6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Infeksi Nosokomial Istilah nosokomial berasal dari bahasa Yunani yaitu nosokomeion yang
berarti rumah sakit (nosos = penyakit, komeo = merawat). Infeksi nosokomial dapat diartikan infeksi yang berasal atau terjadi di rumah sakit. Infeksi yang timbul dalam kurun waktu 48 jam setelah dirawat di rumah sakit sampai dengan 30 hari lepas rawat dianggap sebagai infeksi nosokomial (Nasution, 2012). Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di negara miskin dan negara yang sedang berkembang. Survei prevalensi yang dilakukan dengan bantuan World Health Organization (WHO) pada 55 rumah sakit di 14 negara mewakili 4 wilayah WHO (Eropa, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat) menunjukkan rata-rata 8,7% pasien rumah sakit mendapatkan infeksi nosokomial. Dengan Asia Tenggara sebanyak 10,0% (Ducel et al., 2002). Di negara maju pun, infeksi yang didapat dalam rumah sakit terjadi dengan angka yang cukup tinggi. Misalnya, di AS, ada 20.000 kematian setiap tahun akibat infeksi nosokomial. Di seluruh dunia, 10% pasien rawat inap di rumah sakit mengalami infeksi yang baru selama dirawat. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada 2004 menunjukkan bahwa 9,8% pasien rawat inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat (Spiritia, 2006). Pasien akan terpapar dengan berbagai macam mikroorganisme selama ia dirawat di rumah sakit. Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada karakteristik mikroorganisme, resistensi terhadap zat-zat antibiotika, tingkat virulensi, dan banyaknya materi infeksius. Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur, dan parasit dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection) (Ducel et al., 2002).
Universitas Sumatera Utara
7
Tabel 2.1. Mikroorganisme Penyebab Infeksi Nosokomial (Nguyen, 2006) Lokasi
Jenis mikroorganisme
Persentase
Saluran kemih
Gram-negative enteric
50%
Jamur
25%
Enterococci
10%
Staphylococcus aureus
20%
Pseudomonas
16%
Coagulase-negative
15%
Luka operasi
Staphylococci Enterococci, jamur,
<10%
Enterobacter, dan Eschericia coli Darah
Coagulase-negative
40%
Staphylococci Enterococci
11,2%
Jamur
9,65%
Staphylococcus aureus
9,3%
Enterobacter species
6,2%
Pseudomonas
4,9%
Universitas Sumatera Utara
8
2.1.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial Terjadinya suatu penyakit termasuk infeksi nosokomial adalah merupakan interaksi 3 faktor yaitu: 1. Host (penderita) 2. Agent (kuman atau mikroorganisme) 3. Environment (lingkungan) Host adalah penderita yang dirawat di rumah sakit dan mempunyai kondisi yang lebih rentan terhadap invasi kuman dan mikroorganisme. Faktor yang penting diketahui antara lain: 1. Keadaan penderita yang memudahkan terjadinya infeksi, misalnya: keadaan umum yang buruk, adanya penyakit kronis yang lain, obesitas, anemia, dan lain-lain 2. Keadaan kulit penderita. Kulit yang rusak atau adanya lukanya akan mempertinggi kemungkinan terjadinya infeksi. Kulit yang normal saja sebenarnya sudah merupakan sumber kuman penyebab infeksi, oleh karena di kulit dijumpai 2 kelompok kuman yaitu: i. Kuman komensal yang berada dalam pori-pori kulit. Kuman ini jumlahnya dapat dikurangi, tetapi tidak dapat dihilangkan sama sekali dengan cara perawatan kulit dan pemakaian desinfektan ii. Kuman pendatang yang berasal dari lingkungan dan berada di permukaan. Kuman pendatang ini dapat dihilangkan dengan cara perawatan kulit dan pemakaian desinfektan Agent adalah kuman-kuman yang dijumpai di rumah sakit dan pada hakekatnya kuman-kuman ini lebih resisten (khususnya dalam kepekaannya terhadap satu atau banyak antibiotika) dibandingkan dengan kuman-kuman yang berada di luar rumah sakit.
Universitas Sumatera Utara
9
Environment adalah suatu lingkungan dimana host dan agent itu berada dan merupakan media untuk terjadinya invasi agent terhadap host. Lingkungan ini adalah lingkungan rumah sakit baik ruang rawat maupun benda-benda yang terdapat di ruangan itu. Dapat dimasukkan dalam kelompok lingkungan ini adalah: 1. Lamanya penderita dirawat di rumah sakit 2. Manusia yang berhubungan dengan penderita, baik pasien lainnya, pengunjung maupun petugas yang disamping dapat sebagai sumber penularan (carrier) ataupun sebagai pengantara (vehicle) 3. Sarana dan fasilitas perawatan dan pengobatan yang erat kaitannya dengan pola sterilisasi dan pengelolaan lingkungan (hygiene dan sanitasi) 4. Air, yang digunakan adalah safe water 5. Disposal (bahan-bahan atau limbah yang harus dibuang) yang diusahakan untuk tidak menjadi sumber infeksi 6. Udara seharusnya diupayakan agar tetap bersih, mengalir dan dengan kelembaban yang sesuai dan baik, serta bila perlu untuk ruangan-ruangan tertentu dilakukan filtrasi (Pandjaitan, 2001) Secara umum faktor yang mempengaruhi terjadinya nosokomial terdiri atas 2 bagian besar, yaitu: 1. Faktor endogen (umur, seks, penyakit penyerta, daya tahan tubuh, dan kondisikondisi lokal) 2. Faktor eksogen (lama penderita dirawat, kelompok yang merawat, alat medis, serta lingkungan) Untuk mudahnya bagaimana seorang pasien mendapat infeksi nosokomial selama dirawat di rumah sakit dapat diringkas sebagai berikut: 1. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui dirinya sendiri (auto infeksi) 2. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui petugas yang merawat di rumah sakit 3. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui pasien-pasien yang dirawat di tempat atau ruangan yang sama di rumah sakit tersebut
Universitas Sumatera Utara
10
4. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui keluarga pasien yang berkunjung ke rumah sakit tersebut 5. Pasien mendapat infeksi nosokomial melalui peralatan yang dipakai di rumah sakit tersebut 6. Pasien mendapat infeksi nosokmial melalui peralatan makanan yang disediakan rumah sakit ataupun yang didapatnya dari luar rumah sakit 7. Disamping ke-6 cara terjadinya infeksi nosokomial seperti yang dinyatakan di atas, maka faktor lingkungan tidak kalah penting sebagai faktor penunjang untuk terjadinya infeksi nosokomial, faktor lingkungan tersebut adalah air, bahan yang harus dibuang (disposial), dan udara (Parhusip, 2005)
2.1.2. Cara Penularan Infeksi Nosokomial Penularan oleh patogen di rumah sakit dapat terjadi melalui beberapa cara: 1. Penularan melalui kontak merupakan bentuk penularan yang sering dan penting infeksi nosokomial. Ada 3 bentuk, yaitu: i. Penularan melalui kontak langsung: melibatkan kontak tubuh dengan tubuh antara pejamu yang rentan dengan yang terinfeksi ii. Penularan melalui kontak tidak langsung: melibatkan kontak pada pejamu yang rentan dengan benda yang terkontaminasi misalnya jarum suntik, pakaian, dan sarung tangan iii. Penularan melalui droplet, terjadi ketika individu yang terinfeksi batuk, bersin, berbicara, atau melalui prosedur medis tertentu, misalnya bronkoskopi 2. Penularan melalui udara yang mengandung mikroorganisme yang mengalami evaporasi, atau partikel debu yang mengandung agen infeksius. Mikroorganisme yang terbawa melalui udara dapat terhirup pejamu yang rentan yang berada pada ruangan yang sama atau pada jarak yang jauh dari sumber infeksi. Sebagai contoh mikroorganisme Legionella, Mycobacterium tuberculosis, Rubeola, dan virus varisela 3. Penularan melalui makanan, air, obat-obatan dan peralatan yang terkontaminasi.
Universitas Sumatera Utara
11
4. Penularan melalui vektor, misalnya nyamuk, lalat, tikus, dan kutu (Nasution, 2012)
2.1.3. Pencegahan Terjadinya Infeksi Nosokomial Pencegahan dari infeksi nosokomial ini membutuhkan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring, dan program yang termasuk: 1. Membatasi transmisi organisme dari atau antara pasien dengan cara mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan desinfektan 2. Mengontrol resiko penularan dari lingkungan 3. Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi 4. Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasif 5. Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit, dan mengontrol penyebarannya (Ducel et al., 2002)
2.2.
Bakteri
2.2.1. Definisi Bakteri Bakteri termasuk dalam golongan prokariota, ukurannya sangat kecil (dalam ukuran mikron) dan tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Bentuk bakteri bermacam-macam, ada yang berbentuk bulat (kokus), batang (basil), dan ada yang berbentuk spiral. Inti dari bakteri terdiri atas DNA dan RNA, dan tidak memiliki
pembungkus
inti.
Dinding
selnya
terdiri
atas
peptidoglikan,
berkembangbiak secara belah pasang, dapat dibiakkan pada perbenihan buatan serta dapat dihambat dengan antibiotika. Beberapa bakteri ada yang dapat bergerak aktif karena memiliki flagela (Dzen et al., 2003). Bakteri adalah organisme terkecil yang dapat hidup bebas. Masing-masing spesies bakteri yang berbeda yang mendiami atau menginfeksi manusia berkisar dari 0,1 sampai 10 µm. Sebagian besar bakteri berbentuk bulat memiliki diameter 0,5 sampai 2 µm, dan sel berbentuk batang pada umumnya 0,2 sampai 2 µm. ukuran yang kecil dan hampir tidak berwarna merupakan sifat dasar dari bakteri
Universitas Sumatera Utara
12
sehingga membutuhkan pewarnaan untuk visualisasi dengan mikroskop cahaya atau menggunakan mikroskop elektron (Pottinger et al., 2014). Bentuk morfologi yang utama adalah bulat, batang, bengkok atau batang bengkok, dan spiral. Bakteri berbentuk bulat atau oval disebut cocci dan tersusun bergerombol atau rantai. Bakteri berbentuk batang disebut bacilli dan dapat tersusun lurus atau melengkung. Bacilli yang kecil dan pleomorfik menyerupai cocci biasa disebut coccobacilli. Bakteri yang berbentuk spiral dapat kaku atau fleksibel dan bergelombang (Pottinger et al., 2014).
2.2.2. Struktur Bakteri
Gambar 2.1. Struktur Bakteri (Pottinger et al., 2014) 1. Inti atau nukleus Badan inti tidak mempunyai dinding inti atau membran inti. Di dalamnya terdapat benang DNA (DNA fibril). Benang DNA ini disebut kromosom yang panjangnya kira-kira 1 mm (Assani, 2010). Kromosom sebagai pusat informasi genetik yang mengatur semua kegiatan dari bakteri tersebut, termasuk metabolisme maupun yang
Universitas Sumatera Utara
13
menentukan sifat resistensi terhadap suatu antimikroba. Sel bakteri terkadang juga mempunyai materi genetik ekstrakromosom yang berupa small cyclic DNA yang berada diluar inti dan disebut plasmid. Plasmid secara otonom dapat mengadakan replikasi serta dapat berpindah tempat atau dipindahkan dari satu bakteri ke bakteri yang lain. Contoh plasmid adalah R-plasmid yang membawa sifat resisten terhadap suatu antibiotika (Dzen et al., 2003). 2. Sitoplasma Sel prokariota tidak mempunyai mitokondria atau kloroplas sehingga enzim-enzim untuk transpor elektron tidak bekerja di membran sel tetapi pada lamelae yang berada di bawah membran sel (Assani, 2010). 3. Membran Sitoplasma Disebut juga membran sel yang komposisinya terdiri dari fosfolipid dan protein. Membran sel dari semua jenis prokariota tidak mengandung sterol, kecuali Genus Mycoplasma. Di tempat-tempat tertentu pada membran sitoplasma terdapat cekungan atau lekukan ke dalam (convoluted invagination) yang disebut mesosom. Ada dua jenis mesosom: i.
Septal mesosom: berfungsi dalam pembelahan sel. Kromosom bakteri (DNA) melekat pada septal mesosom.
ii. Lateral mesosom (Assani, 2010). Membran sitoplasma adalah lapisan tipis yang terletak disebelah dalam dinding sel, tersusun oleh 60% protein dan 40% lipid yang umumnya berupa fosfolipid. Membran sitoplasma merupakan barier yang fungsinya mengatur keluar masuknya bahan-bahan dari dalam sel atau dari luar sel, dan hanya bahan-bahan tertentu saja dapat melewatinya. Sifat tersebut dinamakan semipermeabilitas membran sitoplasma. Bahan-bahan yang dapat melewati membran sitoplasma antara lain adalah air, asam amino, beberapa gula sederhana; sedangkan protein tidak dapat melewati membran sitoplasma karena molekulnya besar. Bahanbahan yang larut dalam lemak dengan mudah dapat keluar masuk sel, sedangkan ion-ion masuk ke dalam sel melalui kanal-kanal tertentu.
Universitas Sumatera Utara
14
Masuknya bahan-bahan ke dalam sel juga dapat menggunakan protein carrier (protein pembawa). Fungsi membran sitoplasma yang lain adalah mengatur masuknya bahan-bahan makanan atau nutrisi yang diperlukan bakteri untuk menghasilkan energi. Pada membran sitoplasma bakteri, dapat ditemukan enzim-enzim yang mampu mengkatalisir reaksi kimia yang berkaitan dengan
proses
pemecahan
(breakdown)
bahan
makanan
untuk
menghasilkan energi. Membran sitoplasma juga merupakan target dari beberapa jenis antimikroba, misalnya golongan polimiksin. Sedangkan, bahan-bahan kimia yang dapat merusak dinding sel juga dapat merusak membran sitoplasma misalnya alkohol dan amonium kwaterner. Selain itu, membran sitoplasma juga ikut berperan dalam reaksi pewarnaan (Dzen et al., 2003). 4. Dinding Sel Struktur dan fungsi dinding bakteri adalah tanda dari prokariot. Dinding sel bertanggung jawab atas bentuk sel bakteri. Dinding ini melindungi sel dari gangguan mekanik dan dari ledakan yang disebabkan oleh tekanan turgor akibat hipertonisitas di dalam sel yang berhubungan dengan lingkungan (Pottinger et al., 2014). Tekanan osmotik di dalam bakteri berkisar antara 5-20 atmosfer, karena adanya transpor aktif yang menyebabkan tingginya konsentrasi larutan di dalam sel. Karena adanya dinding sel kuman yang relatif sangat kuat, maka meskipun tekanan osmotiknya tinggi, sel kuman tidak pecah (Assani, 2010). Dinding sel bakteri terlihat kuat karena adanya komposisi lapisan
yang
mengandung
berbagai
substansi
misalnya
murein,
mucopeptide, atau peptidoglikan (semua adalah sinonim) (Brooks et al., 2001). Selain berfungsi untuk mempertahankan bentuk bakteri, dinding sel juga berfungsi dalam menentukan sifat pewarnaan, antigenisitas maupun patogenisitas bakteri. Struktur dinding sel bakteri Gram positif berbeda dengan bakteri Gram negatif. Dinding sel bakteri dapat dirusak
Universitas Sumatera Utara
15
oleh antibiotika yang bekerja pada dinding sel misalnya golongan penisilin dan sefalosporin. Bahan lain yang dapat merusak dinding sel bakteri antara lain adalah enzim lisozim yang terdapat pada air mata, lapisan mukosa, dan saliva (Dzen et al., 2003). Dinding sel memainkan peran penting dalam pembelahan sel dan juga membantu memulai biosintesanya sendiri. Pada lapisan dinding sel terdapat elemen antigenik utama permukaan sel, dan salah satu komponennya lipopolisakarida dinding sel gram negatif yang berfungsi aktif sebagai endotoksin nonspesifik dari bakteri gram negatif (Brooks et al., 2001). Endotoksin akan dilepas bila bakteri tersebut selnya rusak atau bakteri tersebut mati (Dzen et al., 2003). 5. Kapsul Banyaknya sel bakteri mengelilingi dirinya dengan satu hidrofilik gel atau jenis lainnya. Kapsul hidrofilik biasanya polisakarida. Kapsul memberikan beberapa proteksi untuk bakteri. Tetapi fungsi utamanya pada bakteri patogen adalah proteksi dari sistem imun. Kapsul tidak berperan dalam pertumbuhan dan multiplikasi. Sintesis kapsul sangat bergantung pada kondisi pertumbuhan (Pottinger et al., 2014). Kapsul merupakan suatu lapisan tipis, berada diluar dinding sel dan secara kimiawi tersusun atas polisakharida, polipeptida, atau keduaduanya. Kapsul tidak dimiliki oleh semua bakteri dan kekompleksan susunan kimiawinya tergantung dari spesies bakteri. Kapsul dapat melindungi bakteri dari proses fagositosis. Kapsul juga menentukan derajat keganasan atau virulensi bakteri, artinya bakteri yang mempunyai kapsul lebih virulen dibandingkan yang tidak memiliki kapsul. Selain itu, kapsul juga bersifat antigenik (Dzen et al., 2003). 6. Flagel Flagel adalah bagian kuman yang berbentuk seperti benang, yang umumnya terdiri dari protein dengan diameter 12-30 nanometer. Flagel adalah alat pergerakan (Assani, 2010). Flagela tersusun dari protein yang disebut flagelin. Flagel dapat menyebar di sekeliling sel (disebut
Universitas Sumatera Utara
16
peritrichous dari bahasa Yunani trichos adalah rambut), pada satu kutub (polar atau monotrichous), atau pada kedua ujung sel (lophotrichous). Panjangnya sampai 20 µm, tipis, kaku, dan masing-masing berbentuk spiral (Pottinger et al., 2014). 7. Pili atau fimbriae Pili atau fimbriae adalah struktur tambahan yang melekat pada permukaan dinding sel tetapi lebih pendek dari flagella serta lebih halus. Pili tersusun dari protein yang disebut pilin dan biasanya dimiliki oleh bakteri Gram negatif. Pili yang berfungsi sebagai alat untuk menempelkan dirinya pada sel hospes disebut colonizing factor. Selain itu, ada pili yang berperan di dalam proses pemindahan materi genetik dari salah satu bakteri ke bakteri yang lain, disebut sex pili (Dzen et al., 2003). 8. Endospora Beberapa bakteri Gram positif dalam keadaan tertentu dapat membentuk resting cells yang disebut endospora (spora). Pembentukan spora akan terjadi apabila nutrisi esensial yang diperlukan tidak memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan bakteri. Prosesnya disebut sporulasi. Spora bukan merupakan alat reproduksi dan apabila keadaan menjadi baik kembali atau nutrisi esensial telah terpenuhi maka spora tersebut akan berubah menjadi bakteri lagi (bentuk vegetatif) dan prosesnya disebut germinasi. Dalam dunia kedokteran, spora banyak menimbulkan masalah karena sulit dirusak baik oleh pemanasan maupun bahan kimia. Selain itu, spora juga sulit diwarnai kecuali dengan pewarnaan khusus (Dzen et al., 2003). Endospora tersebut kecil, sangat kering, secara metabolik tidak bergerak yang dihasilkan oleh beberapa bakteri sebagai respon terhadap keterbatasan nutrien. Beberapa bakteri pembentuk spora sangat penting dalam kedokteran, menyebabkan beberapa penyakit seperti antraks, gas gangren, tetanus, dan botulisme (Pottinger et al., 2014).
Universitas Sumatera Utara
17
2.2.3. Klasifikasi Bakteri Tujuan dari klasifikasi mikroorganisme adalah untuk menentukan potensi patogeniknya. Bakteri dapat diidentifikasi berdasarkan serangkaian sifat-sifat imunologis fisik atau sifat-sifat molekular. 1. Reaksi Gram: bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif memberi respons terhadap antibiotik yang berbeda. Bakteri lain (misalnya Mycobacteria) mungkin memerlukan teknik pewarnaan khusus. 2. Bentuk sel (kokus, basilus, atau spiral). 3. Endospora: keberadaan, bentuk, dan posisinya di dalam sel bakteri (terminal, subterminal, atau sentral). 4. Preferensi atmosfer: organisme aerob memerlukan oksigen; organisme anaerob memerlukan atmosfer dengan sangat sedikit atau tanpa oksigen. Organisme yang dapat tumbuh pada kondisi dengan atau tanpa oksigen dikenal sebagai anaerob fakultatif. Organisme mikroaerofil menyukai lingkungan bertekanan oksigen
rendah
organisme
kapnofil
menyukai
lingkungan
berkadar
karbondioksida tinggi. 5. Kekhususan (fastidiousness): kebutuhan akan media khusus atau pertumbuhan intraseluler khusus. 6. Enzim kunci: contohnya, tidak adanya fermentasi laktosa membantu identifikasi Salmonella, urease membantu identifikasi Helicobacter. 7. Reaksi serologis: interaksi antara antibodi dengan struktur permukaan (misalnya subtipe dari Salmonella, Haemophilus, Meningococcus, dan banyak lagi). 8. Sekuens DNA: sekuens DNA ribosom 16S saat ini merupakan elemen kunci dalam klasifikasi (Gillespie and Bamford, 2007).
Universitas Sumatera Utara
18
2.2.4. Kelompok Bakteri yang Penting Secara Medis 1. Coccus Gram-positif Dibagi menjadi dua kelompok utama: Staphylococcus (katalasepositif), contoh patogen utamanya yaitu Staphylococcus aureus dan Streptococcus
(katalase-negatif),
contoh
patogen
utamanya
yaitu
Streptococcus pyogenes, yang merupakan agen penyebab nyeri tenggorok dan demam reumatik, dan Streptococcus agalactiae, penyebab meningitis neonatus dan pneumonia. 2. Coccus Gram-negatif Meliputi Neisseria meningitidis yang patogenik, merupakan penyebab penting meningitis dan septikemia, dan Neisseria gonorrhoeae, merupakan agen penyebab uretritis (gonore). 3. Coccobasillus Gram-negatif Meliputi patogen saluran napas Haemophilus dan Bordetella dan agen zoonotik, seperti Brucella dan Pasteurella. 4. Basillus Gram-positif Dibagi menjadi basilus yang membentuk spora dan basilus yang tidak membentuk spora. Kelompok yang membentuk spora dibagi lagi menjadi organisme aerob (Bacillus) dan organisme anaerob (Clostridium). Patogen-patogennya meliputi Bacillus anthracis yang menyebabkan antraks, dan Clostridia yang menyebabkan gas gangrene, tetanus, kolitis pseudomembranosa, dan botulismus. Patogen yang tidak membentuk spora meliputi Listeria dan Corynebacteria. 5. Basillus Gram-negatif Meliputi keluarga bakteri fakultatif Enterobacteriaceae, yang merupakan bagian dari flora normal pada manusia dan hewan dan dapat ditemukan di lingkungan. Termasuk dalam kelompok ini yaitu banyak genus patogenik: Salmonella, Shigella, Escherichia, Proteus, dan Yersinia. Pseudomonas, suatu jenis saprofit lingkungan yang secara alami resisten terhadap antibiotik, telah menjadi patogen penting di rumah sakit.
Universitas Sumatera Utara
19
Legionella adalah spesies lain yang ada di lingkungan yang hidup di air, tetapi menyebabkan infeksi pada manusia jika kondisinya memungkinkan. 6. Bakteri spiral Termasuk
Helicobacter,
suatu
patogen
kecil
saluran
gastrointestinal yang berkoloni di lambung, menyebabkan ulkus lambung dan ulkus duodenum serta kanker lambung, dan Campylobacter spp. Yang menyebabkan diare akut. Borrelia meningkatkan terjadinya demam relaps (B. duttoni dan B. recurrentis) dan suatu penyakit kulit kronik pada sendi kulit dan sistem saraf pusat, penyakit Lyme (B. burgdorferi). Leptospira merupakan agen zoonotik yang menyebabkan sindrom meningitis akut yang dapat disertai dengan gagal ginjal dan hepatitis. Treponema termasuk sebagai agen penyebab sifilis (T. pallidum). 7. Rickettsia, Chlamydia, dan Mycoplasma Dari ketiganya, hanya Mycoplasma yang dapat diisolasi pada media buatan yang lainnya memerlukan isolasi pada kultur sel atau diagnosis melalui teknik molekular atau serologis (Gillespie and Bamford, 2007).
2.3.
Staphylococcus Staphylococcus berasal dari perkataan staphyle yang berarti kelompok
buah anggur dan kokus yang berarti benih bulat. Diameter kuman antara 0,8-1,0 mikron. Kuman ini sering ditemukan sebagai kuman flora normal pada kulit dan selaput lendir pada manusia. Beberapa jenis kuman ini dapat membuat enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan (Warsa, 2010). Genus Staphylococcus adalah bakteri Gram positif, berbentuk kokus atau sferis (bulat), umumnya membentuk formasi ireguler seperti buah anggur. Mudah tumbuh dalam berbagai media, memfermentasi karbohidrat dan menghasilkan pigmen berwarna putih hingga kuning tua (keemasan). Sebagian merupakan bagian dari flora normal kulit dan mukosa yang jika dalam keadaan inang yang lemah imunitasnya dapat menimbulkan infeksi oportunistik berupa radang supuratif, abses, dan septikemia yang fatal.
Universitas Sumatera Utara
20
Staphylococcus
yang
patogen
mampu
meng-hemolisis
darah,
mengkoagulasi plasma, dan memproduksi berbagai enzim serta toksin. Genus heat-stable staphylococcal enterotoxin dapat menyebabkan keracunan makanan (food poisoning). Genus ini cepat membentuk galur yang resisten terhadap berbagai antimikroba dan menjadi sulit diobati. Sedikitnya ada 35 spesies dalam Genus Staphylococcus tetapi hanya 3 yang penting secara medis yaitu Staphylococcus
aureus,
Staphylococcus
epidermidis,
dan
Staphylococcus
saprophyticus (Yuwono, 2012). Meskipun Staphylococci cenderung bergerombol, beberapa sel tunggal, berpasangan, dan rantai pendek juga dapat terlihat. Staphylococci memiliki tipe struktur dinding sel Gram positif. Seperti semua cocci yang penting secara medis, bakteri ini tidak berflagel, tidak bergerak, dan tidak membentuk spora. Staphylococci tumbuh baik secara aerob tetapi termasuk fakultatif anaerob. Berbeda dengan Streptococci, Staphylococci memproduksi katalase. Lebih dari 12 spesies Staphylococci membentuk koloni pada manusia dan S. aureus lebih virulen (Pottinger et al., 2014). Spesies Staphylococcus yang bersifat coagulase-negative merupakan flora normal manusia, hanya kadang-kadang menyebabkan infeksi oportunistik yang umumnya berhubungan dengan penggunaan berbagai peralatan medis khususnya pada bayi, lansia dan pasien yang immunocompromised. Staphylococcus mudah tumbuh dalam berbagai media pada kondisi aerobic dan suhu 37oC. Bila kita ingin mendapatkan koloni yang berpigmen maka paling baik ditumbuhkan pada suhu 20-25oC. Koloni pada media padat berbentuk bulat, permukaannya menonjol, halus dan sedikit berkilauan. Staphylococcus
mampu memfermentasi karbohidrat dan menghasilkan
asam laktat serta gas dan menghasilkan enzim proteolitik. Staphylococcus cukup tahan terhadap kondisi kering dan panas hingga suhu 50oC selama 30 menit dan tahan terhadap cairan hipertonik NaCl 9%. Kepekaan terhadap antimikroba bervariasi, resistensi kromosomal terjadi terhadap golongan nafcillin (methicillin dan oxacillin) yang disebut Methicillin Resistant S. aureus (MRSA), sebagian
Universitas Sumatera Utara
21
galur resisten terhadap vankomisin yang disebut Vancomycin Resistant S aureus (VRSA). Staphylococcus memiliki antigen pada dinding sel berupa polisakarida dan protein. Peptidoglycan yaitu suatu polimer polisakarida merupakan pembentuk dinding sel sehingga dinding sel kuat dan kaku. Materi ini dapat dirusak oleh zat asam kuat atau oleh lisozim. Staphylococcus dapat menimbulkan penyakit karena kemampuannya bermultiplikasi dan menyebar ke berbagai jaringan, memproduksi substansi ekstraseluler berupa enzim dan toksin. Toksin tersebut sebagian disandi oleh gengen di plasmid dan sebagian oleh gen-gen di kromosom. Katalase adalah enzim yang mampu mengkonversi hydrogen peroxide menjadi air dan oksigen. Uji katalase digunakan untuk membedakan Staphylococcus (katalase positif) dengan Streptococcus (katalase negatif). Manifestasi klinis infeksi Staphylococcus adalah radang supuratif atau abses. Infeksi diakibatkan oleh kontaminasi pada luka misalnya luka pascaoperatif atau akibat trauma seperti osteomielitis yang terjadi setelah fraktur atau meningitis setelah trauma kepala (Yuwono, 2012).
2.3.1. Staphylococcus aureus Nama spesies aureus diberikan oleh Rosenbach karena pada biakan murni koloni bakteri ini memiliki pigmen berwarna kuning keemasan. Staphylococcus aureus bersifat coagulase-positive dan merupakan patogen utama pada manusia. S. aureus umumnya membentuk koloni berwarna abu-abu hingga kuning keemasan. Sebagaian galur S. aureus memiliki kapsul yang dapat menghambat fagositosis oleh sel PMN. Mayoritas galur S. aureus memiliki koagulase dan clumping factor pada permukaan dinding selnya (Yuwono, 2012). S. aureus merupakan contoh patogen yang sukses beradaptasi. Hal ini diperlihatkan dengan kemampuan mengkoloni dan mengambil atau mentransfer materi genetik yang membawa berbagai faktor virulensi. Faktor virulensi S. aureus dikelompokkan menjadi dua yaitu surface associated factor yang bertanggung jawab terhadap pengenalan reseptor, perlekatan dan penghindaran
Universitas Sumatera Utara
22
dari sistem imun. Faktor kedua adalah secreted factor yang dapat berinteraksi dengan zat atau substansi milik inang (host) dan menyebabkan kerusakan jaringan. Sebagian mekanisme faktor virulen telah berhasil dijelaskan sedangkan sebagian lagi masih tetap menjadi misteri, yang pasti bahwa keseluruhan faktor virulen tersebut bekerja dalam suatu sistem jaringan (network) yang demikian kompleks (Yuwono, 2012). Staphylococcus aureus memproduksi koagulase yang mengkatalisis perubahan fibrinogen menjadi fibrin dan dapat membantu organisme ini untuk membentuk barisan perlindungan. Bakteri ini juga memiliki reseptor terhadap permukaan sel pejamu dan protein matriks (misalnya fibronektin, kolagen) yang membantu organisme ini untuk melekat. Bakteri ini memproduksi enzim litik ekstraseluler (misalnya lipase), yang memecah jaringan pejamu dan membantu invasi. Beberapa strain memproduksi eksotoksin poten, yang menyebabkan sindrom syok toksik. Enterotoksin juga dapat diproduksi, yang menyebabkan diare (Gillespie and Bamford, 2007).
2.3.2. Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) MRSA atau Methicilin-Resistant Staphylococcus aureus ialah bakteri Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik jenis metisilin. Sampai saat ini, MRSA secara umum merupakan suatu patogen nosokomial yang menyebabkan infeksi dapatan-rumah sakit, tetapi galur MRSA saat ini secara luas diisolasi dari infeksi dapatan di komunitas juga, misalnya berasal dari pelayanan kesehatan umum (Nurkusuma, 2009). Meskipun berdasarkan namanya MRSA berarti S. aureus yang resisten terhadap metisilin tetapi bukti empiris menunjukkan bahwa bakteri ini tidak hanya resisten terhadap metisilin melainkan juga resisten terhadap berbagai antimikroba atau bersifat multiresisten. Sebagai akibat dari infeksi MRSA yang multiresisten ini maka pemilihan antimikroba untuk terapi menjadi semakin sulit. Obat pilihan untuk terapi infeksi MRSA adalah vankomisin. Namun sejak tahun 1996 timbul kekhawatiran karena telah ditemukan penyebaran MRSA yang menurun kepekaannya terhadap vankomisin (Yuwono, 2010).
Universitas Sumatera Utara
23
Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) atau healthcare associated MRSA (HA-MRSA) ditemukan pertama kali di Inggris oleh Jevons pada tahun 1961. Bakteri penyebab infeksi nosokomial ini bersifat multiresisten, yaitu kebal terhadap semua jenis antimikrob golongan betalaktam dan terhadap lebih dari 2 macam antimikrob nonbetalaktam. Spektrum infeksi yang ditimbulkan oleh MRSA bersifat sangat luas, yaitu mulai dari infeksi kulit yang ringan hingga infeksi berat seperti endokarditis dan sepsis. Pada tahun 1998 di Amerika Serikat dilaporkan adanya galur baru yang diberi nama communityassociated MRSA (CA-MRSA) yang bersifat nonmultiresisten, yaitu hanya kebal terhadap antimikrob betalaktam. Sebagian ahli menduga CA-MRSA merupakan turunan HA-MRSA, sedangkan sebagian lain menduga bahwa CA-MRSA merupakan galur tersendiri yang terbentuk secara alami di luar lingkungan rumah sakit (Yuwono et al., 2011). Metisilin merupakan penisilin modifikasi yang diperkenalkan pada tahun1960-an. Antibiotik ini digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus yang resisten terhadap sebagian besar penisilin. Pada tahun 1961 strain S. aureus yang resisten terhadap metisilin ditemukan (Sulistiyaningsih, 2010). Resistensi kromosomal MRSA disebabkan paparan antimikroba atau antibiotik yang tidak tepat dosis (dosis tinggi), sehingga bakteri akan memproduksi protein pengikat penisilin atau Penicillin Binding Proteins (PBP 2a) yang mengganggu afinitas antibiotik terhadap PBP sebenarnya. Reaksi antibiotik dengan PBP yang sebenarnya dapat menghambat sintesis peptidoglikan dan formasi dinding sel bakteri, sehingga bakteri lisis. Sebaliknya, reaksi antimikroba dengan PBP 2a tidak menimbulkan efek tersebut (Nurkusuma, 2009).
Universitas Sumatera Utara