BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan
Hutan merupakan salah satu pusat keanekaragaman jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui dan perlu terus untuk dikaji. Di kawasan hutan terdapat komunitas tumbuhan yang didominasi oleh pepohonan dan tumbuhan berkayu lainnya (Spurr dan Barnes, 1980). Pohon sebagai penyusun utama kawasan hutan berperan penting dalam pengaturan tata air, cadangan plasma nutfah, penyangga kehidupan, sumberdaya pembangunan dan sumber devisa negara (Desmann et al., 1977).
Hutan berfungsi secara alami sebagai penyumbang dan penyelaras kehidupan di atas permukaan bumi ini. Hutan di samping menghasilkan kayu, juga hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan. Hasil hutan non kayu berupa damar, rotan, bahan obatobatan, dan lainnya, Sedangkan jasa lingkungan seperti menampung air, menahan banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keanekaragaman hayati dan menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara, serta sebagai tempat dan sumber kehidupan satwa dan makhluk hidup lainnya (Sudana & Wollenberg, 2001). Selanjutnya Ewusie (1990) menyatakan bahwa pepohonan yang tinggi sebagai komponen dasar dari hutan memegang peranan penting dalam menjaga kesuburan tanah dengan menghasilkan serasah sebagai sumber hara penting bagi vegetasi hutan.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Hutan Pegunungan
Anwar et al., (1984), menyatakan bahwa hutan pegunungan terbagi ke dalam zona-zona hutan, seiring dengan pertambahan ketinggian. Ketinggian rata-rata tempat dari berbagai tipe hutan pegunungan di Sumatera adalah sebagai berikut ; 0-1200 m dpl
: Hutan dataran rendah
1200-2100 m dpl
: Hutan pegunungan bawah
2100-3000 m dpl
: Hutan pegunungan atas
≥ 3000 m dpl
: Subalpin
Di hutan pegunungan terdapat zona-zona vegetasi, dengan jenis, struktur dan penampilan yang berbeda. Zona-zona vegetasi tersebut dapat dikenali di semua gunung di daerah tropis meskipun tidak ditentukan oleh ketinggian saja. Di gunung yang rendah, semua zona vegetasi lebih sempit, sedangkan di gunung yang tinggi, atau di bagian tengah suatu jajaran pegunungan, zona-zona itu lebih luas (MacKinnon et al., 2000).
Bentuk suatu vegetasi merupakan hasil interaksi faktor-faktor lingkungan seperti: bahan induk, topografi, tanah, iklim, organisme-organisme hidup dan waktu. Waktu di sini dimaksudkan sebagai faktor sejarah pengelolaan atau umur dari lingkungan tersebut. Interaksi dari faktor-faktor lingkungan tersebut dapat digunakan sebagai indikator dari lingkungan atau komponen-komponen penduga sifat lingkungan yang bersangkutan. Vegetasi adalah faktor atau komponen lingkungan yang paling mudah digunakan untuk keperluan tersebut, sebab vegetasi dengan sifatnya yang inmobil sangat peka terhadap faktor-faktor lingkungan (Setiadi et al., 1989).
2.3 Pengaruh Iklim
Perbedaan fisik dan biologi antara hutan dataran rendah yang lembab dan panas dengan habitat pegunungan yang terbuka menentukan jenis-jenis yang terdapat disana. Semakin tinggi suatu tempat, iklim semakin sejuk dan lebih lembab (MacKinnon et al., 2000). Hutan yang tumbuh dan berkembang, tidak terlepas dari faktor-faktor yang
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhinya, terutama lingkungan. Faktor-faktor tersebut menentukan variasi tumbuhan hutan, di mana hal ini juga berhubungan dengan keadaan atmosfer yang ditentukan oleh sinar matahari, suhu, angin dan kelembaban. Di samping itu, suhu akan menurun mengikuti ketinggian tempat. Di daerah tropika misalnya suhu akan turun 0.40°C setiap kenaikan ketinggian tempat 100 meter, hal ini menyebabkan terjadi pembagian zona dan spesies yang berubah seperti pada daerah iklim sedang (Arief, 1994).
Indonesia berdasarkan letak garis lintangnya termasuk daerah beriklim tropis. Namun, posisinya di antara dua benua dan di antara dua samudera membuat iklim kepulauan ini lebih beragam (Irwanto, 2006). Berdasarkan perbandingan jumlah bulan kering terhadap jumlah bulan basah per tahun, Indonesia mencakup tiga daerah iklim, yaitu: •
Daerah tipe iklim A (sangat basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Oktober dan Januari, kadang hingga Februari. Daerah ini mencakup Pulau Sumatera; Kalimantan; bagian barat dan tengah Pulau Jawa; sisi barat Pulau Sulawesi.
•
Daerah tipe iklim B (basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Mei dan Juli, serta Agustus atau September sebagai bulan terkering. Daerah ini mencakup bagian timur Pulau Sulawesi; Maluku; sebagian besar Papua.
•
Daerah tipe iklim C (agak kering) yang lebih sedikit jumlah curah hujannya, sedangkan bulan terkeringnya lebih panjang. Daerah ini mencakup Jawa Timur; sebagian Pulau Madura; Pulau Bali; Nusa Tenggara; bagian paling ujung selatan Papua. Selain faktor suhu di atas hutan pegungan juga dipengaruhi oleh oleh
keawanan, kelembapan nisbi, embun beku, dan radiasi ultra violet. Telah diduga bahwa radiasi ultra violet pada gunung-gunung di daerah tropik adalah yang paling kuat dibandingkan dengan daerah manapun di atas permukaan bumi. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya kadar lapisan ozon pada lapisan stratosfer (yang menyerap sinar ultra violet) dekat khatulistiwa, dan atmosfer pada ketinggian rendah yang lebih
Universitas Sumatera Utara
keruh dan lebih padat sehingga lebih mampu untuk menyerap dan memantulkan radiasi (Damanik et al., 1992).
2.4 Analisis Vegetasi
Vegetasi adalah kumpulan dari beberapa jenis tumbuh-tumbuhan yang tumbuh bersama-sama pada satu tempat di mana antara individu-individu penyusunnya terdapat interaksi yang erat, baik diantara tumbuh-tumbuhan maupun dengan hewanhewan yang hidup dalam vegetasi dan lingkungan tersebut. Dengan kata lain, vegetasi tidak hanya kumpulan dari individu-individu tumbuhan melainkan membentuk suatu kesatuan dimana individunya saling tergantung satu sama lain, yang disebut sebagai satu komunitas tumbuh-tumbuhan (Ruslan, 1986).
Menurut Soerianegara & Indarwan (1978), yang dimaksud analisis vegetasi atau studi komunitas adalah suatu cara yang mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Cain & castro (1959) dalam Soerianegara & Indarwan (1978) mengatakan bahwa penelitian yang mengarah pada analisis vegetasi, titik berat penganalisisan terletak pada komposisi jenis atau jenis. Struktur masyarakat hutan dapat dipelajari dengan mengetahui sejumlah karakteristik tertentu di antaranya, kepadatan, frekuensi, dominansi dan nilai penting.
2.5 Seedling
Menurut Kusmana (1996), umumnya para peneliti di bidang ekologi hutan membedakan pohon kedalam beberapa tingkat pertumbuhan, yaitu : semai (seedling) yaitu permudaan tingkat kecambah sampai setinggi < 1,5 m, pancang
yaitu
permudaan dengan > 1,5 m sampai pohon muda yang berdiameter < 10 cm), tiang atau pohon muda yang
berdiameter 10 s/d 20 cm, dan pohon dewasa yaitu yang
berdiameter > 20 cm.
Universitas Sumatera Utara
Komposisi dari keanekaragaman vegetasi bawah, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya, kelembaban, pH tanah, tutupan tajuk dari pohon di sekitarnya, dan tingkat kompetisi dari masing-masing jenis. Pada komunitas hutan hujan, penetrasi cahaya yang sampai pada lantai hutan umumnya sedikit sekali. Hal ini disebabkan terhalangnya cahaya yang masuk ke dasar hutan oleh lapisan tajuk pohon disekitarnya. Ini menyebabkan tumbuhan bawah pengisi lantai hutan kurang mendapat sinar, sedangkan sinar matahari sangat dibutuhkan untuk perkembangan dan pertumbuhan (Gusmalyna, 1983).
Tumbuhan bawah berfungsi sebagai penutup tanah yang menjaga kelembaban sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat, proses dekomposisi yang cepat dapat menyediakan unsur hara untuk tanaman pokok, siklus hara dapat berlangsung sempurna dan guguran daun yang jatuh sebagai serasah
akan
dikembalikan lagi ke pohon dalam bentuk unsur hara yang sudah diuraikan oleh bakteri (Irwanto, 2006).
2.6 Sapling
Menurut Kadri et al., (1992) dalam Indriyanto (2008), sapihan atau pancang (saplings), yaitu pohon yang tingginya lebih dari 1,5 meter dengan diameter batang kurang dari 10 cm.
Kelimpahan
vegetasi bawah di hutan pegunungan
berbeda seiring
bertambahnya ketinggian. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan struktur pohon pembentuk tajuk yang semakin ke atas akan semakin pendek, tajuk rata, batang dan cabang berlekuk, daun tebal dan kecil. Selain itu dengan bertambahnya ketinggian, terjadi perubahan suhu yang drastis pula. Arus angin yang menuju ke arah pegunungan menyebabkan terjadinya pengembunan sehingga suhu di pegunungan akan turun (Anwar et al., 1984).
Universitas Sumatera Utara
2.7 Struktur dan Komposisi Hutan
Irwanto (2006) membagi struktur vegetasi menjadi lima berdasarkan tingkatannya, yaitu: fisiognomi vegetasi, struktur biomassa, struktur bentuk hidup, struktur floristik, struktur tegakan.
Komposisi hutan merupakan penyusun suatu tegakan atau hutan yang meliputi jumlah jenis ataupun banyaknya individu dari suatu jenis tumbuhan (Wirakusuma, 1980). Komposisi hutan sangat ditentukan oleh faktor-faktor kebetulan, terutama waktu-waktu pemancaran buah dan perkembangan bibit. Pada daerah tertentu komosisi hutan berkaitan erat dengan ciri habitat dan topografi (Damanik et al., 1992).
Menurut Irwanto (2006), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu: 1. Stuktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai, dan herba penyusun vegetasi diatas. 2. Sebaran, horizontal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain 3. Kelimpahan (abudance) setiap jenis dalam suatu komunitas.
Pada ketinggian sekitar 2.000 meter mulai terlihat perubahan tajuk semakin rendah. Pohon yang menjulang di atas lapisan tajuk jadi menjarang dan diameter batang pohonnya makin mengecil (Rifai, 1993). Serta ketinggian pohon berkurang mulai dari kaki gunung sampai hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas. Dalam hutan berikutnya, pohon-pohon menjadi kecil dan biasanya banyak terdapat epifit. Hutan ini selanjutnya diikuti oleh hutan kerdil atau hutan lumut yang rapat dan pohon-pohon banyak ditumbuhi oleh lumut-lumut kerak. Hutan kerdil ini kemudian menjadi lebih rendah lagi dan diikuti oleh padang rumput pegunungan tinggi (Resosoedarmo et al., 1992).
Pada hutan tropis terdapat pepohonan yang tumbuh membentuk beberapa stratum tajuk. Stratifikasi yang terdapat pada hutan hujan tropis dapat dibagi menjadi lima stratum berurutan dari atas ke bawah, yaitu stratum A, Stratum B, stratum C,
Universitas Sumatera Utara
stratum D, dan stratum E (Arief, 1994; Ewusie, 1990; Soerianegara dan Indarwan, 1982). Masing-masing stratum diuraikan sebagai berikut: 1. Stratum A (A-storey), yaitu lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya lebih dari 30 m. Pada umumnya tajuk pohon pada stratum tersebut lebar, tidak bersentuhan kearah horizontal dengan tajuk pohon lainnya dalam stratum yang sama, sehinga stratum tajuk itu berbentuk lapisan diskontinu. Pohon pada stratum A umumnya berbatang lurus, batang bebas cabang tinggi, dan bersifat intoleran (tidak tahan naungan). Menurut Ewusie (1984), sifat khas bentuk-bentuk tajuk pohon tersebut sering digunakan untuk identifikasi spesies pohon dalam suatu daerah. 2. Stratum B (B-storey), yaitu lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 20-30 m. Bentuk tajuk pohon pada stratum B membulat atau memanjang dan tidak melebar seperti pada tajuk pohon di stratum A. Jarak antar pohon lebih dekat, sehingga tajuk-tajuk pohonnya cenderung membentuk lapisan tajuk yang kontinu. Spesies pohon yang ada, bersifat toleran (tahan naungan) atau kurang memerlukan cahaya. Batang pohon banyak cabangnya dengan batang bebas cabang tidak begitu tinggi. 3. Stratum C (C-storey), yaitu lapisan tajuk ketiga dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 4-20 m. Pepohonan pada stratum C mempunyai bentuk tajuk yang berubah-ubah tetapi membentuk suatu lapisan tajuk yang tebal. Selain itu, pepohonannya memiliki banyak percabangan yang tersusun dengan rapat, sehingga tajuk pohon menjadi padat. Pada stratum C, pepohonan juga berasosiasi dengan berbagai populasi epifit, tumbuhan memanjat, dan parasit (Vickery, 1984). 4. Stratum D (D-storey), yaitu tajuk paling bawah (lapisan kelima dari atas) yang dibentuk oleh spesies tumbuhan semak dan perdu yang tingginya 1-4 m. Pada stratum itu juga terdapat dan dibentuk oleh spesies pohon yang masih muda atau dalam fase anakan (seedling), terdapat palma-palma kecil, herba besar, dan paku-pakuan besar. 5. Stratum E (E-storey), yaitu tajuk paling bawah (lapisan kelima dari atas) yang dibentuk oleh spesies-spesies tumbuhan penutup tanah (Ground Cover) yang tingginya 0-1 m. Keanekaragaman spesies pada stratum E lebih sedikit dibandingkan dengan stratum lainnya. Meskipun demikian, spesies-spesies
Universitas Sumatera Utara
tumbuhan bawah yang
sering ada, yaitu anggota family Commeliaceae,
Zingiberaceae, Acanthaceae, Araceae, dan Marantaceae. Pada stratum ini, tumbuhan paku dan Selaginella juga sangat dominan, rerumputan hampir tidak ada tetapi beberapa spesies yang berdaun lebar kadang-kadang ada, misalnya spesies Olyra latifolia, Leptaspis cochleata, Mapania spp., dan Hypolytrum spp.
Universitas Sumatera Utara