5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diet Menurut Wahid (2009) diet adalah segala usaha dan perjuangan seseorang untuk membuat tubuh menjadi sehat dan ideal sesuai dengan keinginan dirinya. Menurut Oxford Dictionaries (2013) diet adalah pola makan seseorang yang berbeda dimana seseorang membatasi atau mengatur jumlah makanan mereka untuk
kepentingan penurunan berat badan atau alasan kesehatan. Menurut
Cambridge Dictionaries (2013), diet adalah sebuah pola makan dimana seseorang membatasi jumlah makannya atau memakan makanan tertentu dengan tujuan untuk menjadi lebih kurus atau untuk kesehatan. Diet banyak dilakukan orang dengan tujuan sebagai berikut: menjaga kestabilan tubuh, menjaga dan meningkatkan kesehatan tubuh, menjadi langsing, dan memperindah bentuk tubuh (Abdul Wahid, 2009)
2.1.1. Diet Sehat Menurut Harvard School of Public Health (2013) pola makan dalam satu piring makanan yang baik (healthy eating plate) adalah apabila terdiri dari : 1. Buah buahan dan sayur sayuran Setengah isi dari piring yang kita makan terisi dengan buah-buahan dan sayur-saturan. Semakin berwarna dan semakin bervariasi jenis buah-buahan dan sayursayuran semakin baik. Kentang dan french fries tidak terhitung sebagai sayur sayuran dalam healthy eating plate, karena mereka memiliki kadar karbohidrat yang tinggi.
Universitas Sumatera Utara
6
2. whole grains whole grains mengisi dari seperempat bagian dari isi piring yang akan kita makan. Whole wheat, brown rice, dan makanan lain yang terbuat dari bahan tersebut harus mengisi seperempat piring makanan sehari hari. Makanan tersebut nantinya akan memiliki efek yang kecil terhadap kadar gula darah dibandingkan dengan nasi putih dan jenis refined grains lainnya. 3. Sumber protein yang sehat Sumber-sumber protein yang sehat mengisi seperempat dari isi piring yang akan kita makan. Pilihlah ikan, ayam, atau kacang-kacangan karena sumber makanan tersebut memiliki nutrisi yang baik untuk kesehatan, seperti asam lemak omega 3 pada ikan yang berguna untuk kesehatan jantung dan serat pada kacang-kacangan yang baik untuk pencernaan. Batasi daging merah seperti daging sapi, lembu, dan babi, serta hindari daging yang telah diolah, seperti sosis, nugget, dan bacon. Sumber makanan tersebut jika dimakan secara terus-menerus akan meningkatkan resiko penyakit jantung dan diabetes tipe 2. 4. Penggunakan minyak tanaman yang sehat Gunakan minyak tanaman seperti olive, jagung, dan bunga matahari dalam memasak. Batasi penggunaan mentega dalam memasak. 5. Minum air putih, kopi, atau teh Batasi jus buah menjadi satu gelas perhari karena mengandung gula yang tinggi. Hindari minuman dengan gula yang tinggi karena minuman tersebut hanya mengandung kalori yang tinggi tanpa nutrisi yang bermakna.
Universitas Sumatera Utara
7
6. Tetap aktif beraktivitas Tetap aktif sangat penting untuk menjaga berat badan. Lakukan olahraga yang anda sukai secara teratur dan masukkan jam olahraga dalam jadwal harian anda.
2.1.2. Diet pada Remaja Remaja dikategorikan rentan terhadap masalah gizi. Menurut Arisman (2003), ada tiga alasan mengapa remaja dikategorikan rentan: pertama, remaja membutuhkan energi dan zat gizi yang lebih banyak untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh mereka, kedua, remaja harus melakukan penyesuaian akan masukan energi dan zat gizi terhadap gaya hidup dan kebiasaan mereka, ketiga, kehamilan, alkohol, obat obatan, keikutsertaan dalam olahraga, dan media akan mempengaruhi kebutuhan gizi mereka. Remaja belum sepenuhnya matang, baik secara fisik, kognitif, dan psikososial. Dalam masa pencarian identitas ini, remaja cepat sekali terpengaruh oleh lingkungan. Kegemaran yang tidak lazim, seperti pilihan untuk menjadi vegetarian ataupun food fadism, merupakan contoh keterpengaruhan remaja terhadap lingkungannya. Kecemasan akan bentuk tubuh membuat remaja sengaja tidak makan yang tidak jarang berujung pada anoreksia nervosa. Kebiasaan ini dipengaruhi oleh keluarga, teman, dan media. Teman sebaya berpengaruh besar pada remaja dalam hal memilih makanan. Ketidakpatuhan terhadap teman dikhawatirkan dapat menyebabkan remaja merasa terkucil dan merusak rasa percaya diri mereka (Arisman, 2003) Berdasarkan suatu penelitian pada 4046 remaja putri pada SMA di amerika serikat mengenai diet pada remaja menunjukkan bahwa 43% remaja melakukan diet dengan motivasi untuk memperbaiki bentuk tubuh mereka, 25% remaja melakukan diet karena mereka merasa tubuh mereka terlalu berat atau merasa pakaian mereka sudah tidak muat lagi, 14% remaja melakukan diet berdasarkan rekomendasi dokter, keluarga, atau teman teman mereka, 7% remaja
Universitas Sumatera Utara
8
melakukan diet karena suatu kejadian tertentu yang memaksa mereka melakukan diet, seperti tarian tertentu dan acara tertentu, 6% remaja melakukan diet karena mereka merasa harus melakukan diet, 3% remaja melakukan diet dengan alasan kesehatan, dan sisanya karena alasan lain ataupun tidak menjawab (Dwyer, Feldman, & Mayer, 1967).
2.1.3. Gangguan Perilaku Diet Anorexia nervosa dan bulimia nervosa adalah gangguan makan yang mengandung pola makan abnormal. Menurut Papalia (2011) anorexia nervosa adalah gangguan makan yang ditandai dengan pelaparan diri sedangkan bulimia nervosa adalah gangguan makan dimana seseorang secara reguler mengkonsumsi makanan dalam jumlah besar kemudian mengeluarkan kembali makanan tersebut dari tubuhnya dengan menggunakan obat pencahar, memuntahkan dengan sengaja, atau melakukan latihan fisik secara berlebihan. Orang dengan anorexia nervosa tidak ingin atau tidak dapat menjaga berat tubuh normal mereka. Mereka memiliki ketakutan berlebihan akan kenaikan berat badan meskipun mereka memiliki berat badan yang sangat rendah. Mereka memiliki pandangan yang salah mengenai bentuk tubuh. Wanita dengan anorexia nervosa akan mengalami gangguan menstruasi dengan tidak adanya menstruasi dalam tiga sikllus normal (Halgin & Whitbourne, 2009). Orang dengan bulimia nervosa akan memakan makanan dalam jumlah yang besar dan mengkompensasi jumlah kalori yang masuk dengan memuntahkan makanan tersebut atau dengan cara ektrim lainnya. Mereka akan memakan jumlah makanan yang lebih besar dari kabanyakan orang, bahkan kehilangan kendali atas dirinya mengenai makanan yang mereka makan. Orang dengan bulimia nervosa akan memuntahkan makanan yang mereka makan tadi atau ada yang melakukan aktivitas fisik secara berlebihan (Halgin & Whitbourne, 2009). Evaluasi diri yang salah terhadap bentuk tubuh dan rendahnya rasa percaya akan menimbulkan kecemasan dan depresi pada seseorang. Kecemasan
Universitas Sumatera Utara
9
ini akan terus bertumbuh dan pada akhirnya memaksa seseorang untuk melakukan diet. Tekanan sosial terhadap bentuk tubuh yang kurus juga akan menimbulkan pandangan negatif ada seseorang terhadap bentuk tubuh dirinya yang pada akhirnya memaksa seseorang untuk melakukan diet. Diet yang belebihan akan memicu seseorang untuk menimbulkan kondisi anorexia nervosa atau bulimia nervosa (Nolen & Hoeksema, 2007)
2.2. Remaja Menurut Sutejo (2000) masa remaja adalah masa pertumbuhan anak menjadi dewasa, masa terjadi perkembangan seksual, atau masa dalam kehidupan yang dimulai dengan terjadinya sifat sifat seksual sekunder yang pertama sampai pada masa akhir pertumbuhan somatik. Menurut Kliegman (2007) masa remaja adalah masa dimana seseorang berada antara 10 – 20 tahun dengan perubahan cepat bentuk tubuh, psikologis, dan fungsi sosial. Mengutip dari WHO (2013) masa remaja adalah suatu periode antara 10 – 19 tahun yang ditandai dengan perubahan fisik, psikologis, dan sosial. Pertumbuhan pada masa remaja ditinjau dari berat bada dan tinggi badan, merupakan suatu kurva sigmoid. Suatu masa pertumbuhan yang dimulai dengan akselerasi yang tinggi sehingga hampir mencapai dua kali lipat mendahului kematangan seksual dan kemudian menjadi semakin lambat sampai berakhir pada terhentinya pertumbuhan tulang (Sutejo, 2000). Dalam masa remaja, pertumbuhan yang cepat ini sering menyebabkan perasaan canggung yang terjadi karena pertumbuhan bermacam macam bagian tubuh yang tidak sama. Ekstremitas bertambah panjang dengan cepat sekali dibandingkan dengan pertumbuhan kepala dan badan, sehingga lengan dan tungkai seolah-olah terlalu panjang dan kaki serta tangan kelihatannya terlalu besar (Sutejo, 2000). Kliegman (2007) membagi masa remaja menjadi tiga masa berdasarkan perubahan biologis, psikologis, dan sosial. Tiga masa tersebut adalah masa remaja
Universitas Sumatera Utara
10
awal, menengah, dan lanjut. Masa remaja awal terjadi pada usia 10 – 13 tahun. Masa remaja menengah terjadi pada usia 14 – 16 tahun. Masa remaja lanjut terjadi pada usia 17 – 20 tahun.
2.2.1 Pertumbuhan Fisik Remaja Kliegman (2007) membagi pertumbuhan fisik remaja menjadi tiga masa yaitu: 1. Remaja awal Pada masa remaja awal akan muncul karakter seks sekunder, perubahan tubuh menuju ukuran dewasa, dan perkembangan kemampuan reproduksi. Androgen akan mulai diproduksi pada awal 6 tahun yang bersamaan dengan perkembangan sekunder kelamin. Perkembangan pubertas cepat akan terjadi seiring dengan peningkatan sensivitas dari pituitary terhadap gonadotropinreleasing hormone (GnRH), pengeluaran GnRH, LH, dan FSH selama tidur, dan peningkatan androgen dan estrogen yang belum diketahui secara jelas pemicu yang mengawali pengeluaran hormon hormon tersebut. 2. Remaja menengah Pada masa remaja menengah terjadi peningkatan tinggi tubuh, berat tubuh, dan massa otot. Pada remaja putri pertumbuhan cepat mulai terjadi pada usia 11,5 tahun dan berakhir pada usia 16 tahun sedangkan pada remaja putra mulai terjadi pada usia 13,5 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun. Berat badan dan massa otot meningkat sejalan dengan peningkatan tinggi tubuh yang disertai dengan peningkatan kekuatan tubuh. Remaja putra menunjukkan peningkatan berat badan dan massa otot yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja putri. 3. Remaja lanjut Pada masa remaja lanjut terjadi perkembangan fisik remaja yang rendah. Perkembangan akhir payudara dan kelamin terjadi pada usia 17-18 tahun.
Universitas Sumatera Utara
11
Kumis, janggut, dan rambut pada dada pada remaja putra muncul pada masa remaja lanjut. Jerawat muncul pada massa ini pada sebagian besar remaja, terutama remaja putra.
2.2.2. Perkembangan Psikologis Remaja Kliegman (2007) membagi perkembangan psikologis remaja menjadi tiga masa yaitu: 1. Remaja awal. Pada masa remaja awal terjadi perkembangan proses berfikir dari berfikir konkrit menjadi berfikir abstrak. Remaja akan melihat segala sesuatu dari berbagai macam sudut pandang dan berfikir mengenai proses berfikir itu sendiri. Sebagian besar remaja pada masa remaja awal dapat berfikir logis pada perkerjaan sekolah tapi tidak pada masalah pribadi. Perkembangan
moral
pada
masa
remaja
awal
sejalan
dengan
perkembangan proses berfikir. Remaja tidak melakukan sesuatu yang benar sebagai akibat dari rasa takut terhadap orang dewasa namun melilhat sesuatu yang salah dan sesuatu yang benar sebagai hal yang absolut. Remaja harus diperlakukan secara adil, jika tidak mereka akan marah. Pada remaja awal terjadi peningkatan kesadaran diri terhadap perubahan fisik yang terjadi pada diri remaja. Remaja akan terus memikirkan perubahan dirinya dan merasa orang orang di sekitar mereka memperhatikan mereka terus menerus. Media massa turut berperan mempengaruhi remaja mengenai padangan mereka terhadap perkembangan fisik dirinya. Remaja putri dapat melihat mereka kelebihan berat badan dan remaja putra dapat bingung dengan konsep maskulinitas akibat pengaruh media massa.
Universitas Sumatera Utara
12
2. Remaja menengah Pada
masa
remaja
menengah,
remaja
mulai
menganalisa
dan
mempertanyakan hal yang terjadi di sekitar mereka. Remaja mulai mengerti kesulitan-kesulitan dalam hidup dan mengerti konsekuensi dari tindakan yang mereka lakukan. Pemikiran yang fleksibel pada masa remaja menengah memungkinkan hubungan yang saling mempengaruhi dengan sesama. Remaja mulai dapat menerima kedaan perubahan fisik dirinya dan mulai berfikir tentang masa depan pada masa remaja menengah. Remaja mulai mempertanyakan identitas dirinya sehingga normal bagi mereka untuk berganti-ganti jenis pakaian, kelompok pertemanan, dan hobi setiap bulan. Remaja putri akan mengutamakan hubungan interpersonal mereka sedangkan remaja putra akan berfokus pada kemampuan yang mereka miliki. 3. Remaja lanjut Pada masa remaja lanjut terjadi perkembangan fisik yang rendah sehingga remaja mulai mengembangkan pandangan yang stabil tentang citra tubuh mereka. Remaja pada masa ini cenderung tidak egois dan lebih memikirkan tentang keadilan dan kecintaan terhadap negara. Mereka akan memiliki rencana jangka panjang mengenai masa depan mereka. Sebagian remaja juga akan idealis dan tidak toleran terhadap padangan orang yang berlawanan terhadap pandangan mereka. Emosi pada masa remaja lanjut cenderung stabil. Hubungan intim dengan lawan jenis lebih penting nilainya dibandingan dengan hubungan dengan kelompok pertemanan. Hubungan dengan sesama akan lebih kepada cinta dan komitmen.
Universitas Sumatera Utara
13
2.3. Self Esteem Menurut Santrock (2003) self esteem adalah dimensi evaluatif yang menyeluruh dalam diri. Self esteem juga disebut sebagai harga diri atau gambaran diri. Self esteem merupakan hasil evaluasi dari pemahaman remaja mengenai dirinya sendiri. Pemahaman diri (self understanding) merupakan gambaran kognitif remaja mengenai dirinya, dasar dan isi dari konsep diri remaja. Dimensi dari pemahaman diri remaja menurut (Santrock, 2003) terdiri dari: 1. Abstrak dan idealistik Remaja awal mulai berfikir mulai berfikir secara abstrak dan idealistik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia abstrak adalah sesuatu yang tidak berwujud dan tidak berbentuk. Menurut Oxford Dictionaries (2013) abstrak adalah sesuatu yang berwujud dalam suatu pemikiran atau ide tanpa adanya bentuk fisik atau
eksistensi yang konkret. Remaja mulai menggunakan
konsep konsep untuk menjelaskan siapa dirinya dalam kehidupan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia idealistik (2013) adalah seseorang yang hidup menurut cita cita atau menurut patokan yang dianggap sempurna. Remaja mulai menetapkan jati dirinya dan patokan hidup yang harus dia jalani. 2. Terdiferensiasi Pemahaman diri remaja bisa menjadi terdiferensiasi. Remaja dapat memahami peran perannya yang berbeda tergantung pada konteks tertentu. Remaja dapat menggambarkan perbedaan karateristik hubungannya atara keluarga, teman sebaya, dan lawan jenis (Santrock, 2003). Menurut Harter (1990) dalam Santrock (2003) remaja memahami bahwa dirinya memilliki diri yang berbeda-beda, tergantung pada peran atau konteks tertentu.
Universitas Sumatera Utara
14
3. Kontradiksi dalam diri Remaja akan mengalami kontradiksi dalam dirinya akibat banyaknya peran yang berada adalam diri remaja tersebut (Santrock, 2003). Berdasarkan suatu penelitian oleh Harter, Bresnick, Bouchey, & Whitesell (1997) terhadap beberapa siswa kelas tujuh, sembilan, dan sebelas menunjukkan bahwa terdapat sejumlah kontradiksi dalam diri remaja ketika mendeskripsikan mengenai diri mereka sendiri. 4. Fluktuasi diri Remaja akan memunculkan sikap fluktuasi dalam diri mereka akibat kontradiksi yang mereka alami. Remaja akan mengalami perubahan mood dan sikap dengan cepat pada suatu waktu. Ketidakstabilan ini akan terus muncul sampai remaja berhasil membentuk gambaran dirinya yang utuh. 5. Ideal self dan real self Remaja akhirnya dapat mengkonstruksikan diri mereka yang ideal dan diri mereka yang sebenarnya. Kemampuan untuk menyadari adanya perbedaan antara diri yang nyata dan diri yang ideal menunjukkan peningkatan kemampuan kognitif, namun terkadang akan muncul perbedaan yang terlalu jauh antara diri yang nyata dengan diri yang ideal sehingga remaja tidak mampu menyesuaikan dirinya. Pandangan remaja mengenai diri yang ideal dapat menciptakan pandangan possible self yaitu diri yang mungkin dapat menjadi kenyataan dan diri yang mereka takutkan menjadi kenyataan. 6. True self dan false self Remaja akan membentuk diri mereka yang benar dan diri mereka yang palsu dalam interaksi sosial mereka. Remaja cenderung untuk menunjukkan diri mereka yang palsu kedtika berada pada situasi yang romantis dan ketika berada dengan teman teman sekelasnya. Remaja menunjukkan diri mereka yang palsu untuk membuat orang lain kagum, untuk mencoba tingkah laku
Universitas Sumatera Utara
15
atau peran baru akibat pemaksaan dari orang lain,dan karena orang lain tidak memahami diri mereka yang sebenarnya. 7. Perbandingan sosial Remaja akan lebih sering menggunakan perbandingan sosial untuk mengevaluasi diri mereka sendiri, namun mereka
menggunakan
perbandingan
remaja tidak mengakui bahwa sosial.
Remaja
menganggap
terungkapnya motif perbandingan sosial dapat membahayakan popularitas mereka. Remaja terkadang akan bingung memilih kelompok sosial yang akan menjadi perbandingan sosial mereka. 8. Kesadaran diri Remaja akan lebih sadar dan lebih memikirkan mengenai pemahaman dirinya. Remaja menjadi lebih introspektif. Namun, introspeksi tidak serlalu terjadi ketika remaja berada dalam keadaan isolasi sosial. Remaja kadangkadang meminta dukungan dan penjelasan diri dari teman-temannya yang akan memunculkan suatu definisi baru mengenai diri mereka. 9. Perlindungan diri Remaja memiliki mekanisme untuk melindungi dan mengembangkan diri mereka. Remaja cenderung akan menolak karaterstik negatif dalam diri mereka dan mengeksplorasi karateristik positif dalam diri mereka. Remaja akan berfikir secara introspektif untuk melindungi diri mereka dan bertindak secara idealistik. 10. Integrasi diri Pemahaman diri remaja, terutama di masa remaja akhir, menjadi lebih terintegrasi menjadi suatu kesatuan yang sistemik. Menurut Harter (1990) dan Selman (1980) dalam Santrock (2003) remaja yang lebih tua lebih mampu mendeteksi adanya ketidakkonsistenan dalam deskripsi diri mereka di masa
Universitas Sumatera Utara
16
sebelumnya. Remaja akan menyatukan berbagai konsep diri yang mereka bentuk sebelumnya.
2.3.1 Faktor yang Mempengaruhi Rasa Percaya Diri Menurut Santrock (2003) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi rasa percaya diri adalah sebagai berikut : 1. Penampilan fisik Penampilan
fisik
merupakan
suatu
kontributor
yang
sangat
berpengaruh pada rasa percaya diri remaja (Santrock, 2003). Menurut Santrock (2003) yang mengutip penelitian Harter (1989) menemukan bahwa didapati hubungan yang kuat antara penampilan diri dengan harga diri remaja secara umum yang tidak hanya bertahan selama remaja namun juga seumur hidup. Menurut Santrock (2003) yang mengutip penelitian Lord & Eccles (1994) mengungkapkan bahwa konsep diri remaja yang berhubungan dengan ketertarikan fisik merupakan faktor terkuat untuk menentukan rasa percaya diri keseluruhan remaja. Menurut Jarry, Kossert, & Ip (2012) dalam penelitiannya mengenai hubungan rasa percaya diri wanita terhadap penampilan menunjukkan bahwa wanita dengan rasa percaya diri yang ditingkatkan merasa tidak puas dengan penampilan fisik mereka ketika ditunjukkan gambar model yang kurus. 2. Pengaruh orang tua Hubungan remaja dengan orang tua mereka memberikan pengaruh terhadap rasa percaya diri remaja. Menurut Santrock (2003) yang mengutip penelitian Coopersmith (1967) terhadap hubungan anak dengan ibunya mengukapkan bahwa ekspresi rasa kasih sayang, penilaian terhadap masalah yang dihadapi anak, keharmonisan di rumah, partisipasi dalam aktivitas bersama keluarga, kesediaan untuk memberikan pertolongan kepada anak ketika mereka membutuhkannya, penetapan peraturan yang jelas dan adil, kepatuhan terhadap peraturan tersebut dan memberikan kebebasan kepada
Universitas Sumatera Utara
17
anak dengan batas-batas yang telah ditentukan berhubungan terhadap rasa percaya diri anak. 3. Teman sebaya Penilaian teman sebaya memiliki derajat yang tinggi pada anak anak yang lebih tua dan remaja. Menurut Santrock (2003) yang mengutip penelitian Harter (1987) mengenai hubungan teman sebaya menunjukkan bahwa dukungan teman sebaya merupakan faktor yang lebih penting dibandingkan dengan dukungan orang tua di masa remaja akhir. Terdapat dua jenis dukungan teman sebaya yang diteliti, yaitu dukungan teman sekelas dan dukungan teman akrab. Dukungan teman sekelas lebih berpengaruh kuat terhadap rasa percaya diri remaja dibandingkan dengan dukungan teman akrab. Hal tersebut mungkin sebab teman akrab selalu memberikan dukungan yang dibutuhkan sehingga dukungan tersebut tidak dianggap oleh remaja sebagai sesuatu yang dapat meningkatkan rasa percaya diri mereka.
2.3.2. Konsekuensi dari Rendahnya Tingkat Rasa Percaya diri Menurut Damon (1991) dalam Santrock (2003) rasa percaya diri yang rendah dapat menyebabkan rasa tidak nyaman secara emosional yang bersifat sementara. Tapi bagi beberapa remaja dapat menimbulkan banyak masalah. Rendahnya rasa pecaya diri dapat menyebabkan depresi, bunuh diri, anoreksia nervosa, dan masalah penyesuaian diri lainnya. Menurut Rutter & Garmezy (1983) dalam Santrock (2003) remaja dengan tingkat percaya diri yang rendah akan mengalami kesulitan dalam proses perpindahan sekolah, kehidupan keluarga, kejadian kejadian yang membuat tertekan, dan peningkatan masalah masalah lain dalam hidup remaja tersebut.
Universitas Sumatera Utara
18
2.4. Gambaran Tubuh Menurut National Eating Disorder Association (2013) gambaran tubuh adalah bagaimana seseorang melihat diri mereka sendiri di depan cermin atau ketika membayangkan diri mereka sendiri dalam pikiran. Menurut National Eating Disorders Collaboration (2011) body image adalah persepsi seseorang mengenai penampilan fisik mereka serta pemikiran dan perasaan yang timbul akibat persepsi tersebut. Menurut Papalia (2011) citra tubuh adalah keyakinan deskriptif dan evaluatif tentang penampilan seseorang. Perubahan fisik pada remaja akan membuat remaja menjadi amat memperhatikan tubuh mereka dan membangun citranya sendiri mengenai bagaimana tubuh mereka tampaknya (Santrock, 2003). Menurut Hamburg (1974) & Wright (1989) dalam Santrock (2003) perhatian berlebihan terhadap citra tubuh sendiri sangat kuat pada masa remaja, terutama selama pubertas, saat remaja tidak puas akan keadaan tubuhnya dibandingkan dengan akhir masa remaja. Hanya sedikit remaja yang mengalai kateksis tubuh atau merasa puas dengan tubuhnya. Ketidakpuasan lebih banyak dialami di beberapa bagian tubuh tertentu. Kegagalan mengalami kateksis tubuh menjadi salah satu penyebab timbulnya konsep diri yang kurang baik dan kurangnya self esteem selama masa remaja (Hurlock, 2003) Remaja menganggap penampilan fisik sangat penting sebab mereka menganggap penampilan fisik seseorang beserta indentitas seksualnya merupakan ciri pribadi yang paling jelas dan paling mudah untuk dikenali oleh orang lain dalam suatu interaksi sosial. Meskipun pakaian dan alat-alat kecantikan dapat digunakan untuk menyembunyikan bentuk fisik yang tidak disukai dan untuk menonjolkan bentuk fisik yang disukai, namun belum cukup menjamin adanya kateksis tubuh pada remaja (Hurlock, 2003).
Universitas Sumatera Utara
19
2.4.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gambaran Tubuh Remaja 1. Jenis Kelamin Perbedaan jenis kelamin menandai persepsi remaja mengenai tubuh mereka. Remaja putri umumnya tidak puas dengan keadaan tubuhnya dan memiliki lebih banyak citra tubuh yang negatif, dibandingkan dengan remaja putra. Sejalan dengan berlangsungnya perubahan pubertas, remaja putri seringkali menjadi tidak puas dengan keadaan tubuhnya, mungkin karena lemak tubuhnya yang bertambah, sedangkan remaja putra lebih puas dengan memasuki masa pubertas, mungkin karena massa otot mereka meningkat (Santrock, 2003). 2. Interaksi sosial Agar merasa puas dengan kehidupannya sehingga dapat menganggap diri sendiri bahagia, remaja tidak hanya menyukai dan menerima diri sendiri tetapi juga merasa bahwa dia diterima oleh orang lain. Sangat sulit bagi remaja untuk menerima diri sendiri apabila dia mereasa gelisah akan tubuhnya yang berubah dan merasa tidak puas dengan penampilan dirinya. Kesadaran bahwa penampilan semakin penting dalam kehidupan sosial akan membuat keprihatinan remaja bertambah. Semakin kuat keprihatinan remaja akan dukungan sosial terhadap dirinya semakin dia mengkhawatirkan penampilan dirinya. Anak perempuan akan cenderung lebih sadar bahwa penampilan diri memainkan peran penting dalam hubungan sosial dibandingkan dengan anak laki-laki (Hurlock, 2003) Kesadaran akan adanya reaksi sosial terhadap berbagai bentuk tubuh menyebabkan remaja prihatin akan pertumbuhan tubuhnya yang tidak sesuai dengan standar budaya yang berlaku. Remaja putri ingin memiliki bentuk tubuh yang indah, tinggi yang sesuai dengan stereotip jenis kelaminnya, lebih langsing, memiliki pinggang dan pinggul yang lebih kecil, lengan dan tungkai kaki yang lebih ramping, dan payudara yang lebih besar. (Hurlock, 2003)
Universitas Sumatera Utara
20
3. Media massa dan standar kecantikan masyarakat Dalam beberapa tahun terakhir, standar kecantikan yang diterima masyarakat terus berubah menjadi bentuk tubuh yang lebih kurus. Menjadi biasa dan tidak aneh apabila remaja putri cemas mengenai berat badannya dan membatasi jumlah makanannya untuk mencapai bentuk tubuh yang lebih kurus (Halgin & Whitbourne, 2009). Ukuran ideal untuk wanita di Amerika Serikat dan Eropa telah menjadi lebih kurus dalam 45 tahun terakhir. Model dalam majalah kecantikan, pemenang kontes kecantikan Miss America dan Miss Universe, boneka barbie, dan semua ikon kecantikan wanita telah menjadi lebih kurus. Ukuran tubuh rata-rata para model majalah sekarang telah menjadi sangat kurus dan sangat sulit dicapai dan dipertahankan oleh kebanyakan wanita (Nolen & Hoeksema, 2007). Berdasarkan penelitian oleh Stice, Spangler, & Agras (2001) terhadap 219 remaja putri mengenai efek remaja yang terekspose terhadap majalah dengan model yang kurus selama 15 bulan menunjukkan bahwa remaja yang sebelumnya telah tertekan untuk menjadi lebih kurus menjunjukkan sikap depresi dan menjadi lebih tidak puas terhadap penampilan mereka. Remaja yang kurang mendapat dukungan dari keluarganya menjadi tidak puas terhadap penampilan mereka, mulai mengikuti program penurunan berat badan, dan menunjukkan gejala bulimia (Stice, Spangler, & Agras, 2001). 4. Sosial-ekonomi dan Etnis Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gangguan perilaku makan akibat gangguan pandangan mengenai body image lebih sering terjadi pada masyarakat golongan atas dan menengah keatas dibandingkan dengan masyarakat golongan bawah. Gangguan ini juga jarang ditemui pada masyarakat keturunan AfrikaAmerika dan Hispanic dibandingkan dengan masyarakat Caucasian (Nolen & Hoeksema, 2007).
Universitas Sumatera Utara
21
2.5. Hubungan Self Esteem dan Body Image Terhadap Perilaku Diet Remaja Putri Beberapa ahli mengungkapkan bahwa faktor biologis, psikologis, dan kepribadian berinteraksi untuk terbentuknya gangguan perilaku makan. Faktorfaktor tersebut sendiri mungkin tidak dapat mengembangkan suatu perilaku makan namun jika digabungkan, faktor faktor tersebut memiliki kemungkinan yang tinggi untuk mengembangkan gangguan perilaku makan (Nolen & Hoeksema, 2007). Tekanan sosial untuk tampil kurus memiliki peranan yang besar dalam perkembangan kebiasaan diet tidak sehat yang akan berujung kepada gangguan perilaku makan. Berat badan ideal untuk wanita yang disampaikan media massa sulit untuk dicapai dan di bawah standar kesehatan untuk wanita pada umumnya. Citra tubuh yang negatif akan timbul akibat tekanan sosial untuk tampil kurus yang akan menuju kepada perilaku diet yang berlebihan. Keinginan makan yang sangat besar tanpa disadari akan muncul yang akan membawa dirinya ke perasaan yang lebih negatif dan self esteem yang lebih rendah (Nolen & Hoeksema, 2007). Menurut Heinberg dan Thompson (1992) dalam Maxfield (2000) Tekanan sosial untuk tampil lebih kurus lebih memiliki dampak jika datang dari orang orang tertentu seperti orang tua dan teman sebaya. Penelitian yang dilakukan Heinberg dan Thompson (1992) dalam Maxfield (2000) menemukan bahwa orang yang menerima masukan tentang berat badannya dari teman sebaya cenderung mengalami ketidakpuasan terhadap berat badannya dibandingkan jika masukan tersebut berasal dari orang lain. Heinberg dan Thompson (1992) dalam Maxfield (2000) juga mengungkapkan bahwa orang yang sering membandingkan dirinya dengan orang lain, terutama dalam kelompok teman sebaya, memiliki resiko untuk mengembangkan body image yang negatif. Faktor biologis juga dapat berinteraksi untuk menimbulkan perilaku gangguan makan. Orang dengan gangguan perilaku makan mungkin memiliki faktor genetis untuk kelainan tersebut. Faktor genetis mungkin berperan dalam
Universitas Sumatera Utara
22
kemampuan seseorang untuk menjalani diet yang ketat dan kecenderungan orang untuk menjadi cemas dan depresi terhadap dirinya. Orang dengan kelainan perilaku makan sangan mudah stress dan memiliki kecenderungan untuk makan sebagai resepon dari rasa stressnya tersebut (Nolen & Hoeksema, 2007). Perilaku gangguan makan merupakan hasil dari reaksi biokimia tidak normal yang kemungkinan memiliki hubungan dengan faktor genetis (Halgin & Whitbourne 2009). Menurut Strober (1991) dalam Halgin & Whitbourne (2009) menemukan bahwa gangguan perilaku makan cenderung terjadi pada suatu keluarga. Faktor kepribadian juga berperan dalam menimbulkan perilaku gangguan makan. Evaluasi berlebihan terhadap diri sendiri dan self esteem yang rendah dapat membuat orang untuk melakukan segala hal untuk mencapai berat badan yang ideal menurut dirinya sendiri. Kepribadian ini mungkin muncul pada anak dengan orang tua yang kurang perhatian terhadap perkembangan anaknya (Nolen & Hoeksema, 2007). Hill (2002) dalam Barker & Bornstein (2010) mengungkapkan bahwa self esteem yang rendah serta ketidakpuasan terhadap body image berhubungan dengan perilaku diet pada masa remaja awal. Freistad & Rise (2004) dalam Barker & Bornstein (2010) melaporkan jika body image dan self esteem berinteraksi dengan perilaku diet pada remaja putri. Perilaku gangguan makan memiliki kencederungan untuk terus ada setelah dia muncul. Perhatian berlebihan terhadap berat badan pada penderita anorexia nervosa diperkuat oleh pandangan masyarakat mengenai berat badan ideal dan dukungan dari orang tua maupun kerabat ketika orang tersebut kehilangan berat badan. Orang dengan bulimia nervosa dan binge-eating memiliki keinginan yang kuat untuk menjaga berat badannya namun gagal dalam melaksanakannya sehingga mereka jatuh kedalam perilaku tersebut sebagai jalan keluar dari perasaan negatif terhadap dirinya (Nolen & Hoeksema, 2007).
Universitas Sumatera Utara
23
Pengaruh media massa dan tekanan sosial untuk
Body
Genetik
Evaluasi berlebihan dan low self esteem
image
Cemas dan depresi
Diet berlebihan
Impulsif
Jika sukses dalam kelihangan berat badan
Anorexia nervosa
binge
Perilaku kompensasi (muntah dan olahraga berlebihan)
Bulimia nervosa
Binge-eating disorder
Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian
Universitas Sumatera Utara