BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Status Gizi pada Balita Menurut Arsad (2006) status gizi balita adalah keadaan kesehatan anak balita yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri. Status gizi adalah keadaan kesehatan yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara makanan, tubuh dan lingkungan hidup manusia. Status gizi diukur dengan cara yaitu (Depkes, 1992). 1. Antropometri, yaitu mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lemak dibawah kulit. 2. Klinik, yaitu pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh ahli medis, biasanya yang melakukannya adalah seorang dokter. 3. Laboratorium, yaitu pemeriksaan darah, urine dan tinja. 4. Dietetik, yaitu pemeriksaan jenis, jumlah, komposisi makanan yang dikonsumsi oleh individu. Berdasarkan Departemen Kesehatan (2011) penentuan status gizi anak balita dilakukan secara klinis dan antropometri (BB/TB-PB), sehingga dapat diketahui tingkat status gizi balita tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1.Penentuan Status Gizi Secara Klinis dan Antropometri (BB/TB Standar WHO-2005) Status Gizi Gizi Buruk
Gizi Kurang
Klinis Tampak sangat kurus dan atau ada odema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh Tampak Kurus
Antropometri (BB/TB) < - 3 SD
≥- 3 SD ─ < - 2 SD
Gizi Baik
- 2 SD ─ + 2 SD
Gizi Lebih
> + 2 SD
2.1.1. Masalah Gizi pada Balita Berg ( 1989) berbicara mengenai gizi berarti membicarakan tentang makanan dalam hubungannya dengan kesehatan dan proses dimana organisme menggunakan makanan untuk pemeliharaan kehidupan, pertumbuhan, bekerjanya anggota dan jaringan tubuh secara normal dan produksi tenaga. Membahas mengenai masalah gizi, dapat digolongkan kepada tiga bagian sebagai berikut : 1. Gizi kurang, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang timbul karena tidak cukup makan dan dengan demikian konsumsi energi kurang selama jangka waktu tertentu, ditandai dengan berat badan yang menurun. 2. Gizi lebih, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang disebabkan kebanyakan makan serta mengkonsumsi energi lebih banyak daripada yang diperlukan tubuh untuk jangka waktu yang panjang, kegemukan merupakan tanda pertama yang biasa dilihat.
Universitas Sumatera Utara
3. Gizi buruk, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang disebabkan oleh makanan yang sangat kurang dalam satu atau lebih zat esensial dalam waktu lama, biasanya diikuti dengan tanda-tanda klinis khusus seperti marasmus, kwashiorkor dan marasmus kwashiorkor. 2.1.2. Penilaian Status Gizi pada Balita Menurut standar WHO (1983) bila prevalensi kurus (wasting) < -2SD diatas 10 % menunjukan suatu daerah tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan langsung dengan angka kesakitan. Indeks Antropometri yang sering dipakai adalah :BB/U (berat badan menurut umur) menggambarkan ada atau tidak adanya kurang gizi (malnutrisi), tidak bisa menjelaskan apakah akut atau kronis. TB/U (tinggi badan menurut umur) menggambarkan ada atau tidak adanya malnutrisi kronik. BB/TB (berat badan menurut tinggi badan) menggambarkan ada atau tidak adanya malnutrisi akut (Depkes, 2004). Khumaidi (1994) berpendapat bahwa berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter penting untuk menentukan status kesehatan manusia, khususnya yang berhubungan dengan status gizi. Penggunaan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh . Menurut Arsad (2006) ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada kelompok masyarakat, salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan antropometri, dalam pemakaiannya untuk penilaian status gizi
Universitas Sumatera Utara
antropometri disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan variabel lain, variabel tersebut adalah sebagai berikut : umur, berat badan dan tinggi badan. Menurut Abunain (1990) berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun. Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U (berat badan menurut umur) atau melakukan penilaian dengam melihat perubahan berat badan pada saat pengukuran dilakukan, yang dalam penggunaannya memberikan gambaran keadaan kini. Berat badan paling banyak digunakan karena hanya memerlukan satu pengukuran, hanya saja tergantung pada ketetapan umur, tetapi kurang dapat menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu . Menurut Supariasa (2002) indeks BB/U digunakan sebagai salah satu indikator status gizi dan karena sifatnya berat badan yang labil maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi saat ini. Sebagai indikator status gizi BB/U mempunyai kelebihan dan kelemahan, adapun kelebihannya adalah: Dapat lebih mudah dan lebih cepat di mengerti oleh masyarakat umum, sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek, dan dapat mendeteksi kegemukan. Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk
Universitas Sumatera Utara
indeks TB/U (tinggi badan menurut umur), atau juga indeks BB/TB (berat badan menurut tinggi badan) jarang dilakukan karena perubahan tinggi badan yang lambat dan biasanya hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan indeks ini pada umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun (Depkes, 2004). 2.1.3. Gizi Buruk pada Balita Pengertian Gizi buruk (severe malnutrition) menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008) adalah suatu istilah tehnis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran, gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Menurut Depatemen Kesehatan (2008) gizi buruk adalah keadaan kekurangan gizi menahun yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari. Kekurangan gizi tingkat berat pada anak balita berdasarkan pada indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis seperti marasmus, kwashiorkor
dan marasmus-kwashiorkor,
klasifikasi gizi buruk berdasarkan gambaran klinisnya antara lain, sebagai berikut : Marasmus adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan badan tampak sangat kurus, iga gambang, perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput. Gambaran klinis marasmus berasal dari masukan kalori/asupan kalori yang tidak cukup dikarenakan diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat seperti pola asuh yang tidak baik, atau karena kelainan metabolik/malformasi
Universitas Sumatera Utara
congenital. Malnutrisi berat pada bayi sering ada di daerah dengan makanan tidak cukup atau dengan hygiene yang jelek (Behrman, 2000). 2.1.4. Penyebab Gizi Buruk pada Balita Secara garis besar penyebab anak kekurangan gizi disebabkan karena asupan makanan yang kurang atau anak sering sakit/terkena infeksi, atau disebabkan oleh banyak faktor lainnya seperti, tidak tersedianya makanan yang adekuat, dan anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, serta pola asuh yang salah (IDAI, 2008). Menurut Departemen Kesehatan (2005) gizi buruk di pengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait, secara langsung gizi buruk dipengaruhi oleh tiga faktor penyebab yaitu, anak tidak cukup mendapatkan makanan bergizi seimbang, anak tidak mendapatkan asuhan gizi yang memadai, dan anak menderita penyakit infeksi. 1. Anak tidak cukup mendapat makanan yang bergizi seimbang Bayi dan anak balita tidak mendapatkan makanan yang bergizi seperti ASI (Air Susu Ibu) ekslusif, dan setelah 6 bulan anak tidak mendapat makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan rendah seringkali anak mendapatkan makanan seadanya karena faktor ketidak tahuan dan ketidak mampuan.
2. Anak tidak mendapatkan asuhan gizi yang memadai
Universitas Sumatera Utara
Pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Pengetahuan orang tua yang kurang tentang pola asuh anak sehingga asupan gizi yang cukup tidak terpenuhi. Salah satu contohnya adalah anak yang tidak diasuh oleh ibunya sendiri, pengasuh kurang mengerti pentingnya makanan bergizi sehingga anak tidak mendapat gizi yang cukup. 3. Anak menderita penyakit infeksi Terjadi hubungan timbal balik antara kejadian penyakit infeksi dan gizi buruk. Anak yang menderita gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga anak mudah terkena penyakit infeksi. Demikian juga anak yang menderita infeksi akan cenderung menderita gizi buruk.
2.2.Penatalaksanaan Gizi Buruk pada Balita Penatalaksanaan gizi buruk adalah suatu kegiatan pelaksanaan pelayanan /penanganan gizi yang dilakukan guna mendukung penyembuhan penyakit yang disebabkan oleh kekurangan gizi sampai gizi buruk dengan komplikasi atau tanpa komplikasi, ditangani secara serius sampai dinyatakan sembuh (Depkes, 2006). Tatalaksana gizi berarti mengelola atau melaksanakan pelayanan dan pemberian zat gizi sesuai kebutuhan kepada pasien/balita yang mempunyai masalah gizi sampai pasien/balita tersebut sembuh dan status gizinya kembali pulih atau normal (Depkes, 2009). Berdasarkan standar pelayanan rumah sakit (2006) penatalaksanaan gizi di rumah sakit disebut juga dengan asuhan gizi (nutritional care) yaitu dengan pemberian zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
Universitas Sumatera Utara
pasien agar mencapai status gizi optimal oleh ahli gizi, yaitu dengan melakukan beberapa proses mulai dari pengukuran antropometri, diagnosa status gizi, intervensi gizi dan melakukan monitoring dan evaluasi gizi. Menurut WHO (2000) dalam Suwanti (2003) menyebutkan bahwa, cara pemulihan gizi buruk yang paling ideal adalah dengan rawat inap dirumah sakit, tetapi pada kenyataannya hanya sedikit anak dengan gizi buruk yang dirawat karena berbagai alasan. Salah satu contohnya dari keluarga yang tidak mampu, karena rawat inap memerlukan biaya yang besar dan dapat mengganggu sosial ekonomi seharihari. Menurut ASDI (2009) model asuhan gizi atau penatalaksanaan gizi adalah suatu metode pemecahan masalah yang sistematis, dimana ahli gizi (dietisien) di tuntut dapat berpikir kritis dan membuat keputusan yang tepat terkait dalam memecahkan masalah gizi dan dapat melaksanakan asuhan gizi atau penatalaksanaan gizi yang berkualitas, aman dan efektif. Alternatif lain dalam memecahkan masalah gizi buruk adalah dengan melakukan penatalaksanaan gizi balita gizi buruk yang bermutu di posyandu dengan koordinasi penuh dari puskesmas, dan penanganannya harus secara serius karena menyangkut kelangsungan hidup anak. Selain itu dalam rangka menjamin mutu (quality assurance) pelaksanaan tatalaksana gizi buruk tersebut maka itu telah dilaksanakan pelatihan tatalaksana anak gizi buruk (TLAGB) kepada tim asuhan gizi yang terdiri dari dokter, ahli gizi dan perawat yang bertugas di puskesmas dan rumah sakit (Depkes, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Dari berbagai kajian terhadap pelaksanaan pemantauan pertumbuhan ditemukan juga beberapa masalah yaitu seringkali balita yang mengalami gangguan pertumbuhan bahkan gizi buruk tidak dirujuk ke puskesmas/rumah sakit untuk tindak lanjut sebagaimana mestinya sesuai tatalaksana gizi buruk. Kendala lain seperti, masalah kemiskinan dan anak yang menderita infeksi, selain itu juga pengetahuan orang tua yang kurang tentang pola asuh anak, sehingga asupan gizi yang cukup tidak terpenuhi (Depkes, 2009). 2.2.1. Aspek-Aspek Penatalaksanaan Gizi pada Balita Pelaksanaan tatalaksana gizi menyangkut banyak aspek seperti adanya tim asuhan gizi yang diperlukan untuk melakukan kegiatan anamnesa, penentuan status gizi dan melakukan pelayanan gizi, baik perawatan, maupun penyelenggaraan makanan, sampai balita gizi buruk dinyatakan sembuh (Depkes, 2006). Menurut Departemen Kesehatan (2009) untuk melihat prosedur tatalaksana gizi buruk dan rujukannya dilakukan dengan mengambil satu contoh atau lebih status pasien anak gizi buruk di puskesmas yaitu dengan melihat tahap-tahap yang dilakukan seperti, pengorganisasian yaitu dengan melihat apakah ada atau tidak tenaga gizi yang telah dilatih untuk menjadi tim asuhan gizi, serta hal-hal lain yang mendukung
terlaksananya
penatalaksanaan
gizi
buruk
di
puskesmas,
tatacara/prosedur tatalaksana gizi seperti identifikasi/penemuan kasus baik di posyandu ataupun dipuskesmas, dan penentuan status gizi balita secara benar, serta rujukan/tindak lanjut yang dilakukan, selain itu setelah dilakukan penatalaksanaan gizi dengan benar sesuai prosedur harus dilakukan juga monitoring/pengawasan
Universitas Sumatera Utara
sehingga balita yang sudah dinyatakan sembuh tetap terpantau berat badannya serta adanya pencatatan pelaporan yang baik. 1. Pengorganisasian Siagian (2002) fungsi pengorganisasian merupakan alat untuk mengatur semua kegiatan yang berkaitan dengan personil, finansial, material dan tatacara untuk mencapai
tujuan.
Pengorganisasian
adalah
langkah
untuk
menetapkan,
menggolongkan dan mengatur berbagai macam kegiatan, menetapkan tugas-tugas pokok dan wewenang, serta pendelegasian dari pimpinan ke staf untuk mencapai tujuan organisasi. Pada pengorganisasian ini mencakup ada tidaknya tim asuhan gizi yang sudah terlatih, tim asuhan gizi adalah sekelompok petugas kesehatan yang berada di rumah sakit ataupun puskesmas yang terkait dengan pelayanan gizi, terdiri dari dokter/dokter spesialis, tenaga pelaksana gizi, dan perawat bidan dari setiap unit pelayanan, bertugas menyelenggarakan asuhan gizi (nutrition care) untuk mencapai pelayanan paripurna yang bermutu (Depkes, 2009). 2. Tatacara (prosedur) dan Tindak Lanjut Tatalaksana Gizi Buruk Tatacara / prosedur tatalaksana gizi dapat dimulai dengan penemuan kasus balita kurang energi protein (KEP)/gizi buruk dapat dimulai dari posyandu ataupun dari puskesmas dimana ditemukannya balita dengan berat badan <-3 standar deviasi (sesuai standar WHO-2005). Untuk melihat prosedur tatalaksana anak gizi buruk dan rujukannya dilakukan dengan mengambil satu contoh atau lebih status pasien anak gizi buruk di puskesmas dimulai dari : Tahap identifikasi identitas anak, kemudian dilakukan
Universitas Sumatera Utara
anamnesis, pemeriksaan fisik serta penentuan status gizi sehingga diketahui dengan jelas kondisi gizi buruk yang dialami pasien. Rujukan dan persiapan tindak lanjut di puskesmas yaitu menerima rujukan gizi buruk dari Posyandu dalam wilayah kerjanya serta pasien pulang dari rawat inap di rumah sakit, kemudian menyeleksi dengan cara menimbang ulang dan dicek dengan tabel BB/TB, WHO-2005 (Depkes, 2009). Anak dengan kurang energi protein berat/gizi buruk dengan komplikasi serta tanda-tanda kegawat daruratan harus segera dirujuk ke rumah sakit. Tindakan yang dapat dilakukan di puskesmas pada anak gizi buruk tanpa komplikasi yaitu : Memberikan penyuluhan gizi dan konseling diet KEP berat/gizi buruk (dilakukan dipojok gizi), melakukan pemeriksaan fisik dan pengobatan minimal 1 kali perminggu, melakukan evaluasi pertumbuhan berat badan balita gizi buruk setiap dua minggu sekali, melakukan peragaan cara menyiapkan makanan untuk KEP berat/gizi buruk, melakukan pencatatan dan pelaporan tentang perkembangan berat badan dan kemajuan asupan makanan, untuk keperluan data pemantauan gizi buruk di lapangan, posyandu, dan puskesmas. Diperlukan laporan segera jumlah balita KEP berat/gizi buruk ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam 24 jam (Depkes, 2002). 3. Pengawasan (Monitoring) Menurut George Terry berdasarkan fungsi manajemen yang dipakai Depkes, fungsi merupakan fungsi yang terakhir dari proses manajemen, fungsi pengawasan adalah proses untuk mengawasi secara terus menerus pelaksanaan
Universitas Sumatera Utara
kegiatan sesuai dengan rencana kerja yang disusun. Melalui fungsi ini standar keberhasilan program yang ditetapkan dibandingkan dengan hasil yang dicapai, apabila ada penyimpangan dan kesenjangan yang terjadi harus segera diatasi. 2.2.2.Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Penatalaksanaan Gizi
Buruk pada Balita Perkembangan masalah gizi di Indonesia berdasarkan hasil surveilens dari seluruh Dinas Kesehatan Provinsi sejak tahun 2005 didapatkan bahwa setiap bulan kasus gizi buruk mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan karena anak yang menderita gizi buruk mendapat perawatan yang baik di puskesmas maupun rumah sakit. Dilanjutkan perawatan tindak lanjut yang berupa rawat jalan melalui posyandu, untuk memantau kenaikan berat badan serta mendapatkan makanan tambahan (Depkes ,2005). Oleh karena itu dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan penatalaksanaan gizi buruk antara lain : Faktor tenaga kesehatan, faktor ibu, faktor program kesehatan, faktor kerjasama lintas sektor, faktor ekonomi dan faktor penyakit. 1. Faktor Tenaga Kesehatan Pemerintah meningkatkan akses pelayanan kesehatan gizi yang bermutu, melalui penempatan tenaga pelaksana gizi di puskesmas dan peningkatan kemampuan tenaga kesehatan dalam mendeteksi, menemukan dan menangani kasus gizi buruk sedini mungkin. Selain itu pemerintah juga membentuk tim asuhan gizi yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, ahli gizi dan dibantu oleh tenaga kesehatan
Universitas Sumatera Utara
lainnya. Diharapkan dapat memberikan penanganan yang cepat dan tepat pada kasus gizi buruk, baik di puskesmas maupun rumah sakit (Depkes, 2006). 2. Faktor Ibu Pengetahuan ibu dalam pemberian gizi yang baik pada anaknya merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan pemulihan gizi buruk pada anak balita, sehingga diharapkan tidak terjadi kesalahan dalam pola asuh anaknya. Pada saat pemulihan selain intervensi medis, seharusnya orang tua mendapatkan pembinaan yang berkelanjutan, agar anaknya tidak jatuh dalam kondisi buruk lagi (Depkes, 2006), melalui kegiatan antara lain: memberikan ASI secara ekslusif, menimbang berat badan balitanya secara teratur di posyandu, mengkonsumsi makanan
beraneka
ragam,
serta
menggunakan
garam
beryodium
serta
mengkonsumsi suplemen gizi (Depkes, 2007). 3. Faktor Program Kesehatan Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah melalui upaya promotif dan preventif, untuk melakukan pemantauan pertumbuhan anak melalui kegiatan posyandu, pemberian makanan tambahan, pendidikan dan konseling gizi serta pendampingan keluarga sadar gizi. Pemerintah juga membentuk SKPG (Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi) dalam rangka mendeteksi, menemukan dan menangani kasus gizi buruk sedini mungkin. Untuk meningkatkan status gizi anak dilakukan upaya melalui pemberian perawatan anak gizi buruk di puskesmas perawatan dan rumah sakit (Depkes, 2006). 4. Faktor Kerjasama Lintas Sektor
Universitas Sumatera Utara
Menurut
Mardiyah
(2007)
mengingat
penyebabnya
sangat
kompleks,
penatalaksanaan gizi buruk memerlukan kerjasama yang komprehensif dari semua pihak, tidak hanya dokter dan tenaga kesehatan saja tetapi juga dari pihak orang tua, keluarga, pemuka masyarakat, pemuka agama dan pemerintah. Oleh karena itu penanggulangan masalah gizi buruk merupakan tanggung jawab bersama, yang melibatkan masyarakat dan banyak sektor yang terkait dalam pelayanan kesehatan. Meliputi sektor ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, pemberdayaan perempuan, PKK dan pertanian yang menyangkut ketersediaan pangan dalam rumah tangga. 5. Faktor Ekonomi Adanya krisis ekonomi menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat dan peningkatan harga pangan. Dalam kehidupan sehari-hari pengaruh tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk pengurangan jumlah dan mutu konsumsi makanan sehari-hari (Depkes, 2000). Pada tahun 2000 jaringan pengaman sosial bidang kesehatan (JPSBK) telah berhasil meningkatkan akses keluarga miskin terhadap pelayanan kesehatan. Sehingga derajat kesehatan masyarakat miskin cenderung meningkat dan status gizi buruk mulai menurun (Media Ind, 2008). 6. Faktor Penyakit Salah satu faktor penyebab gizi buruk pada anak balita adalah faktor penyakit yang diderita anak, baik penyakit bawaan seperti penyakit jantung, penyakit infeksi seperti, saluran pernafasan dan diare. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan mengatasi masalah
Universitas Sumatera Utara
masalah penyakit pada anak, misalnya memberikan imunisasi kepada ibu hamil dan bayi untuk mencegah terjadinya penyakit (IDAI, 2008).
2.3.Pengetahuan 2.3.1.Pengertian Pengetahuan Pengetahuan (knowledge) adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni : Indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoadmojo, 2003). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Suatu perbuatan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perbuatan yang tidak didasari oleh pengetahuan, dan orang yang mengadopsi perbuatan dalam diri seseorang tersebut akan terjadi proses sebagai berikut : 1. Kesadaran (awareness) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap obyek (stimulus). 2. Merasa tertarik (interest) terhadap stimulus atau obyek tertentu. Disini sikap subyek sudah mulai timbul. 3. Menimbang-nimbang (evaluation) terhadap baik dan tidaknya terhadap stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah tidak baik lagi. 4. Trial, dimana subyek mulai melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
Universitas Sumatera Utara
5. Adopsi (adoption), dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. 2.3.2.Tingkat Pengetahuan Menurut Notoadmodjo (2007), pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu : 1. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, “tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. 2. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi rill (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, adanya prinsip terhadap obyek yang dipelajari. 4. Analisis (analysis)
Universitas Sumatera Utara
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lainnya. 5. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dalam kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. 6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan suatu justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
2.3.3.Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan menurut Notoadmodjo (2003) antara lain : 1. Tingkat Pendidikan Pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat. Pendidikan digolongkan sebagai berikut : Tamat SD, Tamat SLTP, Tamat SLTA, Tamat Perguruan Tinggi dan
Universitas Sumatera Utara
seterusnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang diharapkan akan semakin tinggi tingkat pengetahuannya. 2. Informasi Seseorang dengan sumber informasi yang lebih banyak akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas. 3. Budaya Tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan yang meliputi sikap dan kepercayaan. 4. Pengalaman Sesuatu yang pernah dialami seseorang akan menambah pengetahuannya tentang sesuatu yang bersifat informal. 5. Sosial Ekonomi Sosial ekonomi disini maksudnya adalah tingkat kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi akan semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki karena dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi memungkinkannya untuk mempunyai fasilitas-fasilitas yang mendukung seseorang mendapatkan informasi dan pengalaman yang lebih banyak.
2.4.Penatalaksanaan Gizi dan Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk Status gizi pada balita perlu mendapatkan perhatian yang serius, mengingat jumlah balita di Indonesia sangat besar yaitu sekitar 10 % dari seluruh populasi,
Universitas Sumatera Utara
perhatian yang serius itu berupa pemberian gizi yang baik. Pada lima tahun pertama kehidupannya, ditujukan untuk mempertahankan kehidupan sekaligus meningkatkan kualitas agar mencapai pertumbuhan optimal baik secara fisik, sosial maupun intelegensi. Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan intraseluler, yang berarti bertambahnya ukuran tubuh sebagian atau keseluruhan sehingga dapat diukur dengan satuan panjang dan berat (Depkes, 2005). Apabila balita mengalami status gizi yang buruk, secara otomatis proses pertumbuhan dan perkembangan pada fungsi tubuhnya akan mengalami gangguan, baik itu secara fisik yang dapat dilihat dengan terganggunya pertumbuhan ukuran tubuhnya yaitu panjang atau tinggi badan, sedangkan perkembangan yang terganggu yaitu dalam segi motorik dan tingkat kecerdasan yang rendah dibandingkan anakanak seusianya dengan status gizi yang baik. Departemen Kesehatan (2008) telah mengupayakan penjaringan kasus gizi buruk secara dini melalui kegiatan operasi timbang untuk seluruh balita, yang pelaksanaannya turut melibatkan sektor lain. Balita yang ditemukan dilapangan akan segera divalidasi dan dirujuk ke rumah sakit atau di puskesmas bila terdeteksi gizi buruk berdasarkan indeks BB/TB, akan dilakukan perawatan dan disesuaikan dengan prosedur tatalaksana anak gizi buruk, dan dilihat apakah gizi buruk tersebut tanpa komplikasi atau dengan komplikasi, karena dari segi penanganan yang dilakukan akan berbeda. Saat ini penanganan gizi buruk tidak hanya terpusat pada rumah sakit, tetapi lebih diarahkan agar puskesmas mempunyai kemampuan dalam penanganan gizi
Universitas Sumatera Utara
buruk, perawatan gizi buruk dapat dilakukan secara rawat inap maupun rawat jalan di puskesmas melalui klinik pemulihan gizi (PPG) atau lebih dikenal dengan TFC (Therapeutic Feeding Center). Untuk itu perlunya diberikan pelatihan tentang tatalaksana gizi buruk bagi semua petugas kesehatan terutama bagi tenaga pelaksana gizi di puskesmas, sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuannya sehingga pada saat ditemukan kasus gizi buruk di wilayahnya, mereka dapat melakukan penatalaksanaan gizi yang sesuai dengan pedoman dan prosedur yang telah ditetapkan. Penelitian Arnelia (1992) menunjukkan sebanyak 20 % anak balita yang awalnya menderita gizi buruk, pasca pemulihan di klinik gizi (pusat penelitian gizi dan makanan, Depkes) masih dalam kondisi gizi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu hal yang menyebabkan berulangnya kondisi gizi buruk tersebut yang disebabkan oleh banyak faktor lain yang mungkin menjadi penyebabnya. Perkembangan masalah gizi di Indonesia, berdasarkan hasil surveilens dari seluruh Dinas Kesehatan Provinsi sejak tahun 2005 didapatkan bahwa setiap bulan kasus gizi buruk mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan karena anak yang menderita gizi buruk mendapat perawatan yang baik di puskesmas maupun rumah sakit. Dilanjutkan perawatan tindak lanjut yang berupa rawat jalan melalui posyandu, untuk memantau kenaikan berat badan serta mendapatkan makanan tambahan (Depkes , 2005). Menurut Departemen Kesehatan (2009) untuk melihat penatalaksanaan gizi buruk dan rujukannya dilakukan dengan mengambil satu contoh atau lebih status
Universitas Sumatera Utara
pasien anak gizi buruk di puskesmas yaitu dengan melihat tahap-tahap yang dilakukan seperti, ada tidaknya pengorganisasian yaitu dengan melihat apakah ada atau tidak tenaga gizi, dokter dan perawat/bidan yang telah dilatih untuk menjadi tim asuhan gizi, karena tim asuhan gizi inilah yang akan melakukan penatalaksanaan gizi pada balita gizi buruk yang ada di puskesmas tersebut, serta hal-hal lain yang mendukung terlaksananya penatalaksanaan gizi buruk di puskesmas. Sedangkan tatacara tatalaksana gizi yang dilakukan harus disesuaikan dengan buku pedoman yang ada seperti identifikasi dan penemuan kasus baik di posyandu ataupun dipuskesmas, yang biasanya dilakukan melalui deteksi dini penyimpangan tumbuh kembang anak dan penentuan status gizi balita secara benar berdasarkan standar WHO 2005, serta rujukan/tindak lanjut yang dilakukan terhadap pasien sudah diberikan sesuai keadaan seperti gizi buruk dengan komplikasi atau tanpa komplikasi, selain itu setelah dilakukan penatalaksana gizi dengan benar sesuai prosedur juga yang harus dilakukan adalah pengawasan sehingga balita yang sudah dinyatakan sembuh atau status gizi sudah mulai baik dan dapat dipulangkan, tetapi tetap terpantau berat badannya. Serta adanya pencatatan pelaporan yang baik, sehingga pada saat keadaan status gizi kembali memburuk catatan dan status pasien dapat dibuka dan dilakukan penanganan dengan baik dan dapat dicari akar permasalahan kenapa dan bagaimana kondisi gizinya dapat kembali memburuk, sehingga solusi penanganan yang akan dilakukan dapat diketahui dengan pasti. Berdasarkan Departemen Kesehatan (2011) dalam pedoman pelayanan anak gizi buruk dijelaskan prosedur dalam penanganan kasus gizi buruk secara rawat jalan
Universitas Sumatera Utara
dan rawat inap yang merupakan pedoman yang harus dilakukan tenaga kesehatan khususnya tim asuhan gizi yang ada di puskesmas. Sehingga diketahui apa sebenarnya yang menjadi kriteria dari anak gizi buruk, alur pemeriksaan/penemuan kasus, penanganan kasus rawat jalan dan rawat inap, serta pencatatan dan pelaporan dan melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan penatalaksanaan gizi buruk yang telah dilaksanakan.
2.5.Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi dan Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk. Pengetahuan adalah informasi yang diketahui atau disadari oleh seseorang, dan merupakan hasil “tahu” yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu atau berbagai gejala yang ditemui. Penginderaan melalui panca indera manusia. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoadmojo, 2007). Pengetahuan dalam penatalaksanaan gizi buruk menyangkut ilmu gizi dan segala sesuatu yang diketahui petugas dalam hal ini tenaga pelaksana gizi puskesmas, untuk melakukan penanganan kasus gizi buruk yang ada di wilayah kerjanya, meliputi pengetahuan yang dimulai: pengertian tatalaksana gizi buruk, bagaimana penatalaksanaan kasus dan hal-hal lain menyangkut penatalaksanaan gizi yang akan dilakukan terhadap balita gizi buruk. Menurut Sarjono (1999) penatalaksanaan gizi adalah suatu paket program komprehensif yang memadukan upaya promotif dan kuratif, mengkombinasikan pengobatan semua penyakit penyerta yang sering diderita atau bahkan penyakit itu
Universitas Sumatera Utara
sendiri yang membuat keadaan anak menjadi gizi buruk, merujuk penyakit secara cepat, menilai status gizi serta menangani dan memberi konseling bagi ibu bagaimana perawatan anak dirumah, nasehat pemberian makan dan kapan harus kembali segera atau kapan harus kembali untuk tindak lanjut dan konseling bagi ibu untuk perawatan dirinya. Semua kegiatan tersebut sepenuhnya harus dipahami dan dilakukan oleh petugas kesehatan khususnya tenaga pelaksana gizi di puskesmas , sehingga diharapkan tenaga pelaksana gizi telah dan mempunyai keterampilan dan tingkat pengetahuan yang baik tentang apa dan bagaimana cara penanganan kasus dan sesuai dengan standar tatalaksana gizi buruk. Apabila petugas kesehatan mempunyai pengetahuan pada materi tatalaksana gizi buruk yang telah dipelajari sebelumnya maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk menjelaskan secara benar sampai dengan menggunakan atau berperilaku sesuai dengan pengetahuannya pada situasi yang sebenarnya. Petugas kesehatan mempunyai kemampuan menganalisa, menyusun formulasi baru berdasarkan ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan serta melakukan evaluasi sejauh mana kemampuan melaksanakan tatalaksana gizi buruk sesuai standar.
2.6.Landasan Teoritis Berbagai studi menunjukkan bahwa gizi kurang/buruk pada balita disebabkan oleh penyebab langsung dan berbagai penyebab tidak langsung, (Myers, 1990), Zeitlin et al, 1991; Engel, Mennon and Hadad (1997). seperti digambarkan dalam
Universitas Sumatera Utara
kerangka pikir UNICEF (1998), pada penyebab langsung dari masalah gizi kurang/buruk adalah anak tidak mendapat cukup makanan bergizi dan seimbang, dan disisi lain baik secara bersama atau terpisah menderita penyakit infeksi yang dampaknya akan menyebabkan makin beratnya keadaan gizi balita . Berdasarkan konsep teori Dewan Pimpinan Pusat ASDI (2009), dalam Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) atau disebut juga standardized nutrition care process, bahwa semua pasien malnutrisi atau yang mempunyai masalah gizi diberikan asuhan gizi yang sama dengan pemberian zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien agar status gizinya optimal yang ditangani oleh ahli gizi yaitu dengan melakukan pengkajian gizi (Assessment), diagnosa masalah gizi (Diagnosis), intervensi gizi tahap rencana dan tahap implementasi (intervention) serta melakukan monitoring dan evaluasi. Menurut Depkes (2009), untuk menilai kepatuhan petugas (tim asuhan gizi) dalam menjalankan dan melaksanakan tatalaksana anak gizi buruk sesuai standar dipuskesmas perawatan dan non perawatan dengan melihat pengorganisasian, prosedur tatalaksana gizi buruk, rujukan dan tindak lanjut serta melakukan monitoring dan evaluasi yang dampaknya terhadap peningkatan/perbaikan status gizi balita yang menderita gizi buruk. Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007), diketahui bahwa faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan penatalaksanaan gizi ada 3 faktor yang salah satunya yaitu faktor predisposisi yang didalamnya termasuk pengetahuan yang akan memengaruhi tindakan dan kepatuhannya dalam penatalaksanaan kasus gizi
Universitas Sumatera Utara
buruk sehingga diharapkan mempunyai dampak terhadap perbaikan status gizi pada balita yang menderita gizi buruk.
2.7. Kerangka Konsep Variabel Bebas
Variabel Terikat
Penatalaksanaan gizi - Pengorganisasian - Tatacara (prosedur) - Tindak Lanjut - Pengawasan (monitoring)
Keberhasilan Puskesmas Dalam Perbaikan Status Gizi pada Balita Gizi Buruk
Pengetahuan Tenaga Pelaksana Gizi Faktor Perancu: 1. Faktor Ibu 2. Faktor Penyakit 3. Faktor Ekonomi
Gambar 2.1 : Kerangka Konsep Penelitian. Berdasarkan kerangka konsep dapat dijelaskan dengan penatalaksanaan gizi pada balita gizi buruk seperti adanya pengorganisasian, tatacara penatalaksanaan, tindak lanjut yang diberikan dan pengawasan yang sesuai standar tatalaksana gizi
Universitas Sumatera Utara
buruk dan tingkat pengetahuan tenaga pelaksana gizi yang baik akan berdampak pada kepatuhannya dalam melakukan penatalaksanaan gizi buruk sesuai standar sehingga puskesmas berhasil dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk yang ada di wilayah kerjanya. Untuk melihat status gizi pada balita gizi buruk yang telah mendapat penatalaksanaan gizi dilakukan dengan memilih balita gizi buruk yang tidak mempunyai faktor perancu dengan kriteria Inklusi seperti, balita gizi buruk yang tidak menderita penyakit penyerta atau komplikasi, ibu balita yang mendukung dilakukannya penatalaksanaan gizi dan dengan kondisi ekonomi menengah keatas, sehingga faktor perancu pada penelitian ini dapat dihilangkan.
Universitas Sumatera Utara