor secara utuh dan lebih trik. Detektor yang digunakan dalam Spektrofotometer FTIR adalah TGS (Tetra Glycerine Sulphate) atau MCT (Mercury Cadmium Telluride). Detektor MCT lebih banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan detektor TGS, yaitu memberikan respon yang lebih baik pada frekwensi modulasi tinggi, lebih sensitif, lebih cepat, tidak dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap energi vibrasi yang diterima dari radiasi infra merah.
Gambar 2.3. Bagan FT-IR (Silverstains, 1967)
2.8. Thermal gravimetric Analysis (TGA) – Differential Thermal Analysis (DTA) Teknik pengukuran TGA – DTA termasuk dalam metode analisis termal, berdasarkan prinsip pengukuran perubahan sifat fisika dan kimia suatu material terhadap fungsi suhu (Daniels, 1973).
Universitas Sumatera Utara
18
Thermal gravimetric analysis (TGA) merupakan metode ekseperimental yang mengukur berat dari sampel dengan fungsi suhu atau waktu. Sampel dipanaskan dengan laju pemanasan yang konstan (pengukuran dinamis) atau ditahan pada suhu konstan (pengukuran isotermal), dan juga dapat diukur dalam keadaan program suhu non-linier seperti yang digunakan dalam pengukuran TGA sampel terkontrol (SCTA). Pemilihan suhu program tergantung kepada informasi yang akan digunakan dari sampel. Sebagai tambahan, keadaan atmosfer yang digunakan pada percobaan TGA mengambil peran yang penting. Perubahan keadaan atmosfer dapat dilakukan pada saat pengukuran. Hasil dari pengukuran TGA biasanya ditampilkan sebagai kurva TGA yang memplotkan massa atau persen terhadap suhu dan atau waktu. Tampilan alternatif yang dapat digunakan adalah kurva turunan pertama dari TGA terhadap suhu atau waktu. Kurva ini menunjukan laju perubahan massa dan dikenal sebagai turunan termo gravimetri atau kurva DTG (Bottom,2008).
Themal gravimetric analysis (TGA) memantau perubahan massa dari suatu zat sebagai fungsi temperatur atau waktu selama sampel dilektakkan pasa suatu program temperatur yang teratur. TGA sering digunakan untuk mengatur material polimer berdasarkan stabilitas termalnya dengan membandingkan kehilangan berat versus temperatur. Kegunaan TGA kedua adalah menentukan laju kehilangan uap, diluent, dan monomer yang tidak bereaksi yang harus dihilangkan dari bahan polimer. Bahan polimer dapat dipirolisis dengan peralatan TGA untuk menetukan pengisi karbon hitam atau sisa material anorganik. Kegunaan penting lainnya dari TGA adalah membatu dalam interoretasi termogram DSC dan DTA. Sebagai contoh, aktifitas endotermik dalam kurva DSC yang terprogram dapat menunjukkan titik lebur polimer yang rendah, atau volatilisasi berat molekul meterial yang rendah. TGA memberi ahli kimia laboratorium sejumlah aplikasi penting. Aplikasi yang paling penting meliputi profil analisis komposisi dan dekomposisi dari sistem multikomponen yang dilakukan pada berbagai kondisi temperatur dan atmosfer, parameter tersebut dapat disesuaikan dan diubah pada berbagai titik
Universitas Sumatera Utara
19
selama percobaan. Aplikasi lain penting meliputi laju terdekat analisis batu bara, pemisahan
kuantitatif
dari
komponen
sampel
utama
dalam
campuran
multikomponen, penentuan komponen yang volatil dan menguap dalam material sampel, studi kinetik, dan reaksi oksidasi-reduksi (Patnaik, 2004). Analisi TGA bukan saja mampu untuk memberikan informasi tentang perubahan fisik sampel (misalnya titik leleh dan penguapan), tetapi juga terjadi proses kimia yang mencakup polimerisasi, degradasi, dekomposisi dan seterusnya. Penggunaan bahan polimer sebagai bahan teknik misalnya dalam industri suku cadang mesin, konstruksi bangunan dan transportasi, tergantung sifat mekanisnya, yaitu gabungan antara kekuatan yang tinggi dan elastisitas yang baik. Sifat mekanis yang khas ini di sebabkan oleh adanya dua macam ikatan dalam polimer, yakni ikatan kimia yang kuat antara atom dan interaksi antara rantai polimer yang lebih lemah. Dalam hal dalam logam yang merupakan zat padat polikristalin, sifat mekanis ini tergantung dari sifat patah bahan karena adanya cacat kristal. Karena itu, kekuatan mekanis teoritisnya yang diperkirakan dari energi ikatan antara ion (Wirjosentono, 1995). DSC merupakan model yang lebih akhir dan telah menjadi metode pilihan untuk penelitian penelitian kuantitatif terhadap transisi termal dalam polimer. Dalam metode DSC dan DTA suatu sampel polimer dan referensi inert dipanaskan biasanya dalam atmosfer nitrogen dan kemudian transisi-transisi termal dalam sampel tersebut dideteksi dan diukur . pemegang sampel yang paling umum dipakai adalah cangkir aluminium sangat kecil (emas atau grafit dipakai untuk analisis – analisis diatas 800oC, dan referensinya berupa cangkir kosong atau cangkir yang mengandung bahan inert dalam daerah temperatur yang diinginkan misalnya alumina bebas air (Stevens, 2001). Dalam bidang polimer peralatan ini banyak digunakan untuk menentukan temperatur transisi gelas (Tg) dan temperature leleh (Tm). Temperatur transisi gelas merupakan temperatur dimana terjadi perubahan sifat sifat fisik polimer dari bentuk kaku (glassy) menjadi bersifat elastic (lunak). Temperatur transisi gelas sendiri bersifat spesifik untuk setiap material padat yang dianalisa. Untuk material yang kristalin atau semi kristalin, puncak-puncak tersebut akan tampak tajam
Universitas Sumatera Utara
20
(jelas), sedangkan untuk material yang amorf, puncak –puncak tersebut tampak sebagai lereng (slope) atau bahkan tidak tampak sama sekali (Bandrup, 1985). Analisa termal bukan saja mampu untuk memberikan informasi tentang prubahan fisik sampel (misalnya titik leleh dan penguapan), tetapi terjadinya proses kimi yang mencakup polimerisasi, degradasi, dekomposisi, dan sebagainya. Pencampuran polimer heterogen ditujukan untuk menaikan ketahanan bentur bahan polimer, seperti modifikasi karet dengan resin ABS. campuran polimer heterogen
ditandai dengan beberapa puncak Tg , karena disamping
masing-masing kompenen masih merupakan fase terpisah, daerah antar muka mungkin memberikan Tg yang berbeda (Wirjosentono, 1995). 2.9. Scanning Electron Microscopy (SEM) SEM merupakan suatu mikroskop elektron yang menerapkan prinsip difraksi elektron, yang prinsip kerjanya sama dengan misroskop optik,. Pada SEM, lensa yang digunakan merupakan lensa elektromagnetik, yaitu kumparan medan magnet dan medan listrik yang dibuat dengan adanya ytegangan tinggi sehingga elektron yang dilewati membelokkan seperti cahaya oleh lensa elektomagnetik tersebut. Sebagai pengganti sumber cahaya digunakan suatu pemicu elektron (electron gun) yang berfungsi sebagai sumber elektron. SEM dapat menyediakan suatu hasil gambar dari permukaan, dan memberikan pembesaran yang cukup tinggi, serta kedalaman yang cukup baik.
Panjang gelombang (λ) dari sumber cahaya yang digunakan untuk pencahayaan berpengaruh pada daya resolusi yang tinggi. Besarnya energi elektron (E) menetukan besarnya menetukan besarnya momentum (P) dengan rumus : P = (2mE)1/2 ............................. 1
Universitas Sumatera Utara
21
Besarnya momentum menetapkan nilai panjang gelombang sesuai dengan persamaan de Broglie Λ = h / mv = h / p ............................. 2 Pada SEM, sampel diletakkan diruangan vakum, dimana sebelumnya udara yang ada dipompa keluar lalu suatu pemicu elektron akan memancarkan suatu sinar dari elektron berenergi tinggi. Sinar elektron ini turun melewati suatu lensa magnetik yang dibuat untuk memfokuskan elektron pada tempat yang tepat. Sinar elektron yang terfokus ini digerakkan keseluruh permukaan sampel dengan menggunakan deflection coil. Sinar elektron ini mengenai setiap permukaan pada sampel, sehingga elektron sekunder yang dihantam, akan terlepas dari permukaan sampel. Suatu detektor kemudian mengumpulkan elektron sekunder tersebut dan mengubahnya menjadi suatu sinyal yang dikirim ke layar. Hasil gambar yang terbentuk ini disusun dari elektron yang dipancarkan dari permukaan sampel tersebut (Mikrajuddin dan Khairurrijal, 2010). SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara makrospik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm di arahkan pada spesimen interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar x, elektron sekunder, absorbs elektron. Adanya material
lain dalam suatu matriks seperti dispersi material
tersebut menyebabkan terjadinya perubahan pada permukaan spesimen. Untuk melihat perubahan dalam bahan tersebut dapat dilakukan analisa permukaan, dimana alat yang biasa digunakan adalah SEM. Teknik SEM pada hakikatnyamerupakan pemeriksaan dan analisa permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 µm dari permukaan yang diperoleh merupakan gambar torpografi dengan segala tonjolan, lekukan dan lubang permukaan.
Universitas Sumatera Utara
22
Gambar topografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh detektor dan diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh gambar yang khas yang menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya gambar di monitor dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau dapat pula direkam suatu disket (Wirjosentonoi, 1995). Dalam analisis SEM, suatu berkas insiden elektron yang sangat halus di scan menyilangi permukaan sampel dalam sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar katoda. Elektron-elektron yang terhambur digunakan memproduksi sinyal yang memodulasi berkas dalam tabung sinar katoda yang memproduksi suatu citra dengan kedalaman medan yang besar dan penampakan yang hampir tiga dimensi. Dalam penelitian morfologi permukaan SEM terbatas pemakaiannya, tetapi memberikan informasi yang bermemfaat mengenai topologi permukaan dengan resolusi sekitar 100 A. Aplikasi-aplikasi yang khas mencakup penelitian dispersi-dispersi pigmen dalam cat, pelepuhan atau peretakan koting, batas-batas fase dalam poli panduan yang tak dapat bercampur, struktur sel busabusa polimer, dan kerusakan pada bahan perekat. SEM teristimewa berharga dalam mengevaluasi betapa penanaman (implant) beda dengan polimerik yang beraksi baik lingkuan bagian tubuhnya (Stevens, 2001). 2.10. Uji Kekuatan Tarik Uji yang paling sering dugunakan untuk sifat mekanik dari suatu bahan adalah uji tarik, yang mana suatu kepingan atau silinder dari bahan, yang memiliki panjang L dan luas area A, di letakkan salah satu ujung dan berada pada posisi aksial P – menyatakan pajang spesimen di sisi lainnya seperti yang ditunjukkan Gambar 2.4
Universitas Sumatera Utara
23
Gambar 2.4 panjang spesimen Saat dilakukan uji kekuatan suatu bahan, biasanya dilakukan perhitungan untuk pengaruh area yang membagi patahan dengan luas area :
𝑃𝑃
Ϭ = 𝐴𝐴𝐴𝐴
.................... 1
Di mana Ϭ menyatakan tegangan tarik utama, P menyatakan patahan, dan Ao merupakan luas area asal. Satuan untuk tegangan adalah N /m2 (juga disebut Pascal, atau Pa) dalam sistem SI dan Ib/in2 (atau psi) dalam satuan yang sering digunakan di amerika serikat (roylance, 2008). Perpanjangan tarik ɛ() adalah perubahan panjang sampel dibagi dengan panjang awal. Sedangkan perbandingan tegangan terhadap perpanjangan disebut modulus tarik (E), yang merupakan ukuran ketahanan terhadap tarik. Karena perpanjangan tidak berdimensi, modulus mempunyai satuan yang sama dengan tegangan (Stevens, 2001). Sifat mekanis biasanya dipelajari dengan mengamati sifat kekuatan tarik (𝜎𝜎𝑡𝑡 ) menggunakan alat pengukuran tensiometer atau dynamometer, bila terhadap
bahan diberikan tegangan. Secara praktis kekuatan tarik diartikan sebagai
besarnya beban maksimum (Fmaks) yang dibutuhkan untuk memutuskan specimen bahan, dibagi dengan luas penampang bahan. Karena selama ini dibawah pengaruh tegangan, specimen mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka di definisikan kekuatan tarik dinyatakan dengan luas penampang.
Universitas Sumatera Utara
24
𝐹𝐹𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
𝜎𝜎𝑡𝑡 =
𝐴𝐴 𝑜𝑜
.................... 2
Selama deformasi, dapat diasumsikan bahwa volume specimen tidak berubah, sehingga perbandingan luas penampang semula dengan penampang setiap saat, Ao/A = I/Io dengan I dan Io masing – masing adalah panjang spesimen setiap saat dan semula. Hasil pengamatan sifat kekuatan tarik ini dinyatakan dalam bentuk kurva tegangan, yakni nisbah beban dengan luas penampang, terhadap perpanjangan bahan (regangan), yang disebut dengan kurva tegangan – regangan. Bentuk kurva tegangan-regangan ini merupakan karakteristik yang menunjukan indikasi sifat mekanis bahan yang lunak, keras, kuat, lemah, rapuh, atau liat (Wirjosentono, 1995). Kekerasan (hardness) merupakan ukuran resistansi sebuah material terhadap reformik plastik yang terlokalisasi. Pengujian kekerasan merupakan sebuah metode yang lazim digunakan untuk menguji kualitas untuk material khususnya logam dan keramik. Pengujian ini dilakukan dengan menekan sebuah indenter ke atas permukaan material dengan beban dinamik atau statis yang menentukan tanggapan (response) material yang dalam hal ini berupa ukuran indentasi (Subaer, 2008). Biasanya dalam uji tarik ini selalu menggunakan energi kinetik dan energi potensial. Dimana energi kinetik merupakan energi yang dimiliki benda karena benda bergerak, dengan rumus:
Ekin = ½. m v2 .................... 3 Dimana:
m
= massa benda (kg)
V
= kecepatan benda (m/det)
Ekin
= energi
kinetik (joule)
Universitas Sumatera Utara
25
Sedangkan energi potensial merupakan energi yang dimiliki benda karena benda mempunyai kedudukan terhadap tanah, dengan rumus:
Epot = m.g.h .................... 4 Dimana:
m
= massa benda (kg)
g
= percepatan gravitasi bumi (m/det2)
h
= ketinggian (m)
Epot
= energi potensial (joule) (Daryanto, 2000).
Universitas Sumatera Utara