BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Diare Akut Usus halus dan kolon secara normal terlibat dalam proses absorpsi dan
sekresi cairan dan ion dalam proses defekasi. Absorpsi makanan dan cairan terjadi di usus halus dan terjadi sebelum proses sekresi. Absorpsi cairan di usus halus dan kolon sangatlah penting dan efisien. Usus halus dapat menyerap cairan sebanyak 10 liter/hari yang berasal dari asupan makanan atau minuman, salivasi, sekresi lambung, pankreas, dan empedu. Kolon mereabsorpsi cairan yang tersisa dari proses absorpsi usus halus. Kolon dapat mereabsorpsi cairan sebanyak 4-5 liter/hari dan hanya menyisakan 100 ml cairan yang tertinggal bersama feses (Lung, 2003). Melalui penyerapan garam dan air di kolon, terbentuklah massa feses yang padat. Dari 500 ml bahan yang masuk ke kolon setiap harinya, kolon dalam keadaan normal dapat menyerap sekitar 350 ml, meninggalkan 150 gram feses untuk dikeluarkan dari tubuh setiap harinya. Bahan feses ini biasanya terdiri dari 100 gram air dan 50 gram bahan padat yang terdiri dari selulosa, bilirubin, bakteri, dan sejumlah kecil garam. Produk-produk sisa utama yang diekskresikan di feses adalah bilirubin. Konstituen feses lainnya adalah residu makanan yang tidak diserap dan bakteri-bakteri yang pada dasarnya tidak pernah menjadi bagian dari tubuh (Sherwood, 2001). Banyak orang yang percaya frekuensi normal defekasi adalah satu kali sehari, tetapi pada kenyataannya hal tersebut tidaklah benar. Tidak ada aturan frekuensi defekasi yang normal, tetapi pada umumnya frekuensi normal defekasi adalah berkisar tiga kali sehari sampai tiga kali dalam seminggu. Seseorang dengan frekuensi defekasi kurang dari tiga kali dalam seminggu dikatakan mengalami konstipasi dan lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi feses yang cair dikatakan mengalami diare (Tresca, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.1.1. Definisi Diare Akut Sesuai dengan definisi Hippocrates, diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lembek atau cair. Nelson (1969) dan Morley (1973) berpendapat bahwa istilah gastroenteritis hendaknya dikesampingkan saja, karena memberikan kesan terdapatnya suatu radang sehingga selama ini penyelidikan tentang diare cenderung lebih ditekankan pada penyebabnya (Suharyono, 2008). Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat atau tanpa disertai lendir dan darah (Simadibrata dan Daldiyono, 2007). Menurut WHO (1980), diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari 3 kali sehari. Sedangkan menurut Ahlquist dan Camilleri (2005), diare adalah buang air besar yang berbentuk cairan abnormal atau unformed stool dengan frekuensi yang meningkat. Dewasa dengan berat tinja 200 gram/hari dapat dikatakan sebagai diare. Pentingnya durasi diare untuk prosedur diagnostik sehingga diare terbagi menjadi akut bila diare terjadi selama 2 minggu, persisten bila diare berlangsung selama 2-4 minggu, dan kronik bila diare berlangsung lebih dari 4 minggu. Menurut Simadibrata dan Daldiyono (2007), diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 15 hari. Sedangkan menurut World Gastroenterology Organization Global Guidelines (2005), diare akut didefinisikan sebagai pasase tinja cair atau lembek dengan jumlah lebih banyak dari normal dan berlangsung kurang dari 14 hari. Menurut Guandalini (2009), diare akut didefinisikan sebagai suatu onset dari tingginya kadar cairan yang abnormal yang terdapat dalam tinja (lebih dari kadar normal yang mencapai 10 mL/kg/hari). Keadaan ini disebabkan meningkatnya frekuensi pergerakan usus yang normalnya 4-5 kali menjadi lebih dari 20 kali per hari. Besarnya kadar air yang terdapat dalam tinja dikarenakan
Universitas Sumatera Utara
adanya ketidakseimbangan proses fisiologis usus halus dan usus besar dalam absorsi ion, substansi organik, dan air itu sendiri. Walaupun istilah gastroenteritis akut sering digunakan sebagai sinonim dari diare akut, sebenarnya penggunaan istilah ini tidak cocok. Istilah gastroenteritis menyatakan adanya proses inflamasi pada lambung dan usus. Oleh sebab itu, istilah diare akut lebih baik daripada gastroenteritis akut (Guandalini, 2009).
2.1.2. Etiologi Diare Akut Infeksi merupakan penyebab utama diare akut, baik oleh bakteri, parasit maupun virus. Penyebab lain yang dapat menimbulkan diare akut adalah intoksikasi makanan, alergi, dan malabsorpsi karbohidrat, lemak, protein, vitamin serta mineral. Selain itu, diare akut dapat disebabkan oleh imunodefisiensi, obatobatan, dan lain-lain (Simadibrata dan Daldiyono, 2007). Tabel 2.1 Etiologi diare akut
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (FKUI, 2007)
Universitas Sumatera Utara
Kebanyakan diare karena infeksi terjadi oleh transmisi fekal-oral melalui kontak personal langsung atau lebih sering melalui makanan atau air yang terkontaminasi dengan patogen dari feses manusia atau hewan. Kebanyakan watery diarrhea terjadi karena hipersekresi usus halus yang disebabkan oleh toksin bakteri, enterotoxin-producing bacteria, dan enteroadherent pathogens. Sitotoksin yang dihasilkan dan mikroorganisme yang invasif menyebabkan terjadinya demam tinggi dan nyeri abdomen. Bakteri invasif dan Entamoeba histolytica sering menyebabkan terjadinya diare yang disertai darah atau yang dikenal dengan disentri. Yersinia menginvasi ileum terminal dan mukosa kolon proksimal menyebabkan nyeri abdominal berat dengan gambaran seperti apendisitis akut (Ahlquist dan Camilleri, 2005). Diare infeksi dapat berhubungan dengan manifestasi sistemik. Sindroma Reiter (arthritis, uretritis dan konjungtivitis) dapat disertai dengan infeksi Salmonella,
Campylobacter,
menyebabkan
tiroiditis
Enterohemorrhagic
Shigella,
autoimun,
seperti
E.coli
dan
Yersinia.
perikarditis, dan
Shigella
dan
Yersiniosis
dapat
glomerulonefritis.
dapat
menyebabkan
hemolyticuremic syndrome dengan angka kematian yang tinggi. Diare akut dapat menjadi gejala utama dari beberapa penyakit infeksi sistemik seperti viral hepatitis, listeriosis, legionellosis, dan toxic shock syndrome (Ahlquist dan Camilleri, 2005). Efek samping obat merupakan penyebab terbanyak diare akut yang noninfeksius. Walaupun banyak sekali obat-obatan yang dapat menyebabkan diare, ada beberapa obat yang sering menyebabkan diare seperti antibiotik, antidisritmia jantung, antihipertensi, NSAIDs, antidepresan, obat kemoterapi, bronkodilator, antasida, dan laksatif. Iskemia kolitis baik oklusif maupun nonoklusif yang terjadi pada dewasa di atas 50 tahun sering menderita nyeri abdomen bawah akut yang didahului watery diarrhea kemudian diare yang disertai darah dan merupakan akibat inflamasi akut pada sigmoid atau kolon sebelah kiri. Diare akut dapat disertai colonic diverticulitis dan graft-versus-host disease. Diare akut juga sering berhubungan dengan systemic compromise yang dapat diikuti dengan
Universitas Sumatera Utara
tertelannya toksin insektisida organofosfat, amanita dan jamur-jamur lainnya, arsenik serta toksin-toksin yang terdapat dalam seafood seperti ciguatera dan scomboid (Ahlquist dan Camilleri, 2005). Diare akut dapat disebabkan oleh banyak hal. Diare akut yang terjadi dapat ringan ataupun berat. Defisiensi vitamin (seperti niasin, asam folat) dan intoksikasi vitamin (seperti vitamin C, niasin, vitamin B3) dapat menyebabkan diare akut. Pada anak-anak, diare akut biasanya disebabkan oleh adanya infeksi. Selain itu, diare akut yang terjadi pada anak dapat disebabkan beberapa keadaan, seperti sindroma malabsorpsi dan bermacam enteropati. Diare akut biasanya bersifat self-limited. Komplikasi utama yang terjadi yang disebabkan oleh diare akut adalah dehidrasi (Guandalini, 2009). 2.1.3. Faktor Risiko Diare Akut Keadaan dan kelompok yang berisiko tinggi mengalami diare antara lain orang-orang yang sedang berpergian. Sekitar 40% turis yang pergi ke daerah Amerika Latin, Afrika, dan Asia sering mengalami diare akut yang dikenal dengan traveler’s diarrhea. Penyebab tersering diare ini adalah enterotoksigenik Eschericia coli, Campylobacter, Shigella, dan Salmonella. Orang-orang yang pergi ke Rusia (terutama St Petersburg) berisiko tinggi terkena diare yang disebabkan oleh Giardia. Orang-orang yang pergi ke Nepal berisiko tinggi terkena diare karena Cyclospora. Orang-orang yang berkemah, backpackers, dan perenang dapat terinfeksi Giardia (Ahlquist dan Camilleri, 2005). Makanan atau keadaan makanan yang tidak biasa dapat menjadi risiko penyebab diare akut. Makanan tersebut dapat berupa makanan laut dan shell fish, terutama yang mentah. Restoran dan rumah makan cepat saji (fast food), banket, dan piknik dapat menyebabkan terjadinya diare akut (Simardibrata dan Daldiyono, 2007). Selain itu, kelompok yang berisiko tinggi mengalami diare akut adalah sekelompok orang dengan imunodefisiensi. Orang-orang yang berisiko diare adalah orang-orang dengan imunodefisiensi primer (seperti defisiensi IgA, hipogammaglobulinemia, penyakit granulomatosa kronik) atau orang-orang
Universitas Sumatera Utara
dengan imunodefisiensi sekunder (seperti AIDS, usia lanjut, pharmacologic suppression). Enteropatogen dapat menyebabkan diare hebat yang biasanya terjadi pada orang-orang dengan AIDS (Ahlquist dan Camilleri, 2005). Orang-orang yang dirawat inap dapat menjadi kelompok risiko tinggi mengalami diare akut. Diare infeksi merupakan penyakit nosokomial tersering di rumah sakit dan long-term care facilities. Mikroorganisme yang menyebakan diare ini bermacam-macam tetapi yang paling sering adalah Clostridium difficile (Ahlquist dan Camilleri, 2005).
2.2. Vitamin C Penyakit scurvy telah dikenal sejak abad ke-15, yaitu penyakit yang banyak diderita oleh pelaut yang berlayar selama berbulan-bulan serta bertahan dengan makanan yang dikeringkan dan biskuit. Penyakit ini menyebabkan pucat, rasa lelah berkepanjangan diikuti oleh perdarahan gusi, perdarahan di bawah kulit, edema, tukak, dan pada akhirnya kematian (Almatsier, 2004). Pada tahun 1750, Lind, seorang dokter dari Skotlandia menemukan bahwa scurvy dapat dicegah dan diobati dengan memakan jeruk. Baru pada tahun 1932, Szent-Györgyi dan C. Glenn King berhasil mengisolasi zat antiskorbut dari jaringan adrenal, jeruk, dan kol yang dinamakan vitamin C. Zat ini kemudian berhasil disintesis pada tahun 1933 oleh Haworth dan Hirst sebagai asam askorbat (Almatsier, 2004). Menurut Sizer dan Whitney (2006), asam askorbat berarti asam antiskorbut atau no-scurvy acid. Menurut Wardlaw, Hampl, dan DiSilvestro (2004), asam askorbat dibutuhkan oleh seluruh makhluk hidup tetapi semua tumbuhan dan kebanyakan hewan dapat membuat asam askorbat sendiri. Jadi, asam askorbat adalah vitamin yang hanya dibutuhkan oleh manusia dan beberapa hewan lainnya seperti primata, marmut, kelelawar buah, beberapa burung dan ikan. Istilah vitamin C sebenarnya tidak hanya digunakan untuk asam askorbat tetapi juga bentuk teroksidasinya, dehydroascorbic acid. Kedua bentuk ini ditemukan di dalam makanan yang kita makan.
Universitas Sumatera Utara
2.2.1. Metabolisme Vitamin C Asam askorbat (vitamin C) adalah suatu turunan heksosa dan diklasifikasikan sebagai karbohidrat yang erat berkaitan dengan monosakarida. Vitamin C dapat disintesis dari D-glukosa dan D-galaktosa dalam tumbuhtumbuhan dan sebagian besar hewan. Vitamin C terdapat dalam dua bentuk di alam, yaitu L-asam askorbat (bentuk tereduksi) dan L-asam dehidroaskorbat (bentuk teroksidasi). Struktur kimia asam askorbat dapat dilihat pada Gambar 2.1. Oksidasi bolak balik L-asam askorbat menjadi L-asam dehidroaskorbat terjadi bila bersentuhan dengan tembaga, panas atau alkali (Almatsier, 2004).
Gambar 2.1 Struktur kimia asam askorbat dan bentuk teroksidasinya Sumber: Prinsip Dasar Ilmu Gizi (Gramedia Pustaka Utama, 2001)
Kedua bentuk vitamin C aktif secara biologik tetapi bentuk tereduksi adalah yang paling aktif. Oksidasi lebih lanjut L-asam dehidroaskorbat menghasilkan asam diketo L-gulonat dan oksalat yang tidak dapat direduksi kembali yang berarti telah kehilangan sifat antiskorbutnya (Almatsier, 2004). Absorpsi vitamin C terjadi di usus halus secara transpor aktif (untuk asam askorbat) dan secara difusi terfasilitasi (untuk asam dehidroaskorbat). Efisiensi mekanisme absortif menurun apabila konsumsinya yang meningkat. Sekitar 7090% vitamin C diabsorpsi untuk konsumsi di antara 30 dan 180 mg sehari, sedangkan efisiensi absorpsinya menurun sekitar 50% atau akan berkurang jika dosis vitamin C nya ditingkatkan lebih dari 1 gram/hari. Vitamin C diekskresikan
Universitas Sumatera Utara
melalui ginjal dan akan meningkat ekskresinya jika dosisnya ditingkatkan (Wardlaw, Hampl dan DiSilvestro, 2004). Konsumsi melebihi taraf kejenuhan berbagai jaringan dikeluarkan melalui urin dalam bentuk asam oksalat. Pada konsumsi melebihi 100 mg sehari, kelebihan akan dikeluarkan sebagai asam askorbat atau sebagai karbon dioksida melalui pernapasan. Walaupun tubuh mengandung sedikit vitamin C, sebagian akan tetap dikeluarkan. Makanan yang tinggi dalam seng atau pektin dapat mengurangi absorpsi sedangkan zat-zat di dalam ekstrak jeruk dapat meningkatkan absorpsi (Almatsier, 2004). Di dalam sel dan darah, vitamin C lebih dominan terdapat dalam bentuk tereduksi, asam askorbat. Banyaknya kadar vitamin C di berbagai jaringan bermacam-macam. Konsentrasi tinggi terdapat pada kelenjar hipofisis, kelenjar adrenal, leukosit, mata, dan otak. Konsentrasi rendah terdapat pada darah dan saliva (Wardlaw, Hampl dan DiSilvestro, 2004). Status vitamin C tubuh ditetapkan melalui tanda-tanda klinik dan pengukuran kadar vitamin C di dalam darah. Tanda-tanda klinik antara lain, perdarahan gusi dan perdarahan kapiler di bawah kulit. Tanda dini kekurangan vitamin C dapat diketahui bila kadar vitamin C darah di bawah 0,20 mg/dl (Almatsier, 2004).
2.2.2. Fungsi Vitamin C Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim atau kofaktor. Asam askorbat adalah bahan yang kuat kemampuan reduksinya dan bertindak sebagai antioksidan dalam reaksi-reaksi hidroksilasi. Beberapa turunan vitamin C (seperti asam eritrobik dan askorbik palmitat) digunakan sebagai antioksidan di dalam industri pangan untuk mencegah proses menjadi tengik, perubahan warna (browning) pada buah-buahan dan untuk mengawetkan daging (Almatsier, 2004). Fungsi vitamin C banyak berkaitan dengan pembentukan kolagen. Vitamin C mengubah 2 struktur asam amino, lisin dan prolin menjadi hidroksilisin dan hidroksiprolin, bahan penting dalam pembentukan kolagen. Kolagen merupakan
Universitas Sumatera Utara
protein fibrosa yang mempengaruhi integritas jaringan ikat yang terdapat pada tulang dan pembuluh darah. Kolagen juga berperan penting dalam penyembuhan luka (Wardlaw, Hampl, dan DiSilvestro, 2004).
Gambar 2.2 Fungsi vitamin C dalam pembentukan kolagen Sumber: Perspective in Nutrition (McGraw-Hill, 2004) Vitamin C dapat bertindak sebagai antioksidan dengan memberikan elektron-elektron pada radikal bebas karena radikal bebas memiliki elektron yang tidak berpasangan. Vitamin C memberikan elektron pada radikal bebas sehingga radikal bebas menjadi stabil. Vitamin C konsentrasi tinggi terdapat pada mata untuk melindungi mata dari radikal bebas. Vitamin C konsentrasi tinggi juga terdapat pada leukosit terutama neutrofil untuk melindungi tubuh dari radikal
Universitas Sumatera Utara
bebas serta untuk proses fagositosis bakteri, jaringan yang rusak, dan sel-sel autoimun (Wardlaw, Hampl, dan DiSilvestro, 2004). Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero dalam usus halus sehingga mudah diabsorpsi. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Absorpsi besi dalam bentuk nonhem meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C. Vitamin C berperan dalam memindahkan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin hati. Vitamin C juga membantu absorpsi kalsium dengan menjaga agar kalsium berada dalam bentuk larutan (Almatsier, 2004). Karnitin merupakan bahan transpor yang memindahkan asam lemak dari sitoplasma ke mitokondria untuk produksi energi. Vitamin C berperan dalam 2 tahap yang terpisah pada biosintesis karnitin. Biosintesis hormon dan neurotransmitter norepinefrin dan epinefrin tergantung pada donor elektron dari vitamin C. Konversi asam amino esensial triptofan menjadi neurotransmitter serotonin membutuhkan vitamin C. Vitamin C penting dalam biosintesis tiroksin (hormon tiroid) dan sebagian besar komponen sistem saraf lainnya. Vitamin C juga terlibat dalam biosintesis kortikosteroid dan aldosteron, konversi kolesterol menjadi asam empedu, dan metabolisme tirosin (Wardlaw, Hampl, dan DiSilvestro, 2004). Vitamin C meningkatkan daya tahan terhadap infeksi, kemungkinan karena pemeliharaan terhadap membran mukosa atau pengaruh terhadap fungsi kekebalan. Pauling (1970) pernah mendapat hadiah nobel dengan bukunya Vitamin C and the Common Cold, di mana ia mengemukakan bahwa dosis tinggi vitamin C dapat mencegah dan menyembuhkan pilek. Namun, pembuktian pendapat ini oleh para ahli lain hingga sekarang belum memperoleh kesepakatan. Masyarakat luas sudah terlanjur percaya bahwa vitamin C dalam jumlah jauh melebihi angka kecukupan sehari diperlukan untuk pemeliharaan kesehatan. Konsumsi vitamin C dosis tinggi secara rutin tidak dianjurkan (Almatsier, 2004). Vitamin C dikatakan dapat mencegah dan menyembuhkan kanker, kemungkinan karena vitamin C dapat mencegah pembentukan nitrosamin yang bersifat karsinogenik. Di samping itu peranan vitamin C sebagai antioksidan
Universitas Sumatera Utara
diduga dapat mempengaruhi pembentukan sel-sel tumor. Hal-hal ini hingga sekarang belum dapat dibuktikan secara ilmiah. Vitamin C diduga dapat menurunkan taraf trigliserida serum tinggi yang berperan dalam terjadinya penyakit jantung (Almatsier, 2004).
2.2.3. Angka Kecukupan Gizi dan Sumber Vitamin C Menurut Russel (2005), angka kecukupan gizi (AKG) atau recommended daily allowance (RDA) untuk vitamin C adalah 60 mg/hari untuk pria dan wanita. Menurut Wardlaw, Hampl, dan DiSilvestro (2004), angka kecukupan gizi untuk vitamin C pada pria dewasa adalah 90 mg/hari dan wanita dewasa 75 mg/hari. Beberapa orang mengkonsumsi vitamin C lebih dari yang dianjurkan. AKG tersebut berdasarkan kadar vitamin C hampir maksimal pada neutrofil (leukosit) dengan ekskresi urin minimal. Oleh karena rokok menyebabkan stres oksidatif, kebutuhan perokok meningkat 35 mg/hari. Kemungkinan turnover vitamin C pada perokok lebih tinggi disebabkan oleh fungsi vitamin C sebagai antioksidan. Kebutuhan vitamin C pada pengguna kontrasepsi oral juga meningkat tetapi dengan alasan yang belum jelas. Kebutuhan vitamin C juga meningkat pada saat operasi atau luka bakar karena jaringan yang hilang lebih banyak. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kolagen yang dihasilkan untuk mengganti jaringan yang hilang tersebut. Bagaimanapun, tidak ada persetujuan untuk mengkonsumsi vitamin C lebih dari AKG. AKG untuk vitamin C yang terdapat dalam makanan dan suplemen adalah 60 mg. Angka kecukupan gizi atau dietary reference intakes (DRI) untuk vitamin C adalah 90 mg/hari untuk pria dewasa dan 75 mg/hari untuk wanita dewasa. Jumlah ini lebih dari cukup untuk mencegah terjadinya gejala skorbut. Perokok, bahkan perokok pasif, membutuhkan vitamin C lebih dari AKG dewasa normal. Kebutuhan yang dianjurkan untuk perokok adalah 125 mg untuk pria dewasa dan 110 mg untuk wanita dewasa, dengan tujuan untuk menjaga kadar vitamin C dalam darah (Sizer dan Whitney, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk vitamin C Golongan AKG (mg/hari) Jenis Kelamin: Pria, usia ≥ 19 tahun
90
Wanita, usia ≥ 19 tahun
75
Kehamilan: Wanita, usia ≤ 18 tahun
80
Wanita, usia ≥ 19 tahun
85
Menyusui: Wanita, usia ≤ 18 tahun
115
Wanita, usia ≥ 19 tahun
120
Sumber: University of Florida, Institute of Food and Agricultural Sciences (Bobroff dan Valentin-Oquendo, 2006) Peningkatan konsumsi vitamin C dibutuhkan dalam keadaan stres psikologik atau fisik, seperti pada luka, panas tinggi, atau suhu lingkungan tinggi dan pada perokok. Bila dimakan dalam jumlah melebihi kecukupan dalam jumlah sedang, sisa vitamin C akan dikeluarkan dari tubuh tanpa perubahan. Pada tingkat lebih tinggi (500 mg atau lebih) akan dimetabolisme menjadi asam oksalat. Dalam jumlah banyak asam oksalat di dalam ginjal dapat diubah menjadi batu ginjal. Jadi menggunakan vitamin C dosis tinggi secara rutin tidak dianjurkan (Almatsier, 2004). Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam, seperti jeruk, nenas, rambutan, papaya, gandaria, dan tomat. Vitamin C juga banyak terdapat di dalam sayuran daundaunan dan jenis kol. Kandungan vitamin C beberapa bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 2.3 (Almatsier, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Nilai vitamin C berbagai bahan makanan (mg/100 gram)
Semua buah dan sayuran mengandung vitamin C, tetapi ada buah-buahan dan sayur-sayuran tertentu mengandung vitamin C lebih daripada yang lain. Jeruk, kentang, dan sayuran hijau merupakan sumber yang baik untuk vitamin C. Daging dan padi-padian bukan sumber yang baik untuk vitamin C. The Food Guide Pyramid guideline menyatakan sedikitnya ada 5 kali penyajian kombinasi buahbuahan dan sayur-sayuran untuk vitamin C per hari. Vitamin C tidak mudah terbuang dalam proses memasak. Jus merupakan cara yang baik untuk mengolah makanan yang mengandung vitamin C karena keasaman vitamin C akan berkurang (Wardlaw, Hampl, DiSilvestro, 2004).
2.2.4. Toksikasi Vitamin C Mudahnya ketersediaan vitamin C dalam bentuk pil dan publikasi buku yang menyarankan vitamin C digunakan sebagai pengobatan nutraceutical untuk mencegah dan mengobati demam dan kanker membuat beribu orang untuk mengkonsumsi vitamin C dalam dosis besar. Keadaan ini membuat para ahli meneliti efek samping yang ditimbulkan oleh penggunaan vitamin C dosis besar. Efek yang telah diobservasi dengan mengkonsumsi 2 gram vitamin C per hari adalah terganggunya kerja insulin terhadap karbohidrat pada orang dengan toleransi glukosa normal. Vitamin C yang terdapat dalam suplemen dengan dosis
Universitas Sumatera Utara
manapun dapat berbahaya pada orang dengan kadar zat besi yang tinggi karena vitamin C akan meningkatkan absorpsi zat besi dan melepaskan simpanan zat besi (Sizer dan Whitney, 2006). Konsumsi vitamin C berupa suplemen secara berlebihan tiap hari dapat menimbulkan hiperoksaluria dan risiko lebih tinggi terhadap batu ginjal. Dengan konsumsi 5-10 gram vitamin C baru sedikit asam askorbat dikeluarkan melalui urin. Risiko batu oksalat dengan suplemen vitamin dosis tinggi dengan demikian rendah, akan tetapi hal ini dapat menjadi berarti pada seseorang yang mempunyai kecendrungan untuk pembentukan batu ginjal (Almatsier, 2004).
2.2.5. Patogenesis Intoksikasi Vitamin C dan Diare Akut Konsumsi vitamin C 2 gram per hari juga dapat menimbulkan gangguan pada gastrointestinal (gastrointestinal distress). Efek samping lain yang ditimbulkan pada gangguan pada sistem pencernaan adalah seperti mual, nyeri abdomen, adanya gas yang berlebihan, dan terjadinya diare (Sizer dan Whitney, 2006). Diare akut yang terjadi akibat intoksikasi vitamin C adalah diare osmotik. Hal ini terjadi karena adanya efek osmotik dari asam askorbat yang tidak diabsorpsi (Hathcock, 2004). Adanya asam askorbat yang berlebih yang tidak diabsorpsi menyebabkan tingginya tekanan osmotik. Kenaikan tekanan osmotik tersebut menyebabkan penurunan absorpsi air. Banyaknya cairan yang berada di dalam usus melebihi kapasitas absorptif usus sehingga terjadilah diare (Gall, 1992). Pada diare osmotik, konsentrasi natrium dalam feses rendah dan osmolalitas feses dua kali lebih besar dari jumlah konsentrasi natrium dan kalium. Osmotic gap ini menunjukkan diare tersebut disebabkan oleh zat-zat yang terlarut (solute) yang tidak diabsorpsi, yaitu vitamin C (Gall, 1992). Efek diare yang ditimbulkan akibat intoksikasi vitamin C ini biasanya ringan, sementara dan dapat sembuh dengan sendirinya (self-limiting) dengan menghentikan konsumsi vitamin C atau menurunkan dosis vitamin C tersebut (Hathcock, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.3. Teori Pengetahuan Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku itu ke dalam 3 domain (ranah/kawasan), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Bahwa dalam tujuan suatu pendidikan adalah mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut, yang terdiri dari domain kognitif, domain afektif, dan domain psikomotorik (Notoatmodjo, 2007). Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari pengetahuan, sikap atau tanggapan, dan praktik atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik terhadap materi yang diberikan (Notoatmodjo, 2007). Dalam penelitian ini, peneliti hanya meneliti tentang tingkat pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang telah diberikan.
2.3.1. Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, raba, dan rasa. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2007). Menurut Notoatmodjo (2007), karena pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan bertahan lebih lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni: a. Awareness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
Universitas Sumatera Utara
b. Interest (ketertarikan) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai timbul. c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. d. Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. e. Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Namun demikian, penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut.
2.3.2. Domain Kognitif Pengetahuan Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi (Notoatmodjo, 2007). Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ‘tahu’ ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007). Memahami menjelaskan
(comprehension)
secara
benar
tentang
diartikan objek
sebagai yang
suatu
diketahui,
kemampuan dan
dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari (Notoatmodjo, 2007). Aplikasi (application) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada siuasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di
Universitas Sumatera Utara
sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain (Notoatmodjo, 2007). Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007). Sintesis (synthesis) menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formlasi yang ada (Notoatmodjo, 2007). Evaluasi (evaluation) ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteriakriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2007). Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek pnelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas (Notoatmodjo, 2007).
Universitas Sumatera Utara