BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Implementasi Kebijakan 2.1.1 Defenisi Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi hukum di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (kelompokkelompok)
pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya (Winarno, 2012). Implementasi kebijakan adalah bagian dari rangkaian proses kebijakan publik. Proses kebijakan adalah suatu rangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, dan penilaian kebijakan (Winarno, 2012). Implementasi atau pelaksanaan merupakan kegiatan yang penting dari keseluruhan
proses
perencanaan
program/kebijakan.
Kebijakan
yang
telah
direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik bersifat individual maupun
kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makersuntuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran. (Subarsono, 2005) Patton dan Sawicki dalam Tangkilisan (2003) meyatakan bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana
pada
posisi
ini
eksekutif
mengatur
cara
untuk
mengorganisir,
menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukug pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan. Pressman dan Wildavsky (Solichin, 1997) menyatakan bahwa sebuah kata kerja mengimplementasikan itu sudah sepantasnya terkait langsung dengan kata benda kebijaksanaan. Senada dengan ini, Van Meter dan Van Horn memberikan batasan terhadap konsep implementasi dengan menyatakan bahwa implementasi kebijakan adalah: tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok), pemerintah, atau swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Lineberry dalam Putra (2003) menyatakan implementasi adalah tindakantindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan swasta yang diarahkan pada
pencapaian tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan. Sedangkan menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabartier dalam Wahab (2005) implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-Undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan Undang-Undang kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksana, dan akhirnya perbaikanperbaikan penting terhadap Undang-Undang atau peraturan yang bersangkutan. Tujuannya ialah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi sehingga tercipta rangkaian yang terstruktur dalam upaya penyelesaian masalah tersebut. Sebelum dilakukan pelayanan publik, tentunya akan dirumuskan kebijakan untuk mengatur teknis pelayanan tersebut kepada masyarakat pengguna. Bagaimana agar kebijakan publik yang dirumuskan sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat, adalah merupakan titik pangkal dari keberhasilan Pemerintah Daerah dalam menerima dan mengimplementasikannya. Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan adalah: 1.
Penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.
2.
Organisasi yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program kedalam tujuan kebijakan.
3.
Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah dan lain-lain (Tangkilisan, 2003). Yang perlu ditekankan disini adalah bahwa tahap implementasi kebijakan
tidak akan dimulai sebelum tujuan dan saran-saran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap implementasi terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk
membiayai
implementasi kebijakan tersebut (Winarno, 2012). Dengan demikian kebijakan publik merupakan sebuah awal dan belum dapat dijadikan indikator dari keberhasilan pencapaian maksud dan tujuan. Proses yang jauh lebih esensial adalah pada tahapan implementasi kebijakan yang ditetapkan. Karena kebijakan adalah suatu perkiraan akan masa depan yang lebih bersifat semu, abstrak dan konseptual. Namun ketika telah masuk di dalam tahapan implementasi dan terjadi interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan, barulah keberhasilan maupun ketidakberhasilan akan diketahui. Suatu kebijakan (publik) dikatakan berhasil bila dalam implementasinya mampu menyentuh kebutuhan kepentingan publik. Pertanyaannya adalah ketika suatu kebijakan tidak lagi memenuhi kepentingan publik, bagaimana bisa disebut sebagai kebijakan yang berhasil, Peters (dalam Tangkilisan, 2003) mengatakan bahwa: “Implementasi kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor, yaitu informasi, di mana kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan itu; isi kebijakan, dimana implementasi kebijakan dapat gagal karena masih
samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidak tepatan atau ketidak tegasan intern ataupun ekstern kebijakan itu sendiri; dukungan, dimana implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut; pembagian potensi, dimana hal ini terkait dengan pembagian potensi di antaranya para aktor implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang”. 2.1.2 Model-model Implementasi Kebijakan Untuk melaksanakan kegiatan dalam tahap implementasi maka dapat dilihat dari berbagai model implementasi kebijakan. Berikut ini model-model implementasi kebijakan: 1. Model Donald S. van Meter dan Carl E. van Horn Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Donal S Van Meter dan Carl E Van Horn menerapkan model implementasi dengan lebih memfokuskan ke sisi teknisnya. Menurut Meter dan Horn (Indiahono, 2009), ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu: a.
Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan pada dsarnya adalah apa yang hendak dicapai oleh program atau kebijakan.
b.
Sumber daya. Sumber daya menunjuk kepada seberapa besar dukungan financial dan sumber daya manusia untuk melaksanakan program atau kebijakan.
c.
Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas. Hal ini menunjuknkepada mekanisme prosedur yang dicanangkan untuk mencapai sasaran dan tujuan program.
d.
Karakterisktik agen pelaksana. Hal ini menunjuk seberapa besar daya dukung struktur organisasi, nilai-nilai yang berkembang, hubungan dan komunikasi yang terjadi di internal birokrasi.
e.
Kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Menunjuk bahwa kondisi dalam ranah implementasi dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi itu sendiri.
f.
Disposisi implementor. Hal ini menunjuk bahwa sikap pelaksana menjadi variabel penting dalam implementasi kebijakan. Seberapa demokratis, antusias, dan responsif terhadap kelompok sasaran dan lingkungan beberapa yang dapat ditunjuk sebagai bagian dari sikap pelaksana ini.
2. Model Merilee S. Grindle Keberhasilan implementasi menurut Grindle dipengaruhi oleh dua variabel besar, yaitu isi kebijakan dan konteks implementasinya. Isi kebijakan mencakup tentang kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan, jenis manfaat yang akan dihasilkan, derajat perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, siapa pelaksana program, dan sumber daya yang dikerahkan. Sementara itu, konteks implementasinya lebih mencakup ke arah politis seperti kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat; karakteristik lembaga dan penguasa; kepatuhan dan daya tanggap (Dwidjowijoto, 2006).
3. Model Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier Mazmanian dan Sabatier (Dwidjowijoto, 2006) menklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel. Pertama, variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman obyek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dukungan publik, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen serta kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana. Ketiga, variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan. Yaitu, pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar. 4. Model George C. Edwards III Model implemetasi dalam pandangan George C.Edwards ini lebih melihat dari sisi administrasinya .Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu: a.
Komunikasi.
Keberhasilan
implementasi
kebijakan
mensyaratkan
agar
implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan
dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran. b.
Sumberdaya. Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi bila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan dengan efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal diatas kertasdan menjadi dokumen saja. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial serta fasilitas-fasilitas.
c.
Disposisi. Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti kejujuran, komitmen, dan sifat demokratis. Apabila implementator memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
d.
Struktur Birokrasi. Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standart operating procedures atau SOP). Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang
tersedia. SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. (Subarsono, 2005).
2.2 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) DBD atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) di dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 406/Menkes/SK/III/20004 tentang penetapan kondisi kejadian luar biasa demam berdarah dengue di Indonesia (Depkes RI, 2004). Dan Permenkes RI Nomor 1501/Menkes/PER/X/2010 tentang penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah dan upaya penanggulangan (Depkes RI, 2010). Ada tiga faktor yang memegang peranan penting pada penularan penyakit DBD, yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang infeksius dan nyamuk Aedes aegypti dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viraemia (Depkes RI, 2004). 2.2.1 Perilaku Nyamuk Aedes Aegypti Biasanya nyamuk
Aedes aegypti mencari mangsanya pada siang hari.
Aktivitas mengigit biasanya mulai pagi sampai petang hari, dengan dua puncak aktivitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Tidak seperti nyamuk lain, nyamuk Aedes aegypti mempunyai kebiasaan menghisap darah berulang kali untuk memenuhi lambungnya dengan darah sehingga nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit. Setelah menghisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam
atau
kadang-kadang
di
luar
rumah
berdekatan
dengan
tempat
perkembangbiakannya. Biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Di tempattempat ini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya (Hadinegoro, 2005). Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina Aedes aegypti akan meletakkan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di atas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetes menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan pertumbuhan
dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umumnya
nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan. Setiap bertelur nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 butir. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu -2°C dan -42°C, dan bila tempat-tempat tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya maka telur dapat menetes lebih cepat (Depkes RI, 2007). 2.2.2 Tempat Potensial Bagi Penularan DBD Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya, antara lain: 1. Wilayah yang banyak kasus (endemis). 2. Tempat-tempat umum yang merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari berbagai wilayah, sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar. Tempat-tempat tersebut antara lain sekolah, rumah sakit, pertokoan dll. 3. Pemukiman baru di pinggir kota.
Karena di lokasi ini penduduknya berasal dari berbagai wilayah, maka kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier yang membawa virus dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi asal (Depkes RI, 2007). 2.2.3 Penyebaran Nyamuk Aedes Aegypti Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 meter, maksimal 100 meter namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat berpindah lebih jauh Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub tropis. Di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat umum. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembangbiak sampai ketinggian ± 1000 meter dari permukaan air laut.Di atas ketinggian 1000 meter tidak dapat berkembangbiak, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes RI, 2007). 2.2.4 Upaya Pencegahan dan Pemberantasan DBD Sebagaimana diketahui cara pencegahan dan pemberantasan DBD yang dapat dilakukan saat ini adalah memberantas vektor yaitu nyamuk penular Aedes aegypti dan pemberantasan terhadap jentik-jentiknya, karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi virusnya belum tersedia. Cara yang dianggap paling tepat adalah Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) yang harus didukung oleh peran serta masyarakat. Apabila PSN-DBD dilaksanakan oleh seluruh masyarakat maka populasi nyamuk Aedes aegypti akan dapat ditekan serendah-rendahnya, sehingga penularan DBD tidak terjadi lagi. Upaya penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat harus
dilakukan secara berkesinambungan dan terus-menerus, karena keberadaan jentik nyamuk berkaitan erat dengan perilaku masyarakat (Depkes RI, 2007). Hadinegoro (2005), menyatakan bahwa strategi dalam pencegahan DBD, meliputi: 1. Fogging Fogging dilakukan terhadap nyamuk dewasa dengan insektisida, mengingat kebiasaan nyamuk senang hinggap pada benda-benda bergantungan, maka penyemprotan tidak dilakukan pada dinding rumah. Kegiatan fogging hanya dilakukan jika ditemukan penderita/tersangka penderita DBD lain, atau sekurangkurangnya ada 3 orang penderita tanpa sebab yang jelas dan ditemukannya jentik nyamuk Aedes aegypti di lokasi. 2. Penyuluhan kepada masyarakat Penyuluhan tentang demam berdarah dan pencegahannya dilakukan melalui media massa, tempat ibadah, kader/PKK dan kelompok masyarakat lainnya. Kegiatan ini dilakukan setiap saat pada beberapa kesempatan. Selain penyuluhan kepada masyarakat luas, penyuluhan juga dilakukan secara individu melalui kegiatan Pemantauan Jentik Nyamuk (PJB). 3. Pemantuan jentik berkala Pemantauan jentik berkala dilakukan setiap 3 (tiga) bulan di rumah dan tempat-tempat umum. Diharapkan Angka Bebas Jentik (ABJ) setiap kelurahan/desa dapat mencapai lebih dari 95% akan dapat menekan penyebaran DBD. 4. Penggerakan masyarakat dalam PSN-DBD
Cara yang tepat dalam pencegahan DBD adalah dengan melaksanakan PSNDBD, dapat dilakukan dengan cara antara lain: -
Fisik, cara ini dikenal dengan ”3M” yaitu: menguras dan menyikat bak mandi secara teratur seminggu sekali, menutup rapat tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum dan lain-lain), mengubur, menyingkirkan atau memusnahkan barang-barang bekas (kaleng, ban dan lain-lain). Berdasarkan fakta ini, Depkes RI telah menetapkan program PSN DBD sebagai program prioritas dalam pencegahan dan penanggulangan DBDdi Indonesia. Sebagai landasan hukum pelaksanaan PSN DBD adalah Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 581/1002 Tahun 1992 tentang PSN DBD dan Pembentukan Kelompok Kerja Operasional Demam Berdarah Dengue (POKJANAL), juga ditunjang dengan KEPMENKES 1457 Tahun 2003 tentang Standart Pelayanan Minimal yang menguatkan pentingnya upaya pengendalian DBD di Indonesia hingga ke tingkat kabupaten/kota bahkan sampai ke desa. Berbagai bentuk kegiataan PSN DBD yang saat ini dilaksanakan di Indonesia baik secara nasional maupun regional, antara lain gerakan 3 M (menguras, menutup, dan mengubur).
-
Kimia, cara memberantas jentik Aedes aegypti
dengan menggunakan
insektisida pembasmi jentik yang dikenal dengan istilah larvasida. Larvasida yang biasa digunakan adalah temephos fomulasi yang digunakan adalah dalam bentuk granule (sand granules), dengan dosis 1 ppm atau 100gram (± 1
sendok makan rata) untuk setiap 100 liter air. Larvasida dengan temophos ini mempunyai efek residu 3 bulan. Larvasida yang lain yang dapat digunakan adalah golongan insect growth regulato. -
Biologi, pemberantasan jentik Aedes aegypti dengan cara biologi adalah dengan memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan cupang dan lain-lain).
Selain itu ditambah juga dengan cara lain: 1. Mengganti air dalam vas bunga, tempat minum burung, atau tempat-tempat lain yang sejenis seminggu sekali. 2. Menutup lubang-lubang dan potongan bambu. 3. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar. 4. Memakai obat/ lotion yang dapat mencegah gigitan nyamuk. 5. Memasang kawat kasa. 6. Menggunakan kelambu. 7. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai. 8. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak (Depkes RI, 2007). 2.2.5 Variasi Musiman Nyamuk Aedes Aegypti Pada musim hujan tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air, telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas, selain itu pada musim hujan semakin banyak tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk ini.
Oleh karena
itu
pada
musim
hujan
populasi Aedes aegypti meningkat. Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan salah
satu
faktor
yang
menyebabkan peningkatan penularan penyakit DBD
(Depkes RI, 2005). 2.2.6 Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes Aegypti Nyamuk Aedes aegypti ditemukan hampir di semua daerah perkotaan di daerah tropis dan subtropis di Asia Tenggara. Akhir-akhir ini juga ditemukan di daerah pedesaan, akibat penyebaran penduduk/tempat pemukiman baru dan sistem transportasi yang lancar.Aedes albopictus menyukai tempat yang jauh dari tempat tinggal manusia sedangkan nyamuk Aedes aegypti sangat berperan dalam penularan penyakit DBD karena hidupnya berada di dalam dan di sekitar rumah penduduk. Nyamuk ini sangat senang berkembangbiak di tempat penampungan air karena tempat itu tidak terkena sinar matahari langsung. Nyamuk ini tidak dapat hidup dan berkembangbiak di daerah yang berhubungan langsung dengan tanah. Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Tempat-tempat penampungan (wadah) air di dalam atau di sekitar rumah tangga, rumah ibadah, bangunan pabrik, sekolah, dan tempat-tempat umum lainnya, seperti drum, tangki, tempayan dan lain-lain. Biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari pemukiman penduduk tersebut. b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti tempat minum burung, vas bunga, dan barang-barang bekas yang dapat menampung air.
c. Tempat penampungan air yang alamiah, seperti pelepah daun, tempurung kelapa dan lain-lain (Hindra, 2004). 2.2.7 Pelaksanaan Kegiatan Pencegahan DBD oleh Masyarakat Kegiataan pencegahan DBD yang melibatkan masyarakat adalah: 1.
Pergerakan masyarakat dalam PSN-DBD Pelaksana
: masyarakat di lingkungan masing-masing, yang sebelumnya telah diberikan pengarahan langsung oleh Ketua RT/RW, tokoh masyarakat (Toma), dan kader.
Lokasi
: meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya dan merupakan satu kesatuan epidemiologis.
Sasaran
: semua tempat potensial bagi perindukan nyamuk; tempat penampungan air, lubang/pohon dll.
Cara 2.
: melakukan kegiatan 3M (menguras, menutup, mengubur).
Penggerakan masyarakat dalam menaburkan bubuk larvasida. Pelaksana
: tenaga dari masyarakat dengan bimbingan petugas kesehatan.
Lokasi
: meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya dan merupakan satu kesatuan epidemiologis.
Sasaran
: Tempat Penampungan Air (TPA) di rumah dan di tempat-tempat umum.
Cara
: larvasida dilakukan di seluruh wilayah terjangkit, dengan menaburkan larvasida sesuai takaran.
3.
Penyuluhan Pelaksana
: petugas kesehatan, kader masyarakat atau kelompok kerja (POKJA) DBD desa/kelurahan
Lokasi
: meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya dan merupakan satu kesatuan epidemiologis.
Sasaran
: seluruh masyarakat.
Cara
: memberikan pengarahan dan informasi tentang cara-cara pencegahan DBD yang dapat dilaksanakan oleh individu, keluarga, dan masyarakat serta situasi DBD di wilayahnya.
2.3 Landasan Teori Suatu kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah merupakan upaya pemecahan masalah publik yang timbul.Program pemberantasan DBD yang dibuat oleh pemerintah adalah salah satu upaya pemerintah untuk memberantasan DBD dan mengurangi insiden DBD yang memprioritaskan pada upaya promotif dan preventif. Setelah suatu kebijakan diformulasikan atau ditetapkan selanjutnya akan memasuki tahap implementasi kebijakan, yang dianggap sebagai tahap yang paling menentukan dalam proses suatu kebijakan. Menurut Akib (2010) bahwa implementasi kebijakan merupakan aktifitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output atau outcome bagi masyarakat.
Keberhasilan implementasi suatu kebijakan dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Edwards III (1984) yang dikutip oleh Tangkilisan (2003), ada 4 faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam implementasi kebijakan yakni faktor sumber daya, birokrasi, komunikasi dan disposisi. Keempat faktor tersebut tidak berdiri sendiri namun saling berkaitan dalam memengaruhi proses implementasi sebagaimana digambarkan dalam bagan berikut ;
Komunikasi
Sumber Daya Implementasi Struktur Birokrasi Sikap Gambar 2.1 Model Implementasi Menurut George Edwards III Sumber: Subarsono (2005)
Setiap
kebijakan
publik
yang
telah
diimplementasikan
semestinya
memerlukan evaluasi untuk mengukur sejauh mana efektifitas dan efisiensinya.Hal ini sesuai dengan pendapat Tuckman (1985) yang mengemukakan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk mengetahui/menguji apakah suatu kegiatan,proses kegiatan, keluaran suatu program telah sesuai dengan tujuan atau kegiatan yang telah ditentukan. Hal ini juga didukung oleh pendapat Rossi (2004) yang dikutip oleh Harris (2010) yang menyatakan bahwa evaluasi adalah penggunaan pengujian atau penelitian untuk mengetahui efektifitas suatu program. Penilaian efektifitas suatu program perlu dilakukan untuk mengetahui sejauhmana dampak dan manfaat yang dihasilkan oleh program tersebut, karena efektifitas merupakan gambaran keberhasilan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan.
Melalui
penilaian
efektifitas juga dapat menjadi pertimbangan
kelanjutan suatu program. Efektifitas menurut Schemerhon John R. Jr. (1986) yang dikutip oleh M.Fazhrin (2012), adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi atau sesungguhnya (OS), jika OS > OA disebut efektif. Penelitian
ini
bertujuan
untuk mengetahui gambaran implementasi
kebijakan program pencegahan dan penanggulangan DBD dalam
menurunkan
insiden DBD berbasis kelurahan di Kota Medan Tahun 2014 dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Untuk
menganalisa faktor-faktor
yang memengaruhi implementasi
kebijakan, peneliti menggunakan teori George Edwards III yang menyatakan bahwa ada 4
faktor yang
implementasi kebijakan yaitu:
mempengaruhi
keberhasilan
dan
kegagalan
1). Komunikasi, 2) Sumber daya, 3). Disposisi
dan 4). Struktur birokrasi.
2.4 Kerangka Pemikiran Berdasarkan landasan teori yang telah dijelaskan sebelumnya, maka kerangka pemikiran untuk penelitian ini dapat ditunjukkan dalam gambar berikut:
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI (TEORI GEORGE EDWARDS III) : - KOMUNIKASI - SUMBER DAYA - DISPOSISI - STRUKTUR
IMPLEMENTASI PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN DBD
BIROKRASI
Gambar 2.2. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian