BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Embriologi Tonsil Bakal tonsil timbul pada awal kehidupan fetus. Tonsil terletak dalam sinus tonsilaris di antara kedua pilar fausium dan berasal dari invaginasi hipoblas di tempat ini. Selanjutnya cekungan yang terbentuk dibagi menjadi beberapa bagian, yang akan menjadi kripta permanen pada tonsil. Permukaan dalam, atau permukaan yang terpapar, termasuk cekungan pada kripta dilapisi oleh mukosa, sedangkan permukaan luar atau permukaan yang tertutup dilapisi oleh selubung fibrosa yang disebut kapsul (Jhon Jacob Ballenger).
2.2.
Anatomi Tonsil Orofaring terbuka ke rongga mulut pada pilar anterior faring. Palatum mole terdiri dari otot yang ditunjang oleh jaringan fibrosa dan diluarnya dilapisi oleh mukosa. Penonjolan di median membaginya menjadi 2 (dua) bagian. Bentuk seperti kerucut yang terletak di bagian sentral yang kita kenal dengan uvula. Batas lateral palatum pada setiap sisinya terbagi menjadi pilar anterior dan pilar posterior fausium. Pada pilar anterior teradapat m. palatoglosus. Pilar posterior terdiri m. palatofaringeus. Diantara kedua pilar terdapat celah, tempat kedudukan tonsil fausium. (Yusa Herwanto, 2002)
Tonsil fausium Tonsilfausium, masing – masing sebuah pada tiap sisi orofaring, adalah jaringan limfoid yang berbentuk seperti buah kenari dibungkus oleh kapsul fibrosa yang jelas. Permukaan sebelah dalam atau permukaan yang bebas, tertutup oleh membran epitel skuamosa berlapis yang sangat melekat. Epitel ini meluas dalam kantung atau kripta yang membuka ke permukaan tonsil.
Universitas Sumatera Utara
Plika triangularis adalah lipatan mukosa yang tipis, terbentang kebelakang dari pilar anterior dan menutupi sebagian permukaan anterior tonsil yang timbul dalam kehidupan embrional. Plika semilunaris (supra tonsil) adalah lipatan sebelah atas dari mukosa yang mempersatukan kedua pilar pada pertautannya. Fosa supra tonsilar merupakan celah yang ukurannya bervariasi, bisa juga terletak diatas tonsil dan diantara pilar anterior dan pilar posterior.
Tonsil Lingual Tonsil lingual merupakan bentuk yang tidak bertangkai, terletak pada dasar lidah diantara kedua tonsil fausium dan meluas kearah anteroposterior dari papila sirkumvaklata ke epiglottis dipisahkan dari otot – otot lidah oleh suatu lapisan jaringan fibrosa. Tonsil terdiri dari sejumlah penonjolan yang bulat atau melingkar yang mengandung jaringan limfoid dan di sekelilingnya terdapat jaringan ikat.
Cincin Waldeyer Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting cincin waldeyer dari limfoid, yang mengelilingi faring. Unsur yang lain yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar – kelenjar limfoid yang tersebar dalam fossa rosenmuller dibawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.
Kapsul Tonsil Kapsul tonsil mempunyai trabekula yang berjalan ke dalam parenkim. Trabekula ini mengandung pembuluh darah, saraf – saraf dan pembuluh limfe eferen.
Kripta Tonsil Terdiri dari 8 – 20 kripta, biasanya tubular dan hampir selalu memanjang dari dalam tonsil sampai ke kapsul pada permukaan luarnya.
Universitas Sumatera Utara
Kripta tersebut tidak bercabang – cabang tetapi merupakan saluran yang sederhana. Jaringan ikat sub epitel yang terdapat dengan jelas dibawah permukaan epitel segera hilang ketika epitel membentuk kripta. Hal ini menyebabkan sel – sel epitel dapat menempel pada struktur limfatik tonsil. Sering kali tidak mungkin untuk membuat garis pemisah antara epitel kripta dengan jaringan interfolikuler. Epitel kripta tidak sama dengan epitel asalnya yang menutupi permukaan tonsil, tidak membentuk sawar pelindung yang kompak dan utuh.
Fossa Tonsilaris Pilar anterior berisi m. palatoglosus dan membentuk batas anterior, pilar posterior berisi m. palatofaringeus dan membentuk batas posterior sinus. Palatoglosus mempunyai origo berbentuk seperti kipas dipermukaan oral palatum mole dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun verikal dan diatas melekat pada palatum mole, tuba Eustachius dan pada dasar tenggorok. Otot ini meluas kebawah sampai ke dinding atas esophagus. Otot ini lebih penting daripada otot palatoglosus. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan paltum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan dinding lateral faring. Dinding luar fosa tonsilaris terdiri dari m. konstriktor faringeus superior. M. konstriktor superior mempunyai serabut melintang yang teratur, membentuk otot sirkularfaring. Fowler dan Todd menggambarkan otot keempat yang dinamakan m. tonsilofaringeus yang dibentuk oleh serabut – serabut lateral dari m. palatofaringeus. Otot ini melekat pada kapsul tonsil pada pertemuan lobus atas dan bawah.
Sistem Pembuluh Limfe Faring dan Tonsil Kelenjar limfe menerima pembuluh aferen dari bagian bawah oksipital. Kelenjar limfe ini dibagi oleh eferen yang berjalan menuju
Universitas Sumatera Utara
bagian atas kelenjar mstoid substernal. Kelenjar mastoid atau kelenjar retroaurikular (biasanya berpasangan) terdapat di dekat insersi m. sternokleidomastoid, menerima pembuluh aferen dari bagian temporal kepala, permukaan dalam telinga dan bagian posterior liang telinga. Aliran pembuluh limfe jaringan tonsil ini tidak mempunyai pembuluh aferen. Aliran limfe dari parenkim tonsil ditampung pada ujung aferen yang terletak pada trabekula. Dari sini menembus kapsula ke otot konstriktor superior pada dinding belakang faring. Beberapa cabang didaerah ini berjalan ke belakang menembus fasia bukofaringeal kemudian kelenjar – kelenjar pada daerah leher dan bermuara ke nodus limfatikus leher bagian dalam dibawah otot sternokleidomasoideus. Salah satu dari nodus limfatikus ini terletak disebelah mandibula yang sering juga disebut nodus limfatikus tonsiler, karena sering mengalami pembesaran pada proses infeksi atau proses keganasan tonsil.
Sistem Aliran Darah Aliran darah tonsil dan faring berdasarkan dari beberapa cabang sistem karotis eksterna. Beberapa anastomosis tidak hanya dari satu sisi tetapi dari pembuluh darah sisi lainnya. Ujung cabang arteri maksilaris interna, cabang tonsilar arteri fasialis, cabang arteri lingualis bagian dorsal, cabang arteri tiroidea superior dan arteri faringeal yang naik semuanya menambah jaringan anastomosis yang luas.
Persarafan dan Tonsil Tonsil disarafi oleh nervus trigeminus dan glossofaringeus. Nervus trigeminus mempersarafi bagian atas tonsil melalui cabangnya yang melewati ganglion sfenopalatina yaitu nervus palatine. Sedangkan nervus glossofaringeus
selain
mempersarafi
bagian
tonsil,
juga
dapat
mempersarafi lidah bagian belakang dan dinding faring.
Universitas Sumatera Utara
2.3.
Fisiologi Tonsil Tonsila palaitna adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris dikedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta (Amaruddin T, 2007). Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas. Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel – sel fagositik mononuklear pertama – tama akan mengenal dan mengeliminasi antigen (Farokah, 2005). Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik (Kartika H, 2008). Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk melawan infeksi. Lokasi tonsil sangat memungkinkan
terpapar
benda
asing
dan
patogen,
selanjutnya
membawanya ke sel limfoid. Jika tonsil tidak mampu melindungi tubuh, maka akan timbul inflamasi dan akhirnya terjadi infeksi yaitu tonsilitis (tonsillolith). Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun (Amarudin T, 2007).
2.4.
Patogenesis dan Patofisiologi Tonsilitis Terjadinya tonsilitis dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kripte – kriptenya, sampai disitu secara aerogen (melalui hidung, droplet
Universitas Sumatera Utara
yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus ke tonsil), maupun secara foodvorn yaitu melalui mulut bersama makanan (Aritomoyo D, 1980 dalam Boedi Siswantoro, 2003). Fungsi tonsil sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh baik yang melalui hidung maupun mulut. Kuman yang masuk kesitu dihancurkan oleh makrofag, sel – sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena infeksi maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh kuman – kuman semuanya, akibatnya kuman bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (tonsil sebagai fokal infeksi). Sewaktu – waktu kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan umum yang menurun (Aritomoyo D, 1980 dalam Boedi Siswantoro, 2003)
2.5.
Definisi Tonisilitis Kronis Tonsilitis kronis merupakan radang pada tonsila palatina yang sifatnya menahun. Tonsilitis kronis dapat berasal dari tonsilitis akut yang dibiarkan saja atau karena pengobatan yang tidak sempurna, dapat juga karena penyebaran infeksi dari tempat lain, misalnya karena adanya sekret dari infeksi di sinus dan di hidung (sinusistis kronis dan rhinitis kronik), atau karies gigi. Pada sinusitis kronik dan rhinitis kronik terdapat sekret di hidung yang mengandung kuman penyakit. Sekret tersebut kontak dengan permukaan tonsil. Sedangkan penyebaran infeksinya adalah secara hematogen maupun secara limfogen ke tempat jaringan yang lain. Adapun yang dimaksud kronik adalah apabila terjadi perubahan histologik pada tonsil, yaitu didapatkannya mikroabses yang diselimuti oleh dinding jaringan fibrotik dan dikelilingi oleh zona sel – sel radang (Rivai L. dalam Boedi Siswantoro, 2003). Mikroabses pada tonsilitis kronis maka tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi organ – organ lain, seperti sendi, ginjal, jantung dan lain – lain (Mawson S, 1987 dalam Boedi Siswantoro, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Fokal infeksi adalah sumber bakteri / kuman didalam tubuh dimana kuman / produk – produknya dapat menyebar jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat menimbulkan panyakit (Pradono AP, 1978 dalam Boedi Siswantoro, 2003). Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau bahkan tidak ada gejala sama sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi pada organ lain yang jauh dari sumber infeksi. Penyebaran kuman atau toksin dapat melalui beberapa jalan. Penyebaran jarak dekat biasanya terjadi secara limfogen, sedangkan penyebaran jarak jauh secara hematogen. Fokal infeksi secara periodik menyebabkan bakterimia atau toksemia (Ahmad A, 1988 dalam Boedi Siswantoro, 2003). Bakterimia adalah terdapatnya kuman dalam darah. Kuman – kuman yang masuk ke dalam aliran darah dapat berasal dari berbagai tempat pada tubuh. Darah merupakan jaringan yang mempunyai kemampuan dalam batas – batas tertentu untuk membunuh kuman
-
kuman karena adanya imun respon. Maka dalam tubuh sering terjadi bakterimia sementara. Bakterimia sementara berlangsung selama 10 menit sampai beberapa jam setelah tindakan (Boedi Siswantoro, 2003). Paradise et all (2002) mendapatkan hasil dari 58 penderita yang dilakukan tonsilektomi pada anak – anak terbanyak pada kelompok usia 7 - 15 tahun yaitu sebesar 30%. Sedangkan pada penelitian Sing T (2007) yang dilakukan di poli THT Rumah Sakit Sarawak, Malaysia, terdapat sebanyak 657 penderita tonsilitis kronis dan terbanyak pada ≤14 usia tahun yaitu sebesar 58%. Pada penelitian Sing T (2002) mendapatkan laki – laki 342orang (52%) dan wanita 315orang (48%). Farokah (2005) mendapatkan hasil penelitian laki – laki 145 orang (48,2%) dan perempuan 156 orang (51,8%).
Universitas Sumatera Utara
2.6.
Etiologi Tonsilitis Kronis Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Bakteri penyebab tonsilitis kronis pada umumnya sama dengan tonsilitis akut, yang paling sering adalah kuman gram positif (Kazzi AA, 2002 ; Arif Mansyoer dkk, 2001). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, bakteri yang paling banyak ditemukan pada jaringan tonsil adalah Streptococcus β hemolyticus. Beberapa jenis bakteri lain yang dapat ditemukan adalah Staphylococcus, Pneumococcus, Haemophylus influenza, virus, jamur dan bakteri anaerob. Pada hasil penelitian Suyitno S, Sadeli S, menemukan 9 jenis bakteri penyebab tonsilofaringitis kronis yaitu Streptococcus alpha, Staphylococcus Enterobacter,
aurius,
Streptococcus
Streptococcus
pneumonie,
β
hemolyticus Pseudomonas
group
A,
aeroginosa,
Klabsiela sp., Escherichea coli, Staphylococcus epidermidis (Suyitno S, Sadeli S, 1995 dalam Farokah 2005). Meskipun tonsilitis kronis dapat disebabkan berbagai bakteri namun streptococcus β hemolyticus group A perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar karena dapat menyebabkan komplikasi yang serius diantaranya demam rematik, penyakit jantung rematik, penyakit sendi rematik dan glomerulonefritis.
2.7.
Faktor Predisposisi Tonsilitis Kronis Adapun faktor predisposisi dari Tonsilitis Kronis yaitu : •
Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat
•
Higiene mulut yang buruk
•
Pengaruh cuaca
•
Kelelahan fisik
•
Merokok
Universitas Sumatera Utara
•
2.8.
Makanan
Gejala dan Tanda Klinis Tonsilitis Kronis Gejala klinis tonsilitis kronik adalah nyeri tenggorok atau nyeri telan ringan, kadang – kadang terasa seperti ada benda asing di tenggorok dimana mulut berbau, badan lesu, nafsu makan menurun, sakit kepala dan badan terasa meriang – meriang. Tanda klinik pada tonsilitis kronis adalah (Primara IW,1999 dalam Boedi Siswantoro, 2003) : •
Pilar/plika anterior hiperemis
•
Kripte tonsil melebar
•
Pembesaran kelenjar sub angulus mandibular teraba
•
Muara kripte terisi pus
•
Tonsil tertanam atau membesar
Tanda klinik tidak harus ada seluruhnya, minimal ada kripte melebar dan
pembesaran kelenjar sub angulus mandibula. Gabungan
tanda klinik yang sering muncul adalah kripte melebar, pembesaran kelenjar angulus mandibula dan tonsil tertanam atau membesar (Boedi Siswantoro, 2003).
2.9.
Diagnosa dan Pemeriksaan Penunjang Tonsilitis Kronis Dari pemeriksaan dapat dijumpai : a. Tonsil dapat membesar bervariasi. b. Dapat terlihat butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil c. Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material menyerupai keju d. Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring, tanda ini merupakan tanda penting untuk menegakkan diagnosa infeksi kronis pada tonsil.
Universitas Sumatera Utara
Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya membesar
(hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga
mengecil (atrofi), terutama pada dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran kelenjar limfe angulus mandibula (Aritomoyo D, 1980 dalam Farokah 2005). Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1 – T4 : T1
: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior – uvula
T2
: batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior uvula sampai ½ jarak anterior – uvula
T3
: batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾ jarak pilar anterior – uvula
T4
: batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula atau lebih
Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale. Obstruksi yang berat menyebabkan apnea waktu tidur, gejala yang paling umum adalah mendengkur yang dapat diketahui dalam anamnesis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu secara mikrobiologi. Pemeriksaan dengan antimikroba sering gagal untuk segera dikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi anitbiotika yang inadekuat.
2.10.
Pengobatan pada Tonsilitis Kronis Terapi antibiotik pada tonsilitis kronis sering gagal dalam mengurangi dan mencegah rekurensi infeksi, baik karena kegagalan penetrasi antibiotik ke dalam parenkim tonsil ataupun ketidaktepatan
Universitas Sumatera Utara
antibiotik. Oleh sebab itu, penanganan yang efektif bergantung pada identifikasi bakteri penyebab dalam parenkim tonsil. Pemeriksaan apus permukaan tonsil tidak dapat menunjukkan bakteri pada parenkim tonsil, walaupun sering digunakan sebagai acuan terapi, sedangkan pemeriksaan aspirasi jarum halus (fine needle aspiration/FNA) merupakan tes diagnostik yang menjanjikan (Kote Noordhianta, Tonny B S dan Lina Lasminingrum, 2009). Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotik sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita tonsilitis kronis Cephaleksin
ditambah
Metronidazole,
klindamisin
(terutama
jika
disebabkan mononucleosis atau absees), amoksisilin dengan asam clavulanat (jika bukan disebabkan mononucleosis). Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma (Arsyad Soepardi E dkk, 2007). Kriteria tonsilitis kronis yang memerlukan tindakan tonsilektomi, umumnya diambil berdasarkan frekuensi serangan tonsilitis akut dalam setahun yaitu tonsilitis akut berulang 3 kali atau lebih dalam setahun atau sakit tenggorokan 4 – 6 kali setahun tanpa memperhatikan jumlah serangan tonsilitis akut. Perlu diketahui, pada tonsilitis kronik, pemberian antibiotik akan menurunkan jumlah kuman patogen yang ditemukan pada per mukaan tonsil tetapi ternyata, setelah dilakukan pemeriksaan bagian dalam tonsil paska tonsilektomi, ditemukan jenis kuman patogen yang sama bahkan lebih banyak dari hasil pemeriksaan di permukaan tonsil sebelum pemberian antibiotik (Amarudin T, Christanto A, 1999).
2.11.
Komplikasi Tonsilitis Kronis Komplikasi secara kontinuitatum kedaerah sekitar berupa rhinitis kronis, sinusitis dan otitis media. Komplikasi secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil seperti endokarditis, arthiritis,
Universitas Sumatera Utara
miositis, uveitis, nefritis, dermatitis, urtikari, furunkolitis,dll (Arif Mansyoer dkk, 2001). Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma (Arsyad Soepardi E dkk, 2007).
2.12.
Prognosa Tonsilitis
biasanya
sembuh
dalam
beberapa
hari
dengan
beristirahat dan pengobatan suportif. Menangani gejala – gejala yang timbul dapat membuat penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala – gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang paling sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus – kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.
2.13.
Pencegahan Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah terpapar dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang – orang yang merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang lain.
Universitas Sumatera Utara