BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pisang
Pisang berasal dari bahasa Arab yaitu maus dan menurut Linnaeus termasuk keluarga Musaceae (Satuhu dan Supriyadi, 1999). Pisang barangan merupakan pisang yang paling populer di Sumatera Utara (Nuswamarhaeni, dkk, 1999, hlm. 56). Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tanaman pisang dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi dan tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Pisang Barangan adalah salah satu jenis pisang yang sangat digemari oleh konsumen meskipun harganya lebih mahal dibandingkan jenis lainnya (Nainggolan dkk, 2002 dalam Wahyudi, 2004).
Adapun botani tanaman pisang adalah sebagai berikut: tumbuhan seperti pohon, tinggi 2-9 m; batang pendek dalam tanah yang disebut Corm; mempunyai kuncup-kuncup tunas yang akhirnya berkembang menjadi anakan. Akar liar (adventif) tumbuh menyebar secara lateral, dapat mencapai panjang 4-5 m. Batang yang di atas permukaan tanah adalah batang semu yang merupakan kumpulan dari pelepah daun yang berdaging, membentuk suatu bentuk silindris dengan diameter 20-50 cm. Daun baru yang terbentuk tumbuh dari batang semu. Helai daun berbentuk oblong yang besar dengan panjang 150-400 cm dengan lebar 70-100 cm. Bila bunga majemuk telah terbentuk di ujung batang semu, maka pembentukan helai daun baru akan berhenti. Bunga majemuk terkumpul menjadi beberapa kelompok (sisir) dan setiap kelompok didukung oleh daun penumpu yang besar, berwarna merah dan di dalamnya terdapat dua baris bunga. Keseluruhan kelompok bunga ini bersatu dalam bentuk seperti jantung, sehingga disebut sebagai jantung pisang. Daun penumpu dari setiap kelompok bunga akan luruh setelah terjadinya proses perkembangan buah (Sudarnadi, 1996, hlm. 85).
Menurut Steenis (2003), kedudukan pisang barangan dalam taksonomi adalah: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub Divisio
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Musaceae
Genus
: Musa
Spesies
: Musa acuminata L.
Tanaman pisang termasuk tanaman iklim tropis basah yang mudah didapatkan di Indonesia, tanaman ini tahan hidup di musim kemarau, mampu tumbuh dan berproduksi baik pada berbagai jenis tanah pada ketinggian tempat antara 0-1000 m di atas permukaan laut. Tanaman pisang mudah tumbuh di berbagai tempat sehingga penanaman yang dilakukan oleh petani belum teratur dan sering dicampur dengan tanaman lainnya. Selain itu pemeliharaan tanaman pisang belum dilakukan secara intensif, sehingga produksi dan mutu buah yang dihasilkan masih rendah (Warda dan Hutagalung, 1994).
2.2. Teknik Kultur Jaringan
Kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture, weefcel cultuus atau gewebe kultur. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Maka, kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya (Suryowinoto, 1991 dalam Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Manfaat perbanyakan tanaman secara kultur jaringan adalah untuk perbanyakan vegetatif tanaman yang permintaannya tinggi tetapi pasokannya rendah, karena laju perbanyakan secara konvensional dianggap lambat. Di samping itu, perbanyakan tanaman secara kultur jaringan sangat bermanfaat untuk memperbanyak tanaman introduksi, tanaman klon unggul baru, dan tanaman bebas patogen yang perlu
diperbanyak dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat (Yusnita, 2003, hlm. 9).
Perbanyakan bibit secara cepat adalah salah satu dari penerapan teknik kultur jaringan yang telah dilakukan terutama untuk beberapa jenis tanaman yang diperbanyak secara klonal. Tujuan utamanya adalah memproduksi bibit secara massal dalam waktu singkat. Hal ini terutama
dilakukan pada tanaman-tanaman yang
persentase perkecambahan bijinya rendah. Tanaman hibrida yang berasal dari tetua yang menunjukkan sifat male sterility, hibrida-hibrida yang unik, perbanyakan pohon elite dan/atau pohon untuk batang bawah dan tanaman yang selalu diperbanyak secara vegetatif seperti kentang, pisang dan strawberry
juga diperbanyak secara kultur
jaringan (Gunawan, 1987 dalam Mattjik, 2005, hlm 17). Tujuan lain dari kultur jaringan adalah untuk membiakkan bagian tanaman dalam ukuran yang sekecilkecilnya sehingga menjadi beratus-ratus ribu tanaman kecil (klon), dan untuk menghasilkan kalus sebanyak-banyaknya agar dapat menghasilkan metabolit sekunder, misalnya untuk keperluan obat-obatan.
Perbanyakan secara kultur jaringan dilakukan dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti organ, jaringan, kumpulan sel, sel tunggal, protoplasma, dan kemudian menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan aseptik yang kaya nutrisi dan mengandung zat pengatur tumbuh. Proses ini berlangsung di dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian-bagain tersebut memperbanyak diri dan beregenerasi kembali menjadi tanaman lengkap (Saptarini, dkk, 2001, hlm. 23).
2.2.1 Zat Pengatur Tumbuh
Di dalam tubuh tumbuhan, zat pengatur tumbuh mempunyai peranan dalam pertumbuhan dan perkembangan demi kelangsungan hidupnya. Zat pengatur tumbuh pada tanaman (plant regulator), adalah senyawa organik, yang dalam jumlah sedikit dapat merubah proses fisiologi tumbuhan (Abidin, 1982).
Perkembangan kalus dikendalikan oleh hormon yang ditambahkan ke dalam media, khususnya auksin dan sitokinin. Perubahan kadar zat pengatur tumbuh dapat mempengaruhi morfogenesisi kalus menjadi tanaman utuh atau organ-organ saja. Keseimbangan hormon yang diperlukan merupakan hal penting untuk setiap spesies dan sering sangat beragam antara kultivar satu dengan yang lain. Bila keseimbangan auksin/sitokinin dalam medianya tepat, maka kelompok kalus akan segera terbentuk (Nasir, 2002, hlm. 33).
Pada tahun 1940 – an, para ahli fisiologi tumbuhan dari Universitas Wisconsin di Amerika yang dipelopori oleh Folke Skoog menemukan bahwa zat pengatur tumbuh auksin, yaitu IAA (Indol acetic acid) dan NAA (Naphtalene acetic acid) yang sebelumnya sudah diketahui dapat merangsang pembentukan akar pada setek, ternyata juga dapat merangsang pertumbuhan sel secara in vitro, tetapi menghambat pembentukan mata tunas. Pada tahun 1955, Carlos Miller dkk (yang bekerja dengan Skoog) menemukan kinetin, suatu penemuan pertama hormon golongan sitokinin. Pada tahaun 1957, Skoog dan Miller mempublikasikan studi klasik antara sitokinin dan auksin dalam mengontrol pembentukan akar dan tunas dalam kultur jaringan (Yusnita, 2003).
2.2.1.1 Sitokinin/ BAP
Adenin merupakan bentuk dasar yang menentukan terhadap aktivitas sitokinin. Di dalam senyawa sitokinin, panjang rantai dan hadirnya suatu ikatan ganda dalam rantai tersebut, akan meningkatkan aktivitas zat pengatur tumbuh ini (Abidin, 1982, hlm. 55). Secara umum, konsentrasi sitokinin yang digunakan berkisar dari 0.1 – 10 mg/l. Dalam kasus tertentu, konsentrasi kinetin sampai 30 mg/l pernah digunakan, tetapi jarang terjadi (Gunawan, 1995).
Pengaruh sitokinin dalam kultur jaringan tanaman antara lain berhubungan dengan proses pembelahan sel, proliferasi tunas ketiak, penghambatan pertumbuhan akar dan induksi umbi. Pembelahan mitosis tidak akan terjadi bila tidak ada sitokinin. Sitokinin terutama berperan di dalam pembentukan benang gelendong pada metafase (Wattimena, 1992 dalam Nasution, 2003).
Menurut Santoso dan Nursandi (2004, hlm. 105), bahwa secara lebih luas peran sitokinin dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Sitokinin berperan dalam memacu pembentangan sel, pembesaran dan pembelahan sel. 2. Sitokinin berperan dalam penundaan senesens
(penuaan), caranya dengan
jalan sitokinin menghambat penguraian protein. Penuaan terjadi karena penguraian protein menjadi asam amino oleh enzim-enzim protese, RNAse, DNAse. Artinya di sini penghambatan atau penundaan penuaan terjadi karena kinerja enzim-enzim di atas dihambat sitokinin sehingga umur protein lebih panjang. 3. Sitokinin ini berperan mengarahkan transpor zat hara, yaitu memberi signal ke arah mana zat hara akan dibawa atau ditransport. 4. Peran sitokinin yang lain adalah: mendorong proses morfogenesis, pertunasan, pembentukan kloroplas, pembentukan umbi pada kentang, pemecahan dormansi, pembukaan stomata, dan pembungaan. 5. Dalam kegiatan kultur jaringan sitokinin telah terbukti dapat menstimulasi terjadinya pembelahan sel, proliferasi kalus, pembentukan tunas, mendorong proliferasi meristem ujung, menghambat pembentukan akar, mendorong pembentukan klorofil pada kalus, golongan sitokinin yang sering ditambahkan dalam medium antara lain adalah: kinetin, zeatin, dan Benzil Amino Purin (BAP) (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Penggunaan BAP dengan konsentrasi tinggi dan masa yang panjang seringkali menyebabkan regeneran sulit berakar dan dapat menyebabkan penampakan pucuk yang abnormal (Gunawan, 1995 hlm 45).
2.2.1.2 Auksin/NAA
Istilah auksin pertama kali digunakan untuk menyebut suatu senyawa yang mungkin dapat menyebabkan pembengkokan koleoptil ke arah cahaya ( Salisbury dan Ross, 1992) Indolacetic Acid (IAA) adalah auksin endogen atau auksin yang terdapat pada tanaman (Wattimena, 1988, hlm. 7).
Adapun zat pengatur tumbuh yang digolongkan sebagai auksin sintetis, yaitu: asam a-naftalenaasetat (NAA), asam 2,4-diklorophenoksi asetat (2,4-D), asam 2metil-4-klorophenoksi asetat (MCPA), asam 2-naftalosiasetat (NoA), asam 4klorophenoksi asetat (4-CPA), asam p-klorophenoksi asetat (PCPA), asam 2,4,5triklorophenoksi asetat (2,4,5-T), asam 3,6-dikloroanisik (dikamba), asam 4-amino3,5,6-trikoloropikolinik (Santoso dan Nursandi, 2004, hlm.98).
Pada konsentrasi yang rendah, auksin berpengaruh baik pada proses pemanjangan sel (Abidin, 1982). Sebaliknya, dalam konsentrasi yang terlalu tinggi auksin justru dapat menghambat perpanjangan tanaman. Oleh karena itu, penggunaan auksin harus sungguh-sungguh memperhatikan dosis yang dianjurkan ( Salisbury dan Ross, 1992 dan Widarto, 1996).
2.2.2 Eksplan
Eksplan adalah bagian kecil jaringan atau organ yang dipisahkan dari tanaman induk kemudian dikulturkan (Katuuk, 1989). Bagian tanaman yang dapat dikultur adalah selsel muda (meristematis), dapat berupa sel, jaringan apapun, organ, buah, biji, serbuk sari, ovum (telur), ovulum (bakal buah), dan lain-lain. Bahkan sel tunggal yang berasal dari sel somatik dan protoplas juga dapat dikulturkan (Muslim, 2003, hlm. 348).
Dalam pemilihan bagian tanaman, perlu juga dipertimbangkan tujuan dari kulturnya. Bagian-bagian tertentu akan memberikan variasi dalam jumlah kromosom maupun variasi dalam beberapa gen. Endosperma hanya digunakan untuk mendapatkan kultur yang triploid. Selain bagian tanaman, genotip atau varietas yang digunakan juga ikut menentukan keberhasilan regenerasi (Gunawan, 1995, hlm. 41). Dalam kultur jaringan, sumber eksplan harus berasal dari pohon induk terpilih. Hal ini seringkali dapat menjadi kendala dalam proses produksi bahan pangan melalui kultur jaringan (Priyono, 2000).
2.2.3 Media Kultur Jaringan
Faktor penentu di dalam media tumbuh adalah komposisi garam anorganik, zat pengatur tumbuh, dan bentuk fisik media. Komposisi garam anorganik telah dikembangkan oleh para ahli. Ada yang tinggi konsentrasi garamnya, ada yang sedang dan ada yang rendah (Gunawan, 1995, hlm. 42).
Pada media aseptik yang mengandung unsur hara makro dan mikro, Fe, vitamin, dan zat pengatur tumbuh yang diperlukan tanaman, sel atau jaringan tersebut akan membelah dan membentuk kalus atau organ tanaman secara langsung (tunas atau akar). Selanjutnya kalus ini akan distimulasi untuk membentuk tanaman sempurna (Haryanto, 1991 dalam Marlina, 2004). Unsur makro yang dimaksud adalah : C, H, O, N, S, P, K, Ca, Mg dan unsur-unsur mikro adalah : Zn, Mn, Cn, Bo, Mo, Si, Al, Cl, Co dan Fe. Unsurunsur tersebut diberikan bukan dalam bentuk unsur murni tetapi dalam bentuk garam. Sebelum digunakan garam-garam tersebut harus dicampur dengan air suling (akuades) (Widarto, 1996, hlm. 127). Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskan dengan autoklaf (http://www.dephut).
2.2.4 Lingkungan Fisik
Menurut Gunawan (1995, hlm. 47-48),
lingkungan tumbuh yang dapat
mempengaruhi regenerasi tanaman meliputi: 1. Temperatur Temperatur memegang peranan penting, terutama pada kultur kentang untuk tujuan pembentukan umbi mikro. Pada kultur lain, umumnya temperatur berkisar antara 25-28oC.
2. Penyinaran Penyinaran ini meliputi, panjang penyinaran, intensitas penyinaran dan kualitas sinar. Intensitas berkisar antara 600-1000 lux. Untuk pedoman praktis, rak berukuran lebar 40-50 cm dan panjang 100 cm dapat menggunakan 2 buah lampu TL 20 watt dan dipasang pada ketinggian 40 cm di atas kultur. 3. Ukuran wadah kultur Ukuran wadah yang digunakan mempengaruhi jumlah regeneran yang terbentuk, terutama pada tipe regenerasi melalui pucuk adventif dan pucuk aksilar. Jumlah regeneran lebih banyak pada wadah kultur yang lebih besar dalam periode kultur yang sama. Agar pengaruh lingkungan terkendali maka harus ditentukan cara pencahayaan yang diperlukan, baik dari intensitas maupun periodisisasi pencahayaannya. Harus diperhatikan dan dicatat fluktuasi perubahan temperatur.
2.2.5 Kultur Jaringan Pisang
Kultur jaringan adalah suatu usaha untuk menumbuhkan sel, jaringan, dan organ tanaman pada medium buatan secara aseptik dalam lingkungan yang terkendali. Pengadaan bibit dengan cara ini, sangat sesuai untuk usaha pisang dalam skala besar (industri). Pada umumnya media yang digunakan dalam kultur jaringan pisang ini adalah MS (Roedyarto, 1999 dan Gunawan, 1995).
Pisang umumnya diperbanyak dengan anakan. Anakan yang berdaun pedang lebih disenangi petani, sebab pohon pisang yang berasal dari anakan demikian akan menghasilkan tandan yang lebih besar pada panen pertamanya (tanaman induk). Bonggol atau potongan bonggol juga digunakan sebagai bahan perbanyakan. Tetapi jantung pisang juga merupakan eksplan yang menguntungkan karena mudah mendapatkannya dan resiko kontaminasi lebih kecil karena bukan berasal dari tanah dan tertutup rapat oleh kelopak bunga (Nisa dan Rodinah, 2005).
Kini telah dikembangkan kultur jaringan untuk perbanyakan secara cepat, melalui ujung pucuk yang bebas-penyakit. Cara ini telah dilaksanakan dalam skala komersial, tetapi adanya mutasi yang tidak dikehendaki menimbulkan kekhawatiran.
Dalam perbanyakan bibit pisang secara kultur jaringan, ada empat tahap yang harus dilalui yaitu, pertama, tahap inisiasi. Pada tahap ini eksplan membentuk kalus dan bertunas banyak. Kedua, tahap pelipatan tunas (multiplikasi) yaitu tunas yang sudah terbentuk dipisahkan kemudian ditumbuhkan dalam medium agar tumbuh tunas baru (perbanyakan sub kultur). Ketiga, tahap perakaran tunas (regenerasi planlet) dan tahap terakhir yaitu tahap aklimatisasi lingkungan (Sunarjono, 2002 dalam Wahyudi, 2004, hlm. 7).