BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Kualitas Pelayanan
Salah satu faktor yang menentukan tingkat keberhasilan dan kualitas
perusahaan menurut John Sviokla (dalam Lupiyoadi dan Hamdani, 2008) adalah kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Keberhasilan perusahaan dalam memberikan layanan yang berkualitas kepada
para pelanggannya, pencapaian pangsa pasar yang tinggi, serta peningkatan laba,
perusahaan tersebut sangat ditentukan oleh pendekatan yang digunakan. Salah satu aspek kualitas adalah hasil. Konsep kualitas itu sendiri sering dianggap sebagai ukuran relatif kesempurnaan atau kebaikan sebuah produk atau jasa, yang terdiri atas kualitas desain dan kualitas kesesuaian (conformance quality). 2.1.1
Definisi Kualitas Salah satu faktor yang menentukan tingkat keberhasilan dan kualitas
perusahaan adalah kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Dalam penyampaian jasa dibutuhkan kontak atau interaksi antara pelanggan dan penyedia jasa. Ini sesuai dengan salah satu karakteristik jasa yaitu inseparability, konsekuensinya, kualitas jasa yang bersangkutan akan ditentukan oleh proses interaksi dan komunikasi yang berlangsung selama proses penyampaian jasa. Konsumen pun akan ikut dalam penciptaan kualitas akhir jasa yang bersangkutan. Lalu agar tidak terjadinya miskomunikasi yang berpengaruh kepada buruknya kualitas yang dipersepsikan pelanggan, dibutuhkan kriteria kualitas yang jelas. Definisi-definisi kualitas menurut para guru kualitas (dalam Tjiptono, 2005) ialah :
Juran mendefinisikan kualitas sebagai kecocokan untuk pemakaian (fitness for use). Definisi ini menekankan orientasi pada pemenuhan
harapan pelanggan. Ia juga menugaskan pentingnya identifikasi
eliminasi penyebab suatu masalah. Menurutnya, langkah ini sangat krusial, karena bila mencari jalan pintas (dari gejala langsung
memberikan solusi), maka sumber persoalan sesungguhnya belum
diatasi dan sewaktu-waktu bisa terulang lagi.
1. Menurut Josep M. Juran
2. Menurut Crosby Pendekatan Crosby menaruh perhatian besar pada transformasi budaya kualitas. Ia mengemukakan pentingnya melibatkan setiap orang dalam organisasi pada proses, yaitu dengan jalan menekankan kesesuaian individual terhadap persyaratan atau tuntutan. 3. Menurut Deming Strategi Deming didasarkan pada alat-alat statistik. Penekanan utama strategi ini adalah perbaikan dan pengukuran kualitas secara terusmenerus, Deming sangat yakin bahwa bila karyawan diberdayakan untuk memecahkan masalah (dengan catatan manajemen menyediakan alat-alat yang cocok), maka kualitas dapat disempurnakan terusmenerus. 4. Menurut Taguchi Taguchi mendefinisikan kualitas sebagai kerugian yang ditimbulkan oleh suatu produk bagi masyarakat setelah produk tersebut dikirim, selain kerugian-kerugian yang disebabkan fungsi intrinsik produk. Strategi Taguchi difokuskan pada loss function, yang mendefinisikan setiap penyimpangan dari target sebagai kerugian yang dibayar konsumen. 5. Menurut Feigenbaum Feigenbaum (dalam Nasution, 2004) menyatakan bahwa kualitas adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction). Suatu produk berkualitas apabila dapat memberi kepuasan sepenuhnya
kepada konsumen, yaitu sesuai dengan apa yang diharapkan
konsumen atas produk atau jasa tersebut. 6. Menurut Garvin dan Davis
Garvin dan Davis (dalam Nasution, 2004) menyatakan bahwa kualitas
adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia atau tenaga kerja, proses dan tugas, serta lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen.
Definisi-definisi yang telah dilontarkan diatas oleh para pakar kualitas
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Oleh sebab itu setiap
perusahaan harus menentukan definisi kualitasnya sesuai dengan tujuan, harapan, budaya pelanggannya masing-masing. Namu dari ke enam definisi kualitas diatas terdapat beberapa kesamaan yaitu sebagai berikut : a. Kualitas mencakup usaha memenuhi atau melebii harapan pelanggan b. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah Dalam mendefinisikan jasa yang berkualitas, ada beberapa karakteristik tambahan yang patut diperhitungkan pula. Di antaranya Garvin (dalam Nasution, 2004; Tjiptono, 2005) mengidentifikasi delapan dimensi kualitas yaitu : a. Kinerja, karakteristik operasi pokok dari produk inti, misalnya kecepatan, hemat bahan bakar, jumlah penumpang yang dapat diangkut, kemudahan, dan kenyamanan dalam mengemudi, dan sebagainya. b. Ciri – ciri keistimewaan tambahan, yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap, misalnya kelengkapan interior dan eksterior, seperti dashboard, AC, dan sebagainya. c. Kehandalan, yaitu kepercayaan terhadap jasa dalam kaitannya dengan waktu, misalnya tidak mengangkat telepon terlalu lama, permasalahan bisa dengan cepat terselesaikan. d. Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications), yaitu sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan.
e. Daya Tahan (durability), berkaitan dengan berapa lama suatu produk dapat terus
digunakan.
f. Serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, mudah direparasi atau memiliki kemampuan untuk melakukan perbaikan apabila terjadi kekeliruan, dan penanganan keluhan yang memuaskan.
g. Estetika, yaitu daya tarik produk terhadap panca indera, atau bisa juga berupa pengalaman pelanggan yang berkaitan dengan perasaan dan panca indera. h. Kualitas yang dipersepsikan (perceived quality), yaitu citra dan reputasi produk serta tanggung jawab perusahaan.
2.1.2
Perspektif Kualitas Setelah mengetahui definisi dari kualitas, kita pun harus memahami
bagaimana perspektif kualitas, yaitu pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan kualitas suatu produk atau jasa. Garvin (Nasution 2004:42) mengidentifikasi adanya liam alternatif perspektif kualitas yang biasa digunakan yaitu transcendent approach, product-based approach, user-based approach, manufacturing-based approach dan value-based approach. a. Trancendental Approach Menurut pendekatan ini, kualitas dapat dirasakan atau diketahui tetapi sulit dioperasionalkan. Biasanya perusahaan dapat mempromosikan produknya dengan pernyataan-pernyataan
seperti tempat berbelanja
yang menyenangkan (supermarket), elegan (mobil), kecantikan wajah (kosmetik) kelembutan dan kehalusan kulit (sabun mandi), dan lainlain. Dengan demikian perusahaan sulit menggunakan definisi ini karena sulitnya mendesain produk yang tepat yang mengakibatkan implementasi yang sulit. b. Product-based approach Pendekatan in menganggap kualitas sebagai karakteristik atau atribut yang dapat dikuantifikasi kan dan dapat diukur. Perbedaan
dalam
kualitas mencerminkan perbedaan dalam jumlah unsur atau atribut yang dimiliki produk. Karena pandangan ini sangat objektif, maka tidak
individual. c. User-based approach
Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung
pada orang yang menggunakannya, dan produk yang paling memuaskan preferensi seseorang (misalnya perceived quality) merupakan produk
yang berkualitas paling tinggi. Perspektif yang subjektif dan demand-
dapat menjelaskan perbedaan dalam selera, kebutuhan, dan preferensi
oriented ini juga menyatakan bahwa pelanggan yang berbeda memiliki
kebutuhan dan keinginan yang berbeda pula, sehingga kualitas bagi
seseorang adalah sama dengan kepuasan maksimum yang dirasakannya. d. Manufacturing-based approach Perspektif ini bersifat supply-based dan terutama memperhatikan praktik-praktik perekayasaan dan pemanufaktura, serta mendefinisikan kualitas sebagai hal yang sama dengan persyaratannya (conformance to requirements), dalam sektor jasa, dapat dikatakan bahwa kualitasnya bersifat operations-driven. Pendekatan ini berfokus pada penyesuaian spesifikasi yang dikembangkan secara internal, yang sering kali didorong oleh tujuan peningkatan produktivitas dan penekanan biaya. Ini berarti yang menetukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, bukan konsumen yang menggunakannya. e. Value-based approach Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Dengan memepertimbangkan trade-off antara kinerja dan harga, kualitas diidentifikasi
sebagai
“affradable
excellence”.
Kualitas
dalam
perspektif ini bersifat relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang bernilai. Akan tetapi, yang paling bernilai adalah barang atau jasa yang tepat dibeli. Cara yang terbaik bagi setiap perusahaan akan adanya perbedaan pandangan terhadap kualitas yang telah diuraikan diatas yang bermanfaat dalam mengatasi konflik-konflik yang kadang timbul di antara para amanger adalah menggunakan
perpaduan antara beberapa perspektif kualitas dan secara aktif menyesuaikannya
setiap saat sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
2.1.3 Definisi Jasa atau Pelayanan Pelayanan (Service) menurut Kotler dalam Laksana (2008:85) yaitu: “ A
Service any act or performance that one party can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything, its production may or may no be to a physical product”. Maksudnya yaitu bahwa pelayanan adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu
pihak kepada pihak lain yang dapat ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain, yang
pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Berikut adalah beberapa definisi mengenai jasa oleh beberapa pakar dalam Sunyoto (2012:186) : 1. Menurut Stanton Jasa adalah kegiatan yang dapat diidentifikasikan, yang bersifat tidak teraba, yang direncanakan untuk pemenuhan kepuasan pada konsumen (Service are identifiable, intangible activities that are the main object of a transaction designed to provide want satisfaction to consumers). Stanton juga menjelaskan bahwa jasa dapat diklasifikasikan menjadi dua kelas yaitu : a. Kelompok jasa yang tumpuan pentingnya dalam suatu transaksi, misalkan menyewa mobil dari seseorang atau perusahaan tetapi mobil itu tidak untuk dipakai sendiri melainkan untuk disewakan lagi. b. Barang yang berwujud dengan jasa pelayanan, misalkan penjual mobil menjual mobilnya dengan jaminan pentunjuk pemeliharaan dan perbaikan dan sebagainya. 2. Menurut Zeithaml dan Bitner Mereka menjelaskan bahwa pada dasarnya jasa adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan outputselain produk dalam pengertian fisik, dikonsumsi dan diproduksi pada saat bersamaan, memberikan nilai tambah misalnya
kenyamanan, hiburan, kesenangan atau kesehatan dan secara prinsip tidak
berwujud (intangible) bagi pembeli pertamanya. 3. Menurut Ginting (2011:128) “Jasa adalah semua aktivitas atau manfaat
yang dapat ditawarkan kepada pihak lain yang intangible dan tidak
mengakibatkan pemilikan atas sesuatu. Produksinya dapat dan tidak terikat kepada produk fisik. Aktivitas-aktivitas seperti menyewa kamar
hotel, menonton bioskop, menelepon Call Center karena adanya
gangguan atau permintaan informasi, memperoleh nasihat dari pengacara,
itu semua adalah kegiatan membeli atau mengkonsumsi jasa atau
pelayanan. 4. Menurut Bermen (dalam Laksana, 2008) Komponen pelayanan dalam bisnis tidak dapat dipisahkan baik itu untuk perusahaan jasa maupun perusahaan dagang. Namun untuk perusahaan jasa, pelayanan itu sendiri adalah sebagai produk yang berdiri sendiri,sedangkan pada perusahaan dagang dan industri sebagai produk tambahan yang selalu melekat pada produk utamanya Contoh-contoh lembaga yang memberikan jasa atau pelayanan adalah : hotel,
penerbangan, bank, telekomunikasi , pengacara, staf medis, pelatihan penjualan , rumah sakit, polisi, pemadam kebakaran, Call Center, dan lain-lain. 2.1.4
Sifat dan Ciri Jasa atau Pelayanan Karakteristik jasa atau pelayanan menurut Gasperz (Laksana, 2008:86) terdiri dari 12 karakteristik, yaitu : a. Pelayanan merupakan output tak berbentuk (intangible output). b. Pelayanan merupakan output variabel, tidak standar. c. Pelayanan tidak dapat disimpan dalam inventori, tetapi dapat dikonsumsi dalam produksi. d. Terdapat hubungan langsung yang erat dengan pelanggan melalui proses pelayanan. e. Pelanggan berpartisipasi dalam proses memberikan pelayanan.
f. Keterampilan personil diserahkan atau diberikan secara langsung kepada pelanggan. g. Pelayanan tidak dapat diproduksi secara massal.
h. Membutuhkan pertimbangan pribadi yang tinggi dari individu yang memberikan pelayanan.
i. Perusahaan jasa pada umumnya bersifat padat karya.
j. Fasilitas pelayanan berada dekat lokasi pelanggan
k. Pengukuran efektivitas pelayanan bersifat subyektif
l. Option penetapan harga lebih rumit.
2.1.5 Kualitas Pelayanan Service Quality atau Kualitas Jasa atau pelayanan dibangun atas adanya perbandingan dua faktor utama, yaitu persepsi pelanggan atas layanan yang nyata mereka terima (perceived service) dengan layanan yang sesungguhnya diharapkan (expected service). Menurut Nasution (2004:47) “kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dari pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan”. Namun bagaimanakah seorang pelanggan menilai kualitas jasanya ialah seperti berikut : sebelum pelanggan membeli atau menggunakan suatu jasa, mereka memiliki harapan tentang kualitas jasa yang didasarkan
pada
kebutuhan-kebutuhan
pribadi,
pengalaman
sebelumnya,
rekomendasi dari mulut ke mulut dan iklan penyedia jasa tersebut. Setelah membeli dan menggunakan jasa tersebut, pelanggan membandingkan kualitas yang diharapkan dengan apa yang benar-benar mereka terima. Kinerja jasa yang mengejutkan dan menyenangkan pelanggan, yang berada di atas tingkat jasa yang mereka inginkan, akan dipandang memiliki kualitas yang tinggi. Jika penyerahan jasa berada dalam zona toleransi, pelanggan akan merasa pelayanan/kualitas yang diberikan itu memadai. Namun apabilakualitas yang sebenarnya berada di bawah tingkat jasa yang memadai dengan yang diharapkan pelanggan, perbedaan atau kesenjangan kualitas akan muncul antara kinerja jasa dan harapan pelanggan.
2.2 Pengukuran Kualitas Pelayanan
Untuk pengukuran kualitas itu sendiri bisa dikelompokan menjadi 2 jenis
yaitu internal dan eksternal. Menurut Sachdev dan Verma dalam Tjiptono (2008) kualitas berdasarkan perspektif internal diartikan sebagai zero defect (“doing it right the first time” atau kesesuaian dengan persyaratan), sedangkan perspektif
eksternal itu memahami kualitas berdasarkan persepsi pelanggan, ekspektasi pelanggan, kepuasan pelanggan, sikap pelanggan, dan customer delight. Sedangkan dalam konteks pengukuran kualitas itu sendiri menurut Teas dan De Carlo (2004) terdapat 2 kerangka defisional utama : a. Performance based framework, yaitu menetapkan perceived performance,
tanpa referensi pembanding apapun sebagai konsep perceived quality. b. Standard-based framework, yaitu konseptualisasi perceived quality relatif atau komparatif, artinya kinerja dibandingkan norma atau standar tertentu. 2.3 Implementasi Kualitas Pelayanan Penyampaian Service Quality atau kualitas pelayanan dapat dilakukan melalui beberapa teknis praktis yang dapat dilakukan pada setiap titik interaksi antara perusahaan dengan pelanggan menurut Kartajaya (2002:12) seperti dalam gambar berikut : a. Membawa sikap positif dan professional grooming Membangun sikap positif dan menciptakan penampilan fisik yang professional dalam rangka membangun kesan pertama yang positif dan tidak terlupakan bagi pelanggan. b. Mengembangkan kemampuan komunikasi Mengembangkan keterampilan berkomunikasi yang efektif secara verbal dan non verbal serta mempelajari teknik berkomunikasi ke pelanggan dengan berbagai tipe. c. Menangani moment of truth Mempelajari siklus layanan di perusahaan serta menentukan titik kritis dari siklus layanan berdasarkan perspektif pelanggan dan perusahaan.
d. Menangani keluhan pelanggan
Mempelajari teknik penanganan keluhan pelanggan terhadap layanan yang diberikan dan menjadikan keluhan sebagai bahan untuk melakukan
perbaikan kinerja layanan di perusahaan.
Handling Customer Complaint
Handling Moment of Truth
Service Excellent
Building Positive & professional
Grooming
Developing Communication Skill
2.1 Gambar Teknis Praktis Implementasi Service Quality Sumber : Kartajaya, Hermawan (2002) 2.4
Dimensi Kualitas Pelayanan Dalam salah satu studi mengenai kualitas pelayanan oleh Parasuraman
(1988) yang melibatkan 800 pelanggan (yang terbagi dalam empat perusahaan) berusia 25 tahun ke atas, disimpulkan bahwa terdapat lima dimensi kualitas pelayanan sebagai berikut (dalam Lupiyoadi dan Hamdani, 2008) : 1. Berwujud (tangible), yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukan eksistennya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan yang dapat diandalkan, keadaan lingkungan sekitarnya, merupakan bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Hal ini meliputi fasilitas
fisik (contoh: gedung, gudang, dan lain-lain), perlengkapan dan peralatan yang digunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya. 2. Keandalan
(reliability),
yaitu
kemampuan
perusahaan
untuk
memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan
terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa
kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.
3. Ketanggapan (responsiveness), yaitu suatu kebijakan untuk membantu
dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada
pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu adalah persepsi yang negatif dalam kualitas
pelayanan. 4. Jaminan dan kepastian (assurance), yaitu pengetahuan, kesopan santunan,
dan
kemampuan
para
pegawai
perusahaan
untuk
menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Hal ini meliputi beberapa komponen antara lain komunikasi (communication), kredibilitas
(credibility),
keamanan
(security),
kompetensi
(competence), dan sopan santun (courtesy). 5. Empati (emphaty), yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan. 2.5
Kesenjangan Kualitas Kesenjangan kualitas adalah perbedaan antara kinerja penyedia jasa dan
harapan-harapan pelanggan. Sebelum pelanggan membeli suatu jasa, mereka memiliki harapan tentang kualitas jasa berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan pribadi mereka, rekomendasi-rekomendasi, pengalaman membeli sebelumnya dan iklan dari penyedia jasa tersebut.
Setelah membeli
penting
Kesenjangan jasa juga merupakan hal yang paling
karena hal itulah yang merupakan penilaian pelanggan secara
keseluruhan terhadap apa yang dibandingkan dengan apa yang diterima. Tujuan utama dari dalam meningkatkan kualitas jasa atau kualitas pelayanan adalah memperkecil kesenjangan ini sedapat mungkin. Di bawah ini
merupakan ketujuh kesenjangan yang memungkinkan dalam kualitas jasa atau pelayanan di dalam Lovelock & Wright (2005:97) ialah : 1. Kesenjangan Pengetahuan
Perbedaan antara apa yang diyakini penyedia jasa akan diharapkan
pelanggan dan kebutuhan dan harapan pelanggan yang sesungguhnya.
2. Kesenjangan Standar Perbedaan antara persepsi manajemen terhadap harapan pelanggan dan standar kualitas yang ditetapkan untuk penyerahan jasa. 3. Kesenjangan Penyerahan Perbedaan antara standar penyerahan yang ditentukan dan kinerja penyedia jasa yang sesungguhnya. 4. Kesenjangan Komunikasi Internal Perbedaan antara apa yang dianggap oleh iklan dan tenaga penjual perusahaan tersebut sebagai fitur produk, kinerja, dan tingkat kualitas jasa dan apa yang benar- benar dapat diserahkan oleh perusahaan. 5. Kesenjangan Persepsi Perbedaan antara apa yang benar – benar diserahkan dan apa yang dianggap pelanggan telah mereka terima (karena mereka tidak dapat menilai kualitas jasa secara akurat. 6. Kesenjangan Interpretasi Perbedaan antara apa yang sesungguhnya dijanjikan penyedia jasa dalam upaya – upaya komunikasinya dan apa yang pelanggan pikir telah dijanjikan dalam komunikasi tersebut. 7. Kesenjangan Jasa Perbedaan antara apa yang diharapkan pelanggan akan mereka terima dan persepsi mereka terhadap jasa yang benar – benar diserahkan.
2.6
Kinerja Pelayanan (Service Performance) Kinerja Pelayanan atau SERVPERF adalah komponen kinerja dari skala
kualitas pelayanan,telah digunakan untuk mengukur lima dimensi pokok yang serupa dengan kualitas pelayanan (Parasuraman, Zeithaml & Berry dalam Catts dan Forlin, 2000).
2.6.1 Pengukuran Kinerja Pelayanan
Karena penulis sedang meneliti tentang kinerja layanan Call Center, maka penulis akan membahas tentang pengukuran kinerja pelayanan untuk Call
Center.
Banyak
macam-macam
pengukuran
kinerja
(performance
measurement) yang digunakan untuk mengukur efisiensi dan keefektivitasan dari sebuah Call Center. Beberapa dari pengukuran in ada yang mengukur keseluruhan dari kinerja Call Center dan ada juga yang hanya fokus kepada karyawan-karyawannya. Menurut paper khusus tentang Call Center dari North American Quitline Consortium (2010) tujuan utama dari pengukuran kinerja pelayanan ini adalah untuk memastikan bahwa Call Center tersebut mencapai target dan objective nya masing-masing dan seluruh personnel atau staf dari Call Center itu sendiri bisa mencapai kinerja potensial mereka. Indikator utama dari kinerja atau performance biasanya dikategorikan ke dalam service (pelayanan), quality (kualitas), dan pengukuran efisiensi. 2.7
Kepuasan Pelanggan Kepuasan pelanggan ialah Perasaan senang atau kecewa seseorang yang
muncul setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja atau hasil dari suatu produk dan harapan-harapannya (Kotler, 2002:24). Oliver (2006) juga menyatakan hal yang hampir serupa dengan kotler yaitu “kepuasan pelanggan adalah persaan senang atau kecewa yang didapatkan seseorang dari membandingkan antara kinerja atau hasil produk yang dipersepsikan dengan ekspektasinya” (dalam Marknesis, 2009). Namun menurut Gasperz “ Kepuasan Pelanggan dapat di definisikan secara sederhana sebagai suatu keadaan dimana
kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan dapat terpenuhi melalui produk
yang dikonsumsi” (dalam Laksamana, 2008).
Dalam era globalisasi ini, perusahaan harus selalu menyadari pentingnya faktor pelanggan. Oleh karena itu, mengukur tingkat kepuasan sangatlah perlu walaupun hal tersebut tidak semudah yang dibayangkan. Pada umumnya
harapan pelanggan adalah suatu perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang bagaimanakah kualitas yang diterimanya apabila ia mengkonsumsi suatu produk maupun jasa, sedangkan penilaian dari suatu hasil atau kinerja yang telah dirasakan setelah ia mengkonsumsi produk yang ia beli adalah persepsi
pelanggan. Oleh karena itu puas atau tidaknya seorang konsumen sangatlah
bergantung kepada kinerja produk (perceived performance) Di dalam konsep pemasaran, kepuasan pelanggan dipandang sebagai elemen pokok yang akan menentukan keberhasilan sebuah organisasi pemasaran, namun perceived performance bisa bervariasi antar konsumen tergantung ekspektasinya masing – masing. Namun menurut Marknesis (2009) hingga saat in definisi kepuasan pelanggan masih banyak diperdebatkan. Contohnya dalam hal perspektif definisi, di satu pihak kepuasan pelanggan dipandang sebagai outcome atau hasil yang didapatkan dari pengalaman mengkonsumsi barang atau jasa spesifik, menurut Giese dan Cote dalam Marknesis (2009) perspektif ini tampak pada sejumlah definisi, diantaranya : 1. Situasi kognitif yang merasa dihargai setara atau tidak setara dengan pengorbanan yang telah dilakukannya. 2. Respon emosional terhadap pengalaman berkaitan dengan produk atau jasa tertentu yang dibeli, gerai ritel, atau pola perilaku berbelanja dan perilaku pembeli, serta pasar secara keseluruhan. 3. Kondisi psikologis yang dialami konsumen manakala emosi seputar ekspektasinya yang tidak terkonfirmasi berpadu dengan perasaannya sebelum mengkonsumsi barang atau jasa yang dibeli. Di lain pihak kepuasan pelanggan seringkali dipandang sebagai proses, hal ini tercermin dalam beberapa definisi seperti berikut :
setidaknya sebagus apa yang seharusnya didapatkan. 2. Evaluasi bahwa alternatif yang dipilih konsisten dengan keyakinan
1. Proses evaluasi untuk memastikan bahwa pengalaman konsumsi
awal terhadap alternatif bersangkutan. 3. Respon konsumen pada evaluasi persepsi terhadap perbedaan antara ekspektasi awal *atau standar kinerja tertentu) dan kinerja aktual produk sebagaimana dipersepsikan setelah konsumsi produk. Panji (2006) menjelaskan bahwa tingkat kepuasan seseorang juga
dipengaruhi oleh usia, pendidikan oleh usia, pendidikan, sosial budaya,
kepribadian dan konsep diri, karen kepuasan terjadi akibat pengalaman emosi
atau psikis pelanggan pada pelayanan jasa ataupun produk.